045 Tawaran Menginap
”Minggu ini Ion nggak pulang.”
Fashion Klein rebahan di atas single bed-nya yang tanpa ranjang. Telinganya tertempel headset bluetooth. Anaknya Mimi Riris itu memeluk guling terlihat nyaman dengan posisinya. Lelaki yang hanya bercelana pendek dan T-shirt lengan pendek itu matanya terpejam. Sejak pulang jumatan, pusingnya balik lagi. Itulah yang membuat Fashion memutuskan tidak pulang ke rumah Mimi.
”Jajan es berapa banyak sampai demam hah?” tanya suara laki-laki di seberang.
Bibir Fashion mengerucut mendengar pertanyaan abang tetangga yang tak lain sahabatnya. Memangnya Arjun pikir Fashion ini anak kecil.
”Mimi jangan dikasih tahu keadaan Ion. Bilang aja Ion ada banyak tugas.”
”Kalau Te Ris telepon? Suara lo lemes kayak badan cicak, nggak mungkin Te Ris nggak tahu bayinya sakit.”
”Kan Ion alasannya sibuk. Ion cuma bisa balas pesan Mimi.”
”Berobat, Yon. Di sana nggak ada yang jagain kamu.”
”Ion cuma demam sedikit. Ion udah dewasa, perlakukan dengan benar.”
Arjun tertawa di seberang sana. Tawa lepas dan lama, membuat Fashion sangat sebal. Dia tahu bahwa dirinya tengah ditertawakan oleh abang-abang tetangga yang bermimpi menjadi bapak sambungnya.
”Baik, Pak Guru Ion. Istirahat yang cukup. Makan yang benar. Mungkin sedikit perhatian dari si dia bisa bikin Pak Ion membaik.”
Fashion cuma bisa menghela napas. Ah, Neima itu. Setelah menyatakan perasaan dengan gagah berani, Fashion ingin sering-sering ke rumah Neima. Mengesankan ibunya Hagia supaya hatinya terbuka sedikit demi sedikit. Kondisi fisiknya membuat Fashion harus bersabar dulu.
”Mimi sehat, Bang?”
”Seperti biasanya. Tapi kalau tahu anak gemoy-nya lagi sakit, mungkin Te Ris nambah pikiran.”
Sekali lagi, ucapan Arjun membuat bibir Fashion mencebik kesal.
”Titip Mimi ya, Bang.”
”Titip jaga badan lo, Yon. Kabarin apa aja yang kamu alamin, jangan disimpan sendiri.”
”Iya. Malam ini pasti sembuh.”
”Ya sudah kalau begitu aku ke tempat Te Ris.”
Arjun memutuskan sambungan telepon. Fashion yang ditinggal Arjun melihat jam pada sudut kanan atas layar datar sebelum meletakkan benda pipih dan canggih itu. Belum sempat tidurnya dimulai, pengeras suara masjid menyeru untuk beribadah.
”Yang wajib dulu.” Fashion melangkah ke kamar mandi.
Sentuhan kulit dengan air mengagetkan pemuda itu. Fashion menahan dinginnya kulit sampai proses wudunya selesai.
”Ya ampun, sedingin itu.”
Fashion menunaikan salat Asar dalam kamar kosnya. Begitu selesai berdoa, Fashion menarik selimut.
”Semoga bangun tidur langsung sehat.”
Lain yang diharap, lain yang didapat. Anak semata wayang Mimi Riris itu mengalami demam tinggi di tengah malam. Tubuhnya menggigil. Ingin menambah selimut, kepalanya sangat pusing.
Sementara itu, di atas tempat tidur Arjun Hilabi Aksa, pemuda itu belum memejamkan mata. Ia mengkhawatirkan anaknya Mimi Riris. Ini sudah tengah malam, tak mungkin Arjun mengetuk pintu rumah Riris demi meminta kontak tetangga Fashion. Sesal kini terasa dalam hati pemuda hitam manis itu. Coba dari awal dia juga menyimpan nomor orang-orang terdekat Fashion. Dia membutuhkan tetangga kos Fashion untuk mengecek keadaan anaknya Tante Riris.
Akhirnya, dia memanggil ke nomor Fashion langsung. Beberapa kali tidak dijawab. Arjun melakukan terus sampai dijawab. Dia bertekad meskipun Fashion lagi tidur sekali pun, Arjun ingin Fashion mengatakan kepadanya.
Panggilan diangkat. Napas lega Arjun tak bertahan lama. Arjun hanya mendengar suara erangan kecil.
”Lagi ngapain, Yon?” Arjun selipkan candaan saat pikirannya lagi panik-paniknya. ”Punya nomor orang sebelah nggak?” tanyanya.
Tak lama kemudian Arjun menerima sebuah kontak yang diberi nama Bang Amir oleh Fashion. Langsung saja Arjun mengirim chat perkenalan. Tanpa tunggu balasan Amir, Arjun juga mengirimkan permintaan tolong untuk Fashion yang demam. Chat itu belum dibuka. Kemungkinan pemilik nomor lagi asyik di alam mimpi. Mengingat jam menunjukkan pukul dua malam. Pewaris rumah makan padang itu gusar. Kalau saja jarak Padang dan Bukittinggi itu dekat, sudah sejak tadi Arjun mengarungi jalan raya menuju kosan anaknya Tante Riris. Masalahnya Fashion membutuhkan pertolongan pertama sekarang juga, bukannya tiga jam lagi.
Amir Tetangga Ion
Oke
Akhirnya dibalas juga.
Fashion mendengar pintunya diketuk beberapa kali. Dengan mengerahkan kekuatan, melupakan sakit kepalanya, Fashion beringsut ke pintu. Memutar kunci dan sedikit berdiri untuk menarik gerendelan pintu sebagai pengaman rangkap.
”Panas sekali.” Amir, pegawai bank, yang juga kos di rumah petak tersebut memapah Fashion ke tempat tidur.
”Nggak pakai baju layak pula. Yon Yon,” gelengnya.
Amir membuka lemari kecil dan mengambil jaket tebal yang tergantung. Ia melihat di gantungan juga ada celana olahraga yang bahannya tebal. Amir meminta Fashion memakai celana sendiri sementara dirinya memasangkan jaket pada tubuh tetangga kosnya itu.
”Kita ke dokter.” Amir memapah tubuh lunglai lelaki yang berusia lima tahun di bawahnya itu. Memasukkan ke jok belakang mobilnya.
***
”Om Ion, ooooi, Om Ion. Hagia nih. Buka pintu doong, Om Ion.” Hagia mengetuk pintu rumah Fashion seketika sepeda motor ibunya berhenti di halaman kos-kosan itu.
”Nei, kok nggak dibuka?” Hagia menoleh ke belakang di mana Neima duduk di atas sepeda motor.
Sehabis salat Subuh tadi, Hagia melantunkan doa yang sama agar bisa bertemu Fashion. Betapa senangnya anak sinetron ketika ibunya malah mengajak mereka mendatangi kediaman lelaki itu.
”Kuat lagi.”
Hagia mengangguk.
”Om Iooon! Bangun bangun! Hagia sama Nei di luar. Sarapan yook, Om Ion.”
Pintu terbuka. Seorang pria bertubuh tinggi dan atletis berambut front puff memegang daun pintu. Pria itu berkaus putih dan celana hitam panjang. Seulas senyum dia berikan kepada Hagia.
”Om Ganteng, ada Om Ion tak?” tanya Hagia yang mendongak.
Amir membuka pintu lebar-lebar. ”Ada.”
”Nei. Om Ion-nya ada.” Hagia melapor sembari berjalan ke kendaraan roda dua ibunya. Hagia mengambil kantung yang tergantung di sepeda motor.
”Om Om. Hagia mau sarapan sama Om Ion. Om ikut, ya,” ajaknya. ”Nei! Ayo sini.”
Neima menstandarkan kendaraan roda dua di halaman. Berjalan ke pintu kosan Fashion. Wanita yang memakai jaket dan jilbab pasmina itu mengulas senyum kepada pemuda yang membukakan pintu untuknya dan Hagia.
”Ion masih tidur. Demamnya udah mulai turun sejak dua jam lalu. Masuk aja, Kak.”
Amir juga mengambil duduk di atas tempat tidur Fashion agar tempat di lantai lebih luas bagi ibu dan anak itu.
”Badannya panas, ya?” tanya Neima.
”Semalam, iya. Sekarang,” Amir menyentuh leher Fashion, ”agak mendingan setelah dibawa ke dokter.”
Neima mengangguk. Dia memandang wajah pemuda yang sedang tidur itu.
”Kami membawa makanan. Ini untukmu. Makanlah.”
Amir hanya tersenyum. Lantas dia menggeleng.
”Kalau boleh, saya ingin tidur saja. Boleh minta waktu Kakak dan adik sebentar di sini menunggu Ion, Kak?”
”Bawalah kotak ini. Sarapan dulu sebelum tidur.”
Amir menerima kotak styrofoam dari Neima. ”Ion pasti kaget waktu bangun,” ucapnya.
Neima hanya menatap datar kepada pemuda itu.
”Nama adik siapa?” tanya Amir sebelum pergi.
”Hagia.” Hagia mengulurkan tangannya. ”Nama Om Ganteng siapa?”
”Om Amir.”
Hagia tersenyum lebar. ”Nama Nei, Neima. Nei punya londri loh. Om Amir kalo capek cuci baju sendiri, ke rumah Hagia kayak Om Ion, ya.”
”Pasti,” ucap Amir menjanjikan.
”Langganan ya, Om,” tambah anak kecil itu.
Amir mengacak rambut Hagia. Mengokekan. ”Om Amir titip Om Ion, ya. Om Ion-nya sakit. Hagia di sini sampe Om Ion bangun mau, ya?”
Hagia mengangguk semangat. ”Hagia boleh tak di sininya lama?”
Amir memberikan jempol.
”Makasih, Om,” balas Hagia.
Amir berpamitan kepada ibu dan anak itu. Sekarang hanya ada Hagia dan Neima di kamar kos Fashion Klein.
”Nei Nei. Om Ion kok bisa sakit, Nei?”
Neima memandangi Hagia yang menatapnya dengan mata polosnya.
”Mungkin ada virusnya di darah Om Ion.”
”Virus itu racun, Nei?”
Neima mengangguk. ”Semacam itu. Kalau orang kecapekan, makan kurang teratur, dan jarang olahraga, bisa cepat kena virusnya.”
”Om Ion malas olahraga, Nei? Kenapa Nei nggak ajak Om Ion lari pagi?”
Neima suka lari di pagi atau sore hari. Kalau sore, biasanya Hagia ikut. Kalau Neima tidak lari sore, kata Neima dia sudah melakukannya pagi-pagi.
”Rumahnya jauh, Hagia.”
”Nei. Om Ion kenapa nggak mau bangun? Kan Hagia ngomongnya berisik.”
Neima melirik pemuda di balik selimut dan memeluk guling itu. ”Mungkin ngantuk sekali.”
”Nei. Hagia juga ngantuk.”
Aduan Hagia membuat bibir Neima melebar. Diliriknya jam dinding kamar Fashion. Menunjuk pukul tujuh lewat lima belas menit. Memang biasanya Hagia kembali tidur di jam ini.
”Ke mari dipangku Nei.” Neima menyilangkan kakinya.
Hagia mengesot ke pangkuan ibunya. Merebahkan kepala ke dada Neima yang duduk bersandar ke dinding kamar itu. Kedua tangan Neima memeluk Hagia.
”Hagia nggak boleh berbaring?” tanyanya.
”Boleh nanti kalau Om Ion sudah bangun.”
Neima merasa sedang menumpang. Dia agak sungkan berlaku sebebasnya di kediaman Fashion.
Tik tik tik tik
Cuma ada suara jarum jam dinding setelah Hagia tertidur. Neima jadi bingung apa yang akan dia lakukan sendirian di antara orang-orang tidur itu. Neima tidak menyesal mengajak Hagia ke tempat itu. Malahan rasanya ini adalah hal yang benar sebagai sesama teman.
”Astagfirullahal’adzim!”
Neima luput melihat Fashion yang buka mata lalu meyakinkan penglihatannya. Yang Neima dapati adalah Fashion telah terduduk memegang dadanya dengan bibir masih komat-kamit.
”Astagfirullahal’adzim. Astagfirullahal’adzim.” Fashion masih istighfar.
Neima mengerutkan kedua alis mendapati kelakuan aneh lelaki itu.
”Sejak kapan Kakak di sini?” tanya Fashion.
Anaknya Mimi Riris itu sangat minder di dekat ibunya Hagia. Bajunya bekas keringat. Rambutnya berantakan. Bibirnya kering. Mukanya mungkin saja berminyak. Fashion merasa tidak layak dilihat oleh Neima dalam keadaan seperti itu.
”Pukul tujuh,” jawab Neima.
Fashion mendongak untuk melihat sekarang sudah pukul berapa. Jam delapan kurang. Lalu pandangannya melihat Neima yang pagi ini juga masih sama di mata Fashion. Cantik dan selalu cantik. Wajah Neima yang kecil dibungkus oleh hijab tipis warna taro. Kancing jaketnya terbuka. Memperlihatkan T-shirt abu-abu. Kakinya ditutupi oleh jeans hitam.
”Om Ion bangun. Bangunlah, Hagia.” Neima berbisik di telinga Hagia sambil menggoyangkan kakinya.
Perlahan mata berbulu mata lentik itu terbuka. ”Halo, Om Ion.” Hagia memerlukan waktu beberapa saat sebelum kembali jadi Hagia si anak sinetron yang banyak bicara.
Neima membiarkan Hagia mengesot ke dekat tempat tidur Fashion. ”Om Ion dah sehat lum?” Hagia menirukan Om Amir, menyentuh leher Fashion. ”Ini tandanya udah sehat ke?” tanya Hagia bingung bedanya.
”Udah sehat, Hagia,” kata Fashion.
”Alhamdulillah.” Hagia mengusap wajahnya. Padahal, Neima saja yang duduknya jauh bisa melihat kalau Fashion masih belum sehat betul.
”Sarapan dulu, Om. Nanti kita lari pagi, ya.” Si gadis kecil menarik bungkusan makanan yang dibeli Neima.
”Lari pagi seminggu lagi, Hagia.” Neima meralat.
”Oooh kata Nei seminggu lagi, Om Ion.” Tangannya dengan lincah membuka kotak styrofoam berisi bubur ayam.
Fashion menunda, ”Om Ion belum sikat gigi.” Fashion tak ada nafsu makan.
”Ooh. Hagia tungguin deh.” Gadis kecil itu tidak melihat tanda-tanda Om Ion-nya bergerak. ”Hagia masih tunggu loh.”
Neima mendapati Fashion melirik sekilas ke makanan dengan pandangan tak berselera.
”Om Ion harus disuap. Kau bisa kan, Hagia, bantu Om Ion makan?” Neima angkat bahu ketika Fashion menatapnya.
”Oooh, Om Ion mau Hagia suapin. Hagia bisa, Nei. Om Ion buka mulutnya.”
Fashion bersusah payah menelan bubur ayam itu. Rasanya hambar sekali. Neima berinisiatif membantu ambilkan minum.
”Ion bau, Kak.” Fashion menutup seluruh badannya dengan selimut.
Neima tetap di tempat. ”Tanganku capek,” keluhnya.
Fashion yang salah tingkah sedekat itu dengan ibunya Hagia meminum dari gelas di tangan Neima. Apalagi dalam keadaan tangannya berada dalam selimut.
”Habiskan buburnya,” pesan Neima meletakkan minum. Namun, tidak kembali ke tempatnya semula. ”Anak Mimi,” sambung Neima dengan nada mengejek.
Fashion mengerucutkan bibir. Tak suka, tapi juga tak dapat menyanggah. Tidak pula Fashion curi pandang kepada Neima yang sangat menarik dalam pakaian santai itu. Terlebih dengan perhatian Neima saat Fashion memang membutuhkan.
Akhir pekan Fashion ditemani oleh sepasang ibu dan anak. Hagia dan Neima tidak tampak tanda-tanda kapan akan pulang. Fashion merasa antara senang dan malu. Dia terlelap oleh pengaruh obat dan terbangun pukul satu. Neima dan Hagia masih setia menemani. Neima sudah melepaskan jaket dan hanya memakai T-shirt lengan pendek dan kepalanya tak lagi ditutupi pasmina. Hagia tertidur berbantalkan kaki Neima. Mata Neima juga tertutup.
Fashion mandi cepat-cepat. Neima sudah memakai pakaian lengkap seperti dia baru datang waktu Fashion selesai mandi.
”Ikut ke rumah saja,” ucap Neima. ”Hagia mau Om Ion menginap di rumah kita?” tanya Neima.
”Mungkin sedikit perhatian dari si dia bisa bikin Pak Ion membaik.”
Kata-kata Arjun benar sekali.
***
Bersambung.....
OKI, 29 April 2023
Senang bisa ketemua Nei dan Hagia lagi. Ditambah bawa Om Ion.
Sampai jumpa.
Sehat sehat selalu yaa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top