040 [a] Putri Tidur yang Sebenarnya
Fashion hampir saja berdiri akibat ketukan itu. Kantuknya hilang seketika karena kepalanya terantuk di langit-langit mobil. Ia baru saja tersadar jika dirinya masih dalam mobil. Cepat ia menurunkan kaca jendela.
"Ada masalah, Bang?" tanya pemuda yang memakai seragam rumah makan, kaus berkerah warna hijau.
"Tidak."
"Sudah hampir Subuh. Mobil ini kami lihat sejak jam sembilan ada di sini. Kalau butuh bantuan, katakan saja."
Fashion kembali menggeleng.
"Tanpa ingin menyinggung perasaan Abang dan kakaknya, kami minta Abang mencari parkir di tempat lain."
Fashion menggaruk lehernya sambil mengangguk. "Maaf, ya, saya ketiduran di sini." Sebelum pergi, Fashion mengeluarkan selembar lima puluh ribu dari dompetnya. "Diterima, ya, Bang," pintanya.
Ketika memberikan uang tersebut, pandangan Fashion tidak sengaja melihat rekan karyawan tersebut memegang ponsel yang diarahkan ke dalam mobil. Perasaannya mulai tidak nyaman. Fashion segera menutup jendela mobil tersebut dan membawa mobilnya dari halaman parkir rumah makan tersebut.
Diliriknya ke sebelah. Neima masih tidur dengan wajah tersembunyi oleh rambut panjangnya. Kalau orang tadi merekam mereka, wajah Neima tidak akan kelihatan. Tapi tetap saja perasaannya tidak nyaman.
"Kok bisa, sih, Kakak tidak bangun-bangun dari tadi?" gumamnya.
Sesampainya di rumah Neima, Fashion berusaha lagi membangunkan Neima. Ingin sekali dia menekan klakson supaya Neima kaget. Agar ruhnya yang sedang berjalan-jalan di alam mimpi segera kembali ke dalam tubuh.
"Kak Neima bangun dooong," ucapnya hampir terdengar seperti rengekan frustrasi.
Fashion bersandar lagi sambil berharap Neima akan bangun sendiri. Namun jika tidak, dia akan melakukan cara ekstrem mengingat sebentar lagi akan masuk waktu Subuh. Tentunya akan banyak orang lewat menuju masjid. Dan dirinya tidak ingin terjadi lagi ketukan di pintu untuk yang kedua kali.
Suara pengeras masjid mengumandangkan salawat. Fashion Klein semakin cemas.
"Kakak! Ya Allah!" Cowok itu betul-betul panik dengan keadaan mereka sekarang.
Fashion masih yakin kalau Neima benaran cuma tidur bukan pingsan. Napasnya teratur. Dan saat Fashion amati wajah wanita itu, Neima kelihatan damai.
"Heran, katanya lapar, kenapa bisa tertidur senyenyak ini?"
"Kakak sayang," bisiknya. Jantungnya berdebar seketika panggilan itu terucap.
"Kakak tidak marah, nih, dipanggil sayang? Sayang, bangun dong."
Neima masih bertahan tanpa terusik sedikit pun. Jarak pria yang tengah berjalan tersebut semakin mendekati mobil Fashion. Dia akan mendengar suara deruman mobil dan melihat ada orang di dalam. Mengingat hal tersebut, sang empu mobil semakin dicekam cemas.
"Baik kalau Kak Nei tidak bangun juga. Maafkan saya."
Lalu dengan bismillah dia pun mencubit kedua pipi Neima. "Kak Neima, ini sudah pagi!"
"Hm." Cara ekstrim yang dilakukan Fashion cuma dibalas dengan gumaman.
Dengan tenang pula Neima memegang tangan yang bersarang di pipinya dan menjauhkan darinya.
Alarm rutin dari HP Fashion berbunyi dan tepat saat itu juga, Neima menggeliat.
"Ekhhm. Haah." Dia menguap lalu membuka mata. Neima menekan pundaknya ketika merasakan pegal-pegal.
Fashion melongo sejadinya dengan ketenangan wanita itu. Hanya dengan alarm Neima bisa bangun. Kenapa tidak dari semalam dia menyetel suara dari ponselnya?
Neima menoleh ke kanan dengan mata menyipit. "Hah? Fashion?" Dia menjerit. "Kenapa bisa di sini?"
"Kakak sudah bangun?"
Neima mengamati sekeliling. Ternyata dia dalam mobil. Neima juga melihat jam digital di dashboard. Benaran gila. Dia sungguh tidur dalam mobil sampai waktunya untuk bangun.
"Kenapa kau tidak membangunkan aku? Aku belum makan malam." Neima mencoba membuka seatbelt. Namun entah kenapa benda itu membuatnya kesal juga. "Kenapa tidak bisa dibuka sih?"
Mengingat waktu semakin pagi. Bapak yang berjalan telah dari tadi melewati mereka, Fashion pun turun tangan untuk melepaskan benda itu.
Tok tok
"Ya Allah. Apa lagi ini?" lirih Fashion setelah berhasil membantu Neima. Dia berbalik untuk berhadapan dengan seseorang yang mengetuk jendela di bagian tempat duduknya. Seorang pria paruh baya, tetapi berbeda orangnya dengan bapak yang lewat pertama kali.
"Iya ada apa, Pak?" tanya Fashion.
Terdengar suara pintu diempaskan. Saat menoleh ke tempat Neima, wanita itu ternyata telah keluar.
"Oh tidak. Adek ikut ke masjid?" tawar lelaki paruh baya tersebut.
Fashion mengangguk. "Ikut mobil saya, Pak?" tawarnya.
Si bapak pun menolak dengan sopan. "Masjidnya dekat dari sini."
Fashion mematikan mobil dan keluar untuk membersamai sang bapak berjalan kaki. Ia masih sempat menoleh ke rumah kekasih—dalam hatinya.
"Adik sama ibu rumah nomor 32 dari mana?"
Fashion yang ditanyai bukan menjawab, malah diam. Dia pikir, bapak-bapak itu tidak memperhatikan Neima. Sebab waktu jendela diturunkan Fashion, Neima juga sudah keluar.
Melihat Fashion tidak bisa menjawab, bapak berusia akhir empat puluhan itu melanjutkan, "Bapak khawatir kalau terjadi apa-apa dengan anaknya. Saya juga punya anak seusia ibu rumah nomor 32, membesarkan cucu saya sendirian. Kalau cucu saya sakit, anak saya pasti kesulitan membawanya ke medis dalam keadaan panik." Bapak itu terdiam. "Tapi itu hanya kekhawatiran saya. Anak saya yang menenangkan bapaknya. Katanya dia bisa menangani semuanya sendirian. Dan saya tidak boleh mengkhawatirkan dia."
"Bapak mempunyai putri yang hebat."
"Dia hal terindah bagi saya."
Fashion merasa bahwa Neima juga berhak mendapatkan rasa bangga seperti itu. Neima yang membesarkan putrinya seorang diri di tempat ini tanpa sanak saudaranya.
"Bekerja di mana, Dik?" tanya bapak itu.
"SMEA."
"Oh, guru."
Fashion ingin bilang tukang kebun, pasti bapak itu tidak percaya. Padahal, asal tahu saja, tukang kebun dan tukang bersih-bersih di sekolahnya terlihat sangat tampan dan mapan dibanding Fashion sendiri. Beruntung waktu pertama masuk sekolah, Fashion memakai seragam kuning khaki. Tidak dikira satpam baru oleh para murid.
"Bapak kerja apa?"
"Pedagang. Bapak juga diberikan kepercayaan sebagai RT di kompleks kita. Jadi, tolong beritahu ibu rumah nomor 32, ya. Beliau belum main ke rumah saya. Saya juga sungkan menawarkan karena dia janda dan saya tinggal sendirian."
Fashion berdeham, "Siang ini Bapak ada? Saya akan menemani Kak Neima ke rumah Bapak."
Dia menggeleng, "Saya di pasar. Malam saja, ya."
"Maaf, Bapak tahu status teman saya dari mana?"
"Tahu dari mana-mana. Berita tentang orang baru cepat tersebarnya. Anaknya juga sering lewat depan rumah saya dengan adiknya, tapi saya tidak pernah melihat suaminya."
"Doakan saya yang akan jadi suaminya, Pak," kata Fashion dengan senyuman tipis. Dia jadi takut dengan penjelasan barusan. Berita bahwa Neima janda tersiar luas. Dan orang-orang tahu, di rumah Neima tidak ada laki-laki.
Mereka menginjak ubin masjid. Fashion mengekori bapak tersebut ke tempat berwudhu tanpa ingin mengajak bicara lagi. Ini baru satu tetangga yang membicarakan Neima dengan maksud baik pula. Bagaimana jika ada yang berniat jahat kepada Neima?
Sepulang dari masjid, langit masih kelabu. Matahari belum muncul dan Fashion masih ingin melihat Neima. Diputuskannya untuk duduk dalam mobil tanpa ingin pulang ke rumah kosnya sendiri. Dia tahu bahwa mereka pasti akan bertemu di sekolah. Akan tetapi, Fashion mau memastikan Neima tidak diganggu sama sekali.
Wanita itu muncul setengah jam kemudian dengan seragam telah melekat di badannya. Jilbabnya belum terpasang di kepala sehingga rambut Neima yang panjang dan basahlah yang terlihat dari penampilannya di awal pagi itu.
Neima mendekati mobil membuat Fashion bersiap untuk keluar.
"Eh, kau tidak bekerja? Kenapa masih nangkring di depan rumah orang?" Neima berdecak setelahnya.
"Kerja, dong, biar bisa ketemu lagi."
Neima menggeleng-geleng. "Ya kalau gitu, pulang! Memang kamu kira masuk kerja pukul berapa?"
"Ini saya mau pulang. Cuman ingin melihat Kakak lagi sebelum pergi."
"Geblek!" Neima hendak pergi.
"Kakak!"
"Ada apa, ADIK?"
"Lah." Fashion memajukan bibirnya tak senang dipanggil begitu. "Bareng aja, yuk. Nanti Kak Nei ketiduran lagi gimana?"
"Eh!" Neima memukul kepala lelaki itu.
"Nanti gak ada yang bangunin," tambah Fashion.
"Ck. Aku tidak perlu dibangunkan. Asal sudah jam lima, ya, bangun sendiri. Tapi—" Neima menggaruk tengkuknya, "sebelum itu, mau kamu tendang pun, aku tidak akan bangun. Sejauh ini begitu." Matanya memicing ke arah pemuda itu, "Jangan-jangan kau macam-macam saat aku tidur?"
"Kalau saya jawab iya, gimana?"
"Tak selamat hidupmu! Lihat," kata Neima mengepalkan tinjunya. "Ini bisa bikin matamu pecah dan ...." Matanya turun ke aset pemuda itu, "Juga memecahkan yang di bawah sana."
"Astagfirullah!" kaget lelaki yang belum mandi tersebut. "Gak berani juga saya macam-macam. Bukan tidak berani, tapi sayanya tidak mau. Saya justru ingin menjaga Kakak. Kalau tidak percaya, ehm, saya tidak punya bukti, sih. Tapi Tuhan saksinya. Saya tidak akan berbuat sesuatu yang buruk sama Kakak."
"Aelah, bawa-bawa nama Tuhan segala. Pulang, gih, pulang!" Neima mendorong punggung Fashion.
"Kak!!" teriak pemuda itu, tidak terima dipaksa pulang.
"Apa lagi?"
"Yang Kakak bilang tadi itu sungguhan?"
"Yang mana? Kalau aku akan memecahkan bola-bolamu?"
***
(bersambung ke part 40b)
19 Januari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top