049 Patah Hati yang Sebenarnya

[049] Patah Hati yang Sebenarnya


Penyesalan selalu datang di akhir memang benar adanya. Kebanyakan orang telah tahu. Ketika memutuskan sesuatu, ia telah meyakinkan dirinya bahwa hal itu takkan menjadi penyesalan. Ada juga sebagian yang memang tergesa tanpa mempertimbangkan akhirnya. Keduanya sama-sama berpotensi berakhir pada sebuah sesalan. Seperti yang dirasakan Dika Alfareza. Semua yang ia lakukan kepada Neima Devira adalah kesalahan. Dika telah cukup lama menyadari dan kini ia ingin mengambil langkah berani. Berani mencoba menaklukkan Neima kembali. Sebab melihat polah Hagia, ia tak ingin berpisah lagi. Hagia miliknya. Jika Hagia miliknya, Neima pun harus bersamanya.

"Dari mana saja?"

Kepulangan Dika disambut tanya curiga. Ya, memang sepanjang harinya, begitulah yang dilakukan Delsa kepada Dika. Tiada hari tanpa rasa curiga. Dika sudah tidak ingin lagi memikirkan kebohongan. Ia lelah.

"Bukittinggi."

"Kenapa tidak mengabari? Kau tidur di mana? Kenapa nomormu tidak bisa dihubungi?"

"Aku tidak menghiraukan ponsel." Dika mengeluarkan benda itu dari saku celananya. Memperlihatkan kepada Delsa. "Mati."

Delsa menangkap ponsel yang baru saja Dika lemparkan. Sembari mencari pengisi daya, Delsa mengajukan pertanyaan-pertanyaan ringan.

"Siapkan saja, nanti aku makan," jawab Dika waktu Delsa bertanya apakah Dika sudah makan malam.

Tampilan layar depan ponsel Dika aktif saat Delsa menyambungkan pengisi daya ke listrik. Gambar perempuan kecil tersenyum lebar ke arah kamera membuat Delsa mendapatkan simpulan ke mana saja Dika selama dua hari.

"Hagia bukan? Anak yang pernah diceritakan Dito," ujar Delsa.

Dika sedang melepas kaus dalamannya memunggungi Delsa. Dika melayangkan pandangan ke ponselnya yang telah redup. Tapi dia tahu dari mana mulanya Delsa membahas nama itu. Dika memang baru memasang wallpaper layar kunci dengan wajah Hagia yang terlihat manis memakai seragam RA-nya.

"Hm." Dika melangkah menuju kamar mandi.

Sekeluarnya dari sana, setelah tubuhnya dibilas air dan kepalanya lebih segar, Delsa ingin mengganggunya lagi.

"Jadi apa yang sedang kau lakukan sekarang?"

Pertanyaan Delsa membuat Dika hanya mengerutkan alisnya. Ia menebak maksud pertanyaan Delsa, tetapi enggan membahasnya duluan. Dika memilih pakaian untuk ia kenakan sebelum lirikannya jatuh ke tempat tidur. Pakaian itu telah disiapkan Delsa di sana. Dika segera mengenakannya. Sementara Delsa duduk di sisi lain dengan kedua tangan terlipat di dada.

"Kau mulai tidur di rumah mantan istrimu?" tebak Delsa.

"Sepertinya iya." Dika merapikan kerah kemeja tidurnya di depan cermin.

"Sepertinya iya?" Delsa menatap Dika dengan mata tajam yang memerah. Ia berdiri membelakangi cermin, hanya beberapa senti dari wajah dari Dika.

"Apa kau gila?" Delsa menahan suara teriakannya.

Dika menggeleng. Dia menghunus mata Delsa. "Justru karena aku sadar. Aku sadar perasaanku masih tertinggal padanya."

"Ka-kau!" Delsa sudah hampir berkaca-kaca. Ia segera menghindar dari Dika.

"Tidak akan kubiarkan kau melakukan ini padaku!" kecam Delsa dengan suara lebih keras setelah beberapa saat. "Orang bodoh mana yang mau menerima pria sepertimu kecuali aku? Dia takkan mau kembali denganmu. Aku bersumpah!" Delsa menaikkan sebelah sudut bibirnya.

Delsa memang telah menjadi bodoh. Bagaimana lagi? Dia tidak bisa menyerah sampai di sini setelah semua yang dia lalui. Delsa tidak perlu cinta asalkan hidupnya dan sang putra tercukupi, baik itu uang maupun keberadaan Dika di sisi mereka. Delsa akan mengupayakan apa saja untuk menahan Dika selalu bersamanya. Delsa tahu si keparat Dika hanya memedulikan Dito. Walaupun menunjukkan raut tidak suka, Delsa melihat kasih sayang Dika kepada Dito dari tatap diam-diamnya ketika sang putra tertidur.

"Aku tidak butuh pendapatmu." Dika keluar kamar, meninggalkan ponselnya.

Delsa mengaktifkan ponsel yang memang tidak pernah memiliki pin itu. Dika tidak memiliki sesuatu yang patut dicurigai selama menikah dengannya. Kali ini Delsa memeriksa perpesanan Dika dengan mantan istrinya. Sesuai pikirannya, Dika pernah mengirim pesan kepada wanita itu, sayangnya tanpa balasan sekali pun. Dika hanya bertanya keberadaan wanita itu beberapa kali dalam waktu dekat ini.

Delsa men-dial nomor atas nama Nei itu dengan jantung berdebar. Tentu saja nomor yang dituju tidak menjawab. Delsa kembali menelepon. Dan lagi tidak dijawab. Sekali dan pada akhirnya diangkat dan dijawab oleh suara perempuan tak ramah.

"Cepat katakan apa maumu aku tidak akan menyia-nyiakan waktuku untuk manusia tidak punya otak sepertimu!"

"Aku Delsa. Aku ingin menemuimu."

"Siapa Delsa? Apa ini bukan nomor Dika?" Suara perempuan itu terdengar bingung dan berubah nada agak sedikit lembut.

"Betul nomor Dika. Aku is-istrinya. Aku ingin bertemu denganmu. Bisa?"

"Mau apa? Aku tidak ada kepentingan dengan Dika maupun dengan istrinya."

"Ada! Ada hal yang sangat penting. Bisa beri aku waktu bertemu kamu? Kamu yang menentukan tempat dan waktunya."

"Oke."

"Nanti aku hubungi lagi dengan nomorku. Terima kasih." Delsa segera menghapus riwayat panggilan dan mengirim nomor Neima ke ponselnya lalu menghilangkan jejaknya.

Merendahkan dirinya pun akan Delsa lakukan demi memupus segala rencana dalam kepala Dika.

Di tempat lain Neima mematung setelah mendapatkan telepon. Satu nomor baru mengirimkan pesan perkenalan namanya.

"Wow! Mereka kompak sekali!"

Setelah diganggu oleh suami, sekarang oleh istri. Neima jadi penasaran bagaimana bentukan perempuan yang bersama Dika sekarang. Mungkin wanita itu jualah yang menyebabkan kelakuan Dika dahulu berubah. Bisa ada kemungkinan bukan?

Neima Devira

[Sabtu siang aku akan kirimkan lokasinya.]

Delsa

[baik]

Kini arah tatapan Neima kembali tertuju kepada tamunya. Dia baru saja membukakan pintu untuk si lelaki saat ponselnya berdering berkali-kali. Dan kini orang yang Neima abaikan karena bertelepon masih berdiri di pintu.

"Sekalian saja mundur, masuk mobil, jalan pulang. Masuk selimut. Tidur."

Tamunya terkekeh. "Eh, jangan dulu. Pilih maju masuk lalu duduk saja." Dia melakukan semua yang dikatakannya hingga kini sudah duduk tampan di kursi ruang tamu Neima.

"Duduk saja?"

"Sambil bicara-bicara."

Senyuman Neima menyimpul, hanya tipis dan sebentar. "Bicara apa?" Rautnya datar kembali.

"Bicara apa, ya?" Tamunya menggaruk kening dan bertanya ke diri sendiri. "Hm gak usah bicara, deh. Yang penting sudah datang," simpulnya sambil tersenyum.

"Gak penting datang," ralat Neima, sengaja memancing. Kalau dulu dia kesal lelaki itu datang dan selalu melayani dengan jutek, sekarang Neima lebih suka bersikap jutek agar lawan bicaranya kesal.

"Jadikan penting mulai sekarang. Pokoknya setiap hari akan ada kunjungan."

"Tiap hari ke sini mau ngapain? Siang, sore, malam? Kayak nggak punya kehidupan pribadi aja."

Lelaki itu lantas menyambar, "Kehidupan pribadinya kan ada di sini. Hehe."

Tawa di ujung kalimat tersebut membuat Neima merasa gemas.

"Bilangin Mimi loh anaknya suka ngapelin janda-"

"Kakak ngomong apa sih?" Suara lelaki itu terdengar tidak suka. Menyentak Neima sampai senyuman Neima luntur.

"Mau lapor sama ibu kamu. Aku masih ingat. Tolong bimbing Fashion, ya, katanya waktu itu."

"Kak Nei sekarang suka bercanda, ya," sindir Fashion.

"Siapa yang bercanda? Ini serius sekali tau," balas Neima.

"Nih, Kakak ingin langsung bicara ke Mimi?" tantang Fashion.

Lelaki bercelana panjang itu kena lempar bantal.

"Gak usah main ancam makanya, Kakak Cantik."

Neima langsung mengusap rambutnya dengan kerlingan sok cantik. Fashion menggeleng-geleng.

"Hagia ... mana?" tanya Fashion menyadari rumah itu sepi. Kepalanya celingak-celinguk ingin menemukan bocah sinetron.

"Keluar beli martabak."

"Dengan Aulia?"

"Siapa lagi?" balas Neima sewot. "Kau pikir ada bocah ingusan mengajak keluar anak yang baru sehari masuk TK itu?"

Fashion lantas tertawa. "Kak Nei ... basa-basi. Ya ampun."

"Ya ampun, tidak perlu ditanyakan."

"Iya iya, demi Kakak. Pertanyaannya yang pasti-pasti saja."

Neima menyelipkan rambutnya, memiringkan telinga, seolah pertanyaan itu sangat penting. "Contohnya? Satu saja yang pasti sebenarnya, matematika," jawab Neima langsung.

Fashion berdecak. "Kak Neima bersedia kalau misalnya Ion ajak jalan-jalan ke rumah Mimi?"

"Apa?" Neima bukan tidak jelas. Pertanyaan itu muncul akibat rasa kagetnya dan tak percaya.

"Kak Nei, Ion ajak ke rumah Mimi dengan Hagia, mau nggak?"

"Assalamualaikum." Suara salam panjang dari Hagia bertepatan dengan berakhirnya pertanyaan Fashion.

"Kumsalam." Neima segera menarik lengan Fashion sampai lelaki itu berdiri.

"Eh, ada Om Ion. Halo, Om Ion," cengir Hagia dengan kedua tangan melambai-lambai.

"Hai," balas Fashion yang lengannya masih dicekal ibunya Hagia.

"Om Ion udah mau pulang," jelas Neima menarik Fashion keluar.

"Lah, belum kok!" protes Fashion sementara Neima masih berusaha mendorong punggungnya.

"Udah kalau kau ngomong yang aku nggak suka."

Mereka tiba di teras depan.

"Kak Nei sukanya apa? Kalau Ion sukanya sama Kak Neima."

Neima menepuk keras di depan wajah Fashion. Fashion menutup mata yang dikira akan ditampar itu. Tangannya menjalar ke dada menahan rasa kaget.

"Ngomong lagi yang macam-macam!"

Fashion agak membungkuk untuk merendahkan wajahnya. "Ion menyukai perempuan yang suka marah ini." Kemudian ia segera tegak tegap menyelamatkan bibirnya dari gamparan.

"Akhir minggu ini ikut Ion pulang ya, Kak?" tanyanya yang tidak menyurutkan keberanian melihat mata Neima sudah melotot. "Hagia-"

Neima yang sejak awal tahu akal-akalan Fashion akan memanfaatkan Hagia segera menginjak kaki lelaki itu.

"Nggak ada Hagia Hagia."

"Om Ion kenapa cepat sekali pulangnya? Hagia mau cerita banyak loh, Om Ion." Hagia muncul di antara dua orang yang berdebat itu.

Hagia menarik tangan Fashion hingga tangan kecilnya tenggelam. Sementara Neima di depan mendapatkan senyuman kecil dari lelaki yang baru saja membuatnya emosi dan kesal itu.

"Iya Om Ion ke sini mau bicara-bicara yang banyak," kata Fashion jelas menyindir Neima di luar.

"Lanjutkan, Bapak," seru Aulia dengan wajah semringah. "Jangan pantang menyerah, kerahkan segala upaya. Bersatu kita teguh bercerai kita rusuh!" Aulia mengepalkan tinju diikuti Hagia. Aulia sembunyi di kamarnya sendiri setelah memakan sepotong martabak.

"Nih untuk Om Ion, Hagia beli dengan Kak Aulia." Hagia mendorong kotak martabak hangat itu.

Wanginya sampai ke hidung Fashion. "Wah kelihatannya enak. Terima kasih."

"Om makan, Hagia cerita. Oke?"

Fashion segera mengambil sepotong makanan yang ditawarkan.

"Om Ion Om Ion," bisik Hagia. "Om Ion mau tak tidur di rumah Hagia juga?"

"Om Ion nggak bisa," jawab Fashion dengan berbisik juga.

Hagia merengut. "Hagia mau diantarin Om Ion." Hagia memajukan bibirnya dengan lehernya yang dimiringkan ke pundak kirinya. Gaya baru anak sinetron merajuk. Fashion yakini itu ia dapatkan dari teman sekolahnya.

"Om Ion datangnya pagi-pagi sekali, bisa antar Hagia dulu kok."

"Nei nggak bolehin Om Ion, ya? Kenapa kalau Dedi boleh? Pas mau berangkat sekolah tadi, Hagia tunggu-tunggu Om Ion. Tapi kata Nei berangkat sama Dedi aja. Ya udah sama Dedi. Pulangnya Hagia mau diantar Om Ion, kata Nei sama Dedi lagi. Dedi kan sudah nggak ada sekarang, berarti Om Ion boleh dong tidur di sini? Terus Om Ion nggak bisanya karena apa?"

Kata-kata panjang Hagia hanya berdengung di telinga Fashion. Tubuh lelaki berkemeja lengan pendek itu menegang. Kakinya seketika kaku saat pikirannya menyuruh untuk beranjak dari sana.

"Om Ion Om Ion." Hagia menepuk-nepuk lengan lelaki yang terdiam itu.

"Om Ion sudah mau pulang itu, Hagia," jelas Neima dengan senyuman tipis. Punggungnya yang bersandar di kusen pintu dengan tangan berlipat itu segera terurai. Neima berjalan ke dalam.

"Kalau Om Ion mau pulang aja, ya, udah. Ayo, Om, Hagia temani keluar." Hagia menarik lengan Fashion.

Fashion mengangguk. Dia berdiri tanpa melihat ke area dalam rumah, tanpa menoleh sekali lagi setelah memasang sandalnya di depan rumah.

"Hati-hati, ya. Jaga Ibu dengan baik," pesannya sebelum meninggalkan rumah Neima.

Dalam perjalanan air matanya yang dikira sangat mahal, kini menggerimis. Ia merasa cengeng, tetapi tidak menampik hal itu. Kita baru sadar sifat kita sendiri ketika berada pada kondisi tertentu. Dan itu hari ini. Fashion merasa remuk mendapati kenyataan di depan nyata. Padahal baru hari ini dirinya bertekad ingin mengenalkan Neima kepada Mimi. Semuanya segera pupus dalam satu waktu. Apa yang dirinya saksikan hari ini merupakan kenyataan yang paling pahit, tetapi bahagia bagi orang lain. Sama sekali tidak ada penjelasan menolak dari Neima. Pantas Neima justru menolak keras ingin diajak ke rumah Mimi. Fashion ingin tertawa, tetapi masih air mata yang keluar.

***

Bersambung ...

Sumsel, 4 Juni 2023

Ternyata sudah 50 bab aja. Ceritanya santai ya gak pake konflik sampai harus adu urat gitu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top