021 Mengenal Lebih Dalam
Setelah selesai dengan berkas yang akan diserahkan ke bendahara dinas, keempat CPNS meminta izin untuk pergi di pagi hari. Neima sendiri dari rumah langsung menuju kantor dinas pendidikan. Dena mengajak Asumi pergi berdua dari sekolah dengan sepeda motor milik Asumi. Kendaraan Asumi tetap di sekolah.
"Naik mobil saya saja semuanya," tawar Fashion dan diangguki oleh kedua temannya.
Pukul setengah delapan mereka bergerak ke tempat tujuan. Waktu yang dibutuhkan tidak terlalu lama untuk sampai ke Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat. Baru saja kendaraan hitam itu melewati gerbang, sosok yang seharusnya ada bersama mereka sedang berjalan ke arah luar. Fashion perlu memarkirkan kendaraan. Apabila ia berjalan lagi dari mobil ke tempat wanita itu, dipastikan ia terlambat.
"Kak Asumi, bisa turun temui Kak Neima?"
Pintar sekali!
Fashion tidak menduga bibirnya terlalu fasih. Itu semua spontan saja sebab sejak di sekolah tadi dia berharap bisa membawa serta Neima. Namun sayang Neima sudah pergi duluan dari rumahnya.
"Sekalian ke sekolah bareng kita, Kak." Fashion menambahkan kalau-kalau Asumi akan kembali berpikir aneh-aneh.
"Iya, Pak Ion. Ini saya mau turun." Guru berbadan gemuk itu menutup pintu setelah keluar. Dapat dilihat dari spion samping kalau Asumi sedang berbicara dengan Neima. Asumi menunjuk mobil Fashion.
Dena di bangku belakang tak berkomentar apa-apa. Nalurinya sebagai perempuan sudah lama melihat sikap Fashion terhadap Neima. Bukan hanya karena dia mengakui Neima lebih cantik dan bertubuh lebih bagus darinya, Neima juga punya sesuatu yang menyebabkan para lelaki penasaran. Wajar jika Fashion memiliki ketertarikan kepada perempuan itu. Untungnya, Dena belum menjatuhkan hati kepada lelaki muda dan baik hati yang sedang melepas sabuk pengaman. Setelah tahu bahwa Neima pun available, Dena tidak akan mempermasalahkan adanya romansa di antara kedua rekannya.
"Mari, Bu Dena," ajak cowok itu.
Hanya Dena saja yang dipanggil 'bu' di antara mereka bertiga. Neima dan Asumi dipanggil kakak. Barangkali karena Dena yang mulai memanggil Fashion bapak. Dena membawakan map milik Asumi juga. Berdua dengan Fashion dia menuju bangku di depan gedung untuk mengecek lagi seluruh dokumen yang dipinta. Fotokopi SK CPNS, Surat Perintah Penugasan, NPWP, buku rekening bank daerah, kartu keluarga, surat nikah, akta kelahiran anak, dan Kartu Tanda Penduduk, serta SPMT dan KP-4.
"Daripada masuk semua, lebih baik satu orang saja mewakili kalian bertiga. Petugasnya agak galak lihat kerumunan," beritahu Neima. Dia baru tiba digandeng Asumi.
"Silakan Pak Ion," ucap Asumi.
Neima dan Dena menyetujui. Begitulah nasib Fashion yang sejak awal sudah diduganya, sebagai perwakilan.
Fashion melihat Neima berbisik kepada Asumi. Asumi menggeleng-geleng sambil tersenyum kecil. Lalu berbisik juga kepada Dena. Lalu Fashion siapa yang bertugas membisikkan? Dena?
"Ada yang kurang, Kak Nei?" Ayolah, bisiki juga telinganya.
Neima menadahkan tangannya, "Keluarkan lima puluh," pintanya.
Tanpa ragu Fashion merogoh saku, mengeluarkan dompet, dan menarik selembar kertas biru. Dia serahkan uang itu kepada Neima tanpa merasa perlu untuk bertanya.
"Keluarnya mulus banget ya, Pak Guru," sindir Dena. "Tau itu buat apa? Ongkos Neima naik travel ke sekolah."
Fashion menatap Neima dengan tanya. Sayang sekali, tak ada jawaban apa pun yang dia dapatkan dari Neima. Fashion sangat menyesal jika yang dikatakan Dena itu betulan. Upayanya untuk mengajak Neima satu mobil pasti gagal karena dirinya sendiri. Muka Fashion berul-betul memperlihatkan perasaannya. Dena yang mengatakan kebohongan itu jadi tertawa melihat tampang pemuda berkulit putih mulut tersebut.
Neima sedang memasukkan uang itu ke dalam amplop. Asumi melakukan hal yang sama. Dena malahan memberikan uang miliknya kepada Neima. Dia tidak menyediakan amplop, sedangkan Neima membeli lebih karena beli seribu dapat empat. Fashion tak perlu bertanya lagi saat melihat Neima menyelipkan si putih ke dalam masing-masing dokumen. Barulah ia sadar apa yang ditertawakan oleh Asumi.
"Ini bawa. Ruangannya ada di kiri lantai ini. Paling ujung, ya."
Neima tidak menangkap tatapan yang dilayangkan Fashion padanya sedalam dan sesempit sumur di indekosnya. Perempuan itu langsung beralih mengajak Asumi bicara. Dena berdecak menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana seseorang bisa sangat jelas menunjukkan ketertarikannya.
Lelaki itu melangkah ke dalam gedung. Sosoknya yang manis dan tampan tentu saja membuat Dena suka saat pertama kali memandang. Namun, semakin lama ia melihat bahwa laki-laki itu telah terperangkap kepada orang lain.
"Semua beres," lapor Fashion begitu kembali dari gedung. "Kakak-kakak gak masalah kalau kita baliknya agak lama?" tanya Fashion sebelum mereka bertolak ke mobil.
Masih duduk di bangku taman gedung dinas, para wanita melihat muka Fashion. Tak mengapa selagi belum ada yang memiliki selain miminya.
"Kok lama sih? Tadi kan izinnya mau cepat tiba di sekolah." Siapa lagi jika bukan Neima Devira yang ingin ambil muka kepada rekan-rekannya di sekolah. Mana mau dia bolos lama-lama jika urusan telah selesai.
"Kita sarapan dulu sebelum balik. Lagian kita bisa masuk setelah istirahat juga. Saya ingin mentraktir Kakak-Kakak. Mau, ya?"
Dena mengangguk paling semangat.
"Aku sih terserah Pak Sopir. Apalagi makan gratis, maulah!" ucap Asumi.
"Kita harus segera sampai di sekolah." Neima masih bersikukuh.
"Kau sendirian yang mau langsung ke sekolah. Kita bertiga, tiga banding satu, pilih makan dulu. Kau kalah, Nei."
"Aku gak ikut. Aku naik kendaraan umum," ucap Neima dengan wajah kesal. Dia mulai melangkah.
"Kak Ne!" Fashion mengadang jalannya.
"Makanlah. Sarapan aja bertiga, aku sudah sarapan dari rumah."
"Kak Nei, jangan gini dong. Kita bareng ke sekolahnya, Kak." Fashion merasa amat bersalah. "Ayo, Kak Nei, masuk mobil. Kita langsung ke sekolah."
Demi Neima Fashion menunda ajakannya karena orang yang paling dia harapkan untuk makan bareng, hanya Neima. Dena dan Asumi tentu saja sebagai alasan agar Neima bersedia diajak. Neima memastikan perkataan Fashion lewat mata. Lalu setuju untuk berbalik arah. Wanita itu membuka pintu belakang, tempat yang sudah diisi oleh Asumi dan Dena.
"Di depan. Pak Ion bukan supir kita. Justru kita ini cuma numpang," kata Asumi enggan bergeser hingga Neima tak bisa duduk.
Fashion juga menempati bangkunya lalu menoleh ke belakang, "Kita tetapkan waktu yang pas untuk makan-makannya, Kak, Bu Dena," ucapnya tak enak hati.
"Gak apa, Pak Ion. Kita memang seharusnya langsung balik karena udah janji seperti itu sama atasan. Hayuk, jalan." Dena mendukung.
Neima menyandarkan punggungnya dan menatap ke depan selama perjalanan.
Sepulang sekolah, Fashion mengikuti Neima. Biasanya ia biarkan Neima berjalan cepat meninggalkan sekolah, kini tidak lagi. Apakah salah jika ia menawarkan untuk mengantarkan Neima? Sewaktu Neima duduk di sebelahnya dalam mobil, Fashion telah merasa bahwa bangku itu memang diperuntukkan bagi Neima Devira.
"Ojek!" Neima tanpa melihat sebelahnya ada orang, melambai-lambai tangan kepada pengendara sepeda motor berjaket hitam. Memang ia lebih suka menaiki jasa ojek biasa aja. Dia enggan membuka aplikasi ojek online karena rumahnya juga dekat dari sekolah. Hanya saja jika harus berjalan kaki, Neima tidak kuat. Tenaganya masih harus disimpan untuk mengantarkan pakaian bersih milik pelanggan.
Fashion mundur sepeninggalan Neima untuk kemudian bertolak arah ke mobilnya. Sebelum berjalan, dia membuka WhatsApp pada riwayat pesannya besama Neima. Di sana ia membuka foto yang digunakan Neima. Foto telah diganti dengan kualitas lebih jernih. Wajah Neima dan putrinya terlihat jelas.
"Hagia?"
Fashion memperbesar gambar yang justru membuatnya semakin buram. Namun, ia yakin bahwa gadis kecil tersebut adalah anak di tempat laundry. Fashion membawa kendaraannya pulang. Satu jam setelah menyelesaikan urusan, makan dan ibadah, Fashion mengumpulkan cucian kotor ke dalam keranjang. Saat itulah, pintunya diketuk.
"Laundry," ucap perempuan yang memakai masker. Di tangannya ada plastik besar berisi kain.
Fashion membayar sesuai nota.
"Makasih, Kak. Nanti saya datang bawa cucian lagi," tunjuk Fashion ke tumpukan yang belum ia masukkan seluruhnya dalam keranjang.
"Saya juga makasih. Mau dibawakan sekalian, Bang? Saya udah tinggal pulang ini."
Cepat-cepat Fashion melambaikan tangannya. "Saya aja. Itu banyak kalau dibawa sendiri takutnya Kakak kerepotan."
"Saya gak repot. Saya bawa saja, Bang."
Fashion berdalih, "Belum dikumpulkan semuanya, Kak."
Perempuan itu, Aulia, mengangguk. Lalu ia undur diri dari kosan tersebut.
"Dia yang waktu itu di bangku bareng Kak Nei bukan?"
Selang setengah jam kepergian Aulia, Fashion juga mengendarai mobilnya ke rumah laundry Hagia.
"Om Kacamata balik lagi." Kedatangannya disambut oleh Hagia. "Cuciannya gak banyak." Si gadis melirik ke bawaan Fashion.
"Cuma bawa pakaian kerja dan pakaian rumahan aja. Tolong dibersihkan, Nona Hagia." Hagia mengambil alih kantungan dari Fashion.
"Nei! Datang lagi, nih!"
Fashion merasakan jantungnya berdendang sewaktu langkah-langkah ringan seseorang semakin mendekat. Wanita itu mengenakan pakaian rumahan berupa kaus pendek putih yang menempel pas di tubuhnya serta memakai celana trening panjang. Rambut dicepol dan berbando kain. Ia menghampiri Hagia dan melihat bawaan gadis kecil itu.
"Taruh di sana, Hagia."
Dia masih belum menyadari siapa yang punya cucian. Neima meletakkan kantung hitam tersebut di atas timbangan, kemudian membawa sebuah buku juga pulpen ke meja kasir. Sewaktu kepalanya mendongak kepada Fashion, barulah ia berseru nama cowok itu.
"Gak nyuci sendiri?" tanyanya.
Neima terlihat biasa saja dengan penampilan 'rumahan' dan 'ramah' tersebut. Fashion yang kali pertama melihat Neima tanpa jilbab agak canggung.
"Kak Nei tinggal di sini," gumamnya melihat-lihat ke dalam.
"Nei kenal sama Om Kacamata?"
"Kenal. Tolong ambilkan Omnya minuman."
"Oke, Nei."
Mendengar interaksi keduanya, Fashion menjadi ragu bahwa Hagia yang ada di foto WhatsApp Neima adalah putri yang pernah diceritakan. Namun, ketika diingat-ingat lagi anak yang ditemui Neima di bangku sehabis acara peresmian, sekilas seperti Hagia dari jauh. Panggilannya kenapa cuma nama? Waktu ditanya apakah Nei kakak Hagia, gadis itu pun mengangguk.
"Kenapa? Ada yang belum kau bawa ke sini? Ketinggalan di rumah?" tanya Neima melihat keterdiaman Fashion.
Fashion tak menyangka akan menanyakan ini langsung, "Hagia itu anaknya Kak Nei?"
Si wanita mengangguk lantas bertanya, "Kenapa? Oh, pertanyaan klasik." Neima teringat soal panggilan Hagia kepada Neima yang tak lazim.
"Om ini minumannya. Udah beda sama yang kemarin supaya Om Kacamata gak bosan." Hagia meletakkan kaleng minuman dingin warna merah.
"Udah sering ke sini?" tanya Neima.
Hagia duduk di tempat kemarin ia mengobrol dengan Om Kacamata, sedangkan Fashion dan Neima berdiri dipisah oleh meja tinggi.
"Sekali. Itu tadi yang kakaknya antar selimut cokelat."
"Oh, Aulia yang nganter. Pantas aku sampai gak tahu. Dia pasti sedang di depan dan kau datang saat aku keluar." Neima bicara sembari membolak-balik halaman buku.
"Ngobrol sama Hagia, ya. Aku ada pekerjaan." Neima pamit melanjutkan setrikaan.
Sepulang dari antar pakaian, Aulia dimintanya tidur. Makanya sekarang hanya Neima yang di depan. Hagia juga tak akan tidur selagi ada Neima. Dia telah mengatur waktu ketika Neima bekerja, dia pun tidur. Selagi Neima di rumah, Hagia tak mau tidur siang.
"Neima ibunya Hagia? Kenapa gak dipanggil ibu?"
Hagia menggeleng. "Kenapa harus dipanggil ibu?"
"Karena ibu Hagia."
"Gak ah. Hagia sama Nei itu temenan. Hagia boleh memanggil Nei, tapi dilarang memanggil kamu sama Nei."
"Hagia gak ingin seperti orang yang panggil ibu, mama, mami, atau bunda sama Kak Nei? Om aja yang sudah besar manggilnya kakak sama ibunya Hagia."
"Dulu sih pengen, Om, sekarang udah enggak. Kata Nei, apalah arti sebuah panggilan. Sayang dan cinta kami tetap dalam dan tulus. Hagia udah terbiasa manggilnya Nei. Memangnya kenapa, Om?"
"Unik aja. Om kira Nei itu kakak kamu."
Hagia malah cemberut. "Hagia sama Nei gak punya saudara, Om. Kita anak satu-satunya, gak ada adik dan gak ada kakak. Hagia tahu, kok, Nei itu ibu Hagia walau Nei gak mau Hagia panggil ibu. Sama Nenek dikasihtahu gitu. Nei adalah ibunya Hagia. Hagia harus selalu ada di sebelah Nei, kasih dukungan sama Nei dan hibur Nei saat sedih. Hagia gak boleh nambah kesedihan Nei dan Hagia wajib berbakti sama Nei yang sudah melahirkan Hagia."
"Hagia sayang banget sama Kak Nei?"
"Iya, dong, Om. Kalau gak sayang, ngapain Hagia ikut Nei. Hagia gak mau jauhan sama Nei. Kita berdua ini one heart, tauk."
"One heart, ya," gumam cowok berkaus abu-abu dan celana selutut itu.
"Kalau Om Kacamata sayang juga sama ibunya Om?"
"Sayang banget. Sama seperti Hagia."
"Om Kacamata panggil apa sama ibunya Om?"
"Om akan kasih tahu setelah kamu jawab pertanyaan Om."
Hagia pun mencibir. Tahu jika ia diserang balik seperti kemarin.
"Om mau tanya apa?"
"Nama lengkap Hagia apa?"
"Bahagia Hingga Janna. Kalo nama Om Kacamata?"
"Cukup panggil Om Ion aja."
"Oh, Om Ion. Om Ion panggil apa sama ibunya Om?" Hagia tak teralihkan.
"Mimi."
Hagia ketawa dan mengayunkan kakinya. "Lucu banget. Mimi. Mimi cucu."
"Asyik sekali kalian. Hagia gak tawarkan Omnya minum? Untuk apa kaleng itu kau bawa?"
"Minum, Om, nanti Nei ngomel lagi."
"Nei dengar, Hagia." Neima menyahut dari dalam.
"Om Ion kenal sama Nei udah lama? Kenalnya di mana? Kenapa Hagia gak dikenalin juga?"
"Om sama Kak Nei satu tempat kerja. Kenalnya sejak pindah ke kota ini."
"Artinya Om Ion teman Nei, dong? Nei punya teman yee. Nei tuh gak ada teman setahu Hagia."
"Masak?"
"Beneran. Hagia gak boong. Nei cuma ada teman Hagia. Omnya gak boleh bikin Nei sedih. Ada Hagia nanti yang balas kalau Om jahat sama Nei Hagia."
"Sini jari kamu," punya Fashion lebih dulu menekuk kelingking. "Janji hanya bikin Nei Hagia bahagia."
Anak itu tersenyum lebar tanpa tahu maksud laki-laki dewasa di sebelahnya.
***
Bersambung ...
1 Desember 2022
Part ini cukup panjang ternyata. Sampai jumpa di bab berikutnya, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top