051 Cinta yang Dia Rasakan

051 Cinta yang Dia Rasakan

"Yon! Gimana kabar Bu Janda? Udah keterima emangnya loe?" tanya Arjun pada suatu malam waktu Fashion baru saja mengangkat teleponnya.

"Namanya Kak Neima," koreksi Fashion. Masih sama. Ia tidak suka sebutan itu meluncur dari bibir Arjun Hilabi Aksa, anak tetangga yang-masih-naksir Mimi terang-terangan.

"Katanya mau kamu bawa ke rumah. Wow! Ini yang dari dulu kita tunggu dari lu, Yon."

"Inginnya sih gitu. Tapi kan masalahnya," potong Fashion. Tanpa diucapkan, Arjun pasti tahu alasannya.

"Orangnya nggak mau." Arjun pun tertawa karena tebakannya sendiri.

"Hm. Lebaran bukan, lamaran bukan. Ngapain ke rumah?"

"Gue setuju."

"Mimi yang akan Ion bawa ke rumah Kak Nei."

Arjun di sana berteriak. Fashion harus menjauhkan ponselnya dari telinga demi keselamatan alat dengarnya.

"Lo beneran mau cepat-cepat?"

"Cepat apanya? Ehm ... Bang Arjun kan tahu dalam hidup seorang anak, doa orang tua itu melangitnya cepat, Bang. Ion hanya punya Mimi. Saat Ion butuh doa serta bantuan untuk merayu Pencipta, ya, siapa lagi yang Ion ajak ikhtiar kalau bukan Mimi? Mimi mungkin bisa bantu agar Ion bisa lancar dengan Kak Nei. Lagian Ion gak mau semakin banyak dosanya deket-deket wanita yang bukan halal bagi Ion. Ion ingin memuliakan Kak Nei dengan membahagiakan Kak Nei sebagai bagian dari hidup Ion. Dan itu masih jauh sekali. Ion nggak bisa pakai cara pedekate orang sekarang. Ion pilihnya jalur atas aja. Ya dibantu Mimi. Gitu."

"Lo mau nikahin dia, itu maksudnya?"

Fashion menarik napas sebelum mengiakan. "Emangnya salah, ya? Karena Ion baru tamat kuliah? Ion udah kerja tetap. Finansial stabil walau tidak berlebih. Kalau dibilang siap mental? Insya Allah, nunggu apa lagi? Cuma masalahnya ngomongnya, mengajak Kak Nei-nya yang Ion nggak tahu."

"Justru itu masalah utamanya, Yon. Orang yang mau lo ajak menikah itu belum bersedia."

"Makanya butuh doa dari Mimi. Kalau Mimi sudah kenal siapa sosok yang Ion rindukan, doanya Mimi lebih khusus tuh kan, Bang."

Fashion tidak mendengar tanggapan apa pun. Dia mengecek gawai, ternyata masih tersambung dengan Arjun.

"Halo," panggilnya.

"Berandai-andai kalau misalnya Tante tidak setuju sama pilihan lo?" gumam Arjun.

Detik ini jantung Fashion merusuh. Pertanyaan tersebut tidak pernah terlintas dalam pikiran anak Mimi Riris. Mungkinkah mimi-nya tak akan menyukai Neima?

"Sementara kamu sudah sedalam ini menaruh harapan, Yon," sambung Arjun. "Berikan porsi untuk masalah ini supaya lo siap dengan penyelesaiannya. Dan pastikan dia selesai dengan masa lalunya."

Telepon itu pun diakhiri.

Pastikan dia selesai dengan masa lalunya.

Fashion menutup matanya. Kedua tangan menjadi bantal untuk kepalanya. Sebelah kaki menumpang di atas lutut yang dibungkus celana jins pendek.

Bagaimana caranya? Saat ini mereka hanya sebatas rekan kerja. Membahas masa lalu Neima tentu bukanlah hal yang pantas. Lantas memastikan bahwa masa lalu itu telah tertinggal lewat apa?

Fashion menggenggam lagi benda tipis yang dapat menghubungkan dirinya seseorang yang tengah dipikirkan.

"Halo," jawab suara perempuan di dalam gawai itu.

"Halo assalamualaikum, Kak Nei."

"Siapa yang telepon, Nei?" Suara lain memasuki alat dengar Fashion setelah salamnya dibalas. "Om Ion. Tidur lagi."

"Maaf ya, Kak, Hagia jadi terganggu."

"Tidak apa-apa. Tapi ada apa telepon jam segini? Mendesak sekali sepertinya."

"Tidak mendesak. Kak Nei mau tidur, ya?"

"Iya."

"Ion minta sedikit waktu untuk bicara boleh kan?"

Fashion memilih komunikasi lewat telepon pada tengah malam bukan tanpa sebab. Pertama, kondisi sama-sama tenang. Apa yang akan disampaikan bisa dicerna dengan baik. Kedua, tidak perlu berduaan demi pembicaraan yang pribadi sehingga tak mengganggu fokus serta kegentarannya. Ketiga, aman dari teriakan tidak suka Neima sebagai tanggapannya untuk topik yang akan dibahas.

"Karena aku sudah gak ngantuk, jadi oke. Bicaralah."

"Sebelumnya minta maaf kalau misalnya Kak Neima tidak menyukai pertanyaan yang akan Ion ajukan."

"Kalau pertanyaannya tidak sopan, jangan kau ucapkan."

Fashion tersenyum mendengar suara lembut Neima ketika mengingatkannya.

"Kak."

Neima bergumam.

Dari sini saja Fashion telah mendapati perbedaan Neima yang lama dengan sekarang. Neima yang lama suka meledak-ledak. Neima yang enggan basa-basi atau ramah-tamah. Neima yang selalu fokus kepada diri sendiri dan keluarga kecilnya. Neima yang tak acuh dengan sekitarnya. Neima yang sekarang sabar menantikan kata-kata Fashion yang mungkin menurut Neima tak ada manfaat baginya. Dulu jika tidak ada hubungannya dengan dirinya, Neima takkan mau menanggapi dengan senang hati layaknya saat ini.

"Sebenarnya saya suka kepada milik orang atau bukan?"

"Maksudnya?" Pertanyaan khas Neima.

"Menyukai Kak Neima ini salah atau benar? Kak Nei tidak terikat lagi dengan masa lalu hidup Kakak 'kan?"

Neima tidak merespon. Selama hening Fashion memanjatkan doa supaya semuanya lancar. Tak ada drama Neima mematikan telepon. Tak ada drama Neima menghindar untuk memberi kejelasan.

"Salah."

"Salahnya di mana?"

"Aku melarang. Kau tidak perlu membuat drama baru dalam hidupku."

"Kakak masih ingin terikat? Ingin kembali dengan masa lalu Kakak?"

"Walaupun tidak, kau juga tidak boleh menyimpan perasaan apa pun kepadaku."

"Kenapa?"

"Karena salah."

"Apa yang salah? Kakak sudah tidak terikat, tidak ingin merajutnya kembali dengan orang itu, lalu di mana letak salahnya?"

"Kau tidak perlu tahu."

Fashion kini yang terdiam. Apa yang dia ingin tahu telah dia dapatkan. Kepastian masa lalu Neima. Jalan ke depan tampak sedikit lebih terang. Benar bukan pilihannya mengajak Neima bicara di tengah malam? Neima tidak membelokkan kepada candaan seperti biasanya. Dan juga tidak menghindari bahan pembicaraan.

"Izinkan saya mentransfer perasaan ini kepada Kak Nei kalau tidak boleh menyimpannya sendiri."

"Apa kau tidak paham apa yang aku katakan?"

"Bagian mana? Tolong dijelaskan secara rinci. Agak kurang paham saya, Kak."

"Aku tidak mau berurusan dengan masalah perasaan atau apalah. Aku sudah menetapkan tujuan hidupku. Tidak ada kau atau orang lain dalam daftar itu. Kuusir kau sebelum mulai melangkahkan kaki."

"Tapi Kak Neima ada dalam tujuan hidup saya. Biarkan saya berusaha mencapai tujuan itu. Sekarang yang penting Kak Neima sudah tahu kalau Ion tidak main-main dengan ucapan. Boleh Kakak mulai pikirkan juga, Kak. Saya ingin Kakak menjadi istri saya."

"Lewat telepon?"

Fashion tertawa atas respon yang dia dapatkan.

"Hm. Kalau bicara langsung, siapa yang jamin pipi Ion aman dari telapak tangan?"

"Aku hargai usahamu. Tapi tolong disimpan saja semua harapannya, ya. Aku tidak mau canggung kalau nanti aku menjauhimu."

"Terima kasih sudah mendengarkan dengan baik, Kakak."

"Sudah nggak ada lagi yang ingin dibicarakan? Aku udah boleh tidur?"

Fashion mendapati ponselnya meredup selesainya Neima membalas salam selamat malam. Hal tergila yang dia lakukan dalam hidupnya adalah menyatakan keseriusan melalui telepon. Bukan pipinya yang ingin Fashion lindungi dari tamparan, melainkan imannya yang akan terguncang kemudian tangannya akan menggenggam telapak tangan hangat milik wanita itu. Ia tidak ingin ada penyesalan.

Ketika Fashion melihat Neima saat membuka mata di kamarnya, pikirannya sempat berceceran. Dia terlompat kaget menyadari kehadiran Neima kala itu sampai berkali-kali istigfar. Dan kenangan itu sering terputar dalam kepalanya yang ditambah-tambahi oleh bumbu khayalan. Membayangkan hal yang bukan miliknya terasa sebuah kesalahan. Lalu Fashion memodifikasi kenangan itu menjadi suatu harapan. Bagaimana jika wanita yang ia lihat pertama kali sebangun tidur adalah istrinya sendiri? Tentu tidak ada salahnya.

***

Di tempat tidurnya Neima menatap punggung putrinya yang tidur miring memeluk guling. Napas Hagia teratur. Rambut panjangnya yang lurus sebagiannya menutupi sebelah pipi tembam sang anak sinetron.

Neima tertawa tanpa suara. Kepalanya menggeleng-geleng memutar kembali suara-suara yang dia dengarkan melalui telepon. Neima terlentang menatap langit-langit mengulurkan tangannya ke atas. Ia mengamati garis-garis panjang dan melintang pada kedua telapak tangannya.

"Apa yang kau lihat dariku?" gumam Neima.

Neima merasa ini adalah kesalahannya. Seharusnya dia tetap memasang benteng supaya lelaki itu sama sekali tak dapat memasuki kehidupan Neima. Neima tak dapat memungkiri bahwa yang terjalin selama beberapa bulan ini karena kelalaiannya. Neima tidak pernah memiliki teman, apalagi dari bangsa lawan jenis, kecuali masa lalunya yang penuh noda. Neima menyadari jika dia telah menipiskan sekat antara dirinya dengan anak mimi itu. Kacau. Otaknya kacau balau.

"Ne tidur ini sudah malam. Tapi temankan Hagia pipis." Hagia duduk mengucek matanya.

Neima membimbing langkah putrinya ke kamar mandi di belakang.

"Nei nggak bisa bobo, ya?" tanya Hagia ketika sudah kembali berada di atas ranjang.

"Sepertinya. Kau tidurlah. Nggak usah pikirkan aku."

Hagia menepuk-nepuk punggung Neima karena posisi tidur mereka yang sama. Tidur dengan menghimpit bagian dada. Kepala saling menghadap.

"Aku tidak menyangka kau sudah sebesar ini." Neima menatap mata sangat anak.

Kenangan menyeruak. Neima dulu tidak menolak kehadiran Hagia saat pertama kali melihat test pack. Kehamilan akan menyatukannya dengan Dika dalam mahligai rumah tangga. Semua itu berubah saat Dika meninggalkannya. Neima menjelma seorang ibu yang seburuknya ibu di seluruh dunia. Dia membenci putrinya. Dia tidak sudi menyentuh putrinya apalagi berperan membesarkannya. Beberapa kali ia menyakiti putrinya, baik perkataan maupun perbuatan. Untungnya Hagia memiliki kakek nenek yang mencintainya. Mereka melindungi Hagia dari ibu kandungnya sendiri. Mendidik Hagia menjadi putri yang manis.

"Dulu kau sangat kecil, muat di perutku yang tipis ini." Neima yang telah mengubah posisi tidurnya sedang mengusap perutnya.

"Hagia dulu di perut Neyi," ulang sang anak sinetron.

"Tidak terasa sudah hampir lima tahun usiamu. Nanti kau akan mengalahkan tinggiku. Kau akan tumbuh semakin cantik."

"Cantik seperti Neyi."

Neima mengusap rambut Hagia. Mata Hagia sudah tidak sanggup menemani pemiliknya berjaga.

"Kuharap kau selalu beruntung, dilindungi dalam setiap langkahmu. Biarlah ibumu yang menanggung konsekuensi atas segala kesalahannya. Kau hiduplah dalam dunia indah yang penuh tawa. Jangan pernah menangis, Hagia. Berbahagia, anak saleha."

Neima akhirnya terlelap. Ia terbangun saat suara azan bergema. Ketika Neima meraba sebelah, tempat itu kosong. Neima merengkuh kesadarannya lalu melihat ke sekeliling.

"Lagi berwudhu anak sinetron," gumamnya dan segera duduk.

Neima pergi ke lemari. Ia menarik mukena di antara lipatan. Corak bunga matahari menarik mata. Tepat saat meletakkan kain itu di atas tempat tidur, sang putri masuk ke kamar.

"Nei udah bangun. Mau solat juga?"

Neima mengangguk. Ia pergi ke belakang untuk mengambil air wudhu.

"Ne ... Neyi cantik." Hagia mengagumi wajah Neyi-nya yang dihiasi telekung bunga matahari. Terdapat renda kecil di sekeliling wajah Neima. Membuat mukanya makin terlihat berisi.

"Nei di depan, ya. Hagia di sebelah kanan."

Dalam beberapa menit ke depan kedua ibu dan anak itu tampak khusyu menjalankan ibadah.

"Keluarkan iqro', Hagia."

Dalam tasnya terdapat buku Iqro'. Hagia menyerahkan kepada Neima.

"Huruf hijayah kau sudah tahu, Hagia?"

"Alif ba ta tsa, Nei?"

"Iya."

"Tahu tahu tahu. Diajarin Nenek. Hagia bisa baca ini," tunjuknya ke halaman yang terbuka.

"Baca basmalah, Hagia."

Anak Sinetron pun memulai bacaannya selama lima menit selanjutnya.

"Di sekolah ada kan diajari baca tulis Qur'an?" tanya Neima setelah selesai.

"Ada."

"Sore setelah mandi, Nei cek bacaanmu. Jadi, mandinya tidak boleh nanti-nanti."

"Iya, Ne."

"Udah sekarang mandi. Mandi sendiri apa dimandikan?"

"Sendiri!!!" teriak Hagia. Ia segera melepaskan atribut salatnya.

"Nanti Om Ion antar Hagia sekolah, Ne?" tanyanya ketika melepaskan satu per satu pakaian di badan.

"Gak tahu. Keramas, ya!" perintah Neima dengan suara keras karena anak sinetron telah ke kamar mandi.

Begitu Hagia selesai mandi, Neima membantu memasangkan seragam sekolah. Hari ini Hagia mengenakan baju muslim, atasannya baju kurung sepanjang lutut dan roknya terdapat lipatan di sebelah kiri. Warna hijau muda membuat Hagia selain enak dipandang, membuat Neima ingin memakan pipi berisi anaknya itu karena terlalu gemas.

"Nei!!! Pipi Hagia basah kena air ludah Nei. Jorok!" Anak itu berlari ke kamar mandi. Sementara Neima tertawa melihat kepergian putrinya.

Neima menanggalkan pakaian luar dan menyisakan pakaian dalam saja lalu menunggu Hagia di depan kamar mandi.

"Heh! Kamu kira najis mugoladoh pakai wudu segala!" tegur Neima yang berlipat tangan di dada.

"Hagia gak wudu kok. Cuma cuci muka, tapi jilbabnya jadi basah. Sama bajunya juga."

"Kamu sih," omel Neima menarik anak kecil itu keluar kemudian dia lap bagian yang basah dengan handuk yang disandang.

"Duduk depan kipas angin, Hagia. Nei mau mandi dulu."

Hagia pun mengangguk. "Nei jangan makan pipi Hagia lagi. Nei nakal."

Neima menutup pintu kamar mandi dan mandi cepat-cepat. Sebelum mengganti seragamnya, Neima memasak nasi goreng dengan sosis dan telur. Ia juga melebihkan untuk dirinya dan Aulia karena tidak ada rencana membuat menu lain. Masih ada nasi nanggung, Neima pun menggoreng semuanya.

"Kak Neima!" Suara teriakan Aulia mengagetkan Neima hingga spatula jatuh membuat gaduh di pagi hari.

"Astaga!" Kini giliran Neima yang berteriak begitu selesai memungut spatula dan melihat penampakan lawan jenis yang langsung balik badan saat mata mereka bertemu. Neima menyelimutkan handuk ke pundaknya.

"Maaf," ungkap orang itu dengan langkah cepat menuju ruang depan.

Jantung Neima sama ributnya dengan suara spatula yang menghantam lantai tadi. Ia merasa sangat malu dengan keadaannya yang hanya memakai pakaian dalam.

"Biasanya Kakak masak sudah dengan seragam," protes Aulia.

"Bukan di sana masalahnya, Lia," geram Neima berusaha tidak meledak-ledak. "Kenapa diundang ke dalam, dia laki-laki!"

"Maaf, Kak. Janji besok nggak terulang lagi."

Neima mematikan kompor. Dia ke kamar dengan langkah seribu.

"Malunya sudah terjadi!" desis Neima menutup kencang daun pintu.

Tiba di dalam kamar, Neima menemukan anak dengan seragam RA tergeletak di depan kipas angin.

"Lah dia tidur lagi."

Neima mematikan kipas agar si anak TK tidak masuk angin. Ia segera mengenakan pakaian batik muslim untuk hari ini.

"Hagia sarapan," panggilnya.

Neima sudah memakai hijabnya. Skin care rutin, bedak tipis, dan lipstik nude membuat wajah Neima lebih kelihatan hidup.

Neima mau tidak mau menyebutkan kalimat yang sekiranya membuat si anak sinetron bersemangat, "Om Ion sudah datang mau antar sekolah."

Hagia Hingga Janna langsung duduk. Hagia melihat bajunya yang masih basah sedikit, tapi tak terlalu terlihat. Jilbabnya juga sudah cukup kering.

"Om Ion-nya mana, Ne?"

"Di depan. Bawa sarapan, ya."

Hagia mengangguk semangat. Suaranya terdengar sampai kamar.

"Om Ion Om Ion, kata Neyi disuruh sarapan. Ayo, Om, kita sarapan dulu."

Neima mendengar langkah-langkah menuju ruangan makan. Ibunya Hagia itu juga melangkahkan kaki ke tempat yang sama. Diliriknya pria muda yang duduk di sebelah Hagia sedang menunduk. Kedua tangan lelaki itu saling menggenggam di atas meja.

"Om lihat baju Hagia basah."

Fashion mengalihkan pandangan kepada Hagia. Neima segera melarikan pandangannya dari wajah lelaki itu sebelum mata mereka kembali bertabrakan. Neima merasa ada yang tidak beres dengan jantungnya. Ia segera mengambil segelas air putih lalu meminumnya sampai habis.

"Basah kenapa?"

"Hagia cuci muka. Kata Nei duduk dekat kipas angin, Hagia jadinya ketiduran deh. Bajunya gak bisa kering."

Neima mengambil nasi goreng ke piring-piring. Ia meletakkan tiga piring di atas meja.

"Aulia!" teriak Neima setelah memberikan satu piring untuk tamunya.

Otaknya berkata untuk bersikap biasa saja, tetapi tubuhnya melakukan hal-hal lain. Neima berdiri di depan kompor, memasak air. Padahal ia tidak butuh air hangat. Neima segera mematikan kompor begitu airnya mendidih.

Di meja belum ada Aulia. Mulut Neima kembali berteriak. Pikirannya benar-benar berisik, bukan hanya mulutnya. Ia tidak bisa tenang.

"Nasinya nanti dingin," teriaknya lagi karena Aulia yang menyahut dari halaman mengatakan nanti.

"Om Ion nasinya dimakan, nanti dingin kata Nei."

Neima pun akhirnya duduk. Dua orang di meja juga belum memulai makan paginya.

"Kenapa belum pada makan?" tanyanya galak. "Makan cepat nanti terlambat!"

Mereka bertiga memulai sarapan dalam diam. Aulia belum menampakkan diri di ruangan itu bahkan sampai piring mereka kosong.

"Tas Hagia mana?" tanya Fashion saat mereka hendak meninggalkan ruangan makan.

Fashion menanyakannya kepada Hagia. Namun, Neima segera berlari ke kamar untuk mengambil barang yang dimaksud.

"Kakak sudah tidak ada yang ketinggalan lagi?" Fashion memastikan sebelum pergi.

Neima menoleh ke sebelahnya. Lalu menggeleng. Dia sempat mendapati senyum tersembunyi dari sang sopir. Neima semakin dicekam rasa malu.

"Sampai."

Suara Hagia di pangkuan Neima membuyarkan lamunan singkatnya.

"Tunggu di mobil saja," larang Neima waktu Fashion juga hendak keluar.

Neima tidak mendengar bantahan. Dia mengantar sang putri sampai depan kelas.

"Nanti Nei jemput, ya." Neima menginformasikan.

"Iya, Nei."

Neima kembali ke dalam mobil. Fashion kini berani menatapnya.

"Apa?" tanya Neima dengan nada judes.

"Kakak cantik seperti biasa." Kemudian lelaki itu tersenyum.

Apakah AC mobil mati, pikir Neima. Dia merasa wajahnya panas.

"Diam." Neima menoleh ke jendela.

"Terima kasih sarapannya ya, Kak."

"Sarapan apa?"

"Nasi goreng. Tadi sarapan makannya nasi goreng. Kakak lupa?"

"Cepat jalan. Kultum segera dimulai."

Ketika Neima menoleh ke sebelahnya, mata di balik lensa masih menatap ke arahnya. "Kamu lihat apa lagi, Fashion?!"

"Puas-puasin lihat Kak Nei."

"Ck. Orang gila! Kalau tidak jalan, aku jalan kaki saja." Neima mengancam akan turun.

Mobil pun akhirnya bergerak di jalan raya untuk mengambil arah berputar.

"Besok saya pulang. Sudah yakin Kak Nei nggak mau Ion ajak ketemu Mimi?"

"Tidak, Fashion. Enggak. Aku nggak mau. Itu nggak perlu."

"Iya iya, Kakak. Jangan marah-marah. Makin gemas kalau galak-galak gitu."

"Yooon!" Neima mencubit lengan orang di sebelahnya.

Yang mendapatkan cubitan justru meringis sambil tertawa.

"Sakit, Kak. Ion sedang bawa mobil, bisa bahaya Kakak cubit-cubit."

"Makanya mulutmu tidak usah ngasal kalau ngomong."

"Kakak mau saya bicara yang serius lagi seperti semalam?"

Neima menutup telinga dengan telapak tangannya.

****

Bersambung ....

6 Juni 2023

Hayo lohhhh Om Ion ngapainnn?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top