[Tidak Ada] Perubahan

Lagu: If I Ruled The World oleh MILCK

–Rangga–

"Pangeran," panggil Jenderal Vadnya dalam perjalanan mereka kembali ke markas pemberontakan mereka. Mereka berkuda bersebelahan di paling depan. Di belakang mereka adalah kru Rangga beserta Ultar dan para kesatria yang Vadnya bawa. Untungnya kuda-kuda mereka belum trauma selama pertempuran di jembatan. Rangga bahkan hampir melupakan mereka.

Di bagian belakang kuda para kesatria Vadnya, Alia, Raja, dan ayah mereka terikat tangannya. Mereka harus berjalan mengikuti laju kuda para kesatria. Dan karena para kesatria mengikuti laju kecepatan Rangga dan Vadnya, Rangga berusaha agar mereka tidak berjalan terlalu cepat. 

Akibatnya, telinganya sekarang sudah panas karena ceramah Vadnya yang diulang dan diulang. Biasalah, pria tua biasanya suka menceramahi. Namun ini sudah sangat keterlaluan, menurut Rangga, Vadnya bahkan menggunakan kata-kata yang sama terus menerus. Beliau bahkan menceritakan kisah mengenai kisah fabel dan sejarah Silmarilon lalu kembali pada ceramahnya pertama kali.

Inti dari ceramah Jenderal itu adalah:

Saya kecewa dengan Anda, Pangeran. Bukankah aku penasihatmu dalam pemberontakan ini? Apa gunanya aliansi ini bila kau meninggal di Turnamen Mentari? Keputusan impulsif mu hampir mencelakai harapan masyarakatmu dan masyarakatku.

Namun tentu saja, Jenderal Vadnya dengan rambut putih yang dikepang panjang, berkata dengan gaya yang berlebihan. Bagi warga Silmarilon, rambut panjang adalah kebanggaan para pria. Semakin panjang kepangan rambut–juga jenggot–mereka, semakin gagah pria itu. Bahkan ada sebuah festival tahunan di mana mereka akan mencoba mengangkat beberapa beton menggunakan rambut atau jenggot mereka saja.

"Maaf, Jenderal," kata Rangga untuk kesekian kalinya. Sepertinya Vadnya bertekad untuk membuat Rangga merasa bersalah seharian itu. 

"Tapi ternyata kedatangan kami ke turnamen sudah diramalkan," kata Rangga beralasan, "Apa daya kami melawan takdir?"

"Cih! Ramalan," gerutu Vadnya, "Mana Putri Pertamamu itu kalau begitu? Bila ia yang diramalkan untuk menyelamatkan dunia ini seharusnya ia ada bersamamu dan bertarung bersama kita melawan Jagrav."

"Mana dia?" tanya Jenderal Vadnya dengan lebih keras. 

"Ia...," Rangga kesusahan menjawab. "Ia memilih pergi bersama kru Penyihir Putih."

Mereka tiba di benteng kota Vadnya. Negeri Silmarilon memang memiliki pengaruh militer yang kuat. Tidak seperti di Judistia di mana sang raja adalah pimpinan tertinggi, di Silmarilon, meski keluarga royal masih memiliki beberapa wewenang, sejatinya mereka hanya seperti simbol negara. Sementara di belakang Raja Silmarilon, seorang perdana menteri yang membawahi langsung Jenderal Vadnya, mengatur pemerintahan secara umum. 

Karena wewenang tingginya, Jenderal Vadnya pun diberikan teritori yang lumayan besar pula di bagian utara Silmarilon. Karena daerahnya berbatasan dengan Lixi dan Andalas, Jenderal Vadnya membangun benteng yang kokoh.

Ketika Rangga pertama kali bertemu dengan Raja dan Perdana Menteri Silmarilon, mereka setuju agar Rangga disembunyikan di teritori milik Vadnya, Benteng Diam. Persis dengan namanya, teritori milik Jenderal Vadnya ditinggali oleh warga yang dinilai paling bisa menyimpan rahasia. Itu karena sebagian besar, baik lelaki maupun perempuan, adalah anggota militer seperti pemimpinnya. Dari kecil, mereka dididik untuk menghormati autoritas dan untuk memiliki insting militer yang kuat. 

Ketika Rangga datang ke Benteng Diam dengan beberapa rakyat yang bisa ia kumpulkan dari Judistia, warga Benteng Diam langsung menerima mereka dengan tangan terbuka. Itu adalah salah satu filosofi warga Silmarilon pula, untuk membantu semua orang selayaknya membantu keluarga. Terkecuali pada orang yang sudah dinyatakan sebagai musuh publik, seperti Jagrav.

Oleh karena itu, hingga sekarang, Jagrav masih belum bisa menemukan markas pemberontakan Rangga yang sebenarnya. 

Memikirkan itu, Rangga melirik Ultar. Dari antara mereka, hanya Ultar yang paling mungkin menjadi mata-mata. Namun nyatanya, Ultar justru menyelamatkan mereka. Meski demikian, Rangga bertekad untuk mengawasi Ultar dengan lebih lekat. Bisa saja mantan anggota Pandawa itu akan mengkhianati mereka ketika sudah melihat markas pemberontakan. 

Dirinya saja mampu mengkhianati Ree... meski untuk alasan yang benar...

Tidak ada yang dapat dipercaya begitu saja... Entah dia berada di pihak yang sama atau tidak.

Begitu benteng terbuka, para rakyat berjajar di kedua pinggir jalanan. Para rakyat Judistia dan rakyat Silmarilon bersatu dalam barisan yang menyoraki kedatangan Rangga dan Jenderal Vadnya. Mereka menabur bunga dan tepuk tangan yang riuh. 

"Pangeran!" seru mereka senang, "Selamat datang kembali!" 

Rangga tak kuasa menahan senyumnya. Merekalah alasan Rangga berjuang mati-matian. Merekalah alasan Rangga berani bertaruh nyawa di Turnamen Mentari. 

Mereka, rakyat Judistia dan Silmarilon yang menumpu harapan negeri yang lebih baik. 

"Putri Pertamamu itu lebih memilih bergabung dengan Penyihir Putih daripada menolong bangsanya sendiri, eh?" tanya Jenderal Vadnya dengan suara yang lumayan besar. Vadnya memastikan semua kesatria di belakangnya dan rakyat di sekitarnya mendengar bahwa Putri Pertama tidak memperdulikan rakyat Judistia.

"Dia pengecut. Tidak seperti dirimu yang tetap berjuang untuk rakyat," lanjut Vadnya, "Kau bahkan diasingkan oleh Ayahmu sendiri! Tapi lihatlah, ke mana Putri Pertama itu? Ke mana Adishree Janya?"

Rangga membelalakkan matanya ketika mengerti maksud Vadnya. Jenderal itu ingin menyulut kemarahan rakyat pada Ree untuk semakin menganggungkan nama Rangga sebagai pemimpin pemberontakan pada Jagrav.

"Vadnya," Rangga memanggilnya dengan rahang yang mengeras, memperingati jenderal itu bahwa ia tidak suka apa yang Vadnya usahakan saat itu.

"Itu adalah kebenarannya!" seru Vadnya. "Putri Pertama tidak peduli lagi pada Judistia. Katakan aku salah!" Ia melotot pada Rangga, menantangnya. 

Rangga pun mengingat sosok Ree. Dan ia merasa kesusahan menjawab Vadnya. 

"Apalagi dia adalah kontraktor yang menggunakan magis dari nyawa manusia," tantang Vadnya lebih keras, "Dia pantas dipasungkan." Vadnya meludah keras ke tanah. "Ramalan omong kosong–"

Tiba-tiba suara gemuruh berkumandang di langit di atas mereka. Kilat petir menyambar sebuah stal buah di pinggir jalanan dengan dasyat. Dalam hitungan detik, stal itu hancur dan buah-buah menggelinding di jalanan. Para rakyat di sekitar stal itu menjerit ketakutan. Seorang anak menangis mendengar suara gemuruh petir yang tak kunjung reda.

Di antara suara petir yang menggelegar, terdapat satu suara nyaring yang terdengar. "Kau salah."

Rangga memutar wajahnya melihat Alia dipenuhi cahaya putih di sekujur tubuhya. Matanya seakan menyala, sewarna dengan kilat di atas langit yang tiba-tiba mendung. 

"Mudah sekali untuk kalian menilai dari atas sana. Mudah sekali kalian untuk berkata kami pendosa," kata Alia dengan suara yang semakin meninggi. Kedua tangannya masih terikat pada pelana seekor kuda. Namun dengan listrik yang mengelilingi tubuhnya, kuda itu menjadi panik dan menjatuhkan kesatria penunggangnya. Ketika kesatria itu jatuh, ikatan tali pada tangan Alia lepas dari pelana sang kuda. Kuda itu langsung berlari menjauh sementara listrik mulai bermunculan di sekitar tubuh Alia.

Tatapan Alia mengarah pada Vadnya. Seakan mengikuti gerakan Vadnya, Alia meludah keras di atas tanah. "Kalian munafik."

Para rakyat semakin ketakutan melihat langit yang seakan menandakan badai besar akan datang. Mereka mulai berlari masuk ke rumah. Namun beberapa menjadi beku di pinggir jalan, hanya dapat bergemetar terhadap besarnya kekuatan yang dimiliki oleh satu orang.

"Kalian tidak pernah merasakan rasanya berada di sisi kami. Dunia ini sudah bobrok dari awalnya dan kalian yang dapat duduk dengan nyaman di atas kursi tidak akan pernah mengerti keputusan kami!"

Alia menurunkan satu sambaran kilat kembali, hampir saja mengenai Jenderal Vadnya bila saja jenderal itu tidak menghindar dengan cekatan. 

"Kau monster!" seru Vadnya dengan marah. 

Alia mengangkat tangannya. Listrik demi listrik terkumpul di satu tangan itu. Tatapannya hanya tertuju pada Vadnya. "Kau yang membuat monster satu ini, Vadnya," kata Alia, "jadi bagaimana bila kau merasakan sendiri kekuatanku?"

Tepat ketika Alia mengayunkan tangannya, tiba-tiba saja Lex muncul di depan Alia dan menutupi kedua tangannya dengan tanah. Karena terkejut dengan Lex yang memadamkan listrik di tangannya, Alia kehilangan fokus. Lex langsung mengaitkan gelang antimagis pada pergelangan tangan Alia. Kemudian ia melangkah mundur dengan kunci di tangan kanannya. 

Matanya menatap mata Alia yang membelalak lebar. 

Sedetik kemudian, Alia melihat tangannya. Tanah yang tadinya mengelilingi tangannya jatuh. Namun ketika Alia berusaha memunculkan listrik dari jemarinya...

Nihil.

"Tidak," bisik Alia tidak percaya.

"Tidak. Tidak."

Jenderal Vadnya tersenyum seakan ia telah menang. "Bagaimana bila kau yang merasakan sendiri kekuatanku, eh?" 

Ia memacu kudanya untuk berjalan ke samping Lex. "Kerja bagus, Lex."

Kemudian pada kesatrianya, ia memerintah, "Bawa tiga orang berengsek ini ke guillotine! Kita akan mengadakan eksekusi publik hari ini."

"Apa?" tanya Rangga dan Lex bersamaan.

Lex menatap Alia kembali. Ia hanya berpikir bahwa ia harus menghentikan Alia sebelum ia membahayakan orang banyak. Ia sejujurnya mengerti bagaimana Alia pasti merasa tidak adil ketika Vadnya mengatakan ha-hal tidak enak terhadap Ree. Ia hanya ingin menenangkan Alia kemudian ia yakin Rangga akan menemukan solusi agar Alia dapat melihat bahwa mereka sudah berubah. 

Namun setelah mendengar perintah Vadnya, ia hanya dapat melihat Alia dengan tatapan bersalah. Untuk pertama kalinya, ia melihat guratan ketakutan di mata pemagis listrik itu.





ᴊᴇɴɢ


ᴊᴇɴɢ


ᴊᴇɴɢ



ꜱᴀʟᴀᴍ,

ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ᴅɪ ʙᴀᴡᴀʜ ᴍᴇꜱɪɴ ᴄᴜᴄɪ.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top