Tanpa Kekuatan
Lagu: Too Far Gone oleh Hidden Citizens ft. SVRCINA
–Ree–
Lembah Penyihir Putih
Jantung Ree berdetak begitu kencang, menyaingi derap kaki kuda yang berkumandang. Namun tiba-tiba kuda itu berhenti dan meringkik panik menyadari keberadaan naga putih di depannya. Menyadari predator yang bukan main besarnya di depan mereka.
Kedua kaki kuda Ree terbang ke atas dan bila Ree tidak memegang tali kudanya dengan kencang, ia sudah pasti akan terjatuh. Susah payah ia berusaha mempertahankan keseimbangan serta menenangkan kudanya itu.
Kairav menghentikan kudanya di samping Ree tatkala Kinara turn dari kudanya dan berusaha berbicara dengan naga itu. Ree jadi teringat perkataan Kinara di turnamen. Bahwa gadis itu semacam dapat berkomunikasi dengan naga selain imun terhadap kobaran api.
Leher sang naga masih menyala dengan bara api ketika Kinara merentangkan kedua tangannya ke arah reptil besar itu. "Tenang," kata Kinara, "Tenanglah–"
Naga itu mengaum begitu kencang pada Kinara. Di saat yang sama, Mercurio menggunakan kesempatan itu untuk membawa anak-anak keluar dari kereta kuda. Ia membawa mereka menjauh dari naga, mendekati tempat Ree dan Kairav. Namun Mercurio hanya dapat membawa dua anak dalam sewaktu sementara sang naga dengan cepat sudah menyadari pergerakan Mercurio.
Mata naga itu nyalang membara. Ketika Mercurio baru saja mengambil dua anak terakhir dari kereta, naga itu mengaum kembali bersamaan dengan cahaya di lehernya semakin naik. Hingga akhirnya lautan api keluar dari mulutnya dan mengarah pada kereta kuda.
Dale dengan sigap menarik Penyihir Putih dan mereka menjatuhkan diri ke atas tanah. Dengan tubuhnya, Dale menjadi bantalan untuk Penyihir Putih. Mereka berguling di atas tanah, berusaha menjauh dari panasnya api.
Kinara dan kereta kuda itu terbakar begitu sempurna. Suara desingan api memenuhi telinga mereka.
Tak lama, api itu menjalar ke arah Kai dan Ree. Dengan cekatan, Kai mengangkat satu tangannya. Ia memanipulasi molekul air di udara sekitar mereka untuk menurunkan temperatur di bawah nol derajat dalam sepersekian detik. Hingga ketika api itu mendekati mereka, api itu berubah menjadi uap karena bertemu dengan suhu yang sangat dingin.
Meski sudah dicampur dengan udara dingan, tetap saja Ree dapat merasakan hawa panas di kulitnya. Matanya melotot pada kereta kuda yang terbakar sempurna di hadapan mereka. Begitu cepatnya kayu lapuk, dibengkokkan oleh api dan melebur dengan arang di atas tanah. Hancurnya kereta kuda membuat Ree dapat melihat sekujur tubuh Kinara terselubungi api. Gadis berambut hitam legam itu berdiri dengan tegap, seakan dirinya hanya menghadapi air berwarna merah dan bukannya pijaran api yang panas. Bahkan ketika pakaiannya hangus, kulitnya tidak sedikit pun meleleh atau melepuh. Rambutnya berkibar mengikuti pergerakan arus api, begitu megahnya dia berdiri.
Naga itu akhirnya kehabisan napas dan menutup mulut. Api hilang dari udara, menyisakan kepulan asap tebal di sepanjang tanah menuju Ree dan Kai serta bongkahan kayu yang lapuk.
Kinara masih berdiri tegap meski pakaiannya sudah compang-camping. Beberapa percikan api menyala di ujung-ujung rambut serta pakaiannya. Sepatunya sudah hitam gosong. Namun ia tak punya waktu untuk menyadari keadaannya karena sang naga sudah mengayunkan buntut besarnya ke arah Kinara.
Dalam hitungan tak sampai sedetik, Kinara menjatuhkan tubuhnya ke atas tanah. Buntut naga itu melewati udara di atas Kinara kemudian melewati tubuh Dale dan Penyihir Putih yang masih tergeletak di atas tanah pula.
Naga itu mengaum geram karena tidak dapat mengenai satu pun dari mereka. Namun ketika tubuhnya kembali menghadap mereka, tiba-tiba naga itu terpaku pada Ree. Mata kuningnya menatap Ree lekat.
Untuk sejenak mereka hanya saling memandang. Tidak ada yang berkedip. Ree di atas kudanya dan sang naga putih dengan kepulan asap dari sekujur tubuhnya.
Ree bersumpah ia mendengar sebuah gelas pecah di dalam benaknya. Kepingan gelas itu retak dan berbunyi nyaring ketika matanya menahan tatapan sang naga. Anehnya, ia tidak merasa naga itu berbahaya saat itu juga.
Entah kenapa, ia merasa... makhluk itu familiar.
Namun bagaimana mungkin?
Hanya Xoltar satu-satunya naga yang ia kenal dari masa lalunya. Di Judistia, memang dari kecil ia diajarkan bahasa naga oleh ibunya untuk berkomunikasi dengan Xoltar. Namun hanya naga merah itu yang ia tahu.
Lagipula Ree sama sekali tidak pernah tahu bahwa naga putih ada. Ia pernah mendengar naga berwarna biru, hitam, bahkan emas. Putih? Pigmen itu tidak cocok untuk seekor naga.
Jadi bagaimana Ree dapat merasa familiar dengan naga itu?
Seakan dapat merasakan frustasi yang sama dengan Ree karena merasa mengenali tanpa benar-benar kenal, naga itu mengaum pada Ree. Mata kuningnya menajam, menyebabkan kuda Ree menjadi gusar kembali. Kali ini, Ree tidak bisa menahan posisinya di atas kuda. Dirinya terjatuh ketika kudanya menaikkan kedua kakinya. Begitu Ree terjatuh, kudanya itu memutar diri dan berlari kencang. Kairav langsung turun dari kudanya dan bergerak cepat menuju Ree ketika melihat perut dan leher naga itu kembali bersinar.
Bara-bara api menjalar hingga kepala dan akhirnya keluar dalam satu hembusan napas yang panjang.
Mercurio sudah lebih dahulu sigap menarik Kinara keluar dari jalur api. Bukan karena takut Kinara terbakar api, tetapi karena naga itu mengambil beberapa langkah ke depan dan bila Mercurio tidak bertindak, gadis itu akan remuk oleh berat makhluk raksasa itu.
Begitu api mendekati, Kairav langsung memutar dan memunggungi api itu di depan Ree. Pria itu memaksa Ree untuk menunduk di bawah tubuhnya sementara cahaya biru mulai menyala di seluruh tangannya.
Api dari naga seakan menemui dinding es yang melingkari Ree dan Kai. Uap air terbentuk begitu saja seakan diri mereka berada di sebuah pemandian air panas yang tiada henti. Desingan api bertemu suhu dingin menjadi simfoni di telinga mereka.
Kai sedikit menggerutu karena harus mengerahkan lebih banyak kekuatan dari biasanya. Ree dapat melihat gerahamnya mengeras. Namun ketika Kai menangkap tatapan Ree, pria itu menunjukkan sebuah senyuman kecil. Seakan berkata, 'Tenang saja, aku akan melindungimu.'
Ree tidak tahu ia harus tertawa atau meringis melihat tatapan Kai yang begitu percaya diri. Ia pikir seorang yang hidup begitu lama akan bertingkah lebih... dewasa. Nyatanya tidak. Mungkin benar perkataan Xandor dulu, semakin tua diri seseorang semakin mereka menjadi anak-anak kembali.
Atau mungkin Ree saja yang menjadi dewasa terlalu cepat. Kalau dipikir-pikir, dirinya tidak begitu mengingat masa di mana ia dapat menjadi anak-anak. Dapat menjadi pribadi murni yang tidak curiga pada dunia dan pada siapapun.
Ah, tidak seharusnya ia memikirkan masa kecilnya di saat genting ini. Ia harus memikirkan cara untuk mengalahkan sang naga sebelum salah satu dari mereka terluka. Sayangnya, ia tidak memiliki bayangan–ah, ia merindukan makhluk gelap yang jenaka itu–dan untuk saat ini ia hanyalah manusia biasa.
Hanya manusia biasa tanpa magis.
Apa yang bisa ia lakukan?
Bukankah itu alasan banyak orang menginginkan kekuatan magis yang lebih? Menginginkan kekuatan lebih?
Karena manusia biasa hampir selalu tidak bisa apa-apa. Bahkan tidak bisa melindungi dirinya sendiri.
Tanpa magis, kekuatan tiada dan dirimu lemah. Dirimu hanyalah satu dari jutaan nyawa yang dapat dijadikan korban.
Meski manusia itu memiliki kemampuan bertarung yang handal seperti Ree, apa yang bisa ia lakukan melawan pemagis yang kuat atau makhluk seperti naga putih ini?
Tidak ada.
Untuk saat ini, ia hanyalah manusia lemah. Dan hal itu membuat Ree semakin membenci dirinya sendiri. Membenci ketidakberdayaannya.
Ketika pikirannya masih berputar mencari cara agar ia dapat membantu menjatuhkan naga putih, tiba-tiba angin api itu berhenti. Kai berdiam untuk sedetik sebelum akhirnya memutar badan dan melihat ke arah sumber api.
Ree kira naga itu akan terus berusaha melukai mereka, tetapi nyatanya makhluk itu sudah mengepakkan sayap dan pergi jauh dari mereka. Tubuh putihnya menyatu dengan awan-awan di langit.
Begitu saja, dalam hitungan detik, hanya uap dan asap yang tersisa dari pergumulan mereka. Seolah naga itu tak pernah muncul.
Dale yang akhirnya dapat berdiri dengan Penyihir Putih mengembuskan napas panjang. "Entah apa yang membuat naga itu pergi, tetapi untunglah."
Anielle melepaskan jubahnya dan mengalungkan jubah itu pada tubuh Kinara. Mercurio bergerak cepat untuk memastikan anak-anak baik-baik saja. Beberapa menangis menyadari mereka hampir saja terbakar hidup-hidup.
Beberapa memiliki mata berbinar-binar dan berkata, "Astaga! Apa kita baru saja melihat naga? Naga? Naga??!!" Dan anak lain berseru, "Keren!!"
"Yah, sepertinya kita harus melanjutkan perjalanan ke lembah dengan kaki," kata Kinara setelah merapatkan jubah di tubuhnya.
"Apa boleh buat," kata Dale.
Kai memegang pundak Ree dan membantu gadis itu untuk berdiri. "Kau tidak apa-apa?"
Entah kenapa saat itu juga, Ree benci pertanyaan itu. Ia sangat tidak bergunanya hingga orang lain harus memastikan dirinya tidak apa-apa. Sebagai seorang yang terbiasa melakukan semuanya sendiri, ia tidak suka bila harus bergantung pada orang lain.
Dirinya tidak suka bila harus bertopang pada kekuatan orang lain.
Ia benci dirinya ini yang tidak punya kekuatan apapun.
Meski Ree tahu ia dapat meminjam kekuatan orang lain, tetapi tetap saja, kekuatan itu bukan miliknya. Kekuatan itu bukan haknya.
Sejatinya, dirinya masih sama dengan gadis kecil di pinggir jalan Andalas. Sendirian, lemah, dan menyedihkan.
Karena kesal, Ree tidak menjawab Kairav. Ia justru melangkahi Kairav dengan diam dan mulai berjalan lebih dahulu. Menyadari atmosfer di sekitar Ree yang tidak enak, tidak ada satupun yang berusaha bertanya. Mereka semua ikut berjalan, anak-anak pun mengikuti.
"Lembah kita tidak jauh dari sini," kata Anielle sembari berjalan. Ia menunjuk sebuah benteng dengan pintu gerbang besar yang terbuat dari kayu. "Itu dia gerbang kita."
Dengan satu jentikan, sebuah kembang api berwarna merah meluncur dari tangan Anielle dan meledak di udara. Melihat itu, para penjaga gerbang mulai membuka pintu dan menunjukkan sebuah penampakan desa kecil di balik gerbang.
Semakin dekat mereka dengan gerbang, semakin mereka mendengar sorak-sorai orang di dalam lembah itu.
"Aku baru sadar," kata salah satu anak, "kita hampir saja menjadi sate! Betapa kerennya itu!"
Lili, seorang balita perempuan yang sedang duduk di atas pundak Dale, memukul kepala bocah lelaki yang berkata demikian. Membuat bocah itu mengaduh pelan. Sementara anak-anak lain tertawa kencang.
Kendati demikian, riuh tawa mereka harus terpendam ketika mereka mulai mendekati pintu gerbang.
Karena sorak sorai penduduk yang mereka tadinya dengar mendadak menjadi sunyi. Senyap dan hening.
Tatapan semua orang bertumpu pada Ree.
Ah, aku tahu tatapan itu, pikir Ree. Hal ketiga yang ia benci selain ramalan dan menjadi lemah.
ᴛᴀᴛᴀᴘᴀɴ ᴀᴘᴀᴋᴀʜ ɪᴛᴜ?
ʜᴀʏᴏ ᴍᴀɪɴ ᴛᴇʙᴀᴋ-ᴛᴇʙᴀᴋᴀɴ
ꜱᴀʟᴀᴍ,
ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top