007 Periode Mencari Pacar

"Kamu ada pacar, Yon?" Riris, ibu tunggal berusia 37 tahun, menatap putranya lekat.

Kegiatan bongkar-membongkar belanjaan terhenti. Cowok berkaca mata gede itu menatap ibunya dengan heran. Enggak ada angin, nggak pula hujan, tiba-tiba dapat pertanyaan seperti itu. Mana ekspresi Mimi gitu amat pula.

"Enggak ada. Mimi aneh."

"Aneh gimana? Anak Mimi cakep, masa masih jomlo."

"Karena belum ketemu. Nanti suatu hari kalau udah jodoh, Ion pasti menemukan dia."

Riris mengangkat bahu. "Mimi tuh tadinya udah senang. Kirain kamu telat pulang karena pacaran dulu. Selaper-lapernya Mimi nungguin kamu bawa pulang makanan, Mimi nggak akan marah kalau emang benar alasanya lagi pacaran."

"Mi. Ion masih kuliah, sambil jahit kebaya. Nggak ada waktu pacaran, Mimi."

"Ajak aja pacar kamu ke butik. Biar sekalian dia belajar dari kita. Nanti kalau menikah, kita hemat satu karyawan."

"Tau ah, Mimi. Anaknya nggak pacaran bukan dipuji, malah diusik terus. Ion nggak peduli kalaupun jomlo, Mimi. Nggak ada ruginya."

Riris menjewer telinga putranya. Terkadang ia takut putranya bakalan belok, menyukai sesama jenis. Putranya ini apalagi tipe cowok kecewekan. Riris tidak pernah mengajarkan Fashion Klein menjadi lelaki lembek, tapi itu yang terjadi. Selain hati yang lembut, Fashion memiliki gesture yang gemulai. Dan wajahnya bersinar layaknya bintang.

"Mimi mau kamu harus ada pacar paling lambat umur dua satu, nggak bisa ditawar-tawar."

"Pacaran untuk apa sih, Mi? Banyakin tabungan dosa Ion aja. Nggak mau."

Fashion meringis saja waktu Riris kembali menarik telinganya.

"Dua tahun lagi, titik. Bawa pacar ke rumah. Kalau nggak, Mimi pilihkan perempuan untuk kamu. Anak teman Mimi banyak yang cantik dan terbaik."

"Gini! Dengerin Ion. Tadi Ion ketemu anak kecil yang kehilangan kakaknya di mal."

Riris sangat tertarik.

"Ion nungguin adik itu sampai ketemu keluarganya."

"Terus?"

Fashion mencebik. "Mami telepon kan? Ya udah, habis itu Ion langsung pulang.

"Ketemu atau tidak?" kejar Riris.

"Ya enggaklah, Ion udah balik."

Habis sudah bahu Fashion dipukul gemas oleh ibunya. Langka sekali mendengar Fashion membicarakan perempuan. Bahkan ini yang pertama kali. Hasilnya luar biasa gagal total.

"Makanya tadi Ion bilang kalau jodoh, ya, ketemu lagi, Mimi."

"Udah, Yon, Mimi capek sama kamu." Riris berdiri membawa kain-kain yang dikeluarkan Fashion dari keresek putih.

"Kamu kira kita hidup di dunia fiksi? Ketemuan juga belum, dari mana kamu tahu nanti bakalan ketemu dengan dia?"

Fashion meringis. Apa salahnya berharap?

"Te Ris! Ion! Makan malam datang!" seru pria dari luar. Suaranya ceria. Kalau ibarat kucing, dia jenis yang pakai kerincing. Jadi waktu berjalan akan keluar nada gembira dari lonceng di lehernya.

Sosok itu adalah seorang laki-laki tinggi dan tegap. Dibandingkan Fashion Klein, mereka berbeda 180 derajat. Mungkin yang sama hanyalah sesuatu di balik celana jin. Arjun Hilabi Aksa dipanggil Arjun. Pria berusia 27 tahun pemilik rumah makan di sebelah butik. Arjun adalah sahabat Fashion sedari kecil, sehingga rumah Riris bagaikan rumah milik sendiri baginya.

"Mimi mana?" tanyanya ketika menemukan Fashion tanpa Rismayagempitala.

"Mi! Bang Arjun bawa nasi lagi!" Fashion berteriak. "Cari aja ke belakang. Tadi habis ngambek."

Dengan senang hati Arjun membawa rantang ke dapur.

"Tersayang ...." Arjun memainkan nada tersebut.

Dia meletakkan bawaannya ke meja. Arjun melongok ke depan, melihat Fashion tengah asyik menggambar sesuatu di kertas. Pemilik rumah makan itu mengetuk pintu kamar tiga kali pelan-pelan. Lalu membukanya dan mengintip ke dalam. Nasib sial, yang punya kamar memergokinya. Ingin kabur, tapi sayang melewatkan kesempatan melihat wajahnya. Paling enggak, Arjun harus bertemu dengan ibunya Fashion sekali sehari. Siang tadi ia tidak sempat karena rumah makan kebanjiran pesanan. Meski ia bosnya, Arjun ikut turun tangan.

"Udah dibilang jangan masuk kamar seenaknya! Kamu ini gak bisa dibilangi, anak bandel!" Riris menjewer Arjun sama seperti yang ia lakukan kepada putranya.

"Ampun, Te! Sakit, udah dong! Nanti kuping saya robek. Nggak lagi, sumpah nggak janji, Tante!"

"Makanya. Dengerin pakai telinga ini. Jangan cuma lewat aja kayak orang ngutang."

"Iya. Besok juga lupa—eh iya, Te, jangan sangar-sangar begitu sama saya. Saya cuma mau panggil Tante. Ada telur dadar kesukaan Te Riris."

"Ck. Jam segini siapa yang mau makan? Udah kenyang, tuh Fashion bawa banyak kue."

"Makan nasi walau dikit itu perlu, Te. Nanti lambung Tante nggak ada kerjaan pas malem."

"Seperti kamu ini, nggak punya kerjaan lain."

"Ayo ke dapur saya temani makannya."

"Siapa yang bilang mau makan?" Riris menggeleng sambil melipat tangan. Perutnya tidak mungkin dipaksa menerima asupan lagi. Fashion membawakan banyak camilan berat sepulang belanja bahan.

"Te ...."

Rismayagempitala, pemilik nama tanpa spasi itu, mengembuskan napas melihat kekuatan tekat pemuda di depannya.

"Buat besok aja," tawarnya.

Arjun mengangkat tangan, pertanda menyerah. Namun, beda jika yang melakukannya adalah pemilik rumah makan warisan kakek.

"Jangan teriak kalo saya kurang ajar. Maaf," katanya lalu menggendong tubuh ibunya Fashion ke tempat duduk di dapur.

Belum sempat Riris mengomel, ia telah diturunkan Arjun ke bangku.

"Makan nasi, Te, dua sendok pun nggak apa-apa."

"Panggil Fashion. Dia juga belum makan nasi tadi."

"Ion!!!" Arjun tak beranjak dari kursinya di sebelah Riris. "Makan dulu lanjut kerjanya nanti, Yon. Mubazir kalau makanannya nggak habis. Tugas kamu menghabiskan semuanya."

Fashion tiba pada panggilan pertama. Jadi, saat Arjun mulai ceramah, Fashion sudah duduk di seberang meja ibunya. Ia juga menyempatkan cuci tangan sebelum duduk. Cowok itu sangat terampil memisahkan daging dan tulang menggunakan sendok. Cara makannya tertib bahkan enggan terlibat dalam pembicaraan yang dimulai Arjun. Fashion mengunyah dengan santai dan menelan pelan-pelan sambil mendengarkan obrolan Mimi dan Arjun.

"Oh, jadi habis ketemu calon jodoh lo, Yon?" tanyanya begitu mengerti alasan Riris ngambek, seperti laporan Fashion tadi.

"Kedengaran kayak alasan dibuat-buat biar gak disuruh cari pacar. Ya kan, Te Riris? Dunia ini enggak sesempit rumah makan kakek saya."

Fashion hanya mendengarkan. Ia tidak butuh pembelaan. Apalagi mengganggu acara makannya. Selain telur dadar yang gurih serta pedas karena beberapa iris rawit di adonannya, Arjun juga membawakan ayam bakar. Arjun memberi makanan tersebut secara cuma-cuma hampir setiap hari. Paling tidak jika Riris menolak, Arjun hanya akan membawakan semangkuk sop ayam serta sambal cabe hijau kesukaan Riris. Sementara itu, Fashion jenis manusia penyuka semua jenis masakan dapur Arjun selalu makan dengan lahap. Seperti yang dikatakan Arjun sebelumnya kalau jatah Fashion-lah untuk menghabiskan bagian Riris. Kini Fashion tengah meneguk air putih. Tak ada ketergesaan dari caranya makan dan minum. Ibarat perempuan, Fashion tergolong anggun. Bahkan Riris tidak seayu putranya.

"Catat namanya di kalender dan diary supaya nggak lupa," ejek Arjun.

Fashion yang disindir mengangguk saja. Itu ide yang bagus, pikirnya. Cowok manis itu malah tersenyum kepada Arjun hingga lelaki itu memelotinya. Riris menggeleng-geleng melihat kepolosan anaknya.

Sebelum tidur, Fashion Klein membuka note book. Ia menggambar sketsa anak kecil sedang makan kue di bangku. Pakaiannya dibuat sama. Fashion menggurat senyum anak itu lebih lebar dan membuat gelembung percakapan di sebelah gambar.

'Hagia'

Hagia asyik diajak ngobrol. Untuk usianya, Hagia termasuk anak yang tanggap. Ia akan menjawab langsung saat ditanya, kecuali sedang asyik, misalnya memegang tangkai lolipop atau memainkan pipet bekas minuman. Ia butuh dua kali ditanyai. Apabila Hagia tak ada kegiatan, dia langsung jawab apa yang ditanyakan. Hagia malahan yang banyak bertanya di saat tidak ngapa-ngapain.

"Om, Om tahu Neyi ke mana?" katanya sebelum mereka sampai di lantai satu.

"Mungkin ke toilet. Neyi tadi bilang apa sebelum pergi?"

"Ngga ada. Neyi ga mau ajak Hagia. Hagia mau ikut telus Hagia nangis."

"Hagia dimarahin, dong, sama Nei?"

"Iya. Neyi seling malah. Pi kata Nenek, Hagia ga boleh takut sama Neyi. Hagia kan sayang sama Nei. Kata Nenek, Neyi gak suka malah kalo Hagia ndak tanya ayah. Tadi Hagia tanya ayah, pi Neyi gak malah. Neyi altinya sayang Hagia kan, Om?"

"Wah, iya dong, udah jelas Nei sayang banget sama Hagia. Pasti sekarang Nei lagi kebingungan mencari Hagia."

"Ye! Beneran, Om, Nei sayang Hagia? Pi Neyi sering marah gimana dong," keluh Hagia dengan pengucapan r menjadi l.

"Kalo Hagia baik, Nei pasti gak marah lagi."

"Iya. Hagia mau jadi baik aja. Om Hagia mau pipis."

Fashion menggaruk kepalanya bingung. Setahunya anak balita selalu dipakaikan pampers. Ia harus minta tolong kepada wanita asing yang baru keluar dari toilet untuk membantu Hagia buang air. Fashion mengajak Hagia terus bicara dari luar supaya Hagia tidak merasa ditinggalkan.

Pengalaman pertama Fashion meladeni balita membuat relung jiwanya hangat. Suatu hari ia ingin bertemu dengan Hagia dan Nei. Secantik apa Hagia beberapa tahun lagi?

*** 

Bersambung ...

10 November 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top