038 Deklarasi Perasaan

Tidak hanya Neima yang mendapatkan kejutan dari Meida. Fashion pun lebih terkejut lagi. Rasanya ia menemukan jalan buntu. Belum-belum Neima sudah dipepet lagi oleh mantannya. Lelaki itu ingin berhenti saja mengingat Neima belum ada tanda-tanda akan membalas perasaannya.

Wanita yang namanya pernah berurutan dalam selembar kartu keluarga bersama seorang pria dan satu nama lain, akan lebih oleng kepada mantan kepala keluarga tersebut. Tentu saja jika itu ayahnya, Fashion juga akan memilih ayahnya kembali bersama sang mimi. Seorang anak menginginkan keluarga yang utuh. Keluarga yang penuh dengan cinta dan kasih sayang. Bagaimana rasanya dipeluk ayah? Barangkali, sebentar lagi Fashion akan mendengar cerita seperti itu dari bibir Hagia.

Pria berkaca mata dan berambut cepak tersebut gusar. Akankah itu terjadi? Fashion ingin mendengar Hagia menceritakan kebahagiaan-kebahagiaan lainnya. Dia akan ikut senang. Tapi kalau sumber bahagia Hagia adalah pria yang tak lain adalah ayahnya, Fashion harus bereaksi seperti apa? Impiannya akan gugur sebelum berkembang. Impian untuk menjadi seorang pria yang menanggungjawabi Hagia dan ibunya kelak.

"Fashion! Kau melamun? Rumahnya sudah lewat jauh!"

Serta-merta Fashion menginjak rem dan tersadar. Dia telah lengah akibat kecamuk dalam kepala sejak meninggalkan kampung halaman Neima.

"Kenapa denganmu? Diam terus sepanjang jalan." Neima membuka sabuk pengaman dari tubuhnya begitu mereka tiba di pinggir jalan depan rumah kontrakan milik Neima.

"Tidak ada. Kepikiran Hagia. Kenapa tidak dibawa saja, Kak? Diajak ke sekolah seperti waktu itu."

Neima mendengkus. Fashion pikir akan mendapatkan tanggapan. Neima malah diam. Dia keluar begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Ketika Neima sedang meneguk air dingin langsung dari botolnya, dia dikagetkan oleh kehadiran Fashion dalam rumah tersebut. Tak ayal, Neima memekik, "Siapa yang suruh kamu masuk?"

Fashion menggeleng.

"Keluar. Pulang ke tempatmu!" Wanita itu mengomel sembari masuk kamar.

Suara bantingan pintu menjadi saksi keterdiaman Fashion di rumah yang lengang tersebut. Di balik pintu tersebut, Neima membanting tubuhnya ke ranjang. Matanya menatap ke atas pada plafon kamar. Punggungnya yang baru saja dimanjakan meminta Neima untuk berada dalam posisi tersebut lebih lama. Tak terpikir untuk menyinggahi kamar mandi setelah menempuh perjalanan panjang. Inginnya langsung tidur saja, walau isi kepala tak setuju untuk itu. Otaknya masih ingin berkelana pada peristiwa silam. Dengan banyak kata 'andai' berenang-renang dalam kepala tentang dia, Dika, dan Hagia. Kebahagiaan yang dahulu pernah ia cecap dan berakhir sial.

"Halo! Nei sudah sampai rumah?" Antusias suara Hagia menjawab panggilan video Neima.

Setelah melamun sekitar tiga puluh menit, Neima teringat untuk mengabari putrinya karena sudah berjanji. Katanya, Hagia akan menunggu telepon Neima begitu sampai di rumah. Si gadis kecil ingin memastikan bahwa Neima benar-benar selamat dalam perjalanan.

"Sudah. Baru saja. Di kamar Nenek, ya? Kakek mana?"

"Ini kamar Nei. Nenek yang ke sini." Hagia memperlihatkan tempatnya saat itu.

"Kalau begitu, tidurlah. Ini sudah hampir tengah malam. Jangan lupa berdoa," pesannya.

"Baik, Nei. Nei juga, mimpi indah. Kiss dari jauh." Hagia langsung memutuskan sambungan tersebut.

Tubuh Neima menjadi lebih segar setelah istirahat sebentar dan berbicara dengan Hagia-nya. Dia memutuskan untuk berganti pakaian kemudian ke depan untuk mengunci pintu. Dia melewati ruangan tengah untuk tiba di pintu keluar. Baru saja ia mengunci pintu tersebut, pandangan Neima tertuju ke jalanan yang lengang dan sebuah mobil. Rahangnya menegang dan bibirnya mengatup. Langkah-langkah cepat mengantarkan Neima ke tempat duduk panjang di ruang tengah. Tak segan-segan tangannya menepuk seonggok tubuh yang berbaring di sofa tersebut.

"Hei, orang gila!" hardiknya.

Fashion betul-betul kaget dan terduduk. Dia mengucek-ngucek mata dan mulutnya seketika menganga. Lagi-lagi sebuah pukulan hinggap di punggungnya membuat Fashion tak sengaja menjerit kecil. Dan fatalnya Fashion merasakan degupan kencang saat teriakannya dibungkam Neima dengan telapak tangan.

"Teriak lagi, aku bunuh!" ancam wanita berpiyama hijau tersebut. Matanya yang menjelit menunjukkan betapa marahnya ia kepada Fashion.

Fashion mengangguk. Eh, salah. Ia lalu menggeleng. Mana yang benar, angguk atau geleng? Neima melepaskan tangannya dan legalah Fashion.

"Maaf. Maaf, saya ketiduran." Fashion lantas berdiri. "Ion pulang dulu," pamitnya tanpa melihat kepada pemilik rumah. Cemas sekali ia jika sampai ada setan yang membisikkan untuk tinggal saja di rumah itu lebih lama.

Sekitar lima langkah, dia berhenti. Dengan posisi masih memunggungi Neima, Fashion menanyakan, "Besok Kak Nei masuk?"

"Kenapa?"

Ditanya malah balik tanya adalah salah satu pemicu kekesalan. Tengah malam sebangun tidur dan disuarakan oleh Neima, Fashion tak ambil pusing. Ia menanggapi, "Takut kita tidak ketemu. Makin ke sini, Kak Nei bikin saya kepikiran terus."

"Apa, sih? Cepat pulang!" usir Neima.

"Kak Neima tidak membenci Ion. Kalau gitu, bisa gak kalau Kakak suka saya?" gumam Fashion masih dalam posisi tidak melihat lawan bicaranya.

"Apa?"

Fashion menelengkan kepala. Lalu berdecak, "Gak ada. Selamat tidur, Kak."

Neima yang mendengar dengan jelas kalimat aneh dari mulut Fashion tadi hanya melongo. Pertanyaan 'apa' karena terkejut itu tidak mendapatkan penjelasan lebih lanjut dari lelaki muda tersebut. Neima menggeleng-geleng dan segera mengunci pintu setelah Fashion keluar.

Tok tok

Baru saja Neima membelakangi daun pintu, ia mendengar ketukan. Sudah pasti Fashion. Memang tingkah Fashion Klein tampak aneh sejak di rumah ibunya. Semakin malam, Fashion bak orang kesurupan. Neima jadi ingin tahu tingkah apa lagi yang akan ditunjukkan Fashion yang biasanya berada di jalur normal. Ya, bagi Neima kelakuan Fashion hari ini termasuk abnormal.

"Ion menyukai Kak Neima."

Pintu dibanting tepat di depan hidung Fashion.

Neima berdecak setelah menutup paksa pintu tanpa aba-aba, "Orang gila."

Fashion yang akhirnya kembali pada kesadarannya, membelalakkan mata. Dia menutup mulutnya dengan tangan.

"Gawat! Tadi itu apa?" Fashion merasakan detak di dadanya menjadi lebih cepat. Dia pun memilih duduk di bangku yang pertama kali ia duduki waktu ke rumah itu. "Dimarah gak, ya?" gumamnya. Ia tidak menyadari bahwa si empu rumah melihatnya dari balik jendela.

Neima menarik napas. "Itu asli atau cuma ngigo?" Neima berpikir bahwa Fashion masih dalam kondisi tidur—tidur sambil berjalan. Berbahaya kalau ia tidak segera dibangunkan.

Pintu terbuka lagi. Fashion spontan berdiri.

"Mau dibawakan air?" tanya Neima.

Fashion loading.

"Kamu tidur?" tambah Neima.

Semakin bingung Fashion dibuatnya. Namun, kepalanya menanggapi dengan gelengan begitu menelaah pertanyaan Neima.

"Saya mau pulang." Ia mengartikan kalimat yang diucapkan itu Neima belum selesai—lanjutannya mungkin; Neima bertanya apakah Fashion ingin tidur di rumah itu? Jelas, Fashion akan menolak ide tersebut.

"Kurasa kamu memang belum bangun. Kamu sangat aneh. Benar kamu tidak lagi tidur kan?"

Fashion mengangguk sebanyak tiga kali, menegaskan bahwa dia sedang sadar sepenuhnya. Dia baru saja memahami maksud Neima bahwa Neima hanya bertanya apakah Fashion tidak tidur atau tidak sedang bermimpi. Hampir saja ia mengira Neima menawarkan bermalam. Bodohnya. Fashion malu kepada diri sendiri.

"Yang tadi beneran. Saya bukan sedang mengigau. Itu serius, saya suka Kakak."

"Oh."

"Cuma gitu aja?" tanya Fashion refleks.

Neima menggeleng. "Memangnya aku harus bagaimana? Aku cantik jadi wajar saja kamu tertarik. Dah, sekarang kamu harus pergi. Besok bisa ketemu lagi."

Fashion melongo. Betul-betul tidak mengira akan mendengar Neima mengatakan hal itu.

Tunggu, itu artinya Kak Neima memberikan izin?

Kak Neima tidak heran apalagi marah.

Kalau begitu, Ion boleh mulai memperjuangkan perasaan yang bertepuk sebelah tangan supaya dibalas?

Jangan mundur!

*** 

Bersambung ...
14 Januari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top