030 Upaya Meluluhkan

Dari jauh senyuman Fashion telah mekar melihat kedatangan Neima. Dia sengaja tidak langsung masuk, menunggu Neima di gerbang masuk ruangan.

"Pagi, Kak."

"Pagi." Neima biasa saja, tak tersenyum sama sekali. Kakinya dientakkan kuat ketika berjalan.

Fashion menyesuaikan jalan cepat rekannya itu.

"Buru-buru sekali, Kak?" tanyanya.

"Ada sesuatu," ucap Neima. Mereka berdua sampai di pintu ruangan kantor.

"Apa?"

Neima sudah malas menanggapi.

"Aduh!" Neima mengempaskan tasnya ke meja.

"Kenapa, Kak?"

"Laptopku tertinggal."

"Pakai laptop saya," tawar Fashion langsung mengeluarkannya dari tas selempang.

"Aku udah buat separuh soal. Ibu paham gak, ya, buka laptop?" gumam wanita itu.

"Kak Ne buat soal apa? Penilaian harian?"

"PAT."

"Penilaian akhir tahun? Kenapa cepat sekali?" Fashion terenyak mengingat dia belum menulis satu soal pun.

"Lebih cepat lebih baik. Biasanya mapel seni disusun sendiri."

"Jadi bukan untuk hari ini?" tebak Fashion.

Neima menggeleng. Fashion menjadi geram.

"Kalau gitu, gak perlu dilanjut hari ini juga. Nanti saja di rumah."

"Di rumah? Gak ada waktu untuk itu," jawab Neima tak acuh.

Tubuh Fashion tersandar lemas. Dia merasa bukan apa-apa dibanding Neima. Dia ngapain saja di rumah? Hanya tidur, duduk, tiduran lagi.

"Kak," panggil cowok itu. "Lihat Ion, dong."

Neima menoleh dengan malas-malasan.

"Kak Neima sebel kalau lihat Ion?"

"Hah?"

"Kak Nei melihat saya marah nggak?"

"Enggak. Emang kenapa?"

Fashion mengangguk.

"Kenapa denganmu?" tanya Neima teramat bingung.

"Kak Nei benci Ion?"

"Aku benci panggilan itu aja."

"Sama Ion gak benci?"

"Kau? Enggak. Emang kenapa kau tanya seperti itu?"

Pipi cowok itu lagi-lagi merakah oleh senyuman. Dia hanya menggeleng. Itu cukup kalau Neima tidak sebal, marah, dan benci padanya. Dia akan beredar di sekitar Neima sebanyak-banyaknya, menghibahkan waktu luang yang dia miliki untuk Neima.

Dia ingin mengatakan kepada Mimi bahwa kini dia telah menemukan orangnya. Fashion menyangga kepala dengan tangan menghadap Neima. Menatapi wanita yang selalu sibuk sendiri dengan pekerjaannya. Sampai pesan masuk dalam ponsel ia abaikan.

Berdenting sekali lagi akhirnya dia baca.

Kak Asumi

Terang-terangan sekali

Fashion tersenyum semakin lebar. Saat itu, Neima juga melihat ke arahnya.

"Kenapa lagi?"

Kepala milik orang yang ditanyai bergerak-gerak kiri dan kanan.

Sewaktu istirahat, Neima langsung ke UKS seperti biasa, tapi Fashion menyejajari langkahnya.

"Makan di kantin, Kak, sekali-sekali. Ayo!" ajaknya.

"Makan aja. Aku gak tertarik."

Fashion dengan sigap merebut ponsel dari tangan Neima. "Teleponan dari kantin saja sambil makan."

"Leluconmu gak lucu. Kembalikan HP-ku!" bentak Neima.

Fashion tahu bahwa Neima sedang marah sungguhan. Ia mencoba mengikuti saja. Sampai kapan ia menjadi tikus yang mengkeret ketika melihat kucing? Fashion tak lagi gentar terhadap emosi Neima yang gampang sekali naiknya.

"Cari suasana baru juga, Kak. Kak Nei belum lihat gimana keadaan kantin sekolah, 'kan?"

"Penting sekali itu?" sindir Neima.

"Saya ada yang ingin didiskusikan dengan kakak-kakak bertiga."

"Bisa lewat chat aja. Ck ... Fashion, jangan seperti anak-anak! Kembalikan handphone-nya!"

"Kak Nei harus ikut Ion ke kantin, baru Ion kasih." Cowok itu berjalan dengan langkah lebar menuju tempat yang dimaksud.

Terpaksa Neima berjalan di belakangnya dengan muka superkesal.

Kantin tengah ramai. Hampir setiap meja ada yang mengisi. Namun, Fashion tak kesulitan mendapatkan meja kosong sebab sudah ada Asumi dan Dena di sana.

"Selamat datang, Nei," ujar Dena. Dia sangat menyadari isi hati Neima dilihat dari wajah perempuan berjilbab segi empat tersebut.

Neima duduk di sebelah Fashion. Asumi dan Dena juga bersebelahan.

"Kau itu selalu makan sendirian di waktu-waktu mepet masuk kelas, kadang tidak makan. Ion bermaksud baik walau dengan memaksa," bela Asumi sebagai yang tertua di sana.

"Dan kami sudah pesankan dua soto untuk kalian." Dena menambahkan.

"Terima kasih, Bu Dena."

Wajah Neima masih bersungut-sungut. Hilang sudah niatannya untuk video call dengan Hagia. Padahal, anak itu pasti akan bercerita banyak tentang tinggal bersama neneknya di hari pertama.

"Oh iya, Hagia gak diajak lagi, Nei?" tanya Dena sambil menekan-nekan botol saus ke dalam mangkuk bakso miliknya.

"Gak. Di rumah ada neneknya."

"Omong-omong, Pak Ion, kapan jadinya traktir kita makan berempat seperti ini? Ah, iya juga. Gaji kita belum turun. Dua bulan lagi, dong, bisa makan-makan traktiran Pak Ion?"

"Justru itu saya bawa Kak Nei makan bersama-sama. Bisa kita atur kapannya, Bu," kata Fashion kepada Dena.

"Gimana kalau Selasa pulang sekolah?" usul Dena.

"Sepulang sekolah, mampir sebentar di rumah makan. Boleh juga," ucap Asumi.

"Sekarang saja," sela Neima dan semua rekannya melihat Neima. "Kita sudah duduk berempat di meja yang sama. Ini makan bareng namanya, 'kan? Nah, Fashion bayarin."

Semuanya menyadari bahwa yang diucapkan oleh Neima benar. Mereka terdiam. Paham bahwa alasan mereka untuk mengatur waktu temu adalah karena ingin menikmati makanan lain dengan suasana nonkantin.

Asumi melirik Dena. Dena kemudian melihat ponselnya. Dia pun mengangguk.

"Kita semua ingin makan di tempat baru, Kak Nei. Saya dan Bu Dena, Kak Nei juga belum tahu banyak dengan kota ini. Mari kita coba satu per satu tempat makan rekomendasi dari Kak Asumi."

"Saya dengan senang hati memandu anak muda semua," kata Asumi manggut-manggut. "Cek HP, sudah Kakak share lokasinya. Nanti saja sepulang sekolah. Deal, ya." Asumi memutuskan tanpa ingin didebat. Dia lalu makan semangkuk baksonya tanpa bicara sama sekali.

Pulang sekolah yang direncanakan, Neima dengan sangat terpaksa memandu sepeda motor ke lokasi yang diberikan oleh Asumi. Dia sudah menelepon Hagia dan menceritakan alasannya. Sebagai permintaan maaf, Neima akan membelikan makanan dan minuman enak yang ada di kafe itu nanti.

Enzo Kafe tertulis sangat besar di gedung bertingkat dua tersebut. Lantai kedua tak ada dinding, melainkan tiang-tiang serta pagar besi. Neima memarkirkan kendaraan pada tempat parkir roda dua. Dia menemukan Fashion berdiri sendirian di dekat pintu masuk kafe.

"Kak Asumi Dena mana?"

"Di jalan ... mungkin."

Neima berdecak juga mengecek waktu pada ponselnya. "Bisa lebih cepat?"

"Kita masuk duluan aja, Kak? Pesan sekalian untuk mereka."

"Terserah," kata Neima tak lagi tertarik dengan keindahan interior kafe bagian bawah. Asal-asalan dia mencari meja tanpa memilih posisi terbaik, seperti halnya yang banyak dilakukan oleh orang saat berkunjung ke tempat tersebut.

Neima mengambil kertas menu. Dia akan memesan untuk Hagia dan ibunya, setelah itu pulang. Dia betul-betul tidak perlu duduk-duduk bersantai di tempat itu. Begitu menemukan pilihannya, Neima mengangkat tangan. Pramusaji mencatat pesanannya pada selembar kertas kecil.

"Pakai kotak cuminya, ya," jelas Neima ketika lelaki berpakaian kaus berkerah merah hendak pergi.

"Kakak ingin dibawa pulang?" tanya Fashion.

"Hm untuk Hagia sama Ibu."

Fashion ber-Oh. Dia juga menyebutkan apa yang dia ingin makan. "Kak Ne belum pesan," katanya.

Neima menggeleng. "Kau saja. Aku tak lapar."

Pada saat itu, ponsel Neima hidup. Dia membuka pesan dari Asumi yang mengatakan tidak bisa pergi. Begitu pula Dena yang beralasan kakaknya tiba-tiba sudah menunggu di depan kos-kosannya. Neima kesal, tapi dia lebih senang sebab tak perlu menunjukkan ketidaksukaannya kepada dua rekannya yang lebih tua itu. Kalau Fashion, sudah biasa.

"Mereka gak bisa datang," lapor Neima menunjukkan WhatsApp dari Asumi.

Fashion segera mengejar mas-mas pramusaji dan mengatakan pesanannya juga dibungkus saja.

"Kenapa?" tanya Neima begitu Fashion duduk lagi.

Cowok itu hanya tersenyum.

Mereka menunggu sekitar tiga puluh menit lalu pesanan dibawakan ke meja. Fashion berterima kasih kepada pengantar makanan tersebut. Lalu ia berdiri.

"Ayo pulang, Kak Ne."

"Kau tidak jadi makan di sini?"

"Gak. Takut ditinggal," katanya pelan sekali, tetapi tetap mempertahankan senyumannya.

Milik Neima juga dibawakannya.

"Pesanan aku untuk Hagia mana?" tanya Neima ketika mereka tiba di luar.

"Ini." Fashion mengangkat paper bag agak tinggi. "Ion aja yang bawa ke rumah Kak Neima."

"Aku saja," tolak Neima, ingin mengambil dari tangan Fashion.

"Saya, Kak. Kakak berkendara dengan aman, ya. Sampai jumpa di rumah Kakak." Fashion masuk ke mobil. Ia jalan lebih dulu meninggalkan Neima yang bengong.

Ketika Neima sampai di rumah, dia tidak menemukan mobil Fashion.

"Hagia!" panggilnya sejak dari teras.

Anak kecil itu berlari-lari menemuinya. "Nei udah pulang!"

"Om Ion datang nggak?" Neima melepaskan sepatunya.

"Eng—tuh! Mobil Om Ion," tunjuk Hagia ke jalan.

Suara klakson sekali menjadi penanda. Kendaraan warna putih itu berhenti. Fashion turun dengan menenteng dua paper bag.

"Assalamualaikum. Hagia, Om Ion bawakan makan siang Hagia dari ibu," jelasnya menggoyang-goyangkan barang bawaannya.

"Nei beli apa jadinya?" tanya Hagia segera mengambil tas kertas dari Fashion.

"Agak berat. Kasih ke ibu aja. Ini, Kak Ne. Satunya punya Kak Nei."

"Aku gak pesen," tolak Neima keras kepala.

"Ada, kok, di dalam. Ion pesan jadikan dua."

"Ayo," ajak Neima tak mungkin mengusir orang yang sudah membayarkan seluruh makanan itu.

Hagia yang paling bahagia dibawakan berbagai makanan. Cumi saus manis, kerang yang katanya makanan paling keras sedunia, brownies lumer, dan minuman dingin. Mereka makan berempat di meja makan rumah itu.

Meida mengamati saja bagaimana Fashion saat berbicara dengan Hagia. Sesekali ia menangkap mata lelaki itu melirik Neima dengan penuh makna. Dan Meida menggeleng-geleng sewaktu melihat Neima tidak menyadari sikap lelaki yang lebih muda darinya itu sama sekali. Jika diingat apa yang telah dialami Neima, pasti akan sulit untuk membuka lembaran yang baru. Namun, Neima membutuhkan seseorang di sampingnya.

"Bahagialah, Nei," bisik ibunya dan meneruskan makannya.

*** 

Bersambung ...

23 Desember 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top