Letter: Good Bye

Di pesisir pantai yang indah, deburan ombak yang tenang menemani langkah kecilku. Pasir putih nan luas menjadi tempat kaki berbalut sandal ini berpijak.

Sepanjang langkah, aku hanya bungkam dengan hanya ditemani lagu pantai yang alami. Tidak ada ucapan sejak seminggu setelah kabar kematian sahabatku terdengar. Rasanya duniaku benar-benar hampa, aku bahkan gagal untuk mencari jalan keluar dari kehampaan itu.

Tidak ada tujuan selain hanya berdiri mematung di depan luasnya lautan. Angin kubiarkan menerpa wajahku yang terus menghasilkan air mata, membiarkan mengering adalah jalan terbaik untukku menghentikan tangis.

"Kenapa harus kau?" gumam ku masih dengan perasaan gundah.

Di tengah perasaan kacau itu, aku sempat berharap lautan membuat ombak besar dan menyeret diriku bersamanya. Namun, aku masih memiliki pikiran logis untuk tetap hidup dan menemukan makna dibalik kematian aneh dari sahabatku.

Yang berkali-kali membuatku selalu bertanya adalah, mengapa dia ditemukan dalam keadaan mencurigakan? Sahabatku ditemukan tak bernyawa di ruang kelasnya dalam keadaan mengenaskan. Aku bahkan tidak pernah menyangka bagaimana hal ini bisa terjadi padanya. Yang aku sesali adalah mengapa aku tidak bisa berhenti di saat kejadian mengenaskan itu?

Tanpa sengaja di tengah lamunanku yang mengelana tak menentu, sesuatu menyentuh kakiku. Aku tentu saja sedikit terkejut, baru setelah aku lihat lebih dekat, itu sebuah botol yang tertutup rapat.

"Apa ini?" ucapku sembari mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Manikku terus menatap botol dengan sebuah kertas di dalamnya. "Orang-orang ini, kenapa masih selayaknya di film-film?" gumam ku sembari melepas tali yang mengikat bagian atas penutup.

Aku membukanya, sebuah kata tercetak di sana dengan jelas. "My love." Aku mengerutkan kening heran. "Siapa?"

Karena suara panggilan dari belakang, terpaksa kertas putih tanpa sedikit pun tersentuh air itu kembali aku lipat, memasukkan begitu saja dalam kantong sweater dan beranjak dari sana.

"Ada apa?" tanyaku pada sosok wanita yang jauh lebih tua dariku.

"Aku ingin kau berhenti berada di sana, Nak. Pulanglah untuk hari ini dan istirahat."

Aku menghela nafas panjang, menatap raut wajah wanita di depanku yang jauh lebih lelah dengan kantung matanya yang menghitam. "Baiklah," tandasku kemudian.

Aku pulang, berdiam diri dalam kamar minimalis dan memilih membuka kembali surat yang sempat aku bawa.

"My Love. Hallo, Emma, apa kabarmu? Aku harap tetap dalam keadaan baik seperti terakhir kali kita bertemu. Jika menemukan surat ini aku belum sempat berpamitan, maka sekarang waktunya mengucapkan kata terakhir akan hal itu. Aku tidak ingin pergi karena kemauan, tapi ada dorongan serta hal berat yang terus menerus mendatangiku. Dirinya mengancam."

Aku seketika mengerutkan kening karena dibuat bingung akan hal aneh ini. Langsung saja aku mengambil pena dan menulis ulang apa yang tertera di sana. Malam itu aku pun hanya disibukkan dengan teka-teki yang aku yakini dari sahabatku, Ellie.

Berkali-kali aku mencoba memecahkan kata terakhir, selalu saja ada hal ganjal yang bisa aku cocokkan jika dugaanku selama ini benar. "Ellie dibunuh."

Aku memang telah mengumpulkan segala data bukti atas dugaanku selama ini. Namun, yang ada semua selalu ditolak oleh pihak berwenang maupun keluarga. Mereka pikir, diriku hanya mengada-ada tentang surat sekaligus kilasan mimpi buruk tentang kematian itu.

Tapi aku tidak pernah menyerah hingga benar-benar membuktikan jika Ellie telah dipaksa untuk mengakhiri hidup, atau dalam kata lain Ellie sengaja ditekan untuk menghilangkan nyawanya sendiri.

"Tapi siapa?"

Karena aku adalah satu-satunya yang bisa membuktikan hal ini, aku pun bertekad menghampiri TKP untuk sekadar menemukan bukti lain.

Tempat itu telah kosong semenjak hari mengerikan yang menimpa sahabatku, kini kakiku kembali melangkah di ruang dengan hawa menyesakkan itu. Aku mengedarkan pandangan, mencari lebih teliti apa yang bisa dijadikan bahan pertimbangan.

Namun, kebuntuan tetaplah menjadi akhir dari segala usahaku. Aku menghela nafas panjang untuk hasil hari ini. "Aku bahkan tidak bisa menutupi apa yang terjadi."

Kehadiran kertas serta mimpi buruk selalu aku dapati sejak seminggu lalu, kepergian Ellie selalu menghantuiku dengan rasa sesal mendalam. Aku tidak bisa membuatnya hidup untuk sekarang, bagaimana jika aku tidak bisa membuat kasus ini tertutup?

Malam setelah aku selesai dari ruang kelas, aku memilih melakukan hal yang bisa membantuku lebih tenang. Ditemani oleh ketenangan serta seduhan kopi, aku duduk di tepian jendela cafe yang kebetulan sepi pelanggan.

Namun secara tiba-tiba seseorang datang, menghampiriku dengan setelan rapi berupa jaket kulit serta kaus yang dipadukan celana jeans, dirinya duduk di bangku depan yang kosong. "Emma Miller?" tanyanya dengan senyum kecil.

"Ya, darimana kau tahu namaku?" tanyaku yang merasa heran dengan sosok yang sama sekali belum pernah aku temui.

Pria itu tidak menjawab dengan segera, ia kembali menunjukkan senyum menawannya. "Aku mengenalmu sejak berita kematian ... sahabatmu terdengar."

Aku hanya mengangguk, malam ini aku membiarkannya di sana. "Lalu? Ada keperluan apa?"

"Tidak ada, hanya beberapa hal kecil yang sempat kau bawa ke kantor polisi," ucapnya. Pria itu menyenderkan tubuhnya di bagian belakang kursi dan memandangku dengan tatapan serius.

Aku paham, aku tahu pria ini bagian dari polisi dan mungkin sudah waktunya aku mengungkapkan keseluruhan hal yang aku lakukan demi sahabatku itu. "Aku menemukan bukti yang kuat, bisa kau selidiki kasus ini kembali? Aku tidak setuju jika kematian Ellie adalah bentuk ketidaksengajaan."

Pria itu menganggukan kepalanya pelan. "Jadi kau mencoba membuktikan jika kematiannya sebagai bentuk pembunuhan?" tanya pria di depanku ini.

"Ya, aku berpikir demikian karena itu sangat jelas."

"Siapa yang kau curigai?" Aku terdiam sejenak kala pertanyaan itu terdengar, seketika suasana kembali sunyi.

Lamunanku pudar saat sosok di depanku menjentikkan jarinya, aku hanya bisa menatapnya. "Bagian dari orang terdekat, mungkin?"

"Siapa?"

"Ayahnya," lirihku dengan pandangan yang tertuju langsung pada sosoknya. Aku mengendikkan bahu, entah hanya satu tersangka utama yang selalu membuatku curiga padanya. Dan alasan lainnya karena ayah Ellie selalu melarangku bermain dengan putrinya dan selalu membuat kami berpisah.

Setelah aku mengucapkan analisiku, aku lihat dia terdiam, seperti ada sesuatu yang menganggu pikirannya. Menyadari jika dia diam, aku pun hanya mengikutinya. Hingga beberapa menit kemudian, dia bangkit dari tempatnya duduk dan menatapku yang masih berada di tempat.

"Berdirilah, Emma."

"Kenapa, Sir?" Tidak ada kata-kata apa pun yang dia ucapkan ketika dia dengan cepat menarik lenganku untuk berdiri dan memborgol kedua tanganku. Aku tidak bisa melawan akan cengkeraman kuat darinya.

"Hei?! Kau gila, hah?!" Bukannya melepaskan, dia membawaku pergi, menyisakan tatapan ngeri dari penjaga toko yang baru aku sadari jika hanya ada dirinya di sana. Dalam kata lain, pengunjung benar-benar telah pergi jauh sebelum aku menyadarinya.

"Jangan terus menerus membohongi semua orang, Emma. Selama ini kau hanya berbual banyak pada orang-orang."

"Hei? Apa maksudmu?!"

Pria itu mendekatkan wajahnya padaku dan berbisik, "Kau yang telah membunuh Ellie." Tatapannya tampak serius, tanpa menunggu reaksiku ia pun segera mendorong masuk tubuhku ke dalam mobil hitam itu.

Aku menggeleng kuat kala ia hendak menutup pintunya. "Aku tidak melakukan hal tanpa alasan." Dia tidak memperdulikan apa yang aku ucapkan, begitu tubuh ini di masukkan ke dalam mobil, aku hanya bisa pasrah dan tersenyum tipis. "Kau lihat, Ellie."

Malam yang dingin mejadi latar akan kisahku, di dalam mobil itu aku hanya bisa memandangi kota, menenangkan pikiran dan bersiap untuk menceritakan segalanya atas penangkapan yang tiba-tiba ini.

Aku tidak pernah bilang aku merasa kehilangan akan dirinya. Yang ada, dirinya sendiri yang harus kehilangan diriku karena perbedaan alam. Menceritakan tentang Ellie hanya mengingatkan diriku dengan teriakannya. "Candu."

~

THE END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top