052 Rumah Calon Menantu
"Kak Nei." Fashion memanggil guru cantik di sebelah bangkunya. Jari-jari berkuku pendek milik wanita itu tengah lincah mengetik sesuatu di atas keyboard miliknya.
"Apa?" sahut Neima tanpa melihat Fashion.
"Kita pacaran, yuk, Kak?" tanya Fashion dengan suara lirih.
Nah, Fashion menutup mulutnya untuk menyembunyikan tawa ketika Neima akhirnya menghadap kepadanya.
"Ulangi," pinta Neima dengan wajah galak.
"Tapi jawabannya 'iya', ya, Kak?"
Neima mengambil buku cetak Seni Budaya lalu memukul pundak Fashion dengan wajah merah. Hal itu membuat para guru yang sedang menikmati makanan mereka menoleh kepada dua sejoli itu.
"Bercandanya orang yang kasmaran begitu, ya, Bu. Marah-marah, padahal gemas." Perkataan Dena membuat guru-guru jadi tertawa.
Sementara itu, Neima yang semakin kesal menghentikan pukulannya. Bisa makin diledek dia kalau masih memukul Fashion.
Fashion menutup mulutnya lagi untuk mengatakan sesuatu, "Iya tidak, Kak?"
Hasilnya Fashion mendapatkan tatapan tajam, super ampuh untuk membunuh seseorang jika saja dalam tatapan itu terdapat jarum panjangnya yang dapat menjangkau organ penting Fashion.
Fashion terus mengatakan hal yang sama setelah hari itu. Dia mengikuti ke mana pun Neima pergi ketika tidak ada jam mengajar. Apakah Fashion serius dengan ajakan itu? Fashion langsung menggeleng saat bercermin di indekosnya. Fashion hanya mencari perhatian Neima. Bukan pacaran yang Fashion inginkan. Lebih dari itu. Fashion yang tidak pernah menjalin hubungan romantis dengan perempuan–berpacaran, akan kebingungan mengisi masa-masa berpacaran. Fashion mengajak Neima 'pacaran' cuma main-main. Jadi, tidak berlaku urutan kenalan-pendekatan-pacaran-tunangan-menikah. Fashion akan melompat langsung ke puncaknya. Tekadnya sungguh kuat meskipun belum ada penerimaan dari Neima dan Mimi.
"Berhenti! Berhentilah mengatakan itu!" Neima akhirnya kalap dan memukuli Fashion sekuat tenaganya. Di aula sekolah tinggal mereka berdua saja saat bel tanda istirahat menggema di seluruh penjuru SMK. Fashion yang memang tidak ada jam menanti Neima selesai mengajar praktik drama.
"Iya, ini sudah berhenti saya, Kak." Fashion memelas sambil menghindar. Padahal jika main ke rumah Neima, Fashion tidak pernah mengatakan hal itu. Fashion cuma bercanda seperti ini di sekolah saja.
"Apa mulutmu itu tidak capek? Kalau orang lain dengar bagaimana?" tanya Neima dengan menggertakkan gigi.
"Ini seperti yang dikira orang-orang, Kak. Sudah lama tersiar di sekolah kalau kita punya hubungan spesial. Kak Nei juga pernah bilang seperti itu sama saya."
"Mana? Kapan?" protes Neima.
"Kakak bilang, biarlah orang-orang mengira Kak Nei pacaran dengan Ion, biar itu ... hubungan Ion dengan Bu Maya aman. Padahal tidak ada hubungan apa pun dengan Bu Maya. Ada juga setiap hari Ion ke rumah Kak Nei."
"Ih, ingatanmu bikin aku kesal. Awas kalau kau masih bertingkah menyebalkan. Aku sudah tekankan kalau ...."
Fashion menggeleng keras kepala. "Kakak tidak sedang punya hubungan dengan orang lain. Kakak sudah bilang Kak Nei menghargai usaha Ion. Jadi, ayo semakin dekat, Kak."
Neima membuka mulut lebar kemudian menutupnya lagi ketika membuang napas.
"Terserah." Neima memilih untuk mengabaikan, tidak ingin memberikan balasan apa pun terhadap ucapan Fashion setelah ini.
Neima terlanjur berubah, entah berubah yang bagaimana, tetapi Neima tidak bisa seketus dan setembok dulu kepada pemuda itu. Hal itu percuma karena Fashion pandai menerobos garis batas yang Neima ciptakan. Tanpa lelah dan malu. Jadi, bukan cuma Neima saja yang berubah, Fashion bahkan lebih parah bermanuver menjadi lelaki lenjeh ketika mengganggu Neima.
Setelah istirahat, Neima memiliki waktu bebas. Ia berpikir untuk menyeberang ke sekolah Anak Sinetron untuk menjemput gadis salehahnya itu. Neima sudah membawa dompet dan ponselnya saat Fashion berdiri di pintu kantor. Laki-laki itu masuk membawa setumpuk buku juga menyandang tas laptop.
"Kak Nei hendak ke mana ini?" tanyanya setelah berjalan cepat ke sebelah Neima. "Oh, iya," jawabnya sendiri mendapatkan pencerahan. "Ayo."
"Tidak. Ck, jangan ikut!" larang Neima dengan gigi terkatup.
"Kalau gitu, hati-hati, Kakak." Fashion pun duduk manis di bangkunya. Dia tak ingin melihat Neima kesal terus-menerus. Fashion juga sebenarnya capek. Capek seperti yang disinggung oleh Neima tadi.
Ketika Neima sudah keluar, Asumi menduduki kursi yang Neima tinggalkan. "Yon. Ya Allah, adikku. Jangan begitu lagi. Neima tidak akan suka. Pelan-pelan saja seperti Fashion yang biasa."
Fashion terheran. Bukankah dia bercandanya pelan-pelan? Seharusnya tidak ada yang mendengar apa yang Fashion ucapkan kepada Neima.
Asumi menggeleng-geleng. "Jadi diri sendiri."
Fashion lalu mengangguk. Jadi, dia yang bercanda dan menempeli Neima itu bukan seperti dirinya yang biasa?
"Ion harus gimana, Kak Sumi?"
Asumi bertanya balik, "Apanya yang harus gimana?"
"Ion serius salah. Bercanda juga salah. Ion tidak ada tempat bertanya. Apalagi ini yang Ion suka Kak Nei. Ada banyak sekali yang Ion bingung mau ngapain."
Asumi terlihat mengasihani anak Mimi itu.
"Bagaimana kalau seperti ini?"
Fashion mendengarkan ide Asumi dengan kening mengerut, tapi sekali-sekali dia juga mengangguk.
Hari ini Mimi menjenguk Fashion ke kos. Fashion memeluk lutut yang terlipat melihat Mimi menyibukkan dirinya menyetrika pakaian Fashion.
"Mi."
Mimi Riris hanya bergumam ketika melipat kaus milik Fashion yang selesai disetrika.
"Akhirnya, Ion memenuhi keinginan Mimi."
Mimi Riris lalu mencabut kabel setrikaan untuk memberikan perhatian kepada putranya. Ini yang dicari Mimi Riris datang ke tempat tinggal Fashion.
"Keinginan apa, Yon?" Mimi Riris berlagak tak paham. Putranya yang berwajah selicin keramik kosan itu sedang berpikir.
"Ion sudah ketemu perempuan yang Ion suka."
Mimi Riris mendekat. Diusapnya kepala anaknya dengan sayang. "Beruntung sekali perempuan itu."
Fashion mendongak melihat miminya. "Kenapa begitu?"
"Terus harusnya Mimi bilang apa? Hm?"
Fashion melepaskan silangan tangan pada kedua kakinya. Ia menyilangkan kaki yang panjang lalu menopang dagu dengan jempol dan jari telunjuk kanan.
"Siapa perempuan itu, Yon?" Fashion mengucapkan dengan suara halus.
Mimi Riris pun tertawa. Sebelah tangannya menepuk-nepuk pelan pipi Fashion. "Siapa perempuan beruntung itu, Yon?"
Fashion lantas menggeleng. "Kita langsung ke rumahnya saja."
Mimi Riris menjadi kaget. "Eh! Tidak boleh. Mimi belum siap dan setuju untuk melamar anak orang, ya!"
Fashion mengerutkan keningnya melihat reaksi Mimi. "Cuma kenalan, Mi."
Mimi Riris langsung mengucapkan vokal bulat dengan gembira. "Mimi kaget, Yon. Masak anak Mimi pertama kali suka perempuan, langsung minta dilamarkan waktu pertama kali cerita. Jangan sampai namamu masuk rekor MURI karena ini."
Fashion memasang wajah malu-malu. "Mimi kira-kira mau kalau Ion betul melamarnya di waktu dekat ini?"
Fashion lalu meringis waktu punggungnya dipukul Mimi Riris.
"Tidak mau. Mimi harus menilai orangnya. Kamu belum pernah naksir orang, bisa saja kamu salah memberikan hatimu."
Fashion terdiam. Ia merasa tidak salah, tetapi kata-kata Neima yang mengatakan bahwa ini semua salah membuat Fashion menjadi sendu. Kegembiraan yang dirasakannya langsung menguap seketika.
***
Tibalah Fashion dengan ibunya di depan bangunan dengan spanduk jasa laundry itu. Mimi Riris menatap ke bangunan itu dengan heran.
"Ya memang kita bukan datang untuk pakai jasa cuci setrika baju. Mimi sudah melakukannya tadi di kos." Fashion menggandeng Mimi Riris memasuki halaman yang dihiasi oleh jemuran kain warna-warni itu. "Ini rumahnya," sambung Fashion.
"Kamu kenal di mana?" tanya Mimi sewaktu Fashion membawanya ke teras rumah rumah yang asri itu.
"Kenal di WhatsApp," jawab Fashion, menyembunyikan kekehan dari Mimi. Teringat lagi dengan awal kenalannya dengan Neima Devira. Dalam hatinya mengulang lagi kalimat yang pernah dia lontarkan, 'Mimi malahan yang kenalan duluan dengan Kak Nei.'
Fashion dan Mimi Riris telah menginjakkan kaki di teras rumah Neima. Ruangan depan yang digunakan sebagai ruangan menerima pelanggan itu kosong. Suara mesin cucilah yang menandakan kalau di rumah itu sebenarnya ada orang. Lalu terdengar tawa renyah anak-anak yang sedang bercanda dengan ibunya. Tak lama dari itu, sosok anak kecil dan ibunya itu muncul dari belakang.
"Om Ion!" Gadis berkuncir kuda itu melompat-lompat ketika melihat Fashion. Ia melepaskan tangan ibunya dan berlari kepada Fashion, lalu berdiri di depan Fashion dengan memamerkan gigi-giginya yang mulai menghitam.
Fashion mencubit gemas pipi anak Neima itu. "Sedang apa dengan ibu?" tanya Fashion.
"Nei bilang mau lempar Hagia ke dalam mesin cuci katanya."
"Kenapa ibu mau masukin Hagia ke mesin cuci? Apa yang Hagia lakukan pada ibu?"
Sementara Mimi Riris yang melihat pemandangan itu mulai sakit kepala. Dia tidak ingin berpikiran buruk kepada putranya.
"Apa tadi, Ne?" Hagia minta bantuan ibunya yang mematung melihat Fashion dan miminya. "Oh, Hagia tadi cerita di sekolah sama ustazah." Anak sinetron Neima itu kelihatan sedang merangkai cerita dalam kepalanya.
"Mari ke dalam," ajak Neima merasa kurang sopan membiarkan tamu hanya berdiri. Neima tidak melihat kedua orang itu datang untuk me-laundry.
Fashion tersenyum dan menggenggam tangan Hagia. "Ayo, Mimi." Fashion menyilakan Mimi berjalan di depannya. "Hagia cerita apa dengan ustazah?"
"Kan ada Elmi nanya sama Hagia siapa yang suka antar Hagia sama kadang-kadang jemput Hagia sekolah. Hagia jawab Nei."
"Terus? Hagia sampaikan itu sama ibu?"
Hagia mengangguk. Dia duduk di sebelah Fashion di ruang tamu rumah sederhana itu. Sementara telinganya mendengarkan Hagia, mata Fashion melintas ke Neima yang meminta diberikan waktu untuk menyediakan minuman kepada Mimi. Saat selesai memperhatikan Neima yang sudah hilang di balik dinding dapur, Fashion berpapasan dengan tatapan ingin tahu Mimi Riris. Untuk amannya, Fashion lalu kembali pada Hagia yang masih terus menceritakan kejadian di sekolahnya.
"Begitu ceritanya, Om Ion."
Fashion refleks mengatakan 'ah' untuk bertanya apa saja yang dikatakan Hagia saat dia dengar ada kata 'ayah' dalam cerita anak itu. Fashion lalu berbisik ke telinga Hagia, supaya Hagia juga nanti menjawab pertanyaan Fashion dengan cara yang sama.
"Elmi itu dia tanya Om Ion siapa, Nei juga siapa. Hagia bilang Nei itu ibu, Om Ion itu Hagia kan nggak tahu. Hagia tanya aja sama ustazah. Ustazah juga gak tahu."
Fashion makin bingung. "Lalu apa lagi?"
"Ustazah tanya sama Hagia. Hagia mau nggak kalau Om Ion jadi ayahnya Hagia?"
Fashion lalu batuk keras sewaktu Mimi melihatnya dengan mata yang super tajam. Tepat saat itu juga Neima sudah kembali dengan membawa dua gelas di tangan kiri dan kanannya.
"Hagia!" Neima melintasi ruangan tamu.
Setelah meletakkan gelas itu di atas meja, Neima menarik tangan Hagia. "Masuk." Neima memarahi Hagia.
Hagia melihat Fashion dengan pandangan sedih. Hagia tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh Neyi-nya. Tadi juga Neima hanya bergurau ingin memasukkan Hagia dalam mesin cuci. Hagia menunduk menahan air matanya. Langkahnya diseret mengikuti Neyi ke kamar Aulia. Di kamar itu, Aulia duduk di atas tempat tidur dengan rambut acak-acakan karena baru bangun tidur. Aulia menepuk-nepuk kasur di sebelahnya. Hagia langsung berlari duduk di sana. Hagia tidak berani menatap Neima sampai Neima kembali ke luar kamar.
"Hagia nakal." Hagia mengucapkan dua kata itu. Aulia memeluk Hagia dan menggeleng-geleng. "Hagia nakal," ulang Hagia.
Sementara itu, di balik pintu yang tertutup, mata Neima memerah. Neima mengusap sudut matanya lalu ke depan untuk menerima tamunya.
"Itu anak kamu, Nei?" tanya Mimi Riris waktu Neima sudah di ruangan yang sama.
Neima duduk di bangku panjang yang sama dengan Fashion karena itulah yang tersisa. Mimi Riris memakai kursi tunggal.
"Iya."
"Sudah sekolah, ya? TK di mana?" tanya Mimi Riris.
Neima menekan perasaan dongkolnya kepada anaknya ibu itu dan menjawab dengan ramah yang dibuat-buat, "Dekat SMK."
"Manis, ya, anak Neima. Pintar sekali. Bicaranya juga lincah seperti ibunya."
Neima mengerutkan kening karena Fashion batuk-batuk. Jelas sekali itu batuknya hanya buatan. Jadi, Neima bukan dipuji nih, pikirnya.
"Anaknya suka sekali nonton sinetron makanya bisa bercerita," jelas Neima.
Mimi Riris tertawa. "Kalian tinggal berdua saja, Nei? Maaf kalau Ante lupa. Nei pernah cerita belum, ya, tentang ayahnya Hagia? Apa ayahnya dinas di kota ini juga?"
Neima mengangguk. "Iya."
"Oh, ya? Ante ingat waktu di awal masuk SMK, Nei bilang di grup sedang mencari rumah. Apa berarti suami juga ikut pindah demi menemani Neima di sini?"
Sekali lagi Neima mengangguk. "Minum tehnya. Yon," ucap Neima dengan senyuman dibuat seramah mungkin.
Mimi Riris mencicipi teh buatan Neima. "Manisnya pas di lidah Ante. Ion tidak suka yang manis. Ada air putih, Nei?" tanya Mimi Riris.
Neima langsung ke belakang memahami permintaan yang tidak diucapkan itu.
"Neima itu cantik, ya." Mimi Riris mengajak Fashion mengobrol seperginya Neima. "Dia juga punya usaha sampingan selain PNS. Mimi suka dia. Diajak mengobrol juga enak."
"Mi." Fashion sudah tidak karena tingkah Neima. "Nggak bohong 'kan?"
Mimi Riris menggeleng. "Enggak, Yon. Neima memang hebat dan unik dari pertama Mimi tahu dia. Mimi kan jadi penasaran kenapa kamu ajak ke sini, bukannya ke rumah perempuan yang kamu sukai. Mimi nggak menyesal ke sini. Besok saja, ya, kita kenalan dengan perempuan itu. Mimi ingin mengobrol agak panjang sama Neima."
Fashion menganga dengan penjelasan Mimi.
"Tapi, Mi?" Fashion belum tahu dia harus meluruskan ini atau nanti saja.
"Berapa banyak airnya?" tanya Neima saat kembali dengan segelas air putih.
"Ante saja yang tambahkan." Mimi Riris menjangkau air dari tangan Neima yang berdiri di sebelah tempat duduk Fashion.
Ketika Mimi Riris menariknya, gelas panjang itu bergoyang dan airnya tumpah ke atas celana Fashion.
"Aduh! Anak Mimi jadi basah," teriak Mimi Riris. "Berdiri, Yon! Nanti kursi Neima basah. Awas!" Mimi Riris memukul Fashion, memaksa Fashion bangkit dari duduknya.
"Mimi, basah semua celananya Ion, Mi," keluh Fashion tanpa menyalahkan miminya.
"Kamu bawa ganti? Ada kan di mobil? Gantilah. Mimi tunggu di sini."
Fashion mengangguk.
"Maaf, Kak Nei, jadi basah kursinya."
Neima pun menggeleng. Neima lalu menghela napas lalu duduk di tempatnya semula di ujung kursi yang tidak basah.
"Kamu menyukai putra Ante?" tanya Mimi Riris setelah hanya berdua saja dengan Neima.
Langsung saja Neima menggeleng, "Tidak mungkin. Aku–"
"Ada suami?" potong Mimi Riris. "Ada atau tidak, jawab saja pertanyaan saya."
"Aku tidak menyukai anak Ibu. Ibu jangan khawatirkan aku."
Mimi Riris mengangguk. "Iya, Ante benar-benar suka dengan Neima."
***
2145 kata
Bersambung....
30 Oktober 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top