009 Fashion Klein
Dua tahun kemudian.
"Patah lagi? Ganti jarumnya, terus bawa ke sini, Sinta."
Fashion meletakkan gunting dan membiarkan kain untuk pola terbentang di atas meja. Dia memutar kursi menghadap Sinta, siswa magang di butik.
"Udah, Sin?"
Gadis itu mengangguk. Sebuah jarum yang sudah diisi benang dia serahkan kepada Fashion Klein beserta baju yang akan ditempel manik-manik.
"Lubangnya dirasa pakai jari. Kalau tidak hati-hati, bisa tertusuk. Nah, ini kamu lanjutkan."
"Yon, besok ke sini, ya." Rismayagempitala memperlihatkan sebuah alamat kepada Fashion.
Kebetulan belum melanjutkan guntingan, Fashion mengambil ponsel pintar milik Riris untuk melihat apa yang dibagikan miminya.
"Hotel? Mimi ada keperluan apa ke sana?"
"Bukan untuk Mimi. Hm ... ini kamu yang pergi. Mimi mengatur blind date untuk kamu."
Sinta memasang telinga lebar-lebar. Menjahit manik bukanlah pekerjaan yang menyenangkan. Mendapatkan hiburan dari pergosipan anak dan ibu cukup menambah semangat Sinta dalam bekerja.
"Kencan? Mi, Ion gak perlu dicarikan pasangan sama Mimi."
"Janji adalah janji, Yon. Dulu kita sepakat, kalau kamu belum bawa pacar setamat kuliah, Mimi akan atur perjodohan."
"Ion masih muda, bisa kali cari sendiri. Mimi tidak perlu susah-susah seperti ini."
Riris menggeram. Kedua tangan diletakkan di pinggang. "Iya kamu memang bisa kalau kamu memang niat. Yang Mimi perhatikan, kamu tidak mengarah ke sana. Kamu harus mencoba dulu rasanya punya pacar, Yon. Gak bisa mendapatkan satu gadis, Mimi yang carikan."
Sinta terbatuk. Dirinya ingin sekali ikut berkomentar. Jadi, yang dapat Sinta lakukan hanya bicara dalam hati. Sebulan yang lalu, waktu Sinta datang ke butik untuk magang, jantungnya berdesir melihat ketampanan calon bosnya. Dialah Fashion Klein dengan tinggi di atas rata-rata, berwajah bersih tanpa bulu-bulu halus, sampai mendekati mulusnya muka perempuan.
Ternyata dari dekat Fashion mempunyai jejak kumis di atas bibirnya. Bibir itu merah dan lembut. Rambutnya disisir ke atas, menampakkan kening yang bersih dan putih. Aromanya sewangi kebun bunga.
Gadis mana yang tidak kesengsem dengan cowok sekece bosnya itu? Setiap berdekatan bahkan sampai bersentuhan, Sinta dibuat jadi panas dingin.
Kalau Riris ingin sekali Fashion memiliki kekasih, kenapa tidak melihat orang terdekat? Misalnya, Sinta. Sinta akan menerima usul itu dengan senang hati.
"Sinta mau loh jadi pacarnya Kak Ion, Tante Riris," bisiknya hanya bisa didengar diri sendiri. Sinta menatap Fashion bak mata kucing saat penuh harapan akan diberi Whiskas oleh tuannya.
"Baik, Mimi. Kenalan saja, belum tentu lanjut komunikasi, ya Mi. Ion sibuk."
Riris mengangguk saja karena yang penting anaknya setuju. Bayangkan, ibu mana yang tidak khawatir melihat putra setampan anaknya dan tak pernah berpacaran? Jangankan itu, Fashion tampaknya tidak tergugah melihat seorang gadis. Fashion terlalu menghormati perempuan dan itu membuat ia seakan memuja mereka. Namun, memuja dalam hal menjaga layaknya pelayan terhadap ratunya.
"Datang, Yon, karena stok Mimi banyak sekali. Daripada kamu capek ngeladenin tiap blind date, lebih baik jalani saja dari awal."
Riris pun pergi. Jam dinding menunjuk angka satu. Itu saatnya Riris menyediakan makan siang untuk ia dan putranya. Karena Sinta hanya sendirian, Riris sekalian membuat satu porsi lagi untuk anak SMK tersebut. Lain halnya jika yang magang lebih dari dua. Biarkan mereka mencari makan siang sendiri.
"Tante Riris."
Riris akan menutup pintu rumahnya, Arjun muncul. Butik terletak di sebelah rumah. Sementara rumah makan Arjun sebelahnya lagi. Sebebasnya pemilik rumah makan itu bolak-balik ke rumah Riris dan butik.
"Ion setuju pergi, Tante?"
Riris tersenyum lebar. Rencana yang tertunda dua tahun akhirnya bisa dijalankan. Kalau waktu kuliah, alasan Fashion adalah belajar dan bekerja, sekarang tidak bisa. Maksud Riris adalah pacaran untuk membuktikan kalau selera Fashion Klein masih perempuan.
Sewaktu Fashion wisuda, miris sekali hati Riris menyaksikan tak ada perempuan yang khusus memberikan Fashion sebuket bunga. Bunga-bunga didapat memang banyak, akan tetapi semuanya dari rekan kerja atau langganan butik mereka. Model yang memperagakan pakaian Fashion juga ikut meramaikan ruangan butik dengan karangan bunga. Namun, Riris tidak puas kalau bukan kekasih Fashion yang memberikan meski hanya setangkai saja.
"Harus mau. Besok kamu antarkan, Jun. Kalau bisa, kamu awasin Fashion."
"Gimana kalau gini aja, Tante."
Riris mengangguk, menunggu ide cemerlang Arjun.
"Ion kencan, kita menunggu sambil mengawasi Ion di dekat mereka."
Riris merengut lalu berkata, "Butik tidak boleh ditutup. Makanya, Tante minta tolong sama kamu!"
Arjun hanya mengangkat bahu dan merapatkan bibirnya. "Oke, Tante. Pulangnya saya belikan kue sus kesukaan Tante Riris. Terus saya temanin gym."
Riris mengangguk saja. Ia kembali kepada kegiatan sebelum Arjun datang tadi.
"Memangnya gimana sih, Tante, cewek yang mau jadi pacar Ion?" tanya Arjun.
Riris kalau diajak membahas hal-hal yang dia sukai, akan bercerita dengan senang hati. Bahagia sekali sang pewaris rumah makan tersebut melihat binar di mata ibu dari temannya.
Sementara di butik, Sinta memasang manik kebaya sambil menatap muka Fashion dengan bibir cemberut. Orang tampan tidak tercipta untuk dia, pikirnya. Orang baik hanya bisa menjadi bosnya.
"Sinta!" panggil Fashion membuat gadis itu menusuk jarinya dengan jarum.
"Aduh!" teriaknya.
Fashion menarik baju dari tangan Sinta dan menjauhkan agar tidak terkena percikan darah.
"Melamun, sih, kamu." Fashion mendekatkan kotak tisu kepada gadis remaja itu.
"Udah jahitannya ke mana-mana, sekarang tangan kamu yang kena. Lagi mikirin apa sih? Kamu mengantuk? Di sana ada kopi dan air panas. Bikin sendiri." Fashion berdiri dari duduknya. Ia ke lemari mengambil kotak obat.
"Balut sama ini. Masih bisa diteruskan?" tanyanya. "Bekerja jangan melamun, Sinta. Kerjaan itu butuh fokus. Mengerti?"
Sinta mengangguk tak berani melihat wajah bosnya. Ia menunduk untuk membersihkan luka dan setelah itu menempelkan plester.
"Kak Ion mau antar pesanan Bu Indra. Kamu di sini jangan bengong lagi."
"Tapi, Kak ...." Sinta mengulurkan tangan dramatis seolah perempuan yang tak siap ditinggalkan oleh kekasihnya.
"Tapi apa?" tanya Fashion, berbalik dengan tangan kirinya memutar-mutar kunci.
"Tante lagi menyiapkan makan siang. Kak Ion tidak makan dulu sebelum pergi?"
Fashion mengangguk karena ia betul-betul lupa.
"Dekat, kok. Bilangin Mimi, Kak Ion nggak akan lama. Kalian makan saja duluan."
Fashion tak menunggu interupsi lagi. Begitu suara pintu mobil terdengar, deruman halus mesin pun berbunyi dan kendaraan Fashion telah meninggalkan halaman butik.
"Ion!!! Dipanggil Mimi makan!" teriak suara dari sebelah. Siapa lagi kalau bukan Arjun Hilabi Aksa.
Sinta berlari ke rumah dan berteriak juga agar suaranya sampai ke dapur. "Kak Ion barusan pergi. Pesannya Tante Riris makan duluan."
"Fashion itu butuh cewek untuk mengingatkan dia makan! Is!" geram Riris dan ke depan. "Masuk, Sin. Tante makannya nanti nunggu Fashion. Makan gih," suruh Rismaya dengan wajah masih menggaungkan kesal.
Dalam hatinya Sinta berujar, "Udah Sinta ingatkan, Tante. Mungkin karena bukan pacar, nggak digubris."
Sepanjang jalan menuju meja makan, Sinta berjalan lambat-lambat. Ia memperhatikan pajangan-pajangan di dinding. Sinta sangat kagum melihat apa yang telah diraih Fashion Klein sejauh ini. Selain foto masa sekolah Fashion yang sangat imut, mendekati cantik, piagam serta foto kenangan fashion show meramaikan dinding tersebut.
Sinta yang hanya orang luar saja bangga kepada Fashion, walau ia tidak ada dalam setiap acara tersebut. Apalagi Riris sebagai ibu kandung Fashion Klein. Penuh prestasi tapi keluarga itu tidak lengkap tanpa adanya sosok ayah.
Sejak mendaftar magang ke butik milik Rismayagempitala, Sinta belum melihat pria sepantaran Tante Riris mendatangi kediaman Riris dan Fashion. Yang selalu Sinta temukan hanyalah Arjun, pemilik warung makan yang selalu ramai dan tumpah ruah pelanggan kala jam makan siang.
Bosnya Sinta hidup berdua saja di rumah ini. Sinta tidak melihat satu pun foto yang mengarah kepada pria yang mirip dengan Fashion dari semua foto, termasuk foto masa kecil Fashion. Tandanya sejak awal tidak ada ayah dalam hidup Fashion Klein. Mungkin karena didikan seorang wanita super-lah, Fashion menjadi cowok manis dan baik hati seperti sekarang. Sinta tidak berani dan takkan pernah bertanya tentang keberadaan ayah Fashion Klein.
***
Pagi itu Sinta baru tiba di butik. Dia agak terlambat karena susah mendapatkan angkutan kota yang kosong. Saat kakinya baru saja menginjak teras butik yang belum tersentuh sapu, dia mendengar Riris berteriak. Sinta buru-buru mencaritahu alasan bosnya sehisteris itu. Pemandangan yang dia temukan adalah Tante Riris sedang memeluk Fashion dan mencium pipi serta kening, bahkan seluruh wajah Fashion berulang-ulang.
Ada kebahagiaan apa lagi?
"Selamat, Yon. Selamat sudah membuktikan kamu bisa. Tidak akan ada lagi yang julid sama kamu kenapa sarjana hanya menjadi tukang jahit." Riris kembali memeluk Fashion dengan mata memerah.
"Ada apa, Tante? Kak Ion kenapa?" tanya Sinta setelah Riris diam dan tersenyum lebar ke arah putranya.
"Fashion lulus tes PNS, Sinta. Kak Ion akan memakai seragam dan membungkam mulut orang yang suka ngatain dia kerja gak pakai ijazah."
Sinta juga ikut senang. Sekali lagi Fashion membuat ibunya bangga. Fashion yang masih muda selalu berhasil membuat ibunya bahagia.
"Selamat ya, Kak Ion. Lulus di mana?"
"Jauh, Sinta. Bukan di kota ini." Fashion mengusap pundak Riris. Mi, sudah pelukannya. Begitu maksudnya.
"Baru datang? Bersihkan yang di depan, Sinta. Bagian depan sudah Kak Ion bereskan," katanya.
Fashion mengecek ponsel yang sejak semalam ramai oleh notifikasi di grup baru. Fashion baru melihat pengumuman kelulusan pagi ini, walaupun pemerintah provinsi sudah membagikannya semalam. Sebelum melihat hasilnya, Fashion telah ditambahkan ke dalam grup yang lulus. Dengan jantung berdebar dan tangan gemetar, Fashion memastikan apakah betul ada namanya sebagai peserta yang diterima di sebuah SMK di Kota B. Fashion langsung mencari Mimi yang masih sibuk membuat bubur untuk memberitahu berita gembira tersebut.
Saat ini kondisi sudah tenang. Riris pergi mencari kerupuk di warung Arjun. Fashion duduk di depan mesin jahit memegang gawai. Ia ingin tahu siapa saja yang akan mengabdi di instansi yang sama dengannya. Fashion mencari nama-nama lain yang satu penempatan dengan dirinya. Ada empat orang termasuk dirinya dan tiga lainnya adalah perempuan.
Cowok itu merapikan letak kacamata dan tersenyum saja. Meskipun dia harus berpisah dengan Mimi, Fashion takkan keberatan. Ia juga ingin mandiri. Mimi pun tidak mempermasalahkan instansi tujuan Fashion pada awal mendaftar. Jarak tiga jam tidak terlalu jauh, tetapi tidak bisa ditempuh pulang-balik. Fashion harus tinggal sendirian di Kota B.
"Ayo sarapan. Jadi pergi kan hari ini?" Riris menjinjing dua kerupuk dalam plastik bening.
Fashion menggeleng.
Riris melotot. "Kenapa lagi? Kemarin sudah janji akan pergi."
"Mimi ... Ion baru mau mulai sesuatu yang baru. Mimi ngertiin Ion?" bujuknya.
Riris pun terpaksa mengangguk.
"Cari pacar di sana saja. Sekalian cari yang bisa dijadikan mantu Mimi." Riris menipiskan bibirnya dan tersenyum kecil kemudian membawa kerupuknya ke rumah.
Fashion mengangguk saja. Lihat ke depan apa yang akan terjadi nanti. Yang penting, dirinya sudah bisa membatalkan rencana Mimi untuk berkenalan dengan perempuan.
Benar kata miminya, Fashion tidak memiliki niat untuk mencari perempuan. Dia nyaman dengan kesendirian.
***
Bersambung ...
11 November 2022
Part ini gak ketemu Hagia ataupun Nei , ya. Sampai jumpa besok.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top