016 Ada Apa Dengannya?

Kerumunan di lapangan olahraga pada jam pelajaran menarik perhatian Fashion. Ia mencaritahu lewat siswa yang datang dari koridor luar. Saat itu tengah berlangsung jam pelajaran keempat. Hanya satu-satu siswa yang melewati teras lantai dua tempat Fashion mengajar. Di dalam kelas siswanya tengah mengerjakan evaluasi. Siswa yang ia tanyai menggeleng. Dia bukan dari lapangan.

Sekitar sepuluh menit kemudian gerombolan itu pecah. Seseorang dari lapangan berjalan tertatih ke arah gedung. Dari penampilannya, baju olahraga khas pengajar, Fashion mengira-ngira sosok itu adalah Bu Dena, rekannya guru olahraga. Dena menuju ruangan guru dan kemungkinan dia akan pergi ke UKS melewati kantor.

Saat bel istirahat, Fashion menemukan Dena berada di mejanya sendiri bersama Asumi. Neima yang datang pagi ini tidak kelihatan di sana. Besar kemungkinan Neima sedang menghubungi putrinya. Sewaktu bertemu sebelum kelas dimulai, tidak ada tegur sapa di antara mereka.

"Ada kejadian apa di lapangan tadi, Bu Dena?" Fashion menempati kursinya di belakang meja Dena dan Asumi.

"Biasa kecelakaan kecil, Pak."

Asumi malah terkikik. Sepertinya, Fashion tidak akan diberitahu jawabannya.

"Kakinya terkilir?" tanya Fashion lagi mengingat cara jalan Dena yang dilihatnya.

"Keseleo dikit. Diputar gini, krak, sembuh." Dena mempraktikkan dengan memegang kaki yang satunya.

"Untung tahu cara kerjanya," sahut Fashion mengulas senyum.

"Meleng  sih. Lihat apaan coba di lantai dua?" Asumi menggeleng-geleng lalu kembali memeriksa buku latihan.

Fashion juga mengecek lembar jawaban siswa yang dia bawa dari kelas.

"Makan, yuk," ajak Dena. Hanya dia yang tidak membawa koreksian tugas.

"Kali ini kita pakai jasa Jo Food aja. Ingin makan apa, Pak Ion?"

"Sabar, Bapak Ibu. Hari ini kita makan sepuasnya. Sebentar lagi koki terbaik kita datang dengan menu mereka." Bu Marisa adalah guru di jurusan kulineri. Sudah pasti pengumuman itu membawa aura happy di ruangan guru sebab akan mencoba masakan siswa tata boga secara cuma-cuma.

Benar saja, satu per satu siswa yang mamakai apron merah muda memasuki ruangan. Masing-masing membawa benda di kedua tangannya. Gelas-gelas minuman dengan warna-warna yang membangkitkan dahaga. Piring-piring yang mengepulkan asap dengan aroma yang mengundang selera. Bergantian mereka masuk dan menyajikan makanan dan minuman tersebut.

Telah tertata berpuluh piring dan belasan gelas di atas meja guru yang paling depan. Ada smoked salmon, sirloin steak mushroom, chicken gordon bleu, humburger buns, fruit salad, bergelas-gelas hot chocolate souffle dan orange juice.

"Makanan ini spesial dari kelas sebelas Kulineri 2 untuk Bapak dan Ibu Guru. Silakan dinikmati. Kritik dan saran bisa disampaikan langsung di forum ini."

Terdengar ucapan terima kasih dari beberapa guru. Mereka membentuk antrean untuk memilih makanan yang ingin dicoba. Tanpa dirinya sadari, Fashion telah meletakkan satu piring humburger buns dan fruit salad di meja Neima.

"Pak Ion," panggil Asumi.

Matanya memantulkan sesuatu yang akan membuat Fashion salah tingkah. Sayangnya, Fashion lambat menyadari sampai Asumi mengucapkannya, "Dena kakinya sakit, nih. Gak diambilkan juga, Pak?" Sehabis itu, Asumi tersenyum dan sepertinya sedang berusaha untuk tidak tertawa.

"Bu Dena pilih yang mana?" Fashion masuk lagi ke antrean yang mulai sepi. Dari tempat duduknya, Dena bisa melihat isi piring-piring tersebut.

"Saya sudah diambilkan Kak Sumi, Pak Ion. Yang itu," tunjuk Dena ke meja Neima, "minumannya belum."

Fashion tertawa dan mengangguk pada akhirnya. 

Hari itu Fashion tidak ada kesempatan melihat Neima lagi. Begitu bel masuk berbunyi, dia masuk kelas. Sampai waktu pulang, ketika Fashion tiba di ruangan guru, tas Neima sudah tidak ada. Namun, dia melihat piring di meja Neima sudah tidak kelihatan lagi. Segelas orange juice pun telah kosong.

Jawaban pertanyaan Asumi adalah: Fashion baik kepada semua perempuan, akan tetapi hanya Neima yang ia khawatirkan secara berlebihan.

Dia tidak mampu menghentikan otaknya untuk memikirkan dan mencemaskan Neima. Tidak mampu membuat hatinya berhenti berharap untuk melihat Neima. Kemarin dia berkeliling ke butik baju pengantin untuk membuat sibuk pikirannya. Yang terjadi justru ia meringis saat melihat manekin yang memakai baju indah itu adalah Neima. Di sampingnya ada sosok laki-laki yang tidak diketahui bentukannya. Hanya bayangan saja terasa tidak menyenangkan untuk dilihat.

Fashion jarang sekali melihat status orang di WhatsApp dan di media sosial. Untuk menambah kerja otaknya, sekarang Fashion melakukannya. Ia langsung membuka status yang dibuat Neima kemarin. Neima memasang foto punggung anak perempuan yang sedang berbaring. Tidak ada kata-kata yang dituliskan Neima. Namun, Fashion dapat menerka ada cinta yang penuh dalam gambar itu.

Akhirnya, esok hari dia bisa bertemu dengan Neima. Neima mengenakan batik biru dan rok panjang hitam serta pashmina yang juga hitam. Sayangnya, bawah mata Neima hitam seakan wanita itu tidak tidur semalaman.

Spontan saja, Fashion bertanya, "Kak Ne baik-baik saja?"

Di sebelahnya Neima mengangguk. Namun, wanita itu kemudian menunduk, meletakkan siku di meja, dan memijat kepalanya. Perkataan dan perbuatan rupanya tidak sinkron.

"Sehat?" tanya Fashion lagi. Dia memberikan botol freshcare.

Ajaibnya Neima mengambil benda itu dan menghirupi aromanya.

"Bukan ini yang aku butuhkan," ujarnya pelan.

"Hah, apa?"

"Sialan! Mau apa sih dia?" bisik Neima dan kali ini Fashion tidak mendengar.

Ibu Neima pulang tadi pagi bersamaan dengan Neima berangkat bekerja. Ibunya mengatakan untuk memikirkan baik-baik apa yang nanti dilakukan jika bertemu Dika. Otak Neima menghubungkan dengan Hagia. Barangkali ibunya ingin menantunya kembali demi Hagia.

Meida tidak berterus-terang dan itu yang membuat Neima jadi kepikiran. Ibu tidak tahu saja apa yang telah dilakukan Dika sampai bisa-bisanya mau Neima menerima Dika lagi. Lagian Dika juga belum tentu menginginkan hal itu. Bisa jadi lain. Mau mengambil Hagia mungkin? Dan ini yang paling Neima takutkan. Neima tahu sekali perkataan Dika tidak dapat dipegang. Dahulu dia mengatakan agar Neima mengurus dan membesarkan Hagia sendirian, tetapi bisa jadi sekarang pikiran pria gila itu berubah.

Neima hanya perlu sembunyi. Sayangnya, sangat sulit untuk bersembunyi apabila Dika sudah tahu Neima kerja di mana.

"Argh!!!"

Neima terbayang lagi perlakuan Dika yang terakhir kali. Bagaimana pria itu tidak melirik Hagia sedikit pun. Tidak menginginkan Hagia bersamanya.

"Kak?"

Neima tersentak waktu Fashion menjentikkan jari di depan wajahnya. Neima menyadari dia sudah menggeram dengan suara keras di ruangan yang banyak orangnya. Kemudian dia berdeham.

"Ah itu. Terbayang mimpi tadi malam. Ada yang mencoba mengambil anakku. Dia pikir dia siapa?"

Orang-orang di ruangan itu mengangguk saja. Fashion meragukannya. Namun, setelah itu pemuda itu tidak bertanya lagi. Ingat, meskipun meja mereka bersebelahan dan jarak mereka dekat, ada tembok tinggi yang membentang.

"Ada kabar bagus." Fashion baru saja membaca pesan dalam grup. Baik Neima dan dua rekan di depan mereka belum melihat pengumuman tersebut.

"Kak Ne." Dia menyerahkan ponselnya kepada Neima. Neima bertanya dengan isyarat mata.

"Baca."

"Ini beneran?" seru Neima.

Fashion menyadari bahwa kalimat 'Wajahnya berbunga-bunga' benar adanya. Seperti itulah aura Neima saat ini.

Fashion tertular hingga kedua bibirnya merekah juga. Sesaat kemudian, muka Neima berubah 180 derajat. Bibirnya merengut. Matanya memancarkan perasaan sedih dan kesal.

"Apa-apaan ini?"

"Ada apa, Kak?" Tangannya terulur menginginkan ponselnya kembali.

Neima diam saja.

Gawai telah kembali, pesan sudah dibaca, tetapi lelaki itu belum tahu penyebab Neima kehilangan keceriaannya. Dan sepertinya, Neima takkan mengatakan apa pun kepada Fashion.

Ingin rasanya ia membongkar kepala Neima untuk mengetahui alasan perempuan itu tiba-tiba tidak bersemangat lagi. Padahal kabar tentang pelantikan adalah sesuatu yang mereka tunggu-tunggu. Satu minggu dari sekarang.

"Udah masuk. Ayo ke kelas." Neima berdiri membawa buku cetak dan daftar hadir yang di dalamnya juga terdapat daftar nilai. Perempuan itu menukar sandal jepit dengan sepatu enam cm. Ia sempat membenari jilbab dan mengecek wajahnya di cermin kecil yang ia sediakan di meja.

Andai kelas mereka satu arah, Fashion akan minta bareng.

Jelang pelantikan Fashion menyadari Neima semakin sulit ditemui. Walaupun misalnya dia berjalan di sebelah Neima menuju kelas, wanita itu tidak bisa diajak bicara. Wajah Neima seakan memperingati kepada setiap orang dalam diameter satu meter agar tidak mengusiknya.

Seandainya Neima masih seperti perempuan muda enerjik yang menyapa ia pertama kali di awal masuk, Fashion pasti akan lebih mudah mengatur otaknya untuk menghapus nama Neima. Sayang, mata yang penuh beban itu membuat hati dan kepala Fashion ingin ikut andil meredakan sesuatu yang dihadapi Neima.

Setiap pulang sekolah, Neima cepat-cepat mencari angkutan umum. Paginya dia datang dengan wajah lebih datar dari biasanya. Ingin sekali Fashion menawarkan tumpangan. Akan tetapi, tembok itu semakin tebal mengingat ke mana dan kepada siapa tujuan Neima pulang. Sebelum acara peresmian, Fashion pulang ke rumah Mimi Riris di Padang untuk menghadiri seremoni, serta menjemput ibunya agar bisa menghadiri pengambilan surat keputusan di Kota B.

*** 

Bersambung ...

20 November 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top