Satu Suara

Lagu: Sirens oleh Fleurie

–Lex–

Lokasi: Benteng Diam, Silmarilon

"Woi, Alia," Lex berseru dalam bisikan. Gigitan perempuan itu sakitnya bukan main. "Aku ingin membantumu. Me–memasang kembali kerudungmu."

Mendengar itu, gigitan Alia melemah. Seakan gadis itu berpikir terlebih dahulu. 

Alia akhirnya melepaskan gigitannya. Lex langsung menarik tangannya dan mengelus-elus tangannya yang baru saja digigit. Darah mengalir tipis dari kulitnya. Ia mengisap darah itu dengan mulutnya, berharap salivanya dapat membantu kulitnya menutup.

"Jangan pura-pura," kata Alia. Suaranya serak sekali. Tanda ia jarang sekali diberikan minuman. Dengan kondisinya yang dirantai kedua tangan dan kakinya, bagaimana dia dapat makan dan minum? 

"Kenapa kau terus saja mendatangi penjara ini?" tanyanya.

"Aku tidak pura-pura," kata Lex, "Dan bila aku tidak datang, siapa yang akan membantumu makan dan minum?"

"Apa alasanmu sebenarnya ke sini?"

"Sumpah," kata Lex, "Tidak ada maksud macam-macam. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."

Alia mendecih. "Tch. Kau yang memasukkanku ke penjara ini dan kau sekarang berlagak peduli?"

"Hei, kalau aku tidak menghentikanmu, kau akan membunuh Vadnya, bukan?" tantang Lex. "Apa itu yang kau mau? Kau ingin kami mengerti sisi ceritamu tapi dirimu tidak mau mengerti ketakutan mereka?"

Alia terdiam. 

"Sama seperti kau sudah berprasangka terlebih dahulu padaku, mereka berprasangka padamu. Aku tidak bisa menyalahkan dirimu karena berusaha menjaga diri, bukan?" 

Alia masih bungkam. Mencerna perkataan Lex.

"Apa kau bisa menyalahkan mereka takut padamu karena sudah pernah mengalami kehilangan? Orang di dekat mereka diambil oleh kontraktor yang tak bertanggung jawab. Apa kau bisa menyalahkan Vadnya untuk berprangka buruk ketika istrinya sendiri telah menjadi korban?"

"Kau tidak tahu cerita lengkapnya!" Lagi-lagi Alia berseru secara tiba-tiba. "Shhh," Lex meminta Alia untuk memelankan suara. 

"Kau tidak bisa menyalahkan kemarahan kami karena diperlakukan tidak adil, dipandang sebelah mata, padahal mereka lah yang tidak mau mendengarkan," kata Alia. 

Giliran Lex yang terdiam sementara. Mencerna keluh kesah Alia. Mungkinkah ini yang Ree rasakan sebenarnya? Dan selama beberapa bulan bersama mereka, Ree menutup rapat perasaannya. Hati Ree dijaga ketat oleh tembok-tembok beton yang tebal dan mereka tidak pernah menyadarinya. 

Lex menelan ludahnya. Rasa besi darah dari luka gigitan bercampur dengan salivanya. "Kita bisa saja beradu mulut sepanjang malam, saling menyalahkan kedua pihak. Pada dasarnya kita semua salah karena berprasangka. Namun penjahat di sini bukanlah prasangka."

"Penjahat sebenarnya adalah," lanjut Lex, "Ego kita masing-masing yang tidak ingin mengaku salah."

"Menurutmu aku memperjuangkan kehidupanku adalah ego?" Suara Alia masih serak, nadanya pahit. Seakan ia meludahkan pertanyaan sebelumnya. "Kau tidak pernah melihat seorang dibakar hidup-hidup karena ia terpaksa memakai nyawa untuk melindungi diri, bukan?"

"Keluar dari kandang harimau, hanya untuk memasuki kandang buaya," lanjut Alia, "Bila kita tidak bertindak, kita mati. Bila kita bertindak, kita mati. Hidup macam apa itu? Apa hidup di mana suara kita dibungkam itu layak dijalani? Siapalah kita tanpa suara kita, dan kalian sudah menutup telinga terlebih dahulu..." 

Lex bisa saja mengkhayal, tetapi ia yakin mendengar suara Alia bergetar hebat. Ia juga mendengar suara isakan meski hanya sebentar. Ia tahu gadis itu berusaha menahan tangisan. Situasi tidak berada di pihaknya. Dan jujur saja, Lex mengerti bahwa gadis itu mau tidak mau harus berpegang pada Lex di pertarungan esok hari. Bayangkan, dirimu harus bergantung pada orang yang baru kau kenal dan bahkan berasal dari kelompok yang menurutmu antagonis. 

Percaya pada musuh, bisakah kau melakukan hal itu?

"Aku mengerti." Pada akhirnya hanya itu yang dapat Lex katakan.

"Maafkan aku." Pada akhirnya hanya itu yang perlu ia katakan. "Untuk semua kesengsaraan yang kau alami. Kau berhak didengarkan. Kau berhak diperlakukan sebagai manusia seperti yang lain. Suaramu seharusnya tidak dihilangkan begitu saja."

Sebagai seorang yang pernah terlarut dalam prasangka, Lex adalah bagian masyarakat yang mengasingkan orang-orang seperti Alia. Meski ia tidak secara langsung membuat Alia sengsara, prasangkanya tidak bisa dipungkiri telah menjadi bagian dari penggerak kebijakan yang menyusahkan orang-orang seperti Alia.

Seperti Ree. 

Lex jadi teringat pertama kali ia melihat Ree. Gadis yang hampir selalu terlihat lelah. Namun selalu kuat dan bahkan menjadi tumpuan mereka di turnamen. Lex pikir, gadis itu sudah memikul terlalu banyak. Sebuah keajaiban dirinya belum meledak berkeping-keping. 

Ketika Lex melihat Alia, ia melihat sisi itu pada Alia pula. Meski Alia lebih vokal, terlihat jelas gadis itu sudah mengalami banyak hal. Dan prasangka Lex menjadi alasan kesengsaraannya. 

Prasangka memang adalah musuh. Sebuah kabut dalam pikiran yang mengelabui. 

Namun Lex tetap berpegang pada perkataannya sebelumnya. Prasangka terkadang adalah alat keselamatan manusia. Bukannya karena manusia adalah makhluk yang suka menghakimi. Justru karena faktanya, manusia susah mempercayai apa yang tidak mereka kenal. 

Sialnya, terkadang manusia terlalu nyaman dengan prasangka hingga tidak peduli tekanan yang mereka berikan pada orang lain.

Betapa egoisnya manusia, bukan? pikir Lex. Dulu ia terlalu nyaman bersembunyi dalam pemikiran bahwa semua pemagis yang mengorbankan nyawa adalah jahat. Karena bila ia menerima bahwa tidak semuanya jahat, ia harus menghadapi kenyataan bahwa pemagis yang mengambil nyawa ibunya adalah manusia pula. 

Dan ia tidak nyaman dengan itu.

Ia lebih nyaman melihat pembunuh ibunya sebagai penjahat. Titik. Penjahat tidak seharusnya dimanusiakan.

"Ibuku adalah korban," kata Lex pelan setela terdiam beberapa saat. Ia menunggu Alia untuk merespon tetapi ketika hanya keheningan yang ia dengar, Lex melanjutkan, "Pemagis yang mendatangi desa kami sudah gila. Ia hanya menginginkan kekuatan lebih."

"Sudah kubilang, kami tidak sama dengan–"

"Aku tahu," Lex memotong kalimat Alia, "Kalian tidak sama. Kau mungkin harus membunuh untuk keselamatan dirimu. Namun pemagis yang mengorbankan ibuku..."

Lex menatap lurus dalam kegelapan. Ia tidak dapat melihat apa-apa, tetapi ia tahu bola hitam Alia sedang menatapnya lurus di balik jeruji besi. 

"Menginginkan kekuatan adalah manusiawi pula," kata Lex. Sebuah senyuman sinis tersungging di bibirnya. Ia mengusap matanya. "Aku tidak ingin memanusiakan pemagis yang mengambil nyawa manusia. Namun di Turnamen Mentari aku bertemu Ree dan mau tidak mau kaidah benar dan salahku menjadi goyang."

Lex tertawa kecil, merasa dirinya konyol. "Aku sadar aku salah karena pandanganku diselimuti kebencian. Tapi... tapi... kau tidak mengerti rasanya..." 

Pria itu tidak bisa meneruskan perkataannya. Tenggorokkannya tersumpal oleh rasa panas yang mencekiknya. Kehilangan bukanlah topik yang suka ia bicarakan. 

"Mungkin ini akan mengejutkanmu," kata Alia. Nadanya menjadi lembut, hampir berbisik. "Tapi aku mengerti rasanya melihat orang yang kau cintai direnggut darimu."

Lex mungkin tidak tahu cerita lengkap Alia. Namun dari suara gadis itu, Lex mempercayainya. Kalau Lex pikir, lucu sekali hidup. Dahulu, ia adalah yang paling skeptis terhadap Ree. Selalu mencurigai dan mencari celah darinya. Namun sekarang ia tidak kuasa untuk menjadi orang yang mendekati Alia terlebih dahulu. 

Jujur saja, Lex masih merasa bersalah pada Ree. 

Ia berharap dapat menebusnya dengan Alia. Masalahnya, gadis di depannya masih tidak mau menerima ketulusannya. Kendati demikian, Lex tidak menyerah. Itulah alasannya ia rutin mengunjungi penjara bawah tanah selama persiapannya untuk Festival Kulruk.

"Maaf," kata Alia akhirnya, "Untuk ibumu."

Lex menggeleng, meski ia tahu Alia tidak akan bisa melihat. "Bukan salahmu."

"Kau juga minta maaf tadi," kata Alia.

Untuk sesaat mereka hanya terdiam. Keduanya berusaha meredam emosi mereka masing-masing. 

"Aku tadi juga mengunjungi Ayah dan kakakmu," kata Lex akhirnya untuk memecahkan keheningan. Raja dan ayah Alia yang bernama Dargal tidak dirantai seperti Alia. Karena tidak ada air ataupun senjata yang dapat memicu magis mereka berdua, mereka hanya dimasukkan ke dalam sel penjara. Oleh karena itu mereka dapat makan dan minum seperti biasa. 

Lex dapat mendengar Alia terkesiap mendengar nama ayah dan kakaknya. Sebelum gadis itu dapat bertanya, Lex sudah menjawab terlebih dahulu, "Mereka baik-baik saja. Dan mereka mengkhawatirkanmu."

"Oh," jawab Alia dengan lemah. 

Kemudian keheningan kembali menyelimuti mereka. 

Akhirnya, Lex memutuskan untuk merentangkan tangan kembali dan meraba lantai penjara. Di pojok kanan, tepat di dekat jeruji, terdapat sebuah nampan besi yang berisi makanan dan minuman. Jemarinya menyentuh sesuatu yang lembek, tetapi setelah meraba beberapa kali, akhirnya ia dapat mengangkat nampan itu. 

Selama tiga hari ia mengunjungi penjara, ia selalu berusaha membuat Alia makan atau minum. Biasanya Alia menolak untuk makan apapun, tetapi untuk minum gadis itu tidak dapat menolak kebutuhannya. Kebetulan tiga hari itu adalah hari-hari perjamuan. Maka setiap malam, Lex membawakan sebuah roti. 

Gadis itu tidak dapat menolak roti yang wangi dan renyah.

Maka Lex memulai menyuapkan roti serta membantu Alia minum hampir setiap malam. Awalnya Alia membungkam mulut. Namun lama-lama, gadis itu seakan sudah nyaman dengan bantuan Lex. 

Seharusnya penjaga penjara yang membantu Alia. Namun tentu saja penjaga itu tidak peduli. Karena kesal, Lex memerintahkan magis tanahnya untuk menjatuhkan kursi tempat penjaga itu tidur. Suara dentuman yang keras terdengar dari arah pintu berikut suara mengaduh. 

Rasakan, kata Lex.

Setelah Lex selesai menyuapi semua roti yang ia bawa, ia menarik tangannya kembali. Selama gadis itu makan, mereka tidak berbicara sedikit pun. 

Hingga akhirnya Alia berkata, "Kenapa... kau mau mempertaruhkan Judistia untuk diriku? Kenapa kalian...?"

"Ya, anggap saja kami punya hutang yang harus dibayar," kata Lex. Hutang itu adalah pada Ree. 

"Tapi kalian... tidak perlu berbuat sejauh ini. Lagipula aku hanya satu nyawa."

Lex tidak suka pemikiran seperti itu. Bahawa mengorbankan satu orang demi banyak orang dianggap lazim. 

"Bila kita mengorbankan satu orang demi kepentingan orang banyak terus menerus, lama-kelamaan dunia ini tidak akan berpenghuni," kata Lex, "Semua nyawa itu berharga dan kalau bisa menyelamatkan semuanya, kenapa tidak?"

"Tapi kalian tidak mengenalku. Apa sih yang ingin kalian buktikan?"

Lex tersenyum mendengar hal itu. Ya, mereka sedang ingin membuktikan sesuatu. 

"Perubahan," jawab Lex mantap, "itu dimulai oleh satu nyawa, Al. Dimulai oleh satu suara. Dan satu tindakan."

Alia tertegun mendengar itu. Sepanjang malam, gadis itu tidak berkata-kata lagi. Dan Lex pun pamit diri untuk benar-benar berlatih. Ia menyelundupkan dirinya keluar dari penjara bawah tanah dengan cara yang sama. 

Perubahan.

Ya, Lex percaya perubahan belum terlambat untuk dilakukan. 

Setidaknya itu pemikirannya malam itu. 

Karena esok malam, ketika dentuman gendang berkumandang dengan ritme cepat, ketika sorakan para penonton yang mengeliling sebuah lapangan luas bergemuruh ria... Lex berpikir dua kali soal melakukan perubahan. 







–Bersambung–

ʟᴇx ᴘɪᴋɪʀ ᴘᴇʀᴜʙᴀʜᴀɴ ꜱᴇɢᴀᴍᴘᴀɴɢ ɪᴛᴜ

ᴄᴋᴄᴋᴄᴋᴄᴋᴄᴋ

ᴍᴇʀᴇᴋᴀ ʏᴀɴɢ ʙᴇʀᴘɪᴋɪʀ ᴘᴇʀᴜʙᴀʜᴀɴ ɪᴛᴜ ɢᴀᴍᴘᴀɴɢ,

ᴛɪᴅᴀᴋ ᴘᴇʀɴᴀʜ ʙᴇʀᴜꜱᴀʜᴀ ᴍᴇʟᴀᴋᴜᴋᴀɴɴʏᴀ.

ꜱᴀʟᴀᴍ,

ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ʏᴀɴɢ ᴍᴇɴᴀɴᴛɪ ᴘᴇʀᴜʙᴀʜᴀɴᴍᴜ.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top