014 Terlalu Menjaga Jarak
"Kau tak makan siang?" tanya Asumi kepada Neima saat hendak ke kantin bersama dua rekan CPNS lainnya.
Perempuan berkerudung hitam hanya menggeleng. Justru dia lebih dulu meninggalkan ruangan.
"Dia tidak pernah mau gabung dengan kita," sahut Dena.
"Mungkin sudah sarapan," kata Fashion.
"Setiap istirahat pasti kabur. Di kantin juga gak ada. Emangnya dia tahan gak makan-makan?" Tersirat nada khawatir dalam suara Asumi.
"Sudah biasa kali, Kak. Mungkin dia diet."
"Kau nyindir aku atau apa?" ketus Asumi lalu mengatakan ayo sebelum bel kembali berdendang.
Ketiga calon pegawai negeri tersebut menuju kantin. Mereka terbiasa bergabung dengan para siswa. Berbeda halnya dengan guru sepuh yang memilih bantuan ibu kantin atau siswa membawakan makanan mereka ke kantor. Ketiga pasukan baru tersebut merasa ada kesan tersendiri makan bersama para murid. Bisa lebih akrab membangun komunikasi.
Sementara itu di UKS, Neima menghubungi putri kesayangannya.
"Hey!" katanya pada saat wajah anak kecil muncul di layar.
"Halo, Nei. Lipstik Neyi masih ada. Emangnya gak makan?"
Neima menempelkan bibir di ponsel, "Muuaah. Nah, sekarang merahnya udah pindah."
Hagia mengerucutkan bibirnya sambil mengelap pipi. "Aaah. Basah, Nei!" rajuknya mengikuti drama ibunya.
"Gantian. Sebelah sini," kata Neima menusuk-nusuk pipinya sendiri.
"Kiss." Hagia juga menempelkan bibir ke layar.
Keduanya tertawa dan Hagia yang paling keras.
"Hagia."
"Hum."
"Di rumah aman?"
Anaknya menggerakkan kepala ke atas dan bawah. Pipi yang tembam membuat Neima ingin sekali mencubit bocah itu.
"Ada yang naruh cucian?"
"Belom ada. Kak Aulia ada nih, sebelah Hagia. Lagi potong kuku."
Lalu Hagia mengaktifkan kamera belakang. Tampak seorang gadis remaja rambut sebahu sedang menggunting kuku kaki.
"Aulia."
Gadis itu mendongak setelah dipanggil Neima.
"Dalam kulkas ada wortel dan kentang. Kau masak itu saja untuk Hagia. Oh tidak, tidak. Beli ayam untuk membuat sup. Sekarang, ya, tadi Hagia belum sarapan. Kau juga jangan malas makan. Kau harus naik beberapa kilo kalau masih mau ikut dengan kami agar bapakmu lega melepasmu."
"Kalau ada yang datang gimana, Kak Ne?"
"Bukan rezeki. Pergilah sekarang. Hati-hati jagain Hagia."
Aulia mengangguk. Hagia kembali muncul di layar.
"Nei! Nanti pulang jam berapa?"
"Sore. Nanti Nei mau sebar brosur. Ingat ya, jam satu, waktunya tidur siang."
Tangan anak kecil itu mengisyaratkan sikap hormat. "Hati-hati, ya. Hagia gak akan nakal sama Kak Aulia. Bye bye. Love you, Nei."
Hagia menempelkan bibirnya ke layar.
"Love you, Anak Sinetron." Begitu juga dengan Neima.
Saat layar gawai menggelap, Neima juga terdiam. Punggungnya masih bersandar di bangku. Lalu terdengar dehaman dari arah pintu. Segera wanita itu membalikkan badannya.
"Sejak kapan kau di sana?"
Fashion berjalan mendekati tempat Neima.
"Baru saja."
Neima terlihat gelisah. Fashion berdeham lagi. Lebih mending melihat Neima kesal, dibanding malu seperti sekarang menurutnya.
"Itu tadi putriku."
Fashion mengangguk.
"Kak Ne selalu melewatkan waktu makan untuk bertelepon?"
"Kau sendiri ngapain malah di sini?"
"Selesai makan, saya ingin jalan-jalan. Dengar suara Kak Neima."
"Suaraku kencang banget?"
Kepala Fashion bergerak isyarat tidak. Lelaki itu terdiam dan tampak ingin mengatakan sesuatu, walau masih ragu.
"Apa?" ketus perempuan di hadapannya.
"Bu Safrida. Kalau Bu Safrida meminta, saya belum siap. Butuh bantuan dari Kak Ne."
"Yang jelas ah. Minta apa?"
"Perangkat pembelajaran. Saya belum bisa membuatnya."
"Oh, benar juga. Aku aja lupa. Sebelum diminta kita harus lebih dulu mengumpulkan."
Sudah ditebak Fashion akan seperti ini. Bagi Neima cari muka adalah hal utama. Masalahnya Fashion lelah mengikuti ritme wanita itu.
"Saya belum ada, Kak."
"Aku juga."
"Kak Neima pernah membuatnya di sekolah lama. Saya belum. Saya gak tahu apa saya bisa menyusunnya dalam waktu singkat."
Wanita itu berdecak. "Aku dulu membuat untuk tingkat SMP. Bedalah. Unduh aja, lagian banyak di internet. Kau ganti nama sekolah dan namamu, juga nama kepala sekolah."
"Boleh, Kak?"
"Gak boleh. Ya kau buat sendirilah. Kau yang akan mengerjakan kegiatannya. Ya, susun olehmu."
Fashion masih kebingungan.
"Lihat contoh formatnya dari file orang. Kau ubah dan atur sendiri apa yang akan kau lakukan di kelasmu nantinya. Harus cepat, ya, kalau bisa bulan pertama ini dokumen kita sudah lengkap. Jangan lupa beritahu Asumi dan Dena."
Ponsel Neima bergetar. Ada panggilan dari Anak Sinetron. Nama kontak Hagia.
"Ya? Kenapa?" jawab Neima cepat.
"Kak Ne, aku minta maaf. Tadi kami tidak hati-hati, Hagia jatuh diserempet motor."
"Kau!!" teriak Neima.
"Kenapa, Kak?"
"Aku izin pulang cepat. Sampaikan sama yang piket. Jamku tolong diisi. Aku harus pulang."
"Ada apa, Kak?" tanya Fashion melihat wajah Neima memerah.
"Gak ada apa-apa. Gak usah banyak tanya!"
"Kak Ne pulang naik apa?"
"Melayang! Ojeklah."
"Saya antar!"
"Kau gila. Ini bukan sekolah bapakmu, Fashion. Gak usah tiruin adegan basi di sinetron. Aku pulang!" Neima segera berlari ke arah kantor.
Fashion pun juga berlari hingga ia bisa melihat Neima terburu-buru mengumpulkan barangnya ke dalam tas. Wanita itu segera menggendong ransel kulit keluar ruangan.
"Kenapa dia pulang? Neima gak ada jam lagi?" tanya Bu Susi, guru Kimia.
"Kak Neima minta izin untuk pulang cepat."
"Ada apa?" tanya guru itu lagi.
Fashion tidak dapat mengatakan apa pun.
Di jalan Neima menepuk-nepuk bahu pengendara sepeda motor supaya melaju lebih cepat. Sesampai di rumah, dia mendengar gelak tawa Hagia. Neima bergegas ke dalam lalu memegang bahu putrinya.
"Apa yang luka?"
Tawa Hagia terhenti. Aulia juga berhenti melucu.
"Maaf, Kak Ne." Kelihatannya Aulia benar-benar takut akan dimarahi.
"Yang ini." Hagia menunjukkan goresan di sikunya.
"Sakit?"
Anak perempuan empat tahun itu menggeleng.
"Udah dikasih betadin sama Kak Aulia. Udah gak sakit lagi."
"Kalau sakit, bilang. Jangan diam aja, nanti Nei marah."
"Iya, iya, Neyi." Hagia mengerucutkan bibir mendengar kekesalan Neyi-nya.
"Kejadiannya gimana? Diserempet di mana sih? Kau gak apa-apa?" Sekarang Neima juga takut hal buruk terjadi kepada Aulia, tetangga yang meminta tinggal bersamanya.
"Bukan jatuh dari motor. Kita turun dari motor langsung belanja. Waktu jalan ke arah motornya, gak sengaja aku jalan di bagian dalam dan Hagia di bagian jalan."
"Tuh, besok lagi lebih hati-hati. Kalian sudah makan?"
Aulia dan Hagia kompak menggeleng. Sepulang dari warung, mereka mengobati luka lalu bercanda. Aulia tampaknya sengaja membuat Hagia melupakan kejadian tersebut dengan melakukan hal-hal konyol yang menyebabkan tawa di bibir anak kecil tersebut. Rasa bersalah gadis itu bertambah lagi. Dahulu dia juga menyebabkan Hagia terluka dan sampai harus pergi ke dokter.
Neima mengganti seragamnya diikuti Hagia ke kamar. Anak itu melakukan tugasnya seperti biasa, membersihkan wajah Neima dari sapuan bedak dan debu jalanan. Sejak mengajar di sekolah negeri, Neima tak pernah lagi dandan. Ia tampil apa adanya dan hanya mengoleskan lipstik tipis-tipis.
"Hagia."
Hagia menyahut dengan gumaman sembari bertugas mengusap wajah Neyi-nya.
"Nei sayang sekali sama kamu, tau?"
"Hagia juga."
"Kalau terjadi apa-apa, kalau kau luka lagi, aku gak maafin kau. Tau?"
"Hm."
"Kalau sakit, bilang aku. Kau anak kecil jangan sok kuat. Mengerti?"
Hagia menjawabnya dengan menempelkan bibir di bibir Neima.
"Aku hampir teriak di sekolah waktu dapat telepon. Jangan lagi aku dengar kabar seperti itu."
"Janji."
"Kemari." Neima merentangkan tangannya dalam posisi berbaring.
Hagia menaiki tubuh Neima dan mengalungkan tangan ke leher ibundanya. Neima balas memeluk tubuh putrinya yang mulai tinggi itu.
"Aku hanya punya kamu dan kau juga cuma punya aku. Kita gak bisa bersama-sama dua puluh empat jam. Jadi tolong waktu kita jauhan, jaga dirimu baik-baik, Anak Sinetron."
Neima merasakan Hagia mengangguk.
"Nei juga harus hati-hati. Nanti waktu Hagia sudah cukup besar, Hagia yang anter Nei kerja."
"Cepatlah besar."
"Hagia udah laper." Anak itu turun dari tubuh Neima.
"Bisa tunggu sebentar? Aku masak dulu, kau bantu biar cepat. Mau?"
"Mau mau! Ayo, kita memasak!" Semringah sekali muka anak sinetron ketika diajak ibundanya memasak. Ditariknya tangan Neima ke dapur.
"Tunggu ah!"
"Kenapa?"
Neima menunjuk penampilannya.
"Cepat pake bajunya, Ne!"
Setiba di dapur, Neima tidak menemukan Hagia. Dia menuju ruangan tengah dan ternyata si anak sinetron kesayangannya tengah menonton sinema siang. Neima menggeleng-gelengkan kepala. Tidak mengusik putrinya itu agar dia bisa beristirahat.
Kalau diingat lagi masa-masa setelah Hagia lahir, Neima ingin menghukum dirinya sendiri. Ia sangat 'menyesal telah menzalimi putri kandungnya sendiri. Mungkin penebusan seumur hidup takkan mampu membalas semua kesalahannya. Untuk itu, Neima ingin melakukan segalanya untuk Hagia.
Neima yakin ungkapan cinta yang selalu ia utarakan dapat mempertebal perasaan tersebut di antara mereka dari hari ke hari. Hagia juga tak malu mengucapkan rasa cinta bahkan gadis cilik itu yang pertama kali mengucapkannya kepada Neima.
Seperti Dokter Ilham yang bertanya mengapa Hagia tidak memanggil Neima ibu? Dan mungkin orang yang mendengar juga menanyakan hal yang sama, meski tidak mereka utarakan.
Awalnya, tentu saja karena Neima enggan mendengar panggilan tersebut. Ia dahulu tidak sudi menyentuh Hagia. Tidak mengakui Hagia anaknya. Namun, berkat Hagia yang selalu ada di samping Neima, menemani Neima dalam sepi dan putus asa, dengan berbagai tingkah ajaib. Neima merasakan warna telah kembali dalam hidupnya. Meski ia masih menolak kehadiran Hagia, tapi berusaha menahan senyum akan ocehan cadel balita itu setiap waktu. Ia akhirnya luluh.
Dahulu waktu Hagia memanggilnya, "Bu bu bu." Neima langsung mengajarkan anak itu untuk tidak menyebutkan demikian.
"Nei! Nei! Ini, Nei, bukan bubu."
Sepanjang waktu kebersamaan mereka, yang Neima tak suka, apa daya Hagia selalu ada, Neima mengulang lagi kalimat tersebut hingga Hagia mau memanggilnya Nei. Sekarang panggilan itu melekat di bibir Hagia.
"Hagia, makan." Neima datang dengan sepiring nasi mengepulkan asap dan semangkuk sup ayam.
Anak itu membuka mulutnya.
"Duduk, nanti keselek."
Hagia pun duduk sesuai perintah. Dia menelan nasi yang disuapkan ibundanya dengan sendok.
"Kok gak ajak-ajak Hagia?"
"Udah makan aja. Kalau udah besar, kau yang dapat jatah memasak, tapi itu masih lama. Cepatlah tumbuh tinggi."
Neima mendengar sebuah sepeda motor memasuki pekarangan. Ia mengintip laki-laki berjaket yang datang membawa satu kantong plastik hitam yang besar. Bibir Neima merekah. Tuhan semoga selalu memberikan rezeki untuk keluarga kecilnya, doanya tulus.
Neima datang dua minggu sebelum sekolah dimulai. Dia mulai membersihkan rumah dan melengkapi perabotan. Pada awalnya Neima ingin membeli kelengkapan isi rumah satu per satu. Paling penting dia membeli mesin cuci untuk usahanya laundry. Oleh Meida, Neima diminta membawa kulkas dan televisi karena Meida tidak membutuhkan benda itu tanpa Hagia. Keduanya dibeli khusus untuk sang cucu.
Meida menjual sapi-sapinya untuk membelikan sepeda motor dan membayar sewa rumah selama satu tahun. Sisanya untuk membeli setrika listrik, penanak nasi, dua kipas angin, kompor dan gas, rak, lemari, tempat tidur, serta kelengkapan kecil-kecil dan termasuk penting, seperti gorden dan selimut.
Sebelum memulai untuk tinggal di tempat baru, mereka semua telah merencanakan dengan matang, termasuk usaha sampingan Neima selain pegawai negeri. Aulia yang rajin datang ke rumah memohon kepada Neima untuk dibawa. Dia beralasan enggan melanjutkan sekolah sebab otaknya tak sanggup belajar di bangku SMA. Dia tidak perlu digaji asalkan diperbolehkan ikut. Dia menawarkan menjaga Hagia selama Neima di sekolah. Lalu saat mendengar Neima akan membuka usaha binatu, Aulia langsung menyodorkan surat lamaran kerja. Formatnya sungguh salah kaprah, tapi niatnya sangat jelas. Setelah mendapatkan izin dari ayahnya yang cukup susah, Neima bersedia menerima Aulia sebagai salah satu keluarga yang akan tinggal bersamanya di Kota B.
"Nei jadi antar brosur? Hagia boleh ikut, ya?"
Usaha yang dijalankan secara kecil-kecilan tersebut perlu dipromosikan. Neima mencetak selebaran iklan yang ia sebarkan ke rumah-rumah, jalan, dan kontrakan serta tempat umum di mana ada pengumuman lain.
"Tidur."
"Ikuuut! Hagia kangen terus sama Nei."
Kalau sudah beralasan seperti itu, Neima takkan bisa mengatakan tidak. Anaknya selalu nomor satu.
***
Bersambung....
16 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top