033 Proyek Perjodohan
Sopan tidak kira-kira kalau Fashion mengatakan 'tidak?' Apakah dia akan terkesan sombong kalau langsung mengatakan tak ingin berkenalan dalam tanda kutip dengan Ibu Guru Maya? Mungkin kalau dia tidak tegas mengatakan keputusan, malah akan dibilang tukang pemberi harapan. Kata-kata yang diucapkan wakil bidang kurikulum di kantin barusan, menyebabkan isi kepala Fashion full oleh banyak praduga.
Neima Devira
Aku jauh. Kau bel, ya.
Baru membaca nama Neima saja di layar depan ponselnya ketika sedang mendengar Bu Safrida berbicara, jantung Fashion sudah berdetak tak keruan. Meski waktu dibuka, isi pesannya hanya bahasan formal. Tiada berbau urusan pribadi sedikit pun. Dan ini justru mampu menyelamatkan Fashion dari penungguan jawaban Ibu Safrida.
Fashion pura-pura melihat jam tangan. "Waktunya menekan bel. Saya ke sana dulu, ya, Bu. Kak Nei juga lagi tidak di dekat meja piket," pamitnya sesopan yang dia biasa lakukan agar lawan bicaranya tidak merasa diabaikan tanpa alasan.
Bu Safrida mengangguk saja juga menambahkan, "Ibu berharap Pak Ion bisa setuju dengan usul Ibu," katanya. "Bujang dapatnya gadis. Itu yang paling tepat." Bu Safrida menutup kalimatnya dengan senyuman penuh arti.
Kedua tinju Fashion menegang di sisi-sisi jahitan celana kerjanya. Ia mengangguk juga senyum yang manis. Tidak pernah Fashion berusaha untuk tampil baik. Ia terbiasa tulus dalam hal apa pun sebagai pecinta kedamaian. Kini dia sangat mulus berlagak semuanya baik-baik saja di dalam dadanya. Bisa tertawa kecil seakan yang diucapkan Bu Safrida adalah basa-basi yang tidak menyakitkan.
Setibanya di meja piket, Fashion langsung membuka botol yang dia tinggalkan dan meneguk dalam tegukan besar. Ion tidak marah, ia berusaha menyabarkan diri. Tak ada yang bisa memancing emosi itu dari dirinya sejak dulu.
Sebanyak dan separah apa pun dia di-bully sewaktu sekolah, Fashion cuma diam saja. Tak kesal apalagi marah-marah dikatai perempuan tomboi. Dipanggil dengan nama perempuan juga tidak masalah baginya. Bahkan dibilang pindah saja ke Thailand untuk bergabung dengan klub lady boy, dia tak apa. Hanya Arjun dan Mimi yang geram mendengar dirinya diejek sebagai perempuan, kemudian berupaya membuat Fashion menjadi 'laki-laki.'
Kini pilihannya dinilai tidak tepat. Seakan hidupnya hanyalah mengikuti apa yang menurut mereka semua benar. Belum juga Fashion terang-terangan menyatakan ia meyukai Neima. Justru status Neima semakin mendorong ia ingin membersamai wanita itu.
"Wah!" Neima datang dari arah gedung jurusan kulineri. "Tak disangka, gosipnya ternyata penuh bumbu," cetus Neima.
"Gimana?" Lelaki itu bersandar dalam posisi malas.
"Yang dari tadi pagi kau tanya aku, 'Apa Kakak dengar sesuatu?' ternyata tentang aku juga dan ... kamu," tunjuk Neima. "Biarkan saja, asal mereka senang." Neima tersenyum kecil.
"Gak risih jadi pembicaraan murid sendiri?"
Neima menarik napas dalam-dalam. "Hal kecil gitu buang-buang tenaga saja kalau aku masukkan dalam otak dan hati ini. Kau sudah lihat, aku orangnya sibuk," kata Neima dengan sisa senyuman yang sebetulnya terlihat dipaksakan mengingat dia sekalian mengeluh tentang hidup yang mesti dia jalani.
"Selama mereka tidak melampaui batas sebagai anak didikku, hal-hal yang mereka bicarakan tentang aku, tidak perlu aku khawatirkan. Besok juga reda."
"Iya."
"Kau ini kenapa? Bikin curiga." Neima menyipitkan matanya.
Seakan Neima bisa menebak gejolak yang dia rasakan, Fashion menegakkan badannya.
"Lagi PMS?" Neima benar-benar terlihat serius. "Perubahan sikapmu dari pagi seperti ombak, pasang surut."
Punggung Fashion kembali menempel ke bangku.
"Benar juga." Lelaki itu mengakui tentang emosinya yang naik-turun hari ini.
"Kau dapat tamu bulanan juga?"
"Tidak, bukan itu," tolak Fashion tegas.
Neima mencibir. "Makin aneh." Kepalanya bergerak ke kiri dan kanan.
"Katanya, kalau sedang jatuh cinta, emosinya sering tak stabil," balas Fashion pelan.
"Bukan begitu. Kalau lagi dapet, emosi kita gak konsekuen."
"Kak Nei, apa perlu pembuktian kalau Ion laki-laki?" kesal cowok itu diejek terus oleh wanitanya.
"Tuh, sekarang marah-marah gak jelas. Baru hari pertama kali, ya?"
Setidaknya, Fashion bisa melihat Neima tersenyum dan bercanda seperti ini, meski ia yang dibikin kesal sebagai bahan candaan perempuan itu.
***
"Kak!"
Fashion memanggil Neima yang terlihat baru saja menghentikan sepeda motor di lahan parkir khusus pengajar. Wanita itu meletakkan helm, kemudian melepaskan jaket dan memasukkan dalam jok. Tepat saat itu Fashion sampai di sebelahnya.
"Selamat pagi," tegur Fashion dengan face smile secerah matahari.
Neima biasanya paling tidak akan membalas 'pagi' atau bergumam. Namun, kali itu tidak. Wanita berseragam cokelat dan hijab merah hati itu terus saja berjalan tanpa menghiraukan Fashion.
Batin Fashion mengerang, "Baru kemarin bisa bercanda," keluhnya. Ia berjalan menyusul guru seni tersebut.
Neima seperti biasanya akan meletakkan tas ke meja begitu sampai. Ia duduk dan mengeluarkan laptop. Sebelum bel, ada saja yang dilakukan Neima. Entah itu mengoreksi atau mengetik di komputer jinjing miliknya. Neima membuka file soal.
"Soal PAT yang itu?" tanya Fashion mencuri atensi perempuan itu.
Tak ada tanggapan sama sekali.
Baru saja membuka Microsoft Word, Neima menutup laptopnya. Wanita itu bersandar dan pandangannya lurus-lurus ke depan. Bahkan ketika bel bergema seantero gedung, Neima masih bergeming.
"Kak Neima." Fashion memanggil pelan.
Masih belum mendapatkan balasan. Fashion memanggil sekali lagi. Belum juga ada pergerakan. Neima sepertinya melamun sangat dalam tanpa Fashion ketahui apa yang tengah dipikirkan tetangga semejanya itu.
"Kak Neima," bisik Fashion. Ia sedikit bergeser ke sisi Neima supaya orang lain tak dapat mendengar apa yang ingin dia katakan. "Boleh saya mengenal Kakak lebih dekat?"
Fashion yakin bahwa Neima sama sekali tidak mendengar. Entah sedang di mana jiwanya saat ini, meski raganya di sebelah Fashion.
"Kak Neima." Panggilan itu ditambah dengan gerakan tangan tepat di depan mata Neima.
"Ah?" Neima tersentak.
"Melamunkan apa?"
Neima menggeleng. "Sudah masuk?" Dia melihat jam dinding bulat bergambar bank milik negara di atas pintu masuk. Kemudian memilih buku yang akan dia bawa ke kelas.
Fashion ditinggalkan begitu saja. Karena gedung yang dituju berbeda, Fashion hanya bisa menunggu jam istirahat untuk bertemu dengan Neima lagi. Ia seperti candu. Ingin selalu dekat, walau tak berbicara. Ingin dapat melihat, walau tak diperhatikan.
Saat istirahat tiba, Fashion bergegas ke kantor. Neima belum tampak di sana.
UKS
Mungkin Neima sedang video call dengan Hagia. Fashion berniat pergi ke sana. Namun, langkahnya dihambat oleh panggilan seseorang.
"Pak Ion." Bu Safrida mendekat bersama Bu Maya.
Fashion tersenyum kepada dua rekannya itu.
"Mana Asumi dan Dena?" sapa Bu Safrida seakan hafal jika cowok itu selalu makan bertiga dengan kelompoknya.
"Mungkin masih di kelas menuju ke sini."
Fashion memang paling cepat sampai di kantor. Dia langsung berjalan sangat cepat begitu bel istirahat bergema.
"Hari ini makan dengan Ibu. Boleh?" tanya wakil kepala sekolah itu.
"Iya, Bu." Lelaki itu mengangguk. "Mari. Ibu ingin makan apa?"
Dalam perjalanan menuju kantin, kebanyakan Bu Safrida yang mengajak bicara. Pertanyaan ringan mengenai sekolah dan kuliah Fashion, keluarga dan kebiasaan di lingkungan tempat tinggal Fashion. Habis itu, Bu Safrida juga menceritakan tentang masa sekolah Maya dan segudang prestasi. Maya berusia 23 tahun dan berencana ingin kuliah lagi sambil mengajar. Karena sedang sakit, dia terpaksa menunda tahun depan. Bu Safrida menjelaskan juga kalau orang tua Maya ingin Maya menikah dulu sebelum lanjut belajar lagi.
Seterusnya Fashion membagi telinga dan pikirannya. Telinga mendengar ucapan Bu Safrida meski tak diteruskan ke otak karena pikirannya dipenuhi oleh Neima. Tak ada yang aneh dengan makan siang mereka. Bu Safrida tidak membahas sama sekali obrolan di kantin sehari yang lalu. Maya pun tak begitu banyak bicara.
Waktu tiba di kantor, Fashion merasa lega sekali sudah ada Neima duduk di mejanya sendiri. Fashion dan Maya masuk berbarengan. Maya menuju mejanya di sebelah kanan Neima dan Fashion ke mejanya di sebelah kiri Neima.
"Kak Nei," lirih Fashion melihat Neima berkedip-kedip dan jelas sekali matanya merah.
Wanita itu juga tak ingin menoleh kepada Fashion seolah sedang menyembunyikan wajahnya.
"Kakak baik-baik saja?"
Neima bergumam.
Sebelum bel masuk, Neima pergi ke kamar mandi. Pertanda masuk nyaring terdengar ketika Neima masih di dalam. Fashion hendak menunggu wanita itu karena demi Tuhan, dia sangat penasaran apa yang terjadi kepada Neima sepanjang hari ini.
"Kelas berapa?" tanya Maya telah berdiri di depan meja Neima.
"Sebelas F akutansi."
Maya mengatakan kalau mereka searah. Dia meminta tolong agar Fashion membawakan tas laptopnya. Karena itu, Fashion tak bisa menunggu sampai Neima kembali. Fashion tidak tega menolak permintaan itu. Berjalan pun mereka harus pelan-pelan sekali. Maya tampak belum pulih betul dari operasi. Tanpa dia ketahui Bu Safrida melihat keduanya dengan senyuman lebar.
***
Bersambung ...
3 Januari 2023
Gimana sama Fashion kali ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top