024 Makin Hari Tambah Manis

"Bang."

"Apaan? Jomlo, ya? Neleponnya gue, bukan pacarnya," sindir yang di seberang.

Fashion merebahkan punggung ke tempat tidur. "Yang ditelepon juga jomlo."

"Ck! Cerita aja. Nggak mungkin telepon karena lu kangen sama gue."

"Gak! Enak aja. Ngapain kangen sama situ!" rajuk Fashion.

"Please, yang di sana, jantan dikit. Kita udah susah payah trening lo biar jadi laki. Jangan ngondek lagi!"

"Nggak lucu."

"Yang ngelucu siapa, Cantik?"

"Bang." Fashion mengusap-usap rambutnya sendiri sambil menatap langit-langit kamar kos.

"Ada apa, adikku calon anakku?"

Fashion tak terganggu. Dia sedang banyak pikiran, ingin menceritakan semua yang dia rasakan, tapi tak ada yang keluar dari bibirnya.

"Gue santet juga lu lama-lama. Cepetan cerita! Gue mau mau boker, Bego!"

"Gak ada. Cuma manggil aja."

"Asss aauuu! Mati aja lo!" Arjun mematikan telepon.

Fashion tersenyum lebar. Dalam kepalanya bayangan Neima yang lagi tersenyum terputar dengan jelas.

"Kak Nei. Kakak udah apain Ion?"

Ponsel Fashion bergetar. Dia mengabaikan panggilan masuk itu. Enggan mengusik bayangan Neima yang begitu cantik dalam kepalanya. Sepertinya si penelepon tidak ingin menyerah.

"Cepet banget. Udah selesai BAB-nya?" tanya Fashion malas-malasan.

Tak ada lagi keinginannya untuk berbagi cerita. Dia ingin menyimpan kisah tadi untuk dirinya sendiri. Tadinya Fashion sangat senang membagi kerisauan maupun kebahagiaan kepada Arjun. Sewaktu Arjun kuliah di luar pulau, teleponan seperti tadi sudah biasa mereka lakukan.

"BAB?"

Suara perempuan dalam telepon itu membuat Fashion langsung duduk.

"Ih siapa yang lagi buang air."

Fashion melihati penampilannya. Piyama bergaris lengan pendek dan celana pendek, bukan pasangan dari baju yang sedang dipakainya itu. Asal pakai saja tidak peduli penampilan. Dirinya sendirian di kamar. Tak ada keperluan untuk keluar. Lagian kalau mau keluar, tinggal lapisi dengan jin dan jaket. Namun, karena si penelepon, Fashion merasa penampilannya tidak layak, malu-maluin.

"Sudah kau pelajari yang tadi pagi?" tanya suara di dalam gawai tipis Fashion.

Fashion yang sedang ribet memikirkan penampilan kembali diingatkan dengan kejadian pagi tadi. Dia memutar ulang saat telapak tangan wanita cantik itu mengusap rambutnya hingga membuat Fashion hampir menjerit karena terkejut.

"Fashion! Kau tidur atau masih bangun?" Neima meningkatkan volume suaranya karena Fashion tidak kunjung memberikan jawaban.

"Nei kenapa teriak-teriak?" tambah suara di latar belakang si penelepon. "Nei keluar dulu. Nanti kau terganggu. Tidur lagi, sayangnya Nei."

"Itu Hagia?" tanya Fashion untuk pertama kalinya.

"Hm."

"Kakak belum tidur?"

Fashion mendengar orang di sana berdecak. Dia yakin sudah membuat wanita paling cantik itu kesal.

"Ah! Itu!" Fashion sedang memikirkan bagaimana caranya membuat Neima tidak kesal lagi. Lalu dia mengingat pertanyaan awal Neima. Pemuda yang menanggalkan kaca mata baca itu akhirnya paham apa yang ditanyakan oleh kakak cantik itu.

"Belum saya pelajari. Namanya apa tadi, Kak?"

"Aku WA file-nya." Neima menjeda ucapannya.

Fashion menunggu. Dalam beberapa detik, sebuah dokumen masuk ke ruang pesan mereka.

"Kakak mau dikerjakan malam ini?" tebak Fashion. Seakan lupa bahwa ini adalah Neima. Neima sang juara.

Neima bergumam.

"Bantu, ya?" pinta Fashion.

Fashion tanpa sadar melancarkan sebuah 'modus' yang dia sendiri tidak menyadarinya. Putra tunggal Mimi Riris belum pernah melakukan apa yang tengah dia lakukan saat ini. Meminta sesuatu demi sesuatu yang lain kepada perempuan. Kalimat itu tercetus begitu saja supaya bisa berkomunikasi lebih lama. Biar tidak dikatai Arjun jomlo karena cuma bisa menelepon Arjun saja.

"Hm. Aku sudah sama laptop," sahut Neima.

Kalau saat itu bukan di atas pukul sembilan, Fashion takkan segan-segan memacu mobilnya ke tempat Neima tanpa bertanya. Tiba-tiba sudah di depan rumah wanita itu. Sayang sekali, ini pukul sepuluh malam. Terlalu larut untuk menamui seorang wanita.

"Tunggu sebentar, Kak. Laptop saya ...." Fashion mengepit gawai di pundaknya. "Taruh di mana?" gumamnya. Sungguh kali ini pikirannya kocar-kacir.

"Bentar bentar, Kak. Ion bisa lupa naruh laptopnya di mana." Dia mengambil tas sekolah yang ternyata tidak ada di dalamnya.

"Laptop Ion ke mana?" Cowok itu bergumam. Dia sangat cemas membuat Neima menunggu.

"Kau sudah makan, Fas?" tanya Neima di sana dengan nada lembut.

"Hm. Udah." Laki-laki itu panik mencari-cari di seluruh kamar.

"Kunci mobil ingat taruh di mana?" tanya Neima.

Fashion pun mengangguk.

Karena Fashion tak menjawab, Neima mengulang. "Kau dengar?"

"Ini kuncinya. Untuk apa, Kak?"

"Mungkin saja tas laptopnya kau letakkan di mobil?"

"Astagfirullaahal'adzim. Kak Nei betul!" Fashion keluar sambil berlari kecil. Dia membuka pintu depan dan melihat benda yang sedang dicari duduk manis di kursi penumpang. "Ada, Kak!" serunya riang.

Fashion memeluk benda persegi itu di dadanya sambil berjalan ke kamarnya. Lalu setelah menutup pintu dari dalam, dia teringat dengan baju dan celananya.

"Ah, biarin yang penting gak dilihat Kak Neima," pikirnya sambil tersenyum ceria.

"Aku pikir karena belum makan, isi kepalamu menolak diajak kerja." Neima menambahkan.

"Kak Nei sudah makan malam? Hagia?" Fashion membuka laptop dan menunggu laptopnya siap. Ternyata jam laptop telah menunjuk 22.20.

"Kak Nei," panggilnya.

"Apa?" Neima ketus, mungkin mengira Fashion masih kekeh ingin mendengar jawaban sudah makan atau belum.

"Ini sangat larut. Kak Nei istirahat saja. Saya yang mengerjakan."

Tak kedengaran tanggapan dari Neima.

"Sungguh?"

Fashion tersenyum. "Iya. Kakak tidur saja. Jangan kecapean. Kakak percayakan ini sama saya."

"Ini terakhir aku tanya, apa kau sungguh-sungguh? Maksudku, aku bisa menemani, walau mungkin nggak mampu bantu." Kedengaran Neima meringis.

"Kak. Tidurlah," ulang Fashion.

"Kalau begitu, tolong ya," pinta Neima.

"Iya. Selamat malam, Kak Nei." Fashion langsung mematikan telepon itu sebelum lidahnya kepeleset mengatakan, "Mimpi indah, Kakak Sayang."

Fashion menyelesaikan dokumen excel itu pada pukul dua pagi. Dia mengabarkan pekerjaannya telah selesai kepada Neima.

"Besok bangun tidur, Kak Nei bisa lega tugasnya sudah selesai."

Fashion mengalami insomnia sebab jam tidur yang lewat dari biasanya. Dia pun membuka aplikasi perpesanan dan membaca ulang chat pertama dengan Neima. Dahulu dia masih bergantian membalas pesan Neima dengan Mimi. Cowok berpiyama itu senyum-senyum sendiri. Dia teringat lagi chat saat ia minta izin untuk menyimpan nomor Neima. Sampai sekarang nama kontak Neima tetap Neima Devira. Mungkin suatu hari Fashion akan menggantinya dengan nama kontak yang baru.

Paginya Fashion datang lebih pagi ke rumah Neima. Dia akan memberitahukan secara langsung karena Neima belum membuka aplikasi WhatsApp-nya. Lagi-lagi Fashion kalah cepat. Neima baru saja berangkat, terang Aulia. Setiba di sekolah, cowok berpakaian cokelat tua itu mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan kantor. Neima tidak ditemukan di mana-mana. Fashion ingin meletakkan tasnya ke meja sebelum pergi mencari keberadaan wanita yang telah terlalu sering masuk ke dalam pikirannya itu.

"Eh?"

Fashion terkejut melihat sosok yang dicari berada di lantai, di antara bangku mereka berdua. Kepala Neima rebah ke bangkunya sendiri, menghadap bangku milik Fashion. Fashion duduk pelan-pelan.

"Tuhkan Kak Nei jadi kurang tidur," ucap Fashion lembut. Tidak tega melihat perempuan cantik itu tidur dalam posisi duduk. Di lantai pula.

Satu per satu guru datang dan menyapa Fashion. Belum ada yang melihat keberadaan Neima.

"Tumben Neima belum datang?" tegur Dena melihat meja sebelah Fashion masih kosong.

"Tasnya ada tuh," kata Asumi. "Di toilet mungkin."

Neima bergerak. Matanya pelan-pelan terbuka. Sepasang mata merah itu berserobok dengan mata Fashion.

"Pagi," sapa Fashion tersenyum.

"Hm." Neima kembali menutup matanya sebentar. "Udah bel?"

Fashion menggeleng. "Ngantuk, Kak?"

"Hm. Kalau tidur di rumah, nanti terlambat."

"Dingin?" tanya Fashion khawatir Neima masuk angin.

"Sepertinya bawa selimut untuk di bawah seru juga," kata Fashion. "Ada yang pas luasnya bikinan Mimi."

Neima berdiri. "Untuk apa? Kau ingin piknik di kantor?"

"Loh dari mana datangnya Neima?" tanya Asumi dan Dena cekikikan sendiri.

"Untuk apa saja. Bisa dipakai untuk selimut atau nambah empuk kursi. Atau kayak tadi."

Neima pura-pura tak dengar. Dia sebetulnya ingin merebahkan punggungnya juga di lantai. Dia tidak ingin mengotori seragam dinasnya. Dan ternyata lehernya terasa nyeri sekarang.

"Gimana yang tadi malam?"

"Nih sudah saya print," ujar Fashion bangga dengan hasil kerjanya.

"Apa itu, Pak Ion?" tanya Dena mendekat. Asumi juga ingin melihat dari dekat.

"SKP Kak Neima. Kita belum, Bu Dena, Kak Sumi. Nanti tinggal diganti nama saja."

Asumi melihati isinya. "Ini kan tugasnya Pak Gufran."

"Gak apa kita bantu. Bapak yang isi nilainya. Datanya kita yang buat." Fashion menjelaskan.

Sementara itu, Neima tidak memahami arah pembicaraan tersebut.

"Terima kasih. Aku nggak mampu membuatnya sendiri. Terima kasih sudah membantuku," ungkap Neima dengan sepenuh hati dan sejujur-jujurnya.

"Sama-sama. Ambillah, Kak." Fashion menyerahkan print out dokumen tersebut.

Fashion ikutan senyum juga melihat senyuman tipis Neima yang tercetak di bibirnya sewaktu membuka-buka lembaran itu. Lelaki itu tidak mendengar dehaman Asumi. Sementara itu, Dena kembali tertawa-tawa. Baginya menyaksikan tingkah Fashion ketika naksir seseorang itu suatu pemandangan lucu. Dia melihat jelas seseorang yang berbunga-bunga di saat orang yang satunya tidak peka. Dena berpikir, apakah memang tidak peka atau pura-pura?

"Semalam tidur pukul berapa, Nei?" tanya Dena.

"Hm?" Neima cuma bergumam dan langsung duduk di bangkunya, seakan pertanyaan itu tidak penting.

"Kalau Pak Ion?"

Fashion garuk hidung. Menunduk sedikit sambil senyum kecil. "Lewat jam dua, mungkin." Dia tidak tahu tepatnya ketika matanya menyerah.

Neima melirik kepada Fashion. Wajahnya datar saja. Dena yang melihat itu merasa prihatin terhadap sang lelaki.

"Kelihatannya gak kayak orang habis begadang, Pak Ion," celetuk Dena sambil bercanda disertai senyum menggoda.

Fashion berdeham pura-pura sibuk dengan kertas soal. Dena tertawa sumir kemudian pergi ke bangkunya, mengikuti Asumi yang sudah duduk sejak tadi.

"Suka lihat mereka berdua."

Asumi memukul lengan Dena. "Sejak kapan kau ikut-ikutan aku? Tugasku untuk menyeret Neima!"

"Lanjut! Aku yang nonton. Tuh lihat, masih ngelirik." Dena menutup bibirnya supaya ketawanya tidak ketahuan.

"Gak apa-apa. Biar si Nei cepetan bakar buku hijaunya yang lama. Mereka berdua sangat serasi." Kemudian Asumi melirik kepada Dena. "Kau cari yang lain, Den."

Dena berdecak. "Iya!"

Bel masuk berbunyi, menghentikan kegiatan dua orang guru tersebut.

***

Sepulang sekolah. Bel tanda berakhirnya pelajaran bergema ke seluruh sudut sekolah. Terdengar doa dan salam di mana-mana. Lalu suara langkah kaki juga lari-lari. Kelas Neima terlihat sangat tertib. Tak ada yang tergesa-gesa ingin pulang. Para siswi pun sedikit tidak rela dengan habisnya jam pelajaran. Mereka belum puas mendengarkan cerita soal tari-tarian. Ditambah sesekali melihat contoh singkat gerakan tari daerah yang dilakukan oleh guru mereka, Neima Devira. Apalagi siswa laki-laki. Semuanya melihat dengan takjub bagaimana gemulai dan lenturnya tubuh guru Seni Budaya itu ketika bergerak.

"Ucap salam kepada Ibu Guru!" seru ketua kelas.

Gema salam pun terdengar lalu dijawab oleh guru mereka.

"Waalaikum salam. Sampai jumpa Selasa depan, Anak-anak."

Mereka keluar satu per satu dengan mencium tangan ibu guru. Di depan kelas ternyata Pak Guru Ion sudah menunggu. Para siswa juga menyalimi tangan Fashion.

"Mari, Pak." Ramah-tamah serta hormat mereka lakukan setiap melewati sang pendidik. Tak hanya kepada guru yang mengajar atau mereka kenal, yang tidak pernah masuk kelas mereka pun disapa dengan takzim.

"Sore, Bu Neima." Giliran Fashion setelah tak ada lagi siswa dalam kelas tersebut.

Neima hanya mengangguk.

"Pulang, Kak?"

"Enggak." Neima tak melihat ke sebelahnya sama sekali. Suaranya juga ketus. Padahal sapaan untuknya sungguh lembut dan sopan.

"Oh. Maaf," ucap Fashion yang merasa dirinya sudah melewati batas. Saking semangatnya hari ini, dia tidak sabaran untuk melihat Neima lagi. Akhirnya, melupakan sesuatu yang penting. Neima tidak menyukai ditanyai masalah pribadi.

Tiba di ruangan kantor, Neima langsung beres-beres tas. Kemudian tanpa berkata apa-apa dia keluar ruangan. Fashion ragu ingin mengejar atau diam saja. Pemuda itu memutuskan diam saja. Dilihat dari mood ibunya Hagia tadi, Neima Devira tak ingin diganggu.

Fashion berjalan ke lapangan parkir dengan santai. Sekolahan mulai sepi. Dia bisa melihat-lihat kemegahan sekolah negeri kejuruan tersebut dengan leluasa. Tanpa diganggu sapaan yang wajib dibalas dengan tersenyum. Entah nasib baik apa yang didapatkan pemuda manis tersebut, di gerbang masih ada Neima Devira sedang minum es dari cup. Neima duduk di bangku panjang depan pos satpam. Kali ini Fashion buru-buru masuk mobil dan membawa kendaraannya mendekati sang ibu guru.

"Masih di sini, Kak." Fashion menurunkan kaca.

Neima mengangguk karena mulutnya tengah sibuk mengunyah sop buah. Tangannya yang memegang gelas minuman terulur ke arah Fashion. Tidak ada wajah jutek seperti yang ditemui Fashion sekeluar kelas tadi. Pikiran Neima sedang bersantai sambil menikmati minuman manis.

Fashion paham bahwa Neima hanya berbasa-basi menawarkan minuman tanpa bicara. Hatinya keburu senang dengan perbuatan kecil Nei-nya Hagia itu. Fashion menggeleng sambil tersenyum.

"Saya duluan, Kak Nei." Lelaki itu mengangguk pamit.

"Hati-hati." Neima tersenyum dan melambaikan tangan.

Kali ini efeknya sangat hebat. Fashion betul-betul mendengar petasan dalam kepalanya. Dia melihat Neima dari spion sampai benar-benar menjadi titik kecil. Hilang.

Satu hal yang luput oleh pemuda itu. Alasan kenapa Neima mau mengulas senyum dan memberikan tanggapan manis. Fashion tidak berbaik hati menawari Neima tumpangan dan langsung pulang tanpa niatan untuk menemani Neima serta Fashion menyapa di saat yang tepat.

****

Bersambung ....

5 Desember 2022

Payah Ion kalau nggak bisa baca mood Kak Nei.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top