042 Kedatangan Bahagia
Semenjak aksi heroiknya kepada Pak RT, Fashion mendapatkan tiket VIP untuk berkunjung ke rumah kakak tercintanya, Neima Devira. Ketua RT yang bernama Pak Musni itu akan mengangguk sambil teriak, "Mampir!" setiap Fashion mengklakson beliau apabila lewat di depan rumahnya.
Waktu janji temu untuk melapor kepada ketua RT, Fashion menemani Neima. Ia melihat saja sewaktu Pak Musni memeriksa dokumen-dokumen milik Neima. Kemudian Fashion teringat bahwa bapak itu hanya tinggal sendirian. Oleh karena itu, dia berinisiatif untuk membawa ketua RT tersebut untuk makan malam di luar, sekalian mengobrol, kata Fashion. Pak Musni yang memang aslinya bersahabat mengangguk setuju. Langkah yang diambilnya menjadi keuntungan tersendiri bagi Fashion. Semalam-malamnya berkunjung ke rumah Neima, Pak Musni memaklumi. Tak kalah sering Fashion akan mampir setelah dari rumah Neima untuk menemani Pak Musni mengobrol sambil minum kopi. Di sanalah kedekatan mereka semakin kental.
Seperti saat ini, sehabis Isya Fashion baru meluncur dari rumahnya. Ketika melewati rumah Pak Musni, dia sengaja memperlambat mobil dan memanggil bapak yang baru pulang dari masjid tersebut.
"Ke rumah Neima?" Panggilannya pun telah berubah. Dari 'ibu rumah nomor 32' menjadi Neima. Neima sudah dianggap anak sendiri oleh bapak tersebut dan Fashion dicap sebagai menantu potensial.
"Bagaimana? Sudah ada kemajuan?"
Fashion yang memang tidak pernah memiliki bapak, menganggap Pak Musni sebagai orang tua yang banyak memberikan ia saran. Dia bercerita bahwa selama ini Neima tidak menganggap dirinya sebagai pria, hanya sebatas rekan kerja junior atau lebih ngenesnya adalah adik. Pak Musni memberikan semangat setiap kali mereka bertemu dengan senyuman lebar.
"Gitu-gitu aja," kata Fashion dengan senyuman juga sebelum mengangguk untuk permisi menjalankan kendaraan ke tempat tujuan.
Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa hari ini Fashion akan mendapatkan kenyataan paling pahit dalam sejarah percintaan—yang belum dimulai—nya. Di balik kaca matanya lelaki berambut kecokelatan tersebut melihat tiga orang sedang asyik bercengkerama. Sebuah pemandangan keluarga kecil bahagia. Neima matanya tertuju hanya kepada Hagia yang tengah bercerita di dalam pangkuan seorang pria.
Lelaki itu mengurungkan niat untuk berkunjung ke rumah Neima. Ia sama sekali tidak ingat untuk menegur Pak Musni yang duduk di teras rumahnya. Melihat kelebatan mobil Fashion yang mengebut dan mengira bahwa Fashion tengah bersama wanita incarannya hendak ke suatu tempat. Pak RT pun melangkah ke dalam karena berpikir Fashion takkan sempat singgah di rumahnya malam itu.
Seharusnya, Fashion tidak menyimpulkan sesuatu hanya dari kaca matanya sendiri. Di rumah sewaannya, Neima beralih menatap mantan suami yang memberikan kejutan tak terduga. Ia ingin marah, tapi tadi ada Hagia di antara mereka. Sudah berjalan beberapa minggu semenjak Hagia bertanya apakah boleh datang bersama Dedi alias daddy. Kini Hagia telah masuk kamar karena katanya mengantuk. Tak hanya bersama Dedi, Hagia juga datang dengan Aulia. Keduanya berada di kamarnya masing-masing dan tinggallah Neima bersama Dika.
"Bagaimana keadaanmu, Nei?" Dika memulai basa-basi yang menurut Neima sama sekali tidak penting.
"Bagaimana denganmu?" tanya Neima balik. "Berani sekali datang ke sini. Mana urat malumu?"
Dika tersenyum. Dahulu senyuman itu paling manis dan melumerkan seluruh organ seorang Neima Devira.
"Jawab aku. Apa tujuanmu?"
"Banyak sekali pertanyaanmu, Nei. Mana yang harus aku jawab lebih dulu?"
"Tidak usah kau jawab. Kau tidak diizinkan masuk ke sini. Keluar."
"Aku datang baik-baik dengan anak kita. Tidakkah kau lihat dia sangat bahagia, Nei. Senyumannya semanis senyumanmu."
"Kau sampah. Dia baik-baik saja dan dia selalu bahagia tanpa kamu."
"Tapi aku mendengar arti yang berbeda. Kamu mau bilang kalau tanpa aku, dia tidak sebahagia ini."
"Ternyata selain hidup seperti sampah, otakmu juga isinya sampah, Dika. Apa yang aku ucapkan sama sekali tidak nyambung di otakmu itu."
"Di otakku ada kamu. Kamu mau bilang kalau kamu sampah? Sama-sama sampah, kita pasangan yang sempurna." Dika tersenyum.
Neima tersentak. Tulang-tulangnya kaku. Pikirannya dialiri segala kesalahan masa lalu yang membenarkan kata-kata Dika.
Dika tidak mau melewatkan kesempatan, "Aku datang untuk menyambung tali silaturahmi. Jangan-jangan kalau kita bicara baik-baik, kita bisa memperbaiki semua dan membahagiakan putri kecil kita bersama. Aku merindukanmu, Neima Devira."
"Aku menahan diri, Dika. Demi anakku, demi Hagia, aku takkan membunuhmu. Tapi kalau sampai aku kehilangan kesabaran, kau mati."
Dika berdiri setelah melihat ekspresi kemurakaan di wajah Neima. Ia tahu kalau Neima tidak bercanda. Ia yang menyebabkan Neima amat membencinya.
"Kau sadar tidak? Kau terlalu membenciku saat ini. Dahulu dan setelah ini, kamu jatuh cinta padaku jatuh yang sedalam-dalamnya."
Neima tidak ingin terpancing. Dia mengabaikan kata-kata over-pede tersebut. Lalu menegang sewaktu jemari Dika mengusap pipinya sebelum pergi dengan tatapan lembut.
Hagia tidak memberitahukan apa-apa. Tidak juga keceplosan melaporkan bahwa dirinya sedang dalam perjalanan ke rumah bersama Dedi. Neima betul-betul terkejut melihat siapa yang datang bersama Hagia-nya. Aulia membuat Neima tak menyangka akan bertemu lagi dan gadis itu mengatakan akan tinggal bersama Neima. Dika Alfareza-lah yang paling mengejutkan dan menyebabkan Neima menganga dengan emosi bercampur aduk. Sudah jelas, kedatangan laki-laki itu karena telah berhasil mengambil perhatian bahkan mengambil hati Hagia. Dia mengantarkan Hagia bersama Aulia dan itu tentu saja atas izin kedua orang tua Neima. Neima sungguh tidak diberitahu apa-apa. Neima hanya memandangi wajah Hagia dalam-dalam sebelum menyusul untuk tidur seperginya Dika. Dan kenapa Neima membeku ketika Dika menyentuh lembut wajahnya?
Paginya di sekolah Fashion meletakkan tas laptop di meja. Ia melihat Neima di sebelahnya yang sedang membaca materi ajar di buku cetak. Fashion ingin sekali bertanya siapakah yang datang bersama Hagia? Bagaimana dengan perasaan Neima? Sebab seingat Fashion, Neima sempat berdebat dengan ibunya tentang masa lalu yang tidak ingin diingat oleh Neima. Artinya, Neima tidak suka dengan masa lalu tersebut. Sekarang apakah Neima masih sama atau sudah berubah pikiran? Kembali kepada pemikirannya sendiri. Jika Fashion adalah Hagia, dia akan senang sekali apabila kedua orang tuanya bersatu.
Dena mengamati kedua pasangan fenomenal dalam beberapa minggu tersebut. Wanita itu langsung dapat menebak ada masalah yang sedang terjadi di antara rekan kerja yang duduk di belakangnya itu. Keduanya terlihat saling mendiamkan. Wajahnya sama-sama kusut, meskipun Neima seperti biasanya. Bagi Dena yang telah cukup lama kenal Neima, dia tahu bahwa Neima mencoba mengelabui mata orang lain dengan wajah datarnya. Wajah yang seakan mengumumkan bahwa dia tidak pernah memikirkan hal-hal rumit yang mempersulit kerja otaknya. Padahal, dalam kepalanya Neima tengah menenangkan diri untuk masalah yang tengah ia hadapi.
***
Neima dan Fashion sibuk dengan diri masing-masing. Jika bertemu, mereka hanya saling menatap dan berlalu ke urusan sendiri-sendiri. Tak ada kunjungan selama beberapa hari. Fashion belum berani mendengar kenyataan bahwa Neima dan mantan suaminya akan bersama kembali. Sementara itu, Neima disibukkan dengan kegiatan menyenangkan bersama sang anak sinetron. Pikiran tentang Dika hanya menganggunya selama 24 jam. Hagia menyebabkan ia melupakan kesemrautan kepalanya akibat bertemu Dika. Kini sepenuhnya perhatian Neima hanya untuk Hagia. Hagia. Dan Hagia.
"Kenapa Om Ion gak datang-datang bawa laundry-an?"
Pergerakan Neima dari menyetrika celana jeans terhenti. Sejak kedatangan Aulia, Neima kembali membuka usahanya. Sepulang sekolah tak ada waktu mampir ke mana-mana. Sudah beberapa hari sibuk dengan cucian, jemuran, dan setrikaan, kini Neima diingat oleh Hagia. Ya benar, Fashion menghilang. Biasanya setiap hari selama berjam-jam lelaki itu datang hanya untuk diabaikan oleh Neima. Setor muka dan suara lalu pulang setelah diusir berkali-kali. Tak ada kapoknya. Selalu tiba di jam-jam sore hingga malam atau malam sampai tengah malam.
"Iya. Ke mana dia?" Neima bergumam dengan suara yang agak keras.
"Udah rajin Om Ion-nya sekarang. Om Ion mau cuci baju sendiri," tebak Hagia. "Hagia kangen Om Ion, kalo gitu."
Anak kecil itu membuat alis Neima mengerut.
"Jalan-jalan ke rumah Om Ion, mau?" Aulia yang mendengar percakapan tersebut memberikan usulan. Dia masih hafal alamat bahkan nomor rumah Fashion.
"Ayo kita main ke rumah Om Ion!" teriak Hagia bersemangat.
"Siapa bilang boleh?"
Hagia dan Aulia kompak menoleh kepada Neima.
"Nei."
Perempuan itu tersenyum lebar setelah mengerjai kedua gadis itu. "Hati-hati mengendarai motor," ucapnya.
Sekitar pukul lima sore. Seluruh pekerjaaan beres dikerjakan oleh Neima bersama Aulia. Aulia pun telah mengajak Hagia mandi dan dandan yang cantik karena akan jalan-jalan sore. Sepeda motor matic membawa mereka ke daerah indekos Fashion Klein. Aulia mematikan mesin motor di depan rumah lelaki berkaca mata tersebut.
"Yang mana rumah Om Ion, Kak?" tunjuk Hagia ke rumah-rumah yang berjajar.
"Ini."
Seketika itu, Hagia turun dari kendaraan dan berlari ke depan pintu. "Om Ion ini Hagia. Assamualaikum, Om Ion, ooo, Om Ion. Om Ion ada di rumah tak?"
Aulia tertawa kecil mendengar nada suara Hagia. Dia cuma duduk saja di atas motornya sembari menyaksikan Hagia memanggil yang punya rumah.
"Om Ion mana? Kenapa gak jawab salam Hagia? Om Ion, buka pintu dong."
Aulia tersentak oleh ingatan yang baru saja mendatangi kepalanya. Ia melihat ke sekeliling halaman rumah. Mobil Fashion tidak ada.
"Om Ion sepertinya gak di rumah, Hagia."
Hagia memajukan bibirnya. Kelihatan sekali bahwa anak kecil itu kecewa. Harapannya tidak tercapai.
"Hagia mau tunggu Om Ion." Gadis kecil itu berjongkok di depan pintu.
"Lima menit, ya. Kalau Om Ion belum datang, kita pulang." Melihat Hagia yang masih bersedih, Aulia menjanjikan, "Besok kita berkunjung lagi."
Lebih dari waktu yang dijanjikan, Aulia menyalakan mesin motor. Hagia mendongak dengan perasaan tak ikhlas. Dia masih ingin menunggu. Namun, langit mulai dikungkung warna senja. Malam akan segera tiba. Aulia ingin membawa Hagia pulang. Hagia berdiri dan tepat saat itu sebuah sinar dari lampu mobil menyorot ke tempatnya berdiri.
"Om Ion!!!" Gadis kecil itu sangat girang melihat mobil yang dia kenali datang.
Aulia juga sangat senang karena penantian mereka tidak berakhir sia-sia.
Pintu mobil terbuka. "Hagia!" Fashion berjalan cepat untuk mendekat.
"Om Ion datang! Hampir aja Hagia pulang." Hagia mendongak memegangi ujung kemeja yang dikenakan Fashion.
"Kak Aulia pulang ya, Hagia." Aulia menjalankan kendaraan ke sebelah Hagia dan Fashion. "Hagia di sini dulu boleh?" tanyanya kepada laki-laki berkemeja putih yang lengannya digulung sesiku tersebut. "Nanti antarkan Hagia pulang ya, Bang." Aulia menambahkan sebelum Fashion menanggapinya satu pun.
Aulia tersenyum lebar meninggalkan pekarangan rumah kos Fashion Klein. Alam seakan mendukung rencananya ini. Fashion tiba tepat waktu. Waktu yang tidak mungkin bagi Aulia untuk mampir sebentar demi menemani Hagia mengingat Magrib segera tiba.
"Rumah Om Ion yang ini?" tanya Hagia menunjuk rumah yang tadinya sudah ia ketuk-ketuk.
Fashion mengangguk. "Ayok masuk ke rumah Om Ion."
Setiba di dalam, Hagia tercengang melihat kamar lelaki itu. "Itu kan laundry-an. Om Ion gak cuci tempat Nei?"
Fashion tersenyum hambar mendengar nama wanita itu disebut.
"Om Ion tadi dari mana?"
"Oh iya, Om Ion lupa ambil makanan yang Om Ion beli. Hagia tunggu sebentar, Om ambil."
Fashion melihat ke belakang saat dia telah mencapai mobil. Hagia berdiri di pintu memperhatikannya.
"Hagia kan tamunya Om Ion. Om Ion punya ini untuk Hagia."
Dari tas kertas Fashion mengeluarkan beberapa makanan manis yang dia beli untuk camilan malam itu.
"Martabak. Hagia suka martabak."
"Nah, dimakan yang banyak. Om ion juga punya boba. Nih semua untuk Hagia."
Anak kecil itu tersenyum cerah. "Terima kasih, Om Ion. Om Ion juga harus makan. Ini untuk Om Ion." Hagia mengulurkan sepotong martabak penuh cokelat dengan tangan kanannya.
Setelah makan, Fashion berpamitan untuk ibadah Magrib. Hagia diberikan ponsel dan menonton saluran anak-anak pada ponsel di atas tempat tidur Fashion.
Ketika dilihatnya Fashion melipat sajadah, "Om Ion sudah lama gak ke rumah Hagia. Hagia aja rindu sama Om Ion. Om Ion gak rindu sama Hagia?"
"Rindu."
"Kalau sama Nei rindu juga?"
Kali ini Fashion tak berkutik. Dia tidak bisa menjawab karena tiba-tiba saja dadanya berdentam. Pikirannya membayangkan wajah Neima. Pertemuan pertama yang tidak ada kesan baginya. Lalu lama-kelamaan dia mulai sadar bahwa Neima perempuan menarik yang tidak dapat diabaikan oleh hatinya. Dia terjerat. Kini Fashion dalam kebingungan bagaimana ia bebas dari jerat tersebut.
Hagia juga diam melihat reaksi Fashion. Aulia yang meminta Hagia bertanya seperti itu. Meski tidak tahu apa tujuan bertanya seperti itu, Hagia tetap menanyakannya. Anehnya, Fashion hanya diam saja.
"Kan Hagia udah main ke sini, Om Ion harus main juga ke rumah Hagia. Kalau gak mau laundry, main aja. Boleh."
Fashion hanya mengangguk. Dia melepaskan peci dari kepala, dan melipat kain sarungnya. Kini lelaki itu hanya mengenakan jeans selutut dan kaus putih.
"Nanti langsung main habis anter Hagia."
"Okay. Om Ion, waktu itu seru, ya." Hagia mulai mengajak Fashion bercerita tentang acara jalan-jalan bertiga dengan Neima waktu itu.
"Hagia mengantuk, Om Ion." Satu jam kemudian gadis yang tak hentinya berbicara itu menyerah. Dia merebahkan punggung di tempat tidur. Hagia menguap beberapa kali.
Dengan terpaksa, tapi dalam hati yang paling dalam ingin, Fashion menelepon ibu sang anak.
"Hagiaku di sana?" Dalam detik pertama Neima langsung bicara.
"Ada. Dia tidur."
"Ya ampun malah tidur!" keluh Neima.
Fashion dengan refleks menjawab, "Boleh kalau Hagia menginap di sini?"
Tidak ada tanggapan dari Neima.
"Kak?"
"Pulangkan. Kalau gak mau antar, aku jemput."
"Kalau Kakak juga ke sini, dua-duanya tidak boleh pulang."
"Apa maksudnya?"
Fashion tertawa. "Saya yang bawa Hagia pulang malam ini. Kak Neima tidak usah cemas."
"Gimana gak cemas. Anak sinetron aneh-aneh aja pake ketiduran segala. Katanya mau main."
"Anak sinetron." Fashion mengulang. Panggilan itu terlalu lucu disematkan untuk Hagia.
"Aku pikir kau ke mana aja selama ini."
Ucapan Neima menyentak Fashion. "Kek Nei memikirkan saya?"
"Barusan tadi diingatin Hagia. Eh iya, betul juga. Jangan-jangan ...."
"Menurut Kak Neima?"
"Pasti kamu sudah punya pacar." Neima tertawa, mentertawakan alasan Fashion. Dia beberapa kali melihat Fashion makan di kantin bersama Bu Guru Maya.
"Gak, bukan seperti itu," tolak laki-laki itu.
"Ngaku aja, gak apa-apa. Aku takkan bocor ke mana-mana. Biarkan gosip tetap beredar yang jadi pacarmu itu aku. Status kalian aman."
"Kak Nei."
"Apa?" Neima mem-pause ketawanya.
"Aku juga rindu Kak Nei."
Neima tersedak ludahnya.
Fashion mengimbuhkan, "Saya menjawab pertanyaan Hagia."
***
Bersambung ...
28 Januari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top