026 Tantangan Kehidupan


Lelehan air mata menuruni pipi. Jatuh di bantal membentuk sebuah jejak, lalu hilang. Mata yang seharusnya terpejam di tengah malam justru mengawang memikirkan keadaan. Tangis dalam diam itu terasa lebih menyakitkan. Ia tak ingin seseorang yang tidur dengan nyaman di sisinya terganggu. Ia melarang dirinya memperlihatkan kelemahan itu kepada gadis kecil yang dia cintai. Gadisnya cukup pintar untuk menelaah keadaan hatinya. Dia akan menanyakan apa yang tengah dihadapi ibunya. Seperti janjinya, ia hanya ingin putrinya merasakan kebahagiaan tanpa kenal apa itu kesedihan.


Lelah. Baik badan juga pikiran rasanya ingin menyerah. Tak ada tempat bagi Neima untuk membicarakan itu sebagaimana dahulu ia menyandarkan kepalanya di bahu Dika. Membicarakan semua masalah dan kesulitan yang tengah ia hadapi. Sebagai seorang ibu kini Neima harus terlihat kuat, walau pada kenyataannya Neima belum sekuat itu. Dia selalu terjebak oleh keputusannya sendiri. Dia kesulitan menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi di saat dia harus menampilkan bahwa semuanya baik-baik saja.


Keuangan. Masalahnya kini berputar pada lembaran rupiah yang dia butuhkan untuk memberikan anaknya makanan dan kebutuhan yang layak. Tiga bulan lamanya dia bekerja tanpa digaji. Sementara ini baru satu bulan dia jalani. Dia membutuhkan dua bulan lagi menghemat dan menggenjot ekonominya sendiri. Segala usaha sudah dia kerahkan; melakukan promosi meski harus sering naik-turun kendaraan umum dan jika menggunakan kendaraan sendiri, ia harus membeli lebih banyak bahan bakar. Sementara yang datang ke binatu hanya beberapa orang saja.

 
Ia sangat malu jika harus mengadu kepada orang tuanya yang juga menjalani kehidupan sangat keras bahkan sejak dahulu. Dia hanya tahu uangnya tersedia, begitulah selama ini. Setelah merasakan menjadi orang tua, Neima tak sanggup lagi merepotkan orang tuanya sendiri. Ia mengecek nominal dalam aplikasi perbankan. Uang yang ia miliki takkan mencukupi segala kebutuhan mereka dua bulan ke depan.

 
"Mau pipis, Ne," ucap Hagia membuat Neima buru-buru mengusap wajahnya.


"Ayo!" Suaranya serak. Neima harap Hagia mengira itu dikarenakan bangun tidur.


"Lampunya mati," kata Hagia sewaktu mereka bersama-sama jalan ke kamar mandi yang terletak di dekat dapur.


Neima cepat meraih tangan anaknya. Dia menyesuaikan matanya dengan kegelapan, hingga akhirnya dapat mengantarkan Hagia ke kamar mandi dengan aman. Mereka kembali ke kamar dengan berpegangan tangan.

 
Biaya listrik adalah pengeluaran rutin. Tanpa listrik usaha pun sia-sia. Mesin cuci tak bisa beroperasi tanpa listrik. Neima telah biasa dengan kegelapan. Dia tidak ketergantungan terhadap listrik, beda dengan usaha yang ia jalankan.

 
"Nenek mau kirim mangga, Ne." Tampaknya Hagia belum mendapatkan kantuknya kembali.

 
"Oh ya?"

 
"Agar-agar Nei enak. Hagia mau belajar pakai mangganya Nenek. Nei mau makan bikinan Hagia?"


"Bisa?"


Hagia bergumam. "Iya, dong, belajar dulu sama Nenek. Kalo Hagia udah pintar, Hagia mau jualan. Nanti uangnya untuk beliin Nei mobil."


"Aamiin. Kau bisa beli apa pun yang kau mau." Neima akan memenuhi keinginan itu.

 
"Nei lagi sakit? Atau capek kerja?"


"Gak."


"Kalau sakit bilang, gak boleh ditahan sendirian. Kan ada Hagia. Hagia udah besar loh. Nei cerita aja sama Hagia."

Neima tersenyum dalam gelap. Air mata yang kini mengalir hangat lebih karena ia terharu sebab ada seseorang yang takkan pernah meninggalkannya dalam kondisi apa pun.

"Aku gak sakit, Hagia. Neima nggak pernah sakit."

 
"Janji, ya, Nei selalu sehat untuk Hagia."


"Iya-iya ... Kau terdengar seperti ibuku dibanding anakku."


Hagia mengikik. "Hagia udah besar."

 
Lalu Neima merasakan jemari kecil sang putri mengusap pipinya. Telapak tangan yang dingin itu berhenti lama di wajah Neima.

 
"Nei lagi kenapa? Cerita aja sama Hagia. Gak akan Hagia ceritain ke orang-orang kalo rahasia."


Neima menjauh. Lupa bahwa pipinya basah. Karena gelap, Neima menganggap putrinya takkan sampai tahu.


"Betul?"


"Iya. Hagia juga gak akan beritahu Kak Aulia kalo Nei nangis."


"Nanti. Aku akan cerita nanti. Sekarang mengantuk. Ayo tidur lagi."


Hagia lalu membaca doa sebelum tidur dengan keras untuk mereka berdua. Setelah Hagia tertidur, pikiran Neima kembali berkelana dalam gelap. Sepertinya ia harus menambah pekerjaan. Ia tak akan meletakkan SK-nya di bank. Sungguh, ia ingin menyimpan kertas itu dalam lemarinya saja.


Neima melihat-lihat pekerjaan paruh waktu yang dapat dilakukan malam hari. Tentunya ia hanya memiliki kesempatan pada jam malam. Pagi di instansi, siang hingga sore di laundry, dan sebelum tidur ia bisa bekerja di satu tempat lagi. Tak banyak yang cocok untuknya yang hanya bisa merias wajah. Apa ia melamar di SPBU untuk shift malam? Neima lantas menggeleng. Bisa-bisa ia mengganti rugi lebih banyak dibanding gajinya jika sampai salah mengembalikan uang.

Paginya Neima baru saja duduk sambil mengumpulkan kesadaran saat kamarnya diketuk. Matanya yang sangat lekat dan butuh lelap lebih lama terpaksa diperintahkan bangun. Andai ia bisa meliburkan diri hari ini sebab kepalanya terasa berdenyut. Jarang-jarang ia begadang hingga tidak terbiasa melawan kantuk di pagi harinya.


"Masuk aja, nggak dikunci."


Daun pintu terkuak memperlihatkan wajah Aulia yang sama kusutnya. Gadis itu sepertinya juga melewatkan malam tanpa tidur. Aulia duduk di tempat tidur Neima.

 
"Kak," panggilnya. Ia menunduk memperhatikan motif seprai.


"Ada apa?"


Aulia melihat Hagia di sebelah Neima. Tidurnya masih nyenyak dengan kaki melebar ke mana-mana. Tangannya pun juga sama. Rambut yang panjang berserakan di sekitar kepalanya.


"Kak Nei bisa kalau hanya berdua dengan Hagia?"


Neima menelaah arti tersirat dari pertanyaan tersebut. "Kau ingin pulang?" tanyanya.


"Gak tahu," jawabnya sembari menggeleng. "Aku ingin di sini, tapi harus pulang. Kalau aku tidak ada, bagaimana dengan Hagia?"


"Pulanglah."


Aulia sungguh dilema memikirkan betapa sulitnya Neima tanpa dirinya. "Aku ditelepon Dokter Ilham. Ayah sakit dan gak bisa ngapa-ngapain. Aku ingin di sini. Ayah membutuhkan aku. Kak Nei dan Hagia gimana kalau aku pergi?"


"Ayahmu sakit apa?"

 
"Jatuh. Kakinya digips."


"Yang harus kau pikirkan itu ayahmu. Pulang dan temani ayahmu. Selain membantu keperluannya, kau harus menghibur hatinya. Dia pasti sangat ingin kau berada di sana. Aku yang salah, terlalu memforsir tenagamu hingga tak sempat memberimu waktu untuk pulang. Sekarang berkemaslah. Aku akan telepon travel."


Setelah Aulia mengemas pakaiannya yang tidak seberapa, Neima menelepon angkutan umum yang akan mengantar ke daerah asal mereka. Barulah Hagia dibangunkan. Hagia akan bertanya-tanya jika Aulia tiba-tiba pergi tanpa berpamitan.


"Kak Aulia akan ke sini lagi, 'kan?"


"Iya. Kakak ingin kembali ke sini. Doakan, ya, ayah Kak Aulia lekas sehat lagi." Lalu Aulia mengingat sesuatu. Mungkin begini lebih baik, "Hagia ikut Kak Aulia, yuk!"


Neima berpikir Aulia sedang berbasa-basi. Biasanya, orang-orang akan mengajak atau menawarkan seseorang ke rumahnya. Begitulah dunia yang penuh dengan hal-hal yang tak penting, tetapi sangat penting sebagai keramah-tamahan berkehidupan.


"Gak mau. Nanti Nei sama siapa?"


"Ibu Hagia berani sendirian. Justru Hagia membantu ibu kalau mau ikut sama Kak Aulia."


"Hagia mau membantu Nei. Memangnya kalau Hagia pergi, bisa bantu Nei apa?"


Aulia mengangguk sangat yakin. Neima masih menyimak obrolan mereka.

 
"Ibu kan kerja. Kalau ibu kerja, Hagia sama siapa di rumahnya? Kalau Hagia di rumah sendirian, ibu juga pasti kepikiran terus."


"Iya. Hagia gak berani di rumah sendirian. Takut."


"Ayo, ikut Kak Aulia. Kak Aulia antar Hagia ke rumah nenek sama kakek."


"Aulia," imbau Neima yang mulai menyadari sesuatu, "kau serius?" tanyanya.


"Serius, Kak. Kak Neima akan bebas bekerja kalau Hagia tinggal sama neneknya."


"Kenapa kau pikir aku bebas kalau Hagia tidak tinggal denganku? Kenapa kau mengatakan seolah-olah aku akan mendapat kesulitan dengan Hagia anakku?"


"Kakak bekerja setiap hari. Lalu, apa Hagia akan Kak Nei tinggal sendirian? Bahaya bukan, Kak? Apakah Kak Nei akan membawa Hagia pergi ke sekolah? Apa boleh? Nanti, tiga bulan lagi, Hagia masuk sekolah. Siapa yang menjemputnya pulang sekolah?"


"Itu bukan sesuatu yang harus kau pikirkan, Aulia." Neima mengucapkannya dengan geraman tertahan di antara giginya. "Pulanglah sebelum aku kelepasan. Aku tidak ingin kau kena mental kalau sampai kepalaku meledak. Tunggu di luar hingga travel datang. Aku harus ke dalam."

 
Neima mengulurkan tangan. Aulia menyambut itu dengan gemetar dan berurai air mata. Dia menerima uang pemberian Neima lalu mengusap air matanya saat melihat Neima berjalan ke dalam. Sepertinya Neima takkan menunggu sampai ia masuk ke mobil. Ia memang terlalu ikut campur karena berpikir idenya bisa diterima.


"Sampaikan pada ibu, Kak Aulia minta maaf," pinta Aulia kepada Hagia.


"Pasti Hagia bilangin Nei. Nei kenapa, ya, Kak Aulia? Nei marah sama Kak Aulia?" Hagia melihat wajah Neima. Dahulu, telah lama sekali, Hagia tidak pernah lagi menyaksikan Neima semarah itu.

 
"Kak Aulia yang salah. Tolongin bilang sama ibu, Kak Aulia gak bermaksud bikin ibu kesal. Kak Aulia sayang sama Hagia dan ibu Hagia."


Hagia bergumam untuk menanggapinya. Dia menemani Aulia sampai sebuah mobil menepi di pinggir jalan depan rumah. Namun, itu bukan travel.


"Assalamuaikum. Pagi," sapa seorang laki-laki berpakaian batik dan celana hitam berdasar lembut. Ia tampak segar dengan rambut tersisir dan berbelah di bagian kanan. Kaca mata dengan bingkai lebar itu menambah manis yang memakainya.


"Kumsalam," jawab Hagia, "Om Ion. Hagia kira Om Ion travel yang dipesan Kak Aulia."


Fashion Klein melihat dua tas besar di sebelah kaki Aulia. "Kak Aulia mau ke mana?"


Aulia sibuk menjaga wajahnya supaya tidak terlihat oleh si tamu. Suaranya yang serak pertanda menangis juga tidak memungkinkan ia menjawab. Beruntung ada Hagia yang jadi juru bicara.


"Mau pulang ke rumahnya, Om. Ini lagi nungguin jemputan. Hagia nemenin Kak Aulia sampai pergi. Kalau Nei, lagi siap-siap tuh di dalam."


Aulia membisiki Hagia, "Pesilakan Om Ion duduk."


"Om kata Kak Aulia disuruh duduk."


Senyuman mengembang di pipi Fashion sebelum mengenyakkan bobotnya di kursi.
"Pulangnya lama, Kak Aulia?"

Aulia berdeham sebelum bicara, "Cukup Aulia saja, Bang. Kemungkinan lama."


"Ada acara di kampung halaman?"


Aulia melayani pertanyaan basa-basi itu, "Bukan. Hanya ingin jadi anak berbakti saja," katanya.


"Oh," jawab Fashion sekenanya.


Mereka bertiga menoleh ke arah jalan yang memperlihatkan sebuah minibus minggir di dekat pagar masuk.


"Itu mobilnya?" Fashion bertanya dan berdiri, siap membawakan barang-barang milik Aulia.


"Iya."


Fashion dengan sigap menenteng kedua tas Aulia ke bagasi mobil yang telah dibuka oleh supirnya.


Sementara itu, Aulia memeluk Hagia. Ia mencium kedua pipi Hagia dan puncak kepala gadis kecil itu, kemudian berbisik, "Maaf sekali Kak Aulia gak bisa nemenin Hagia dan bantu ibu lagi. Tolong banget sampaikan permintaan maaf Kak Aulia sama ibu, ya. Kak Aulia berangkat. Sampai ketemu. Kalau Hagia pulang, jangan lupa main ke rumah Kak Aulia."


Mereka berdua berpelukan lagi. Aulia naik melalui pintu tengah mobil tersebut. Ia melambai sampai mobil tersebut menjauh. Tanpa diketahui siapa pun, Neima mengintip kepergian Aulia dari dalam. Emosinya sangat terkuras mendengar semua yang dituturkan Aulia. Jika ia tetap di sana melihat Aulia, dia tak yakin akan menahan kemarahan yang sudah mencapai ubun-ubun.
Ia sangat tersinggung oleh kata-kata yang Aulia ucapkan, walaupun dia tahu maksud Aulia adalah baik. Ia hanya tak terima bahwa Hagia dianggap seakan mengikat langkahnya, bahwa kehadiran Hagia merepotkan dirinya. Apa pun yang terjadi, Neima akan bersama Hagia. Entah bagaimana ke depannya, Neima akan memikirkannya nanti.

*** 

bersambung ...

11 Desember 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top