018 Keyakinan Rasa dan Simpulan
"Gimana waktu udah ketemu, Yon? Orangnya cerewet?" Saat ketemu Mimi, pertanyaan itu menjadikan Fashion berlagak bodoh.
Sosok Neima juga menempel di otak Mimi Riris. Yang pasti sebelum Fashion mengenal Neima, Mimi yang duluan berbalasan pesan dengan wanita itu.
"Biasa aja, Mi."
"Biasa aja gimana? Pertama dia hobi merusuh di grup kamu. Kalo tuh WhatsApp bisa menampilkan berapa jumlah percakapan yang dikirimkan masing-masing anggota, Neima pasti yang juara. Apa dia juga seperti itu di sekolah? Grupnya masih ramai? Seharusnya, iya, karena sekarang semua bergembira menjelang dilantik. Bukan gitu, Yon?"
"Tauk, Mi, Ion lagi gambar."
"Nah gimana, Yon? Di sana kamu sibuk terus? Sekali-sekali coba tetap buat desain baju. Mimi gak mau ketajaman kamu tumpul. Katanya ingin ikut Jakarta Fashion."
"Ya sudah, Mimi diam dulu."
"Aneh. Terus gimana sama pesanan Mimi?"
"Pesanan apa lagi?"
"Pacar kamu. Menantu Mimi."
"Mimi ...." Pemuda itu memasang muka melas.
Semua pembahasan Mimi Riris terhubung kepada sebuah lubang kosong dan bergema dalam dada Fashion Klein. Ingin ia isi kekosongan agar getar itu mengalirkan rasa hangat dalam relung jiwa. Namun, perkataan Asumi selalu menjadi alert.
Haram.
"Kamu tahu kan kalau Neima itu janda?"
Kedua tungkai Fashion Klein kontan berdiri. Pensilnya menciptakan sebuah garis panjang di atas kertas, mencoret desain yang ia kerjakan sedari pagi.
"Mi. Ayo, dong, kenapa dari tadi membahas Kak Neima? Mimi bisa ngomong gini dari mana juga? Fitnah, Mi."
"Kok fitnah, sih? Kamu kenapa mukanya kesal ke Mimi? Mimi mengungkapkan fakta, kok."
"Mimi gak tahu dia. Yang bertemu Kak Neima itu Ion, Mi. Dia ... Dia ...." Fashion tidak melanjutkan.
Masalahnya, Neima tidak mengatakan apa pun, kecuali dia pindah dengan keluarga. Dia menelepon anaknya setiap waktu kosong.
"Mimi tahu dari mana?"
"Dari mana lagi? Grup kamulah!"
"Kapan?"
"Daripada anggap Mimi tukang fitnah, mending buka grup kamu dan search sendiri."
"Gak ada."
"Cari lagi. Tuh udah Mimi bilang, dia kirim chat banyak sekali. Susah kan."
"Memang gak ada, Mimi."
"Berarti dihapus."
"Ion gak percaya Mimi."
"Terserah kamu. Buktinya jelas. Dia gak punya suami. Jadi dia bisa pantau grup berjam-jam."
"Like Mimi?"
"Ih! Males sama kamu. Ngeyel."
Fashion mentertawakan miminya yang sudah merajuk.
"Kedengaran dari jalan," kata Arjun yang baru tiba. "Kayak orang pacaran aja, berantem."
"Pacaran gundulmu," sewot Riris.
"Ya, syukur kalau bukan. Sama saya aja pacarannya."
"Maaf, ya, anakku masih suka perempuan, walau sampai sekarang belum mau bawa pacar pulang."
Arjun menggaruk rambut yang tidak gatal sama sekali. "Miris pura-pura gak peka."
"Apanya yang miris?" Riris bertanya masih dalam mode bersungut-sungut.
Giliran Fashion yang berupaya tidak menyimak perdebatan ibu dan temannya.
"Mimi Riris, dong. Gak pekanya natural."
"Terserah kamu."
"Kalau gitu mau?" tanya Arjun penuh harap.
"Mau apa?"
"Ih, bodo. Tante mah selalu begitu."
Riris menyela, "Apa salahku? Udah, deh, Jun. Gak usah memperkeruh keadaan."
"Apa sih, Tante? Kenapa jadi marahnya ke saya? Tadi sama Ion. Saya mah gak salah apa-apa."
Fashion mencoret-coretkan pensil ke seluruh bidang gambar agar sama kusut dengan isi kepalanya. Setelah dijatuhi kabar hoax khas Mimi Riris, kini harus mendengar percakapan yang tidak penting. Selalu begitu. Mimi Riris dan Arjun lebih sering bertengkar dibanding berbaikan.
"Kamu kalau datangnya bawa soto babat, Tante diam. Itu tangannya kosong, malah yang dibawa huru-hara."
"Lah, Tan?"
"Lu ngomong apa sampe Mimi lu sewot gitu sama gue?"
"Sewotnya sama Bang Arjun, bukan sama Ion. Kenapa nanya saya? Makanya, ke sini jangan bawa gara-gara."
"Pusing lama-lama." Arjun menyerah.
"Pulang aja," kata Mimi Riris menyudahi.
"Yon." Namun, Arjun memutuskan untuk tetap di sana dan mengatakan maksudnya datang ke rumah tante tercintanya.
"Hm."
"Lusa kamu peresmian delapan puluh persen."
"Iya." Fashion tetap fokus jadi menjawab pendek-pendek.
Arjun melanjutkan dengan wajah berbinar-binar, "Keluarga peserta pasti pada datang kan tu. Nah, Mimi daripada sendirian, berdua sama gue geh, gue mau banget nemenin. Lengkap, Yon. Biasa juga disediain dua bangku untuk wali."
"Maaf, yang duduk hanyalah peserta saja."
"Berdiri juga gak apa-apa."
"Iya, berdirinya daripada di pinggir jalan, lebih baik tetap di rumah atau depan laci kasir aja." Kali ini Riris menjelaskan sedikit panjang supaya tidak dituduh Arjun pelit.
"Kenapa begitu, Te?"
"Tiga M, Bang Arjun! Yang ketiga, menjaga jarak." Fashion menggeleng-geleng setelah mengatakan hal yang seharusnya sudah jelas bagi pemilik warung nasi itu.
"Jauh amat."
Cucu tukang masak legendaris itu masih tak ingin menyerah. "Saya dijadikan supir aja gak papa, Tante. Ion kan harus jaga stamina. Tante Riris jadinya gak perlu lelah nyetir. Serahkan saja tugas itu sama saya."
"Acara itu Ion cuma duduk. Bukannya balap karung, Bang."
Baik Mimi Riris maupun Fashion sama saja keukeuh tak ingin Arjun ikut. Walaupun begitu, Arjun pasti ada dalam acara itu. Tak perlu izin. Dia tinggal datang, seperti rumah ini. Keluar masuk tanpa permisi.
Setelah ditolak habis-habisan pada sorenya, malamnya Arjun justru dicari.
"Rokok, Yon," tawarnya karena Fashion tiba di saat Arjun sedang mengepulkan asap.
Warung sedang lengang. Makan malam sudah lewat, hanya satu-satu orang yang mampir. Arjun menikmati segelas kopi dan sebatang—atau akan menjadi berbatang-batang—rokok di bangku warung pada bagian luar.
"Batuk."
Arjun tahu akan mendapat jawaban seperti itu. Dia pun membuang puntung yang masih panjang. Ia bisa melanjutkannya setelah Fashion pergi. Sejak kepindahan Fashion, lama mereka tak 'berdiskusi.'
"Mandek, Bang?"
"Selalu."
"Menyerah saja?"
Arjun berdecak. Perlahan dia seruput cairan hitam kental dari gelas.
"Apa itu menyerah? Gue gak paham."
Fashion tertawa kecil.
"Gimana rasanya berjuang?" Mata anaknya Mimi Riris menatap jauh ke depan.
Pertanyaan Fashion mengawang. Keduanya berdiam diri dengan pikiran masing-masing dalam beberapa menit.
"Andres! Buatkan segelas lagi! Gulanya lebih banyak dari kopi." Arjun berteriak kepada pegawainya.
"Ngopi dulu, Yon, biar lu tahu pahitnya perjuangan ada manis-manisnya juga."
"Memang apa yang membuat Bang Arjun yakin ingin berjuang untuk Mimi? Ada jarak yang luas sekali antara kalian. Selain itu, Mimi terbiasa sendiri sejak Ion kecil."
"Kata lu. Kalau Tante bisa sendirian, lu gak bakalan ada."
"Sekarang Mimi sendirian dalam arti sebenarnya. Karena Ion percaya, Mimi bisa. Ion juga sanggup tinggalin Mimi karena itu. Sampai kapan Bang Arjun menunggu Mimi?"
"Entah. Gue belum ketemu yang bisa membuat gue berpaling. Aku butuh Tante dan aku ingin Tante juga merasa begitu. Lu keterima di sana, memberikan gue kesempatan."
"Bang!"
"Apa?!" Nada Arjun sama tingginya dengan Fashion barusan. Sengaja bikin Fashion kesal.
Fashion lalu menggeleng. Anak baik itu tidak akan berburuk sangka kepada apa pun dan siapa pun terlebih kepada Arjun Hilabi Aksa yang sangat dia percayai. Sampai saat ini prinsipnya masih sama. Apa yang ia khawatirkan? Kopi yang diletakkan Andres di meja depannya dia minum. Lagaknya masih tenang walau dalam kepala banyak hal sedang berkecamuk.
"Bang Arjun."
"Apa? Serius, nih, kayaknya," ujar Arjun, melihat sekeliling seakan Fashion ingin mengungkapkan rahasia besar.
"Kalau Abang mikirin seseorang tanpa bisa dikendalikan. Artinya susah untuk dihentikan. Itu kenapa?"
"Gue atau lu?"
"Anggap saja Bang Arjun."
"Gak apa-apa. Okay, gue selalu begitu emang. Lu masih tanya gue artinya apa? IQ lu tinggi, Yon. Pake nanya."
"Jadi, sebetulnya apa yang terjadi pada kepala Bang Arjun?"
"Kok gueh?" Arjun menjadi sewot.
Fashion tak peduli.
"Siapa yang udah merasuki kepala lu? Cepat dibawa pulang! Mimi selalu nunggu kamu bawa cewek."
"Fix suka kalau seperti itu?"
Arjun mengangguk dengan pasti.
"Tidak boleh." Kepala Fashion bergerak berlawan arah.
"Kenapa? Yang gak boleh kita impi jadi teman bobo ganteng: satu mahram kita, dua pimpinan kita, tiga yang bukan punya kita, tapi milik orang lain, empat bocil baru meletek yang pentilnya sebiji jagung, dan lima sesama kita."
"Ya itu. Ion paham. Terima kasih kopinya," ucapnya mengangkat gelas tersebut, dan berjalan.
"Gelasnya?!"
Karena Selasa adalah upacara peresmian di Kantor BPSDMD, Seninnya Fashion meminta izin kepada Bu Safrida lewat telepon. Sebenarnya, dia sudah bicara langsung di pertemuan terakhir mereka. Kabarnya Asumi dan Dena tidak ikut hadir di acara yang memang tidak diwajibkan bagi seluruh peserta tersebut. Mereka akan mengambil SK saja di kantor dinas pendidikan keesokan harinya. Mengenai Neima, Fashion tidak menanyakannya dan Neima juga diam saja kepada mereka bertiga. Seperti yang terjadi semingguan ini, Neima selalu menjadi yang paling awal pulang.
Arjun menyupiri Fashion dan Mimi ke gedung. Setelah menjalankan berbagai prosedur aman dan sehat, Fashion dituntun ke aula yang luas. Tiap bangku dikelang satu oleh bangku bertanda silang.
Hanya perwakilan saja yang secara simbolis menerima SK di stage. Namun, rentetan acara yang khusyuk membuat para peserta terharu. Teringat dengan perjuangan yang harus tertunda satu tahun akibat negeri diserang oleh virus berbahaya.
Saat acara selesai, peserta CPNS keluar satu per satu agar jarak tetap dalam batas aman. Di saat masih antre di depan pintu. Artinya, pandangan Fashion dapat jelas menjelajahi bagian luar gedung. Saat itu Fashion melihat Neima Devira.
Neima dengan kemeja putih, rok hitam, dan kerudung merah berjalan ke halaman. Dia telah bebas dari antrean. Neima menuju sebuah tenda milik penjual. Di bangku yang ia duduki ada seorang perempuan muda dan perempuan kecil. Dengan sangat jelas—beruntung ia tidak pernah meninggalkan kaca mata dalam tas—Fashion melihat Neima mencium anak kecil itu. Ciuman yang mengungkapkan perasan gembira dan cinta.
Anehnya, tembok itu memang bertambah nyata, tetapi juga semakin tipis. Seolah dirinya dapat melihat ke balik tembok, walau dia tidak bisa menjangkau apa pun yang berada di sana.
Senin seharusnya mereka bertugas piket bersama. Sebelum berangkat, Fashion berperang dengan batinnya. Hubungi Neima atau tidak? Minta maaf bahwa hari ini dia tidak bisa piket bersama? Fashion memutuskan tidak.
Keadaan sedang mengejek Fashion. Saat dia percaya bahwa 'haram' adalah kata yang benar. Dan ia memiliki satu dari lima alasan kenapa ia tidak boleh. Justru mereka dipertemukan di sini dalam keadaan tak ia sangka-sangka. Bahkan berharap pun tidak. Nyatanya mereka di tempat yang sama walau tidak saling menyapa.
***
Bersambung ....
29 November 2022
Ada yang nungguin?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top