013 Tak Terbaca
"Kata Kak Neima, kalian sudah berkenalan di depan guru-guru," bisik Fashion. "Dia mungkin tidak ingin mengulangnya dua kali."
Asumi menggeleng. "Sama. Dia banyak bertanya saat menanggapi para guru, tapi tidak memberikan kesempatan untuk dirinya sendiri mempekenalkan siapa dia. Hanya berkata namanya adalah Neima."
Informasi dari Asumi membuat guratan halus di kening Fashion bermunculan. Bukankah di chat grup dan jalur pribadi, Neima paling banyak bercerita. Bahkan, hal-hal tak penting tentang dirinya dia beritahukan. Neima memiliki anak kecil perempuan. Dia kuliah di kampus yang sama dengan Fashion. Tahun berapa dan berapa usianya?
"Kalian sudah melihat jadwal pelajaran?" tanya Neima dari bangkunya.
Fashion, Asumi, dan Dena mendekati Neima yang memegang selembar kertas.
"Lihat sendiri apakah kalian punya jadwal. Usakan yang terbaik, Guys."
Asumi mulai jam pertama di jurusan akuntansi. Dena nanti di jam kedua di jurusan kulineri. Sedangkan Fashion dan Neima tidak mendapatkan jadwal di hari Senin. Mereka berdua mencatat kelas-kelas dan jam ajar di notebook masing-masing.
"Bu Neima dan Pak Ion kosong?" tanya Bu Safrida yang baru tiba.
Keduanya mengangguk kompak. Fashion menambahkan, "Iya, Bu Safrida." Karena dirasanya jawaban pertama kurang pantas dilakukan kepada orang yang lebih tua.
"Ibu membuat jadwal piket. Pak Ion dan Bu Neima piket hari Senin. Bisa?"
Fashion menanggapi dengan setuju.
Neima mengatakan, "Terserah Ibu saja."
"Meja piket ada di beranda timur. Ada buku catatan yang akan diisi di sana. Satu-satu bisa keliling untuk melihat kondisi tiap kelas. Hari ini sepertinya seluruh guru datang. Jadi, Pak Ion dan Bu Neima berdua boleh keliling untuk melihat-lihat di jam pelajaran. Ada satu lagi guru yang piket dan dia bisa stay di tempat saat kalian patroli." Bu Safrida menutup instruksinya dengan senyuman.
"Jadi kau dapatkan hari apa saja?"
Mereka dalam perjalanan ke meja petugas piket mingguan.
"Lima hari kerja, hanya Senin kosong, Kak Neima."
"Aku juga. Tidak ada yang nol jam, ya. Seperti hari ini, dipakai untuk tugas piket. Aku pikir ada hari di mana aku bisa full di rumah saja."
"Sabtu." Fashion menanggapi. "Minggu."
Neima berdecak. "Itu kewajiban mereka kasih libur. Kalau masih diisi jam ajar, awas saja. Maksudku antara Senin sampai Jumat. Jangan-jangan kita mau dijadikan Romusha."
"Jam pulang kita cepat, Kak. Masih beruntung dibanding mereka yang bekerja sebagai pegawai teknis dan kesehatan."
"Kau ini gak nyambung. Aku bilang, antara kita sama guru lainnya. Kau tidak lihat jadwal? Ada guru PNS yang libur satu hari dan ada yang satu hari hanya mengajar satu kelas. Apaan-apaan dengan jadwal kita?"
Fashion tersenyum saja.
Waktu mereka sampai, sudah ada seorang guru laki-laki duduk di belakang meja piket. Namanya Pak Harta mengajar bahasa Mandarin. Saat bicara beliau berlogat Jawa.
"Kami ingin melihat-lihat sekolah. Boleh kami jalan, Pak?" tanya Neima setelah mendengar perkenalan Pak Harta.
Seperti yang tadi, Neima cuma mengenalkan namanya saja. Sementara Fashion, lebih lengkap dengan memberitahukan bahwa ini pertama kalinya ia terjun ke sekolah dan sebelumnya dia bekerja di butik milik ibunya.
Neima dan Fashion berjalan di teras kelas lantai satu. Beberapa kelas belum didatangi guru yang bersangkutan. Mereka menemukan tangga dan naik menuju lantai dua.
"Jadi kau pertama kali mengajar dan langsung sebagai CPNS, Fashion?"
Fashion mengiakan. "Coba-coba tes ternyata tembus."
"Aku juga pertama kali. Siapa sangka langsung lolos. Sekolah ini aku asal pilih saja. Beruntung, ini sekolah besar dan di tengah kota pula. Kau lihat gedung itu, megah sekali. Fasilitasnya lengkap. Siswanya udah pasti bukan abege badung yang mesti kau teriaki supaya memasukkan kemeja ke celananya."
"Iya, Kak."
Mereka terus bercakap-cakap mengenai hal-hal yang mereka temui sepanjang jalan. Di gedung paling ujung, terdengar suara berisik. Neima dan Fashion bergegas ke sana. Mereka mengintip dari jendela kelas yang tidak ada guru tersebut.
Seorang siswa memegang sapu pel dan kain pel dia taruh di kepala temannya. Siswa dengan pel-pelan di kepala tidak marah, justru pura-pura menyibak sapu tersebut seakan itu rambutnya.
"Gue heran sama cewek sekarang. Kalau video call pasti benerin rambut mulu," katanya sambil menyelipkan kain pel tersebut ke telinga. "Gak sekalian benerin genteng tetangga aja? Suka sebel gua."
Siswa lainnya, perempuan yang juga berada di depan kelas, membalas, "Soalnya benerin akhlak susah, Bujang! Gak sebanding sama kuota kita yang kepake."
Teman-temannya bertepuk tangan lalu terdengar musik dan mereka yang di depan kelas joget-joget tak jelas.
Fashion tertawa pelan. Neima diam saja. Perempuan itu hendak menegur ke dalam, tapi keduluan oleh teriakan seorang siswa.
"Ada guru baru, woi! Bening-bening!" Lalu satu per satu mereka duduk di bangku masing-masing. Badan tegap dan tangan dilipat di atas meja.
"Siap!" imbau seorang siswa laki-laki.
Seluruh siswa berdiri lalu berucap, "Selamat datang, Bapak Guru! Selamat datang, Ibu Guru. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuuh."
"Duduk kembali," kata ketua kelasnya.
Neima dan Fashion yang berencana hanya lewat, memilih untuk memasuki kelas tersebut. Fashion mengekori Neima yang menuju meja guru.
"Halo, Kelas. Ini jurusan apa?" tanya Neima.
"Perhotelan, Bu Guru!" Mereka menjawab serempak.
"Jam pelajaran apa?" tanya Neima lagi.
"Agama Islam, Bu Guru." Beberapa saja yang menjawab.
"Kenalan, dong, Bu guru." Siswa laki-laki menyahut.
Neima menggeleng. "Yang belum tahu sama saya berarti waktu upacara tadi melamun."
"Ya kan bu guru ada tiga. Kami jadi susah bedain."
"Betul!" sahut siswa lainnya.
"Sekali lagi, dong, Bu Guru," pinta ketua kelas.
Neima menunjuk ke papan nama di dadanya.
Siswa paling depan membaca dan menyebut dengan keras-keras, "Nama ibu gurunya adalah Neima Devira."
"Gue hafal!" kata seorang siswa perempuan. "Ibu yang paling gemuk dan pendek namanya Bu Asumi. Ibu guru yang paling kurus, paling tinggi, dan mukanya kecil cantik yang tadi pakai jilbab instan warna hitam namanya Bu Dena. Dan ibu yang paling manis namanya Bu Neima."
"Penjelasan yang sangat mendetail, Nona Putri," sindir ketua kelas. "Body shaming terselubung."
Nona Putri hanya mengangkat bahu.
Dibalas oleh siswa perempuan lainnya, "Pak Ion cakep, deh, ngajar kami ya, Pak."
Fashion mengangguk. Dia belum tahu apakah dia ada jadwal di kelas tersebut. Fashion akan melihat catatan dalam tasnya nanti.
"Pak Ion taken apa jomlo?" seru seorang siswa perempuan.
Seluruh kelas diam.
Tak lama terdengar celetukan, "Orang cakep cepet sold out, Tun!" kata temannya yang laki-laki.
"Tau aja yang cakep lu, Jon. Lu belok?" tanya temannya yang laki-laki.
Temannya mentertawai siswa yang dipanggil Jon.
"Jawab, Pak. Pak Ion udah ada yang punya atau belum?" Kembali pertanyaan tersebut diulang.
"Kalau taken kenapa? Kalau single gimana?" kata Fashion bersuara untuk kali pertama.
"Sama aja, Pak, bak ingin memeluk gunung apa daya tangan tak sampai!"
"Wuuuu!" teriak seluruh kelas.
Fashion tersenyum manis.
"Bapak Guru senyum! Tangkep gue, Jom! Gue udah di awan-awan nih! Tolong, turunin gue!"
"Kurang sajen lu semua!" kata ketua kelas.
"Jadi gimana, Pak? Bapak sudah menikah atau belum? Udah punya pacar apa belum?"
"Gue yasin, Pak Ion jomlo!"
"Yakiiin!!!"
"Kalo kata gue, Pak Ion taken. Potek hati saya, Bapaak."
"Berisiik!!!" teriak seorang perempuan yang duduk paling belakang bagian sudut.
"Mau udah berdua atau belum, lu pada gak bisa deketin Pak Ion. Bu Neima lebih serasi di sebelahnya. Lihat pakai mata makanya!"
Semuanya mengangguk melihat kedua guru yang berdiri di depan kelas.
"Bu Neima emang satu golongan ama kita-kita?" tanya perempuan yang duduk paling depan.
"Golongan apa?" tanya ketua kelas.
"Sekubu tim jomlo."
Neima menyahuti, "Anak saya sudah empat tahun."
Sebagian siswa berkata 'yaah' dan sebagian lagi mengatakan 'yes'.
Fashion tersenyum lagi dengan reaksi para murid. "Senang berkenalan dengan kalian. Semoga kita bertemu di kelas ini lagi," katanya.
"Apalagi saya, senang banget bisa kenalan sama Pak Ion."
Fashion menggeleng-geleng. Dia sedikit mendekat ke Neima, "Kelasnya apa akan seramai ini semua, Kak Ne?"
Neima hanya mengangkat bahunya.
Mereka mengundurkan diri dari kelas tersebut dan melanjutkan penjelajahan.
"Kak Ne waktu itu mencari rumah, sudah dapat?"
"Sudah," jawab Neima. "Kau tahu, ya?" Neima menanggapi dengan senyuman tipis dan bertahan dua detik saja. Mereka tidak memasang masker ketika berjalan.
"Waktu itu saya baca di grup."
Kepala Neima bergerak ke atas dan bawah.
"Berarti sama dengan saya, ke sini harus pindahan, tinggal sendirian di kota orang lain." Lalu Fashion mengoreksi, "Kak Ne sendirian juga atau membawa keluarga?" Fashion tidak ingin Neima menganggap dirinya tak tahu bahwa Neima telah berkeluarga.
"Sekeluarga." Neima menjawab pendek.
"Jadi, di daerah mana Kak Ne tinggal?"
Untuk pertanyaan itu, Neima seolah tak mendengar.
Fashion merasa dia sudah terlalu jauh.
***
Bersambung ...
15 November 2022
Oke, ini masih POV Fashion. Hagia belum muncul dulu, ya. Di bab 14 ketemu bocah sinetron.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top