017 Setiap Kurang Ada Lebih
Neima menyadari bahwa kapasitas isi kepalanya tidak mendukung semangat yang ia junjung tinggi. Sewaktu sekolah dasar, dia baru bisa membaca lancar di kelas lima. Sebegitu jauh ia ketinggalan dari teman-temannya.
Sewaktu SMP Neima belajar sampai pukul satu. Saat itu jam malam remaja adalah pukul sembilan. Tak ada penerangan di kampung halamannya selain lampu minyak. Jadi, anak-anak telah larut dalam mimpi di bawah pukul dua belas. Neima ingin menyelesaikan soal persamaan linier yang bagi temannya tergolong mudah. Neima belajar lebih keras lagi untuk operasi pecahan dan memahami tanda plus minus.
Saat temannya mampu mengerti hanya dari penjelasan guru, Neima butuh mengulang lagi tanpa ada yang bisa ia tanyai. Di kelas saat dia menunjuk tangan bertanya bagian yang ia tak paham, temannya akan memarahi Neima karena menunda waktu istirahat mereka. Sejak saat itu, Neima tidak berani menunjuk tangannya meski ia butuh dijelaskan ulang.
Temannya mengatakan secara blak-blakan bahwa tempat Neima bukanlah di sekolah biasa. Neima sepantasnya berada di sekolah luar biasa. Ia sangat sedih saat itu. Neima percaya pada ejekan teman-temannya. Mana sanggup orang tuanya membiayai ia jika harus bersekolah di SLB. Karena itulah, Neima belajar mati-matian. Hasilnya, dia bisa naik tiap kelas dengan nilai pas-pasan.
Neima bisa kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) karena keberuntungan serta doa ibu dan ayahnya. Begitu yang ia percayai. Dia tidak mengikuti tes secara nasional. Nilainya selama SMA ternyata cukup untuk meloloskan ia tanpa tes ke Jurusan Seni Budaya.
Yang Neima lakukan selama kuliah juga sama. Ia belajar berkali lipat. Saat itulah, Neima mengenal Dika. Pemuda itu menjadi penyemangat dan tempat Neima berkeluh kesah. Hingga hubungan mereka semakin lekat dan mendorong keduanya pada pergaulan yang salah. Melempar keduanya untuk hidup berumah tangga yang hanya bertahan beberapa bulan, sampai anak mereka lahir. Neima akui kebodohannya terus berlanjut, termasuk saat dia membenci buah hatinya sendiri.
Sekarang terjadi lagi. Neima merutuki otak yang tidak mampu berpikir cerdas. Ia bahkan menjerumuskan teman-temannya juga. Ketiga rekannya mungkin dapat mengatasi masalah mereka dengan mudah. Atau bisa saja bagi mereka ini bukan sesuatu yang disebut masalah, kecuali waktu yang terbuang.
[Gaji dihitung per tanggal pelantikan dan akan diterima pada bulan ketiga setelah tanggal mulai tugas (TMT).]
Selain pengumuman tanggal pelantikan, tata cara, dan syarat yang harus dilakukan untuk acara tersebut, kejelasan lain juga disampaikan oleh admin di kantor BKD. Neima tak dapat berkata-kata setelah mengetahui hal itu.
Dia telah menghabiskan banyak uang untuk persiapan tinggal di kontrakan. Ibunya turut membantu sebisa dia. Neima tidak mungkin meminta kepada Meida setelah dia berkata dengan bangga, "Aku sudah bisa mencari uang sendiri. Ibu pasti Nei bagi, tunggu saja," dengan wajah berseri-seri.
Ternyata ia masih bodoh. Sama seperti lulus ke PTN, ia yakin lulus tes CPNS juga sebuah keajaiban. Sampai saat ini buktinya Neima masih terus melakukan kesalahan. Mengapa ia begitu menggebu-gebu mengajak temannya mulai masuk sekolah sebelum tanggal pelantikan? Artinya, sebulan yang mereka habiskan di sekolah adalah kerja amal. Negara membayar mereka per tanggal mereka diangkat secara resmi sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil.
Neima bodoh! Dia kembali mengutuk betapa kecil isi otaknya. Neima perlu usaha keras untuk hidupnya tiga bulan ke depan. Dia berusaha meningkatkan usaha yang ia rintis. Setiap pulang sekolah, Neima berkeliling memperluas promosinya. Ia sangat lelah, sungguh. Di balik itu, Neima kehilangan separuh beban ketika pulang dan bertemu Hagia. Penyemangat hidupnya. Tujuannya.
"Peluk Nei, Hagia." Neima baru tiba di pintu dengan seragam olahraga.
Jam dinding menunjuk angka tiga. Sangat terlambat dari waktu pulang sekolah. Tubuhnya berbau debu dan keringat. Tulangnya remuk. Bayangkan saya, dia selama ini mengandalkan kedua orang tua, bermalas-malasan selama bertahun-tahun, dan menadahkan tangan jika ingin membeli sesuatu. Hanya satu tahun lebih Neima betul-betul bekerja sebagai honorer dan itu pun pekerjaan yang terbilang ringan. Kini ia perlu mengatur isi kepala dan tenaga agar bisa menghidupi dirinya serta sang putri juga memberikan Aulia uang saku. Tanpa adanya Aulia, laundry itu takkan berjalan lancar. Neima hanya bisa bekerja sepulang sekolah. Pagi hingga siang Aulia yang meng-handle.
"Nei butuh vitamin, yah?" Bocah perempuan itu berlari menyambut kedatangan ibunya. "Hagia tranfer. Hug hug."
"Bau nggak?" tanya Neima.
Hagia pura-pura mencium, kemudian ia menggeleng, "Bau uang dan sayang."
Mendengar itu, tenaga Neima full lagi. Dia mengangkat Hagia dan memutar-mutar diri mereka berdua.
"Hagia udah menata makan siang. Nei bersihkan muka dulu, ganti baju dulu, terus kita ke dalam. Hagia temanin makan. Masakan Kak Aulia enak loh."
"Oke siap, Anak Sinetron."
Muka si anak kecil berambut terurai panjang itu cemberut. "Anak sinetron lagi. Ah, Nei, gak asyik." Kedua tangannya terlipat di tangan.
"Apa, dong, gak mungkin anak Andin. Kamu kan anaknya Neima."
"Nei ayo!"
Tangan Neima ditarik anak itu ke kamar. Ritual bersih-bersih muka dilaksanakan seperti biasa. Neima tertidur ketika Hagia mengusap-usap wajahnya. Anak itu tidak membangunkan Neima. Begitu selesai dan wajah Neima bersih, Hagia mencium dua pipi Neima dan ikut berbaring. Rencannya hanya ingin menunggu ibundanya, akhirnya dia juga ketiduran.
Aulia datang tak lama setelah ibu dan anak itu terlelap. Dia yang akan minta izin mengantarkan pakaian bersih dengan legawa menunda. Neima belum bisa menggantikan dirinya di depan. Aulia menghidupkan kipas angin mengingat cuaca sedang panas-panasnya. Kemudian ia menutup pintu kamar itu.
Aulia adalah orang asing yang melakukan kesalahan terhadap kedua orang itu di masa lalu. Dia tidak sengaja menabrak Hagia ketika menghindari ayahnya. Semua juga karena salah Aulia sendiri. Masa itu Aulia tidak ada keinginan untuk sekolah. Dia terpaksa pergi sekolah karena dipaksa oleh ayahnya. Uang untuk membeli LKS dia gunakan untuk jajan. Sumbangan untuk sekolah ia pakai untuk membeli baju secara online. Banyak sekali pembayaran yang tidak ia berikan ke sekolah dan malah menggunakannya untuk kebutuhannya sendiri. Karena itulah ayahnya marah sekali. Ayahnya memukul Aulia di telapak tangan. Ia menangis merasakan perihnya pukulan itu.
"Aku bilang nggak mau sekolah, Yah. Pukul sampai aku mati biar aku nggak perlu masuk sekolah."
Ayahnya berhenti mendengar permintaan itu dan juga berhenti bicara padanya. Ayahnya meninggalkan uang dan memenuhi semua kebutuhan Aulia, tetapi tidak ingin mengatakan apa-apa kepada Aulia. Aulia pamit ingin pergi bersama Neima tidak diindahkannya. Neima yang berhasil membuat ayah Aulia menurunkan izinnya.
Selain karena rasa bersalah itu, Aulia sangat berterima kasih. Ia bisa menjadi orang yang bermanfaat dan berguna di sini. Neima memperlakukan Aulia sebagai keluarga. Saat pulang sekolah, Neima akan menyuruh Aulia untuk tidur siang. Dia akan menggantikan Aulia di depan. Sorenya Aulia yang berjaga dan bekerja di mesin cuci, sementara Neima mengantar ke pelanggan. mereka bekerja hingga pukul sepuluh malam. Menunggu dan terus memutar mesin sesuai antrean.
Aulia menyaksikan sendiri kerja keras seorang Neima yang terkenal malas di daerah asalnya. Di kampung halaman Neima terkenal sebagai anak yang lambat dalam belajar hingga ia bisa membuktikan diri. Orang tidak dapat melabeli seseorang hanya dengan melihat luarnya saja. Aulia menjadikan Neima teladannya.
Aulia sedang menumpahkan deterjen ke mesin cuci ketika suara tawa dan percakapan ibu dan anak itu terdengar lagi. Terdengar dentingan sendok pada piring. Aulia membuat sayur bening wortel dan tahu serta menggoreng nila yang ia beri bumbu. Tidak dicampurnya dengan cabai agar Hagia juga bisa memakannya.
"Gimana, Aulia?" Neima sudah selesai rupanya.
"Berkah Jumat, Kak. Yang datang banyak. Tuh lihat tumpukannya tinggi."
"Wah! Lembur, dong, kita. Kalau gitu, istirahatlah, Ul. Makan dulu sebelum tidur."
Aulia tidak pernah lagi membantah Neima. Pernah ia ingin bekerja saja dan meniadakan tidur siang, Neima justru marah. Aulia cukup tegang dimarahi oleh Neima. Cover Neima memang pemarah dan semua orang tahu itu. Kalau Neima marah, Hagia saja sampai terdiam. Neima sendiri yang memulai bicara kepada Hagia saat Hagia masih takut.
Neima galak. Itu cocok sekali melabeli watak Neima. Makanya, meski Aulia kasihan dan ingin sekali membantu Neima, dia tak berani membantah kakaknya itu. Aulia mengangguk sebelum undur diri untuk beristirahat.
***
Bersambung....
25 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top