011 Persiapan Hidup Baru
Akhirnya bertemu duo cantiks. Selamat membaca.
Matahari berada di atas kepala. Angin tidak bertiup. Pohon diam. Daun-daun merana. Ranting terjatuh dimakan usia. Suara binatang hutan mengisi pendengaran seorang wanita. Bunyi langkah terdengar samar di depan teras sebuah rumah yang dibangun di antara pepohonan rindang. Kaki bersepatu hak tinggi menuju ambang pintu. Penglihatannya diedarkan ke penjuru bangunan sederhana, berdinding separuh semen dan separuhnya lagi papan.
"Hagia?"
Alam pun enggan menjawab panggilannya. Wanita berseragam putih dan rok hitam serta kerudung hitam itu melepaskan sepatu. Sebentar dia melemaskan otot-otot kakinya. Dengan mengatupkan kedua bibir dan suara gigi beradu, dia menghadap halaman. Tasnya diletakkan dulu di atas bangku teras.
"Hagia!!!" teriaknya. Jenis suara itu mungkin akan mengejutkan ranting dan pohon yang sedang tidur siang.
"Pulang, Hagia! Tivimu aku jual, nih, cepat sini!!!"
Anak kecil berkucir dua, usianya empat tahun, berlari-lari dari arah selatan. Dress-nya kotor dan badannya penuh keringat.
"Ke mana saja kau? Lihat itu, jorok sekali. Masuk!"
Wanita itu, Neima Devira, menjinjing tas dan menaruh di atas tempat tidur. Dia menemui gadis kecil yang sedang melepaskan pakaiannya di dapur.
"Bisa?" tanyanya melihat putrinya kepayahan membuka resleting belakang.
Si gadis menggeleng dan melipat bibir. Pipi yang tampak seperti roti O itu semakin bulat saja. Hidung Neima menusuk wajah halus dan kecil itu, lalu mencubit pelan.
"Ih, bau. Anak cewek kok acem sih?"
Hagia malah mencibir dan menjauhkan pipinya. "Udah. Nei tinggal di luar. Hagia bisa, kok, mandi sendiri." Bocah berambut panjang tersebut langsung berlari ke bilik air.
"Cepat, ya. Harus wangi dan gak ada daki. Jangan asal siram saja. Gosok di semua bagian."
"Iya, Nei. Hagia udah tahu."
"Rambutnya dikeramas. Ambil sampo satu bungkus saja. Siram rambut sampai benar-benar basah supaya gampang berbusa."
"Tahu, Nei! Hagia kapan mulainya, nih? Bawel!"
"Dih, ngelawan, Anak Sinetron." Neima meninggalkan putrinya dan berjalan ke kamar. Di ruangan itu dia tidur berdua dengan bocah kecil yang sebentar lagi akan ia sekolahkan di TK.
"Handuk, Ne. Neyi sih, langsung suruh Hagia ke sumur. Nei!!!" Anak itu berteriak dalam keadaan tak berpakaian sama sekali. Tubuhnya basah. Air mengalir dari rambut. Dia berdiri di depan pintu kamar mandi sebelah luar, sehingga bagian tersebut menjadi basah juga.
"Hagia!!! Sengaja, ya, kamu! Tuh lihat basah kan!"Neima melingkarkan handuk ke tubuh Hagia. Ujung handuk tersebut dia gunakan untuk menggosok rambut.
"Gak bisa jalan," kata Hagia menggoyang-goyangkan tubuhnya bak cacing di bawah matahari.
Segera saja Neima memanggul anak itu di pundaknya. Sang putri berteriak sambil tertawa sampai mereka tiba di kamar. Neima menurunkan Hagia dengan hati-hati.
"Wangi sekali. Kau tuang berapa banyak sabunnya, Hagia, sampai satu botol?" tanya wanita yang telah melepas kerudungnya. Hidungnya kembali mencium pipi dan leher gadis kecil itu.
"Geli, Nei. Nei tuduh Hagia terus. Hagia cuma pakai dikit, kok. Nei tuh suka ngomel. Mana berani Hagia nakal."
"Aku suka soto, bukan ngomel."
Neima sedang mengeringkan seluruh badan Hagia dengan handuk. Dia mengambil setelan kaus untuk dikenakan Hagia di siang yang terik itu.
Hanya sampai di sana. Hagia akan melanjutkan memasang pakaiannya sendiri. Neima melepaskan seragamnya dan meninggalkan kaus dalaman serta celana leging tetap melekat di badannya. Dia berbaring sambil menutup mata untuk menanti Hagia melaksanakan tugasnya.
"Nei. Yang ini habis," lapor Hagia memperlihatkan botol cairan pembersih muka milik Neima telah kosong. "Taro mana yang barunya, Ne?"
"Laci." Neima tetap menutup matanya.
Hagia menuangkan cairan ke kapas dan mulai mengusap wajah Neyi-nya.
"Tadi Hagia ketemu Kak Aulia. Katanya mau main ke sini. Nei gak boleh marah-marah. Kak Aulia temannya Hagia."
Neima mencemooh, "Teman. Emang ada yang mau temanan sama kau, Bocah Sinetron. Kerjaannya kalau gak lihat abang-abang TK, nonton Bisikan Hati Istri."
"Ada, dong. Kak Aulia mau temanan sama Hagia. Hagia dibelikan roti sama martabak cokelat, Ne."
"Itu mah sogokan."
"Nei yang gak punya teman, kok, Hagia ada. Jangan galak-galak, orang takut sama Neyi tauk. Nei udah," kata Hagia meletakkan kapas kotor ke plastik yang digantung di dekat laci meja rias.
Neima segera duduk dan meraba ponsel dalam tas tangan. Dirinya melihat-lihat chat di grup yang sudah sangat banyak. Ia tidak lama membaca pesan-pesan tersebut. Neima membuka galeri foto.
"Itu rumah kita nanti, Ne?" Hagia mengintip dari samping. Dia menunjuk dan menyentuh dengan jari salah satu gambar di foto tersebut.
Neima mengangkat Hagia, memosisikan Hagia di depan di antara kakinya sendiri. Tubuh Hagia jadi dipeluk dari belakang.
"Pilih yang mana, Hagia?" Neima memperlihatkan beberapa rumah yang sudah dia seleksi.
"Yang luas seperti rumah kita ini aja, Ne. Hagia bisa ajak teman main. Bisa tanam pisang, pinang, sama jambu air. Mangga sama lengkeng."
"Kau ingin berkebun, ya? Di sini aja, gak usah ikut pindah."
Hagia menggeleng. Dia memikirkan baik-baik pilihan dan menggulir sendiri foto dalam galeri milik Neima.
"Ini." Hagia menunjuk sebuah rumah tidak terlalu besar. Memiliki halaman yang sekiranya bisa dijadikan tempat menjemur banyak pakaian. Ada pagar semen yang catnya mengelupas dan pintu besi berkarat. Tampak pot-pot bunga yang mati akibat kekeringan. Pilihan Hagia ternyata sama dengannya.
"Ih ikut-ikut."
"Nei mau ini juga? Kita one heart, Neyi. Kapan pindah ke sana, Ne?" Hagia memutar tubuh agar bisa menatap wajah Neima.
"Dua minggu lagi."
"Kalo Neyi sekolah, Hagia di mana? Hagia tinggal sama siapa, dong? Hagia bisa dapat teman gak, Ne, di sana nanti?"
"Puut puut ...." Neima mencubit bibir Hagia. "Bawel. Nanyanya satu-satu."
"Kalau aku sekolah, kau ikut." Neima menggangguk-angguk sambil membaca pesan-pesan yang menumpuk di grup peserta yang lolos seleksi PNS pemerintah provinsi.
"Di sekolah akan ada banyak teman. Bukan lagi abang-abang TK, kau bisa berteman sama abang SMA, lebih pintar dari teman kau yang masih suka pipis di celana dan bawa botol susu ke mana-mana itu."
"Ah aha!" Hagia berdiri dan melompat-lompat di atas tempat tidur.
Selama ini dia selalu tinggal saat Neima bekerja. Neneknya menggembala dari siang sampai sore dan kakeknya pun bekerja di kebun. Meskipun menggembala ternak, Meida sesekali pulang untuk menengok cucunya untuk mengetahui keadaan dan memastikan Hagia baik-baik saja. Hagia kalau tidak di rumah bersama TV kesayangan, maka jalan-jalan ke rumah tetangga yang biasanya menjadi markas anak-anak seusianya.
"Saranghae, Eomma." Hagia membentuk simbol cinta dengan mempertemukan ujung-ujung jempol dan telunjuk.
Neima ingin tertawa keras melihat tanda love yang salah kaprah itu. Bukannya saranghaeyo, itu malah terlihat seperti tanda oke. Neima terpaksa menahan kegeliannya karena ada yang ingin dia luruskan. Awalnya, Neima memasang muka serius. Matanya mulai menyorot tajam ke Hagia. Bibirnya dikatupkan.
"Iya, iya, Ne. 'Peraturan tidak tertulis antara Neima dan Hagia yang suka nonton sinetron.'" Hagia mengulang pasal yang diciptakan antara dirinya dan Neima.
Hagia gak bisa protes dengan embel-embel 'suka nonton sinetron' dari Neima karena kalau Hagia ngambek, Neima akan semakin banyak mengolok dirinya.
Hagia melanjutkan hafalannya, "Neima, perempuan tercantik dan seksi, melahirkan Hagia siang-siang jam dua di rumah sama bidan. Maka, Hagia sebagai anak yang patuh harus berjanji: satu memanggil Neima Neyi, dua dilarang menyebut 'kamu' kepada Neima. Kalau Hagia melanggar, pipinya dikempesin pakai garpu Nenek lalu digoreng pake minyak sayur."
Neima menghadiahkan dua jempol kepada gadis kecil yang rambutnya belum disisir itu.
"Kalau adik Hagia nanti boleh panggil ibu?"
"Adik? Datang dari mana itu adik?"
"Terus Hagia gak ada adik?" Hagia terlihat serius. Dia duduk bersila di hadapan Neima.
"Kau lihat aku ada adik?"
Hagia menggeleng.
"Nah, sama. Kita one heart, semuanya sama. Aku tidak punya saudara, kau juga."
Hagia merebahkan tubuhnya. Akibat sudah bersih dan lelah bermain, matanya mulai mengantuk. "Kalo Hagia punya adik pasti seru." Dia mulai berbicara pelan dengan mata tertutup. "Nanti Hagia dipanggil kakak. Kita berdua bantuin Neyi kerja, bersih-bersih rumah, cuci baju, cuci piring, potong rumput, buang sampah. Seru deh kalau ada adik. Bisa nonton sama-sama. Hagia ikatkan rambut adik Hagia. Malam-malamnya tidur sama Neyi, terus tendang pipi Neyi. Besoknya Nei gak ngomel lagi, deh."
Neima tersenyum mendengarkan impian si gadis kecil. Saat anak lain tak ingin mempunyai adik karena takut perhatian orang tua terbagi, Hagia malah menginginkannya. Dahulu Neima juga merasakan betapa sepi ia sebagai anak tunggal. Orang tua yang sibuk bekerja, sehingga dia selalu sendirian.
Kalau saja Neima punya saudara, ia bisa bermain dan bercanda seperti halnya dirinya dan Hagia. Namun, bagi Neima memiliki Hagia saja sudah cukup dalam hidupnya. Perhatiannya dapat seratus persen untuk si kecil.
Neima telah memusatkan tujuan hidupnya untuk Hagia. Dia berusaha menjadi pribadi yang lebih baik agar anaknya tidak seperti dirinya. Kalau bisa Neima ingin menciptakan sebuah ruang yang isinya hanya bahagia-bahagia saja agar Hagia tidak sampai mengenal kesedihan. Dia bekerja dengan ulet demi Hagia. Menabung dan hanya membeli sesuatu yang diperlukan untuk Hagia.
Setelah setahun menanti proses perekrutan pegawai negeri, Neima mendapatkan kabar baik. Dirinya diterima di sebuah SMK di Kota B. Beberapa persyaratan wajib, pengurusan berkas ke Badan Kepegawaian Daerah, sudah Neima selesaikan. Dia pun telah mengecek ke lokasi sembari mencari rumah yang akan dia tinggali nanti. Dia datang ke sekolah tersebut untuk memperkenalkan diri demi kelancaran pekerjaannya di lingkungan yang baru. Setelah kenal dengan teman di tempat baru, Neima ingin mengenal teman sesama orang baru.
Neima Devira: Siang, ini Neima, satu grup di CPNS Pemprov. Satu sekolah. Kampus kita juga sama. Salam kenal.
Neima sudah mengecek orang-orang yang diterima bersama dirinya. Ia mencari akun media sosial mereka. Dengan nama lengkap yang didapat dari dokumen kelulusan, Neima menyelidiki kampus dan tahun kuliah mereka bertiga. Salah satunya adalah alumni kampus yang sama dengannya. Orang itulah yang lebih dahulu Neima sapa. Neima ingin segala sesuatu dipersiapkan dengan matang.
"Aku cinta Neyi."
Neima tersenyum lebar mendengar igauan bocah penyuka Bisikan Hati Istri itu.
***
Bersambung...
13 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top