046 Kedatangan Tamu Tengah Malam
Sejak acara menginap di rumah Neima, yang tentu saja aman-aman saja mengingat bagaimana Fashion bersikap teramat mulia kepada makhluk segender dengan miminya, hubungan kedua insan yang bukan pasangan romantis itu semakin akrab. Catat, semakin akrab. Selama ini merekalah yang paling dekat jika dibandingkan dengan pertemanan yang Neima jalin dengan rekan kerja lainnya. Neima dan Fashion sejak awal bukan hanya tetangga semeja, satu angkatan CPNS, atau pelanggan setia Hagia Laundry. Neima tanpa disengaja telah membuka bahkan membagi sedikit hidupnya kepada lelaki yang seringkali terlihat menggemaskan di matanya itu, meskipun hanya berakhir menjadi bahan ledekan bagi Neima demi menyangkal kebenarannya.
”Yes! Hagia sekolah!” Fashion sedikit membungkuk supaya Hagia dapat membalas tos-nya.
”Yes! Hagia kalau gitu udah besar!” ujar si anak sinetron girang. ”Ya kan?” tanyanya ragu ketika melihat Neima menggeleng.
”Iya.”
Hagia mengajukan keberatan, ”Tapi Nei geleng-geleng kepala. Artinya Hagia belum besar?” Hagia mengambil kesimpulan yang salah.
”Ibu saking senangnya, sampai bingung ingin berkata apa,” jelas Fashion pelan. ”Yes, Hagia sudah sekolah. Yes, Ibu tidak sabar mengantarkan Hagia di hari pertama. Yes, anak Ibu sangat cantik pakai seragam sekolah. Yes, Hagia pasti makin pintar setelah sekolah. Dan masih banyak lagi sampai Ibu cuma bisa menggeleng-geleng seperti itu. Hagia paham tidak?” tanya Fashion, sedikit menyesal telah meledakkan begitu banyak kosakata kepada anak yang baru akan masuk TK itu.
Hagia mengangguk pelan–agak macet. ”Hagia paham-paham aja deh,” jawab anak itu kalem.
Neima gemas, meremas lengan atas gadis manis berpipi bulat tersebut. ”Jadi, apa kau ingin makan sesuatu sebelum kita ke rumah?” Neima melirik ke sebelahnya. ”Om Ion pasti tidak keberatan mentraktir calon anak TK ini.”
Di sisi lain, ada kebahagiaan baru di hati pemuda manis berkemeja batik tersebut. Jika dahulu Neima paling anti dibayari makan setelah ditawari berkali-kali, sekarang malah Neima sendiri yang mengusulkan. Demi Mimi yang saat ini sedang kebingungan karena putranya jarang mudik, Fashion akan menyatakan bahwa hari ini tercatat dalam sejarah hidup Fashion sebagai momen bahagia. Langkah kecil yang ia lakukan akan membawa Fashion kepada tujuannya.
”Pasti. Om Ion sangat senang kalau Hagia jujur sama Om Ion mau makan apa. Apa saja yang bisa dimakan.”
Anak kecil dengan jilbab hijau mint itu menggembungkan pipinya yang sudah bulat.
”Lama sekali mikirnya. Hagia butuh bantuan Om Ion untuk memberikan ide makannya?” tawar Fashion.
”Enggak perlu. Hagia mau makan masakan Nei aja. Boleh nggak, Nei?” pinta anak itu menengadah kepada Neyi-nya.
”Boleh-boleh aja. Tapi emangnya kamu nggak mau makan di luar sekali-sekali?”
Fashion juga merayu bocah pendrama itu.
”Nggak mau. Kapan-kapan aja,” tolak Hagia, memepetkan dirinya ke lengan Fashion. ”Om Om, apa Om Ion juga baik sama anak lain?” tanya Hagia dengan mata polosnya menatap Fashion. ”Sini, Hagia mau nanya penting.” Anak itu meminta Fashion agar kembali membungkuk supaya dia tidak susah menengadah sampai lehernya pegal.
Fashion dengan wajah seriusnya menuruti keinginan gadis kecil yang teramat lucu itu. Sebelumnya, Fashion menengok dulu ke Neima yang memberikan respon mengangkat bahu.
Hagia membisikkan sesuatu, ”Tadi Hagia lihat Om Ion elus kepalanya orang lain.”
Fashion belum menanggapi karena posisinya masih menyampingi Hagia. Bibir Hagia berada di dekat telinga Fashion ditutupi oleh jari-jarinya yang montok.
”Om Ion mau teraktir orang itu juga? Hagia apa masih boleh sayang sama Om Ion?”
Fashion bertemu anak lain yang sedang diantarkan ibunya untuk mendaftar di sekolah yang sama. Gadis seusia Hagia itu mengulurkan sesuatu kepada Fashion. Setelah diterima, benda itu adalah sebuah jepit rambut. Fashion agak merunduk dan mengelus kepala anak yang ditinggal berbincang oleh ibunya dengan panitia pendaftaran siswa baru.
”Jepitannya cantik. Adik bisa memakainya nanti di rumah setelah jilbabnya dilepas. Simpan dulu, ya.”
Fashion menyerahkan lagi jepitan berhiaskan bunga mawar dan muka panda kepada pemiliknya. Ternyata interaksinya disaksikan oleh Hagia.
”Om Ion selalu sayang sama Hagia. Hagia bebas menyayangi Om Ion sampai kapan pun.”
”Tapi Om Ion nggak mau tidur lagi di rumah Hagia. Kata Kak Aulia, orang yang kita sayang harusnya tinggalnya bareng-bareng kayak Kak Aulia sama Hagia.”
Fashion gantian membisiki Hagia, ”Belum bisa, Hagia. Nanti, Hagia sabar dulu, ya, sampai Om Ion boleh bermalam di rumahnya Hagia lagi. Waktu itu Om Ion sakit, nggak ada yang jagain di rumah sendiri.” Padahal ada tetangga yang rela begadang menemani Fashion. Semoga kalimatnya barusan tidak sampai terdengar oleh Bang Amir yang dipanggil Om Ganteng oleh Hagia.
”Om Ion boleh kok. Kata Kak Aulia, sering-sering aja.”
Fashion nyaris menganga saat menyadari sesuatu. Aulia memiliki peran jahat dalam meracuni pikiran Hagia.
”Haha. Kalau Hagia aja yang di rumah Om Ion gimana? Rayu ibunya sampai mau. Oke?”
Kemudian Hagia menatap Neima yang tidak dapat menyimak diskusi kedua manusia beda generasi itu.
”Iya oke sangat!” jawab anak sinetron dengan nada semangat.
”Apa itu, Hagia?” tanya sang ibunda.
”Nggak.” Fashion berdiri lurus segera membungkam bibir Hagia yang ingin menjelaskan duduk perkaranya. ”Kita belanja bahan masakan biar Ibu bisa masak yang enak.”
”Hore!” Hagia sangat girang mendengar nada yang lebih semangat keluar dari bibir si Om.
Ketiga orang itu mendatangi kedai sayuran segar di pinggir jalan dekat rumah sewaan Neima.
”Nei Nei. Ada ikan panjang,” tunjuk Hagia ke dalam baskom berair.
Neima yang tanpa persiapan seketika terlonjak melihat ratusan belut bergerak dalam wadah itu. Pekikan meluncur bebas dari bibirnya. Jantung Neima terasa marathon bebas kemudian semakin lari dengan kencang hingga detakannya beribu kali kecepatannya. Wanita itu mencengkeram lengan Fashion dan sembunyi di balik punggung lebar lelaki itu.
”Astaga! Itu bukan ikan, Hagia!” protes Neima masih merasakan ketakutan.
”Kalau bukan ikan, terus apa? Dalam air kan ikan, masa ular yang dalam air?”
Neima geregetan, ”Ular juga ada dalam air. Kau saja yang belum lihat. Tapi itu tadi bukan ikan. Nggak ada ikan sejelek itu, Hagia!”
”His tak baik tak baik. Nei suka ngatain orang jelek. Tak baik,” sela Hagia.
”Belut bukan orang!” Neima masih tidak mau kalah.
Siapa yang membuat Hagia menjadi sekritis ini? Neima tidak punya kapasitas setinggi itu untuk menurunkannya kepada Hagia. Neima tergolong manusia dengan IQ jongkok, sepengetahuannya.
Kedua ibu dan anak itu terdiam mendengar tawa dari sosok lelaki yang bajunya ditarik Neima.
”Lucunya!” komentar Fashion yang cuma berani mencubit pipinya Hagia. Mana berani Fashion melakukannya kepada Neima, walaupun dia ingin. Neima sangat lucu di matanya. Makin hari makin lucu saja dan membuat Fashion semakin menyukai Neima.
”Pokoknya jangan pernah suruh Nei melihat belut lagi!” perintah Neima dengan nada galak. ”Aku nggak mau masak kalau kau masih melakukannya.”
”Iya iya Hagia nggak ajak Nei lagi lihat gelut.”
”Hagia itu bukan gelut. Belut,” koreksi Fashion.
”Iya iya,” kata Hagia terdengar pasrah. Dia melihat ibunya yang masih sembunyi di balik punggung Fashion. ”Nei, Hagia mau makan mata sapi kuningnya dua. Putihnya nggak mau.”
Neima mulai berdamai. Dia mengusahakan matanya untuk menghindari melirik ke arah wadah yang berisi makhluk mengerikan itu. Padahal kalau Hagia cuma ingin dibikinkan telur mata sapi, di kulkas banyak telur ayam. Neima tak perlu senam jantung menyaksikan gerakan-gerakan gemulai sekawanan belut cokelat seperti tadi. Dan … tak perlu menempel kepada lelaki yang tak pernah mengambil kesempatan dalam kesempitan di setiap kedekatan yang terjadi antara mereka.
***
Hari pertama Hagia sekolah akan terjadi beberapa jam lagi. Saat ini pukul sembilan malam sudah waktunya mata anak sinetron terpejam. Namun, kelopak milik Bahagia Hingga Janna malah terlihat sesegar mawar di pagi hari.
”Anak kecil! Waktumu untuk tidur!”
Hagia menutupi wajahnya dengan selimut.
”Aku tahu kau hanya pura-pura tidur. Beneran tidurnya,” ucap Neima melihat Hagia dari balik cermin.
”Mata Hagia nggak ngantuk, Nei. Hagia belum bisa tidur.”
Neima menutup wadah krim malamnya setelah meratakan ke seluruh wajahnya. Segera ibunya Hagia itu naik ke tempat tidur. Neima berbaring memeluk guling.
”Bunga apa yang kau sukai, Hagia?”
Neima pernah melihat Aulia mengajak Neima menonton hal-hal tentang bunga. Jadi, meskipun Neima belum pernah mengenalkan dan melihatkan secara langsung, Hagia cukup tahu nama-nama dan bentuk bunga.
”Sun flower.”
Neima berdeham. ”Baiklah, bunga matahari. Kenapa kau menyukainya?”
”Hm ….”
Hagia sekali, pikir Neima. Anak itu kalau diberi pertanyaan akan berpikir keras.
”Sun flower cantik seperti Nei.”
Neima memiringkan tubuhnya masih memeluk erat bantal guling. ”Semua bunga itu cantik, Hagia.”
”Iya. Tapi Hagia sukanya sun flower aja. Warnanya kuning.”
Neima tertarik. Dia sengaja mengajak putrinya mengobrol sebelum tidur. Waktu sedang asyik berbincang, Neima akan mengusap-usap punggung Hagia hingga anak sinetron mengantuk dan tertidur.
”Sekarang kuning. Kuning telur, kuning mangga, kuning bunga matahari. Kau sangat suka warna itu, Hagia.”
”Emangnya nggak boleh, Nei?”
Neima mulai mengusap punggung Hagia. ”Sangat boleh. Nei cuma heran aja. Kau suka warna kuning, bukan pink, ungu, hijau, atau merah.”
”Kalau Nei suka warna apa?”
”Hitam dan putih.”
Hagia membulatkan mulutnya. ”Putih sama hitam tidak cantik, Nei.”
”Iya tapi Nei sukanya putih dan hitam aja.”
”Emangnya Nei nggak suka Hagia?”
Neima tertawa. ”Suka. Kenapa?”
”Nei bilang sukanya putih dan hitam aja. Berarti nggak suka Hagia.”
Neima berseru, ”Itu konteksnya sudah berbeda, Hagia.”
”Kotek apa, Nei?”
Neima mengelus punggung Hagia lebih kencang--hampir mengguncang badan anak itu.
”Keadaannya beda. Kita lagi bicara warna yang disukai. Kalau kita bicara orang yang disukai, baru jawabannya ’Nei sukanya Hagia aja.’ Paham tidak, Hagia?”
”Ooh. Paham paham paham. Hagia sukanya Nei, kakek, nenek, Kak Aulia, Om Ion. Banyak, Nei. Tapi Hagia paling suka Nei. Hagia sayang Nei, tapi sayang Om Ion juga,” tambah Hagia.
”Kenapa kau sayang Om Ion, Hagia?” tanya Neima dan menyadari terdapat debaran yang datang tiba-tiba. Berbeda dari detakan normalnya.
”Hm ….” Hagia lagi-lagi sok berpikir. ”Om Ion cantik seperti Nei. Baik seperti Nei. Sayang Hagia seperti Nei.”
”Om Ion laki-laki, tidak disebut cantik, Hagia.”
Hagia mengerucutkan bibirnya. ”Tapi Om Ion cantik. Waktu Hagia pasang jilbab Nei, Om Ion jadi tambah cantik.”
”Kapan kau pasangkan Om Ion jilbab milik Nei? Om Ion-nya mau?” Neima membayangkan Hagia dan Fashion bermain masak-masakan dan rumah-rumahan.
”Di rumah Om Ion waktu itu. Nei lagi tidur. Om Ion juga tidur. Hagia mau kagetin Om Ion biar waktu Nei bangun marah-marah karena jilbabnya dipakai Om Ion.”
Hagia menguap. ”Untung nggak jadi. Nanti Nei marahin Om Ion, terus Om Ion nggak jadi sembuh. Hagia ngantuk.”
Neima diam. Namun, ketukan di luar pintu menyebabkan mata Hagia kembali terbuka.
”Om Ion?” tanyanya, menyibak kain selimut dan turun dari tempat tidur.
Neima secara tak sadar merapikan pakaiannya; piyama satin dengan lengan pendek dan celana panjang. Juga mengikat rambut panjangnya. Tidak ada yang mengharuskan Neima mengecek wajah ke cermin sebab sebelumnya sudah duduk di depan cermin untuk memasang skincare malam. Namun, Neima melakukannya. Sementara itu, Hagia sudah hilang dari kamar beberapa detik yang lalu. Saat ini sudah memasuki menit kedua saat Neima hendak keluar juga dari kamarnya.
Dua orang yang Neima temui di ruangan tengah, salah satunya Hagia. Satunya lagi adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tak pernah Neima harapkan untuk dilihatnya lagi.
”Katanya Dedi mau tidur di rumah kita,” lapor Hagia.
***
Bersambung....
12 Mei 2023
Nggak seru kalau nggak ada Dedi ye nggak? 😄😄😄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top