015 Dia yang Kembali
Hari itu Neima tidak datang ke sekolah tanpa berita. Seperti yang Fashion tahu jauh sebelum mereka bertemu, Neima adalah sosok yang gigih, rajin, dan unggul. Segalanya ia ingin yang paling bagus. Dia suka terlihat baik di mata orang-orang. Jadi, sewaktu wanita itu alfa, jelas Fashion merasa aneh. Apalagi dengan telepon yang diterima dan raut Neima kemarin. Dia sungguh khawatir terjadi hal-hal yang buruk kepada rekan sejawatnya itu.
Begitu pula dengan dua temannya yang lain. Jam mengajar Neima hari ini banyak. Kemana Neima?
"Katanya harus rajin biar gak malu-maluin," kata Dena yang kemudian dihadiahi tepukan oleh Asumi.
"Kalau gak masuk berhari-hari bisa kamu ngomong begitu. Dia mungkin ada keperluan."
"Bisa jadi." Dena tidak memperpanjang asumsinya. Toh mau datang atau tidak, tak ada hubungan dengan dirinya. Hanya ia heran saja orang serajin Neima, yang datangnya paling pagi, tiba-tiba tanpa kabar.
"Kak Neima tinggal di mana, Kak?"
Baik Asumi juga Dena menoleh kepada Fashion.
"Betul. Kita belum tahu alamat Neima," ungkap Asumi.
Lalu, "Aku juga tidak tahu di mana rumah Kak Sumi." Itu Dena yang mengatakannya.
"Mungkin dia di dekat-dekat sini. Neima itu pakai kendaraan umum. Kemungkinan dia mencari kediaman yang paling dekat dengan tempat bekerja," pikir Asumi yang dia utarakan.
"Dena setuju. Memang untuk apa Pak Ion menanyakan rumah Neima? Mau jenguk? Ayo, saya sama Kak Asumi ikut."
"Jangan bawa-bawa aku!" hardik Asumi. "Baru sehari udah repot gini. Hargai privasi Neima. Dia mungkin sengaja gak kasih tau kita alamat rumahnya. Ingat gak, Neima tidak berbagi informasi pribadi."
"Ah, betul." Dena mengangguk, kembali kepada Fashion, "Jadi, untuk apa?"
"Gak jadi," ucap Fashion mengakhiri.
"Ekhem ... di sini ada yang available, loh," kata Dena batuk-batuk kecil. "Kak Sumi!" imbaunya dengan suara agak keras. "Dena kos di Rumah Putri Ambo, seberang Balai Kota. Boleh kalau ingin mampir."
Obrolan mereka diputuskan oleh bel panjang tanda selesainya jam istirahat. Ketiga calon pegawai negeri sipil tersebut kembali ke kantor untuk memasuki kelas masing-masing.
Kebetulan kelas Fashion dan Asumi searah. Wanita beranak dua itu menyejajari langkah kaki Fashion.
"Neima orangnya agak tertutup, ya?" mulainya.
Fashion ragu menjawabnya. Pertama, dia mengenal Neima dari grup adalah orang paling terbuka dan akan menceritakan apa saja. Kedua, yang membuat Fashion bingung adalah kebalikannya. Sikap Neima tidak seramah di grup. Aslinya, Neima memang suka berbicara banyak, tetapi semua tentang pekerjaan. Kecuali waktu Fashion bertanya soal kepindahan Neima, dia mengatakan bersama keluarganya.
"Sebenarnya, kemarin saya mendengar Kak Ne menerima telepon. Setelah itu, dia buru-buru pulang. Wajahnya tidak baik."
Asumi mendapatkan poinnya. Mereka bertiga memang belum akrab, tetapi masing-masing merasakan adanya perubahan tanpa kehadiran Neima. Bukan Asumi saja, ternyata Fashion juga uring-uringan. Tampak jelas dari sikap diamnya sejak pagi.
"Jadi karena itu kau tanyakan alamatnya?" Rupanya Fashion betul-betul khawatir.
"Maaf kalau saya tidak sopan," ungkap cowok itu penuh sesal.
"Aku juga jadi cemas. Semoga besok dia kembali. Kalau tidak, kita cari tempat tinggalnya bersama." Kemudian Asumi berteriak kecil, hingga langkah Fashion terhenti.
"Kita bisa langsung bertanya padanya lewat ini," kata Asumi memamerkan gawainya. Merasa bodoh karena sibuk memikirkan jalan yang rumit.
"Berkabar kalau kau sudah tahu alasan dia tidak masuk!" kata Asumi yang menghadap ke kanan, ke pintu. Ternyata sudah sampai di kelas tujuannya.
Sementara itu di rumahnya, Neima sedang mengaduk bubur ayam untuk putrinya. Sejak menyadari Hagia panas tinggi sebangun tidur, pikiran Neima kocar-kacir. Dia tidak pernah menghadapi anaknya dalam kondisi sakit seorang diri. Selalu ada Meida yang membantu mengurus Hagia saat Neima menemani Hagia yang tak ingin ditinggal ibunya.
Neima membawa Hagia ke klinik pagi-pagi sekali. Kini Hagia sedang tidur jelang sarapan dan minum obat. Hagia pun masih sama seperti dulu. Saat sakit, tak ingin berjauhan dengan Neima. Dia akan memanggil Neima dan meminta Neima tetap di sebelahnya.
"Ne," panggil anak itu dengan suara serak dan lemah.
Buru-buru Neima mematikan kompor. Ia tergopoh ke kamar menemui anaknya.
"Pahit." Hagia mengeluhkan mulutnya.
Neima semakin khawatir Hagia tidak berselera memakan apa pun. Neima menenangkan sembari melihat ponsel. Cara apa yang dapat ia lakukan untuk menguragi rasa pahit pada lidah orang demam?
"Nei punya sulap. Mau coba?"
Hagia mengangguk lemah. Kemudian merengek sewaktu Neima hendak turun dari tempat tidur.
"Sebentar, cuma lima detik. Hitung, deh, kalau gak percaya."
Anak patuh itu mengangguk. Dia tidak menghitung karena malas menggerakkan bibirnya. Neima datang lagi dalam satu menit. Agak lama tapi Hagia tidak menyadarinya.
"Nei punya ini sama ini." Ada cangkir dan mangkuk di kedua tangan Neima.
"Pertama, kumur pakai air ini. Kedua, buang ke mangkok ini."
Hagia melakukannya. Neima harus mengingatkan anak itu supaya tidak menelan air garam hangat tersebut.
"Gimana? Masih pahit?"
Hagia bergumam.
"Lagi," kata Neima menyodorkan sekali lagi cangkir ke bibir Hagia si anak sinetron. Hagia berkumur sekitar empat kali. Dia sampai bosan melakukannya.
"Pahitnya agak hilang, Ne."
"Iya, dong, ini air sulap."
"Neyi hebat." Hagia merebahkan badannya.
"Nei maafin kalo Hagia bikin Nei repot. Kalo Hagia maunya sama Nei sampai Nei gak kerja."
Neima merasakan kelopak dalam matanya gatal. Dia mengedip-ngedip menghadap belakang agar tidak baper. Gimana tidak sedih saat kau melihat anakmu sakit di suatu pagi? Tidak ada yang akan menjaganya selain dirimu. Tentu Neima akan meninggalkan pekerjaannya. Sungguh kejam orang yang tidak memaklumi dirinya.
"Aku akan maafin kalo kau sembuh."
Hagia menggangguk. "Hagia mau cepat sehat biar Nei bisa kerja lagi."
"Hagia. Kamu tidak merepotkan aku. Aku kerja untukmu. Kalau kau memang merepotkan, kenapa aku mau-mau saja membawa kau pindah ke sini? Kalau kau bikin repot, aku akan meninggalkan kau sama Nenek. Tapi kau tidak merepotkan sama sekali. Jangan ngomong gitu lagi. Nei sedih."
"Janji."
"Sekarang makan, ya. Sudah waktu minum obat. Mau sehat 'kan?"
Satu jam kemudian, sesudah makan dan minum obat, Hagia pulas kembali. Neima menerima telepon dari ibunya. Itu bukan suatu kebetulan karena setiap hari mereka berteleponan.
"Hagia demam?" tanya Meida, terdengar cemas.
"Sudah Nei kasih sirop anak dan juga ada pil dari dokter. Sekarang anak sinetron tidur."
"Nei ... Ibu besok ke rumah."
Neima agak tak percaya dengan kabar tersebut. Ibunya pasti sangat mengkhawatirkan cucunya.
"Bukannya gak boleh, tapi Hagia sudah agak mendingan, Bu. Demamnya sudah turun."
Meida tidak mengatakan apa-apa lagi. Tapi dia mengatakan besok tetap akan datang ke rumah Neima.
Lalu ponselnya kembali bergetar. Ada panggilan masuk dari Fashion Klein.
"Kenapa? Ada masalah di sekolah?" tanya Neima tanpa basa-basi.
"Saya yang ingin nanya begitu. Apa Kak Ne ada masalah?"
"Kayaknya aku udah bikin heboh satu sekolah karena gak masuk hari ini."
"Jadi, Kak Ne gak apa-apa?"
"Gak ada apa-apa. Kau penasaran sekali, sih. Aku akan masuk kalau besok anakku sehat."
"Syukurlah. Anak Kak Nei sakit? Maaf, kalau lancang, yang kemarin kabar tentang itu?"
"Hm."
"Maaf saya kebanyakan bertanya. Selamat pagi, Kak, eh selamat siang, Kak Nei."
Neima tersenyum tipis menyadari waktu pukul sebelas memang meragukan. Pagi lewat dan siang pun belum.
Di teras kelas XI Akutansi Fashion menggenggam ponselnya. Suara perempuan itu masih seketus biasanya. Kenapa dia merasa selega ini mengetahui Neima baik-baik saja? Setelah itu, Fashion Klein bisa memusatkan perhatian kepada Sejarah Indonesia sampai jam pelajaran terakhir. Sebelum pulang Fashion memberitahukan kabar itu kepada Asumi sesuai permintaannya.
Namun, kata-kata Asumi sebelum pergi membuat Fashion tersentak, "Kau baik dan khawatir berlebih kepada semua perempuan atau Kak Nei-mu saja?"
Setelah itu, Asumi tertawa. "Kenapa kaget? Berarti yang mana? Dia misterius, sih, tapi haram dipenasari, Pak Ion." Sehabis itu, Asumi pulang.
Haram.
Fashion duduk dalam mobilnya sebelum meninggalkan lapangan parkir. Pesan dari Mimi Riris membuat ia harus menunda perjalanan demi membalasnya. Selama 21 tahun hidup berdua. Sekarang mereka berpisah. Sudah jelas Mimi Riris kehilangan. Fashion selalu membalas secepat yang ia bisa apabila ibunya mengirim pesan ringan. Malam waktunya telepon atau panggilan video, meski tidak setiap malam. Tampaknya Mimi Riris mengerti bahwa Fashion sibuk. Walau pada kenyataannya tidak.
Mimi: Pulang belum?
Fashion Klein: Siap untuk pulang.
Mimi: Mau tiga minggu di sana, ada gak?
Mimi: Gak usah pura-pura bodoh. Mimi bertanya calon mantu.
Mimi: Ketemu orangnya?
Fashion Klein: Ion kerja, bukan nyari perempuan.
Mimi: Janji adalah janji. Cepetan bawa pacar kamu ke rumah!
Fashion Klein: Ya, Mimi.
Fashion meraup mukanya saat mengingat wajah Neima. Ia tidak menyetir ke kos-kosan, melainkan tempat yang bisa menyegarkan otaknya.
Haram.
Dia tidak tahu apa yang terjadi. Kenapa kepalanya sering memutar gambar Neima Devira? Apa yang harus dilakukannya? Tidak pernah ia memikirkan perempuan selain Mimi selama hidupnya. Fashion pergi membawa kendaraannya ke sebuah butik pengantin.
***
Neima sekolah keesokan harinya. Dia masuk kelas yang satu dan kelas yang lainnya sampai jam pelajaran terakhir. Di sela waktu pertukaran kelas dia memainkan ponsel. Berkiriman pesan suara dengan putrinya yang belum mampu mengetik huruf. Jam istirahat digunakan untuk video call. Anaknya sudah sehat, meski selera makannya belum balik lagi. Neima pagi-pagi sekali membuat kue srikaya dan puding mangga. Neima juga memasak soto dan meminta Aulia memberikan Hagia nasi.
Pulang sekolah mereka makan bertiga dengan menu yang sama. Hagia memuji bahwa kue srikaya buatan Neyi sangat enak. Dia ingin sering-sering dibuatkan. Sorenya Meida benar-benar datang. Hagia terlihat sangat senang bisa bertemu lagi dengan neneknya. Meida seolah dimonopoli oleh Hagia. Neneknya tentu saja senang karena ia juga sangat merindukan sang cucu. Malam setelah Hagia terlelap, barulah Meida memilik kesempatan untuk membawa Neima berbicara empat mata.
"Dika datang."
Bagai disambar petir berita itu memengaruhi Neima, sehingga tubuhnya mematung. Di saat dirinya lupa, apa yang dilakukannya?
"Apa dia ingin ketemu Hagia?"
Meida pun juga tidak tahu.
"Lalu dia mencari aku? Mau apa dia?"
"Ibu bilang, kalian tidak ada di rumah. Dia ingin menunggu sampai kau pulang. Lalu Ibu katakan kalau kalian sudah pindah."
"Terus?"
"Dia menanyakan alamat kamu."
"Ibu kasih?"
"Enggak. Makanya Ibu ke sini. Ibu ingin tahu, apa urusanmu dengan Dika selesai baik-baik?"
Meida tidak bisa memutuskan saat Dika menanyakan Neima. Oleh karenanya, dia bergegas datang untuk meminta kejelasan.
"Baik-baik gimana? Nei tidak bisa berbaikan dengan dia."
"Jadi tidak ingin ketemu dia 'kan? Kau yakin untuk sembunyi? Bukankah berarti ada yang belum selesai di antara kalian kalau sampai Dika memang mencarimu?"
"Nei sama dia gak punya urusan apa-apa, Bu. Dia sudah memutuskan semua hubungan kami. Soal Hagia juga dia tidak ingin tahu. Dia yang memilih begitu. Tidak ada hal yang menghubungkan kami lagi karena dia yang membuang kami berdua."
***
Bersambung ...
18 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top