044 Didemamkan Cinta
Matahari masih tidur, sama dengan wanita berambut panjang di ranjang berkasur kapuk. Kedua tangannya merentang di atas kepala dan kepalanya miring ke kiri. Ketika gadis kecil di sebelahnya bergerak untuk duduk, wanita muda itu sama sekali tidak terusik. Ya, Neima takkan bangun dengan mudahnya jika tidurnya sepulas itu.
Bahagia Hingga Janna memandangi Neyi sementara menunggu kesadarannya kembali penuh. Kalau orang bilang, Hagia kini sedang mengumpulkan nyawa. Gadis yang akan memasuki usia lima tahun itu menaikkan selimut sebatas dada Neyi-nya.
Hagia perlahan turun ke lantai. Dia menuju kamar mandi di dekat dapur. Gemericik air terdengar dari luar pintu yang ditutup oleh anak perempuan itu. Tak lama kemudian, Hagia masuk ke kamarnya dengan wajah yang basah. Bajunya pun juga sedikit basah.
Dikeluarkannya tas kain kecil berbahan katun warna kuning. Di dalam tas itu terdapat seperangkat alat salat bercorak bunga matahari. Sebetulnya Hagia membawa dua pasang yang juga bermotif bunga matahari. Kata Nenek, satunya untuk ibu. Hagia belum sempat memberikannya kepada Neyi. Dia akan memberitahu Neima nanti saja.
Hagia memakai kerudung lebar itu kemudian menarik karetnya ke belakang kepala. Anak sinetron lalu memasang sarung mukena yang sangat panjang untuk tubuh kecilnya. Hagia yang tidak tahu arah Kiblat, membentangkan sajadah cokelat polos membelakangi tempat Neima tidur.
Gadis kecil itu lalu berdiri di atas sajadahnya dan melafazkan takbiratul ihram. Baru itu yang Hagia tahu. Dia ucapkan Allahu Akbar sebelum rukuk dan sujud. Entah berapa rakaat salatnya, akhirnya Hagia menoleh ke kanan dan ke kiri lalu berdoa.
”Ya Allah, ampunkan Nei. Ampunkan Nenek Kakek juga. Ampunkan dosa kami semua ya, Allah. Ya Allah, Hagia sayang Nei. Semoga Neyi selalu sayang sama Hagia juga. Hagia minta tolong jagain Nei Hagia ya, Allah. Jaga Nenek Kakek-nya Hagia yang sudah tua di sana. Ya Allah, semoga Hagia bisa salat ya, Allah. Hagia mau mendoakan Neyi, Nenek dan Kakek setiap hari. Ya Allah, semoga hari ini Hagia ketemu Om Ion. Hagia suka soalnya Om Ion baik sama Hagia dan Nei. Aamiin.”
Hagia membalikkan badannya ingin mencium tangan Neima. Dia kira Neima masih tidur, ternyata sudah duduk dan memeluk lututnya. Hagia tidak bisa melihat wajah Neima yang tersembunyi.
”Nei.” Hagia mengguncang lengan Neima. ”Nei udah bangun apa masih tidur?” Lagi, Hagia menepuk lengan ibunya.
Hagia menarik tangan kanan Neima dan menempelkan punggung tangan Neima ke bibirnya.
”Maafkan Nei, ya.” Neima mengejutkan Hagia yang sedang mengusap-usap tangan putih sang ibu. ”Kau cantik sekali memakai ini,” puji Neima membelai kepala sang putri.
Hagia tampak malu-malu. Gadis kecil itu menutup mulutnya dengan tangan di balik mukena yang berbahan lembut.
Dengan senyuman yang merekah di pagi itu Neima menarik kedua telapak kecil sang putri dari wajahnya. Dikecupnya kedua belah pipi berisi milik Hagia.
”Anak Nei udah besar. Udah pintar.”
”Makasih, Nei,” ucap Hagia setelah bangun dari keterlenaannya. ”Hagia bawa satu lagi loh untuk Nei. Kapan-kapan Nei pake, ya, supaya kita kembaran.”
Neima mengangguk.
Pagi ini Neima menyadari sangat banyak yang harus dia pelajari untuk menjadi seorang ibu. Apalagi ibu bagi Hagia yang perkembangan intelegensinya sangat bagus. Wajah Neima berubah memikirkan hal itu. Sekelebat ketakutan menghinggapi isi kepalanya, membuat tubuh Neima tersentak. Neima merasakan dadanya bergemuruh. Ditatapnya wajah kecil nan jelita itu, tanpa disadari sebutir buliran bening telah lolos dari sudut matanya.
Neima tidak percaya diri menjadi seorang ibu. Dia sangat takut justru membuat Hagia-nya mendapatkan pendidikan yang buruk. Neima tidak memiliki bekal apa-apa untuk membimbing perkembangan putrinya. Ya, perkara itu baru Neima sadari saat ini.
”Kok Nei nangis? Hagia tadi salah ngomong, ya?”
”Nei bahagia memiliki Hagia.”
Hagia yang kurang paham mengangguk saja atas jawaban Neima. ”Hagia juga. Boleh kiss Nei?” tanyanya.
Neima tergelak dengan tatapan polos sang putri. Dia mendekatkan pipinya kepada Hagia. Hagia mencium kedua pipi mulus Neyi-nya. Lalu Neima menutup dengan mengecup bibir mungil Hagia.
”Nei. Hagia mau buka sejadah.”
”Mukenah,” ralat Neima sebelum tertawa akibat tingkah lucu putrinya. Neima membantu Hagia bebas dari atribut salatnya.
”Tadi kau solat apa, Hagia?” tanya Neima menguji anak manis itu.
Kedua alis Hagia bertaut. Gadis kecil itu mengetuk dagunya dengan jari.
”Salat apa, Hagia?”
”Solat apa emangnya?” Hagia bertanya balik. Menurutnya, salat ya salat aja. Memang ada namanya?
”Salat Subuh. Solatnya dua rokaat.”
”Oooh solat Subuh dua rokaat. Rokaat itu apa, Nei?”
Neima berpikir. ”Nei mau mandi. Nanti aku jelasin pulang sekolah.”
Si anak sinetron mengangguk. Bibirnya menguap dan segera dia tutup. Neima yang melihat Hagia mulai mengantuk tidak mengajak bicara. Dia menyingkap selimut. Lalu berdiri.
”Aku mandi, ya.”
Sekitar pukul setengah tujuh, Neima sudah siap dengan seragam kerjanya. Dia menoleh ke tempat tidur, melihat bocah sinetron tertidur lagi saat Neima tinggal mandi.
”Maafin Nei, Hagia. Maafin Nei, ya.” Neima tidak mendekat kepada putrinya. Dengan langkah terburu-buru Neima keluar kamar.
Bagai orang linglung Neima sudah berada di halaman. Pandangannya mengedar ke penjuru jalan yang mulai dilintasi kendaraan dan satu dua orang berjalan kaki.
”Kak Nei.” Aulia berdiri di sebelah Neima lengkap dengan kardigan hitam dan jilbab instan. Wajah polos tanpa sapuan kosmetik itu memandangi Neima yang tetap bergeming setelah dipanggil-panggil.
”Kak!” Aulia berdiri di depan Neima.
”Au. Mau ke mana?” tanya Neima melihat Aulia sudah berpenampilan seperti yang biasa dipakai kalau ingin keluar rumah.
”Ke sekolah Kakak. Ayok, sama aku aja. Kayaknya Bang Ion nggak datang.”
Neima menatap Aulia tak suka. Apa coba maksudnya Aulia bawa-bawa nama Fashion segala? Neima biasa naik angkutan umum selama ini. Karena Fashion tidak datang, kenapa Aulia harus menawarkan diri mengantarkannya?
”Aku naik angkot saja. Temani Hagia di rumah.”
Aulia mengangkat bahu dan pergi ke belakang. Lalu kembali dengan sepeda motor. Gadis remaja itu rupanya tak mendengarkan Neima.
”Kak. Rumah kukunci. Ayo, biar gak lama ninggalin Hagia.”
Neima malas berdebat lalu duduk di jok belakang arah ke kiri. Kendaraan roda dua itu melaju di atas aspal yang licin. Tiupan angin segar pagi itu menyerbu ke wajah kedua perempuan beda usia itu. Aulia yang memakai helmet, tetapi kacanya diangkat dan Neima yang tidak menggunakan pelindung kepala. Dalam lima menit roda dua yang dikendarai Aulia telah memasuki gerbang sekolah.
”Hati-hati, Lia. Sarapan di meja, ya.”
Neima menambahkan pesan untuk membangunkan Hagia pukul delapan jika dia tidak bisa bangun sendiri. Neima mulai membiasakan Hagia untuk menghindari tidur di pagi hari. Sebentar lagi gadis penyuka sinetron televisi itu akan bersekolah.
Guru Senbud berbatik biru itu melangkahkan kaki ke dalam gedung sekolah. Sesekali tangannya membenarkan tali tas selempang kecil. Manusia pertama yang tertangkap oleh netranya adalah si tetangga meja. Laki-laki yang baru beberapa jam lalu menyatakan perasaannya kepada Neima.
Ada yang aneh dengan pemuda berwajah cantik itu. Neima berjalan ke mejanya yang otomatis akan mendekat ke Fashion. Fashion Klein tidak menunjukkan respon saat Neima meletakkan tas di meja. Tidak pula menoleh saat Neima telah duduk di sisi pemuda itu. Hal itu membuat Neima bertanya-tanya.
Bukannya berharap Fashion menggila seperti semalam. Tapi kelakuan Fashion memang sedikit lain dari biasanya. Tidak pernah lelaki cantik itu mengabaikan keberadaan Neima. Dari jauh saja Fashion biasanya sudah memberikan senyuman manisnya.
”Kau sehat?” tegur Neima.
”Masya Allah!” seru Fashion. Terkejut karena kedekatan yang diciptakan oleh ibunya Hagia.
”Tidur dengan mata terbuka?” Neima bicara tanpa menatap Fashion setelah menarik wajahnya dari sisi Fashion. Ia mulai menyiapkan perangkat ajarnya.
Fashion menyentuh dadanya. Detik ini masih terasa kencangnya degupan yang terjadi akibat ulah Neima. Ditambah wangi yang menguar dari tubuh wanita di sebelahnya.
Neima yang baru saja memgecek jadwal kelasnya melirik ke pemuda yang diam saja saat dia tanyai.
”Kayaknya ruhmu masih ketinggalan di kos-kosan,” gumam Neima.
Sebuah senyuman terbit di wajah putih bersih pemuda yang dimabuk cinta itu. Fashion sangat suka cara Neima bicara. Cara Neima menanggapi hal-hal tentangnya. Dan semua hal tentang Neima Devira.
”Ion kurang sehat mulai bangun pagi ini.”
Neima mendengar suara sengau manusia di sebelahnya.
”Kau sakit?”
”Kayaknya iya, Kak Nei, tapi masih demam ringan. Agak kurang semangat bawaannya.”
Neima mengulang memori lama saat masih mengekos. Ketika sakit, Neima bergelung di atas tempat tidur. Makanan dan obatnya diantarkan oleh Dika. Dika menunggui Neima sampai demamnya turun. Mencarikan makanan yang bisa diterima oleh lidah Neima.
”Semangat,” ucap Neima datar.
Pikiran Neima berkelana kepada mantan kekasihnya Dika. Kewarasan Neima agaknya tak mampu mengusir kenangan yang menyerbu ke dalam kepala wanita beranak satu itu. Neima dapat melihat senyum teduh Dika ketika menenangkannya dan berkata semua akan baik-baik saja. Dika menyediakan pundak untuk bersandar saat Neima butuh tempat mengeluh. Dika mengatakan bahwa Neima adalah gadis pintar, seperti gadis lain di kampus mereka, setiap Neima merasa tidak bisa apa-apa. Dika yang menaikkan kepercayaan diri Neima.
Namun nyatanya … semua hanya karangan Dika. Neima dari dulu bodoh. Hanya pintar di bibir Dika saja. Sampai sekarang tetap bodoh. Neima tidak bisa melakukan hal yang benar untuk Hagia-nya. Neima belum mampu menjadi ibu untuk putrinya. Neima berbeda dengan gadis lain yang telah menjadi seorang ibu. Mereka tahu banyak tentang mendidik anak. Sementara Neima, tahu apa? Neima bahkan tidak memberikan contoh yang baik bagi Hagia dalam beribadah. Bagaimana Hagia akan tumbuh sebagai perempuan baik jika yang dilihatnya setiap hari adalah Neima Devira yang banyak kekurangan?
Andai Neima tidak mengenal Dika.
Sementara itu, tidak sedetik pun perhatian Fashion teralihkan dari Neima yang sedang bergelut dengan pikirannya. Fashion menghela napas. Kepalanya terasa makin pusing. Niat hati ingin mencuri perhatian Neima agar melupakan apa pun masalah dalam kepalanya. Namun, Fashion memang lagi tak berdaya. Tenggorokannya pahit. Ia enggan banyak-banyak bicara. Menyentuh Neima guna menenangkan wanita itu, ia rasa sangat kurang etis.
”Kak Nei. Jangan melamun, ya. Kakak kelihatan makin cantik kalau diam begini.”
Neima mendapati pemuda yang barusan berkomentar sedang menutup mata dengan kepala merebah di meja.
”Sakit aja, nggak usah gila.”
Dalam pejamnya Fashion tersenyum. ”Bilangnya makasih kalau dipuji. Kok malah nuduh saya gila.”
Neima pun berdeham. Senyuman di wajah orang tidur itu kelihatan cukup manis.
”Sakit kenapa?” tanya Neima mengalihkan pikirannya yang mulai tercecer.
Fashion diam saja. Dia memutar arah kepalanya hingga tak lagi menghadap Neima. Neima pikir Fashion pasti sudah masuk ke alam tidur. Tangannya menyentuh punggung pemuda itu.
”Pak Ion kenapa, Nei?”
Neima segera menjauhkan tangannya.
”Kurang enak badan. Baru sampai, Kak?” tanya Neima pada Asumi yang sedang menaruh tasnya ke kursinya.
”Iya. Nah pas sekali bel kumpul.”
Neima mengangguk. Dilihatnya Asumi berjalan tergesa keluar kantor. Jarum jam dinding di atas pintu keluar masuk menunjuk pukul tujuh tepat. Kegiatan dimulai lebih pagi dibanding hari lainnya. Asumi hari ini guru piket. Tugasnya dimulai dengan memantau anggota Rohis mengumpulkan seluruh siswa di lapangan untuk acara kultum.
Neima memilih keluar untuk mengikuti kegiatan keagaaman. Guru lain ada yang masih duduk di bangkunya. Salah satunya Bu Maya yang terlihat sibuk membenahi pasminanya. Neima yang memang tidak senang berbasa-basi langsung keluar tanpa menyapa tetangga bangku seberang itu. Di pintu dia berpapasan dengan Dena.
”Bareng, Nei.” Dena berlari menyusul Neima.
Dena sang guru olahraga terlihat manis dengan seragam muslim dan rok.
”Ion tidak ke lapangan, ya?” tanya Dena.
Neima menggeleng. Dena tidak membahas Fashion lagi melihat respon Neima.
Acara dimulai dengan pembukaan oleh MC dalam tiga bahasa. Lalu disambung dengan pembacaan ayat suci Al-Quran oleh seorang siswa. Dilanjut dengan pembacaan saritilawah yang tidak kalah merdunya. Lalu acara utama, yaitu penyampaian kultum oleh siswa yang bertugas. Neima memperhatikan seluruh kegiatan yang amat rapi berkat banyak latihan itu. Kultum selesai disambut dengan penampilan Asmaul Husna oleh kelas yang sama. Kemudian ditutup dengan pembacaan doa. Akhirnya, rangkaian acara selesai.
Neima sangat memperhatikan seluruh kegiatan. Dia dapat membayangkan Hagia-nya ketika sekolah. Entah itu membaca ayat suci, terjemahannya, asmaul husna, doa, atau menjadi MC. Neima memiliki keyakinan bahwa putrinya mampu mengambil tugas itu semua.
”Nei.”
Dari tadi Dena memanggil-manggil nama Neima. Dia ingin mengajak Neima ke kantor. Siswa juga sudah mulai bubar ke kelas masing-masing.
”Neima!” Dena merangkul teman satu angkatannya itu. ”Ya ampun masih pagi, Nei.”
”Oh, sudah selesai.” Neima tersadar.
”Melamunnya seru sekali. Memikirkan apa, Nei?”
Neima menggeleng. Dia berjalan ke arah kantor tanpa mengajak Dena.
”Astaga maknya Hagia itu.” Dena mengejar langkah Neima. Dia sudah paham dengan Neima, tetapi masih belum terbiasa. Namun, tidak masalah bagi Dena.
”Hati-hati kesandung, Bu Guru. Lihat jalan dengan benar.” Dena menyejajari langkah Neima.
Neima hanya menoleh dengan wajah datarnya. Dan Dena menggeleng-geleng mendapati balasan temannya. Waktu mendengar namanya dan Neima dipanggil dari belakang, Dena menarik tangan Neima. Neima berhenti.
”Kak Sumi minta bareng.” Dena menjawab tanpa ditanya.
Mereka telah bertiga ketika masuk ke kantor. Ketiganya melihat satu-satunya teman beda gender seangkatan mereka masih merebahkan kepala ke meja.
”Ion sedang tidak baik-baik saja, Kak Nei,” ucap Dena dengan bernada. ”Apakah Kak Nei sejak tadi mengkhawatirkan Dek Ion?” tanya Dena.
Neima tidak merespon. Dia terus ke bangkunya. Sementara itu, Dena di sebelah Asumi kembali bergeleng-geleng.
”Kak, Neima harus diapakan supaya lembut sedikit? Ada ya, Kak, orang secuek Neima?”
Asumi menunjuk Neima dengan dagunya.
”Ada masalah apa dengan orang itu?” Dena tak habis pikir. ”Tidak pernah bisa diajak bercanda.”
Beralih ke bangku Neima dan Fashion. Keduanya tidak saling tegur sapa. Neima melihat Fashion masih bernapas, berarti lelaki itu hidup. Selagi hidup, tak ada yang perlu dicemaskan. Neima juga tidak terniat untuk mencemaskan pemuda itu. Dia pun mengingatkan Asumi agar menekan bel jam pelajaran pertama.
Neima memulai tugasnya. Meninggalkan Fashion, Asumi dan Dena, serta guru lain yang sedang bersiap ke kelas masing-masing. Kepergiannya mencuri perhatian dari tetangga mejanya.
Fashion Klein menatap punggung Neima dengan helaan napas panjang. Neima tengah mengalami masalah. Fashion sangat ingin menjadi seseorang yang dipercayai Neima untuk mendengar keluh-kesahnya. Kira-kira sudikah Neima mengizinkan Fashion?
Fashion merasa pusingnya sedikit berkurang karena dia memberikan matanya tidur sejenak. Dia belum sarapan. Fashion ingin mencari lontong sayur sebelum meminum obat penurun demam. Namun, seseorang sudah meletakkan mangkuk di mejanya.
”Dipaksakan makan, Pak.”
Fashion berterima kasih kepada Bu Maya yang memesankannya makanan.
Maya segera berlalu dengan membawa buku-buku teks pelajaran.
”Kadang apa yang kita harapkan mendekat malah menjauh dan yang tidak kita inginkan justru malah mendekat.” Asumi melipat tangan di depan meja Fashion.
Fashion memandang guru itu dengan heran.
”Makan ... supaya kau mendapatkan kekuatanmu kembali. Memperjuangkan Neima itu berat. Membutuhkan banyak tenaga.”
Fashion menyengir lebar. ”Kak Nei hari ini cantik sekali ya, Kak?”
Asumi mencibir. ”Bu Maya juga cantik. Apalagi Dena yang tambah manis memakai rok panjang.”
Wajah Fashion tertekuk. Dia mengambil sendok dan memilih untuk makan saja daripada mendengar Asumi.
****
Bersambung...
OKI, 28 April 2023
Hello sahabat Anak Sinetron. Ada yang rindu dengan Hagia?
Maafkan aku yang nggak update-update mereka, ya. Sejak Februari, wow.... Semoga masih pada ingat cerita sebelumnya. 😅
Terima kasih buat yang masih stay di lapak Anak Sinetron ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top