Petir, Pasir, dan Tanah
Lagu: Holding Out for a Hero oleh Nothing But Thieves
–Lex–
Lokasi: Benteng Diam, Silmarilon
.
Jantung Lex seakan berhenti. Peluh membasahi pelipisnya padahal ia jarang sekali berkeringat. Ia bahkan tidak ingat apakah ia bernapas atau tidak saat itu. Matanya melihat Rangga.
Mereka tidak bisa kehilangan Judistia.
Ia selalu mengerti gerak gerik sahabatnya itu. Dan ketika Rangga mengencangkan rahangnya, menatap Lex lurus dengan manik hitamnya, ia tahu... ia tahu apa pilihan Rangga. Kepalan tangannya sendiri mengencang. Matanya kemudian menatap Alia.
Beda dengan tatapan Lex yang masih penuh kegundahan, tatapan Alia justru menajam. Gadis itu memasang kuda-kuda meski kakinya masih terlalu lemas untuk menopang tubuhnya. Gadis itu pun sudah menentukan pilihannya. Kedua tangan Alia direntangkan ke depan, percikan-percikan listrik muncul dari jemari-jemarinya. Namun kemudian Alia melihat pasir di bawah kakinya, lalu menatap Lex kembali.
Gadis itu tahu Lex memiliki keunggulan yang jauh lebih besar daripada dirinya.
Lex tidak suka hal ini.
Ia mengambil satu langkah ke depan. Namun berhenti tatkala sebuah petir muncul tiba-tiba dari atas langit, menyambar tanpa kenal ampun hanya sesenti di depan kaki Lex. Suara gemuruh langit yang terbelah membuat semua orang terdiam. Semua mata terpaku pada sosok Lex dan Alia. Suasana yang tadinya sudah mencekam kini semakin terasa ketat, terasa sesak, dan semakin menyesakkan.
Untuk sesaat, Lex tidak mendengar satu pun deru napas orang lain, hanya suara angin yang berlalu di antara dirinya dan si gadis petir.
"Kau dengar kata pria bajingan itu," kata Alia. Jemari-jemarinya kembali memunculkan percikan-percikan listrik. "Ayo kita berikan mereka pertunjukan yang meriah."
"Al," Lex berusaha mengambil satu langkah kembali. Namun lagi-lagi sebuah petir menyambar dari atas langit. Kali ini, bila saja Lex tidak meloncat mundur dengan cepat, kakinya akan benar-benar tersambar. Beberapa orang terkesiap melihat hal itu. Mata mereka kini tidak bisa terlepas dari arena, tahu bahwa pertarungan puncak Festival Kulruk sudah tidak bisa lagi dikatakan "bersahabat." Akan ada pertumpahan darah malam ini.
Dari pinggir matanya, Lex melihat Danum dan Bima berdiri dari kursi mereka. Mata mereka menyiratkan kekhawatiran. Ultar, masih dengan gelang antimagis di pergelangannya, tetap duduk.
Ah, sial, gerutu Lex dalam hati. Ia membalas tatapan nanar Alia. "Maafkan aku," katanya. Suaranya pelan, lembut seperti angin pagi yang sejuk. Namun dua kata yang ia utarakan memiliki kedalaman seperti palung di laut. Ia tahu tindakannya malam itu, keputusannya, akan membuat dirinya menyesal sepanjang hidup.
Alia membalas tatapannya dengan satu alis terangkat.
"Tidak," balas gadis itu dengan suara yang pelan pula. Sebuah angin membuai pipi mereka dari arah barat, mengayunkan rambut Alia. "Kita tidak terlalu dekat untuk saling minta maaf."
Lex mengambil napas dalam. Kepalan tangannya sudah siap, pasir-pasir di bawah kakinya sudah berputar perlahan, siap mengikuti instruksi Lex, siap menjadi perpanjangan tangan Lex. Ia melirik Raja di podium, pria itu terlihat pucat pasi. Raja berlutut di samping tempat duduk Vadnya. Keringat di pelipisnya bercucuran, jauh lebih banyak daripada Lex.
Dari kerumunan rakyat, pria besar yang sama kembali datang membawa seorang pria lain yang terantai. Ayahnya Alia.
Gadis itu melihat ayahnya yang terlihat lemah tersungkur ke lantai podium. Pria itu terlihat jauh lebih lemah dari terakhir kali Lex melihatnya di penjara bawah tanah. Tak hanya itu, bibirnya terlihat sangat kering dan matanya terlihat hampa. Sepertinya ayahnya Alia telah sengaja dibuat kehausan. Pria besar itu melanjutkan dengan mengusungkan pedang pada leher ayahnya Alia.
"Ayah–" Raja yang hendak bergerak menuju ayahnya langsung ditarik kembali oleh kesatria Benteng Diam yang lain. Kemudian kesatria itu menonjok Raja, hingga sudut bibirnya terluka dan gusinya pecah, membuat Raja memuntahkan darah tepat di samping kaki Rangga.
"Ayo!" Vadnya berseru, "Mulai pertarungannya!"
Sedetik kemudian, mata Alia dan Lex kembali besitatap. Mata hitam bertemu dengan mata hitam yang memercikkan listrik. Kedua pria dan wanita ini sudah tahu, mereka tidak punya pilihan selain bertarung. Yang satu bertarung untuk keselamatan keluarganya, yang satu bertarung untuk kemerdakaan negerinya.
Aneh, bukan? Dua orang yang berbeda ini justru harus bertarung untuk orang lain. Mempertaruhkan nyawa untuk orang lain. Dan ketika dua orang sudah mengukuhkan beban di pundak mereka, menyadari banyaknya nyawa yang bertumpu di pundak mereka, tekad mereka terbentuk solid.
"Rambutmu cantik juga ternyata," katanya pada Alia.
Alia justru mendengkus. "Asal bicara," katanya.
Kedua insan itu tersenyum kecil untuk satu sama lain. Sebuah daun terbawa oleh angin jatuh dengan gemulai di antara mereka. Waktu seakan melambat. Fokus mereka hanya pada satu sama lain. Semua orang lain seakan melebur menjadi buram dan tak penting.
Daun itu terus jatuh. Perlahan tapi pasti.
Lex dapat mendengar suara degup jantungnya sendiri. Matanya melekat pada Alia.
Daun itu akhirnya menyentuh lantai pasir. Tanpa suara.
Di saat itu juga, Alia mengangkat tangannya. Lusinan petir tiba-tiba muncul begitu saja di langit senja. Mata hitamnya bersinar, begitu pula seluruh tubuhnya karena percikan listrik yang mengitarinya. Tangan Alia dijatuhkan dan lusinan petir itu langsung menghujam Lex secara bersamaan.
Gadis itu berusaha menghabisinya dengan cepat.
Namun dengan cekatan, Lex membentuk perisai dari tanah, membuat petir itu tidak dapat mencapai tubuhnya. Sebelum Alia dapat menambah listrik yang menyerang Lex, pria itu mengayunkan tangan satunya. Pasir di sekitar kaki Alia langsung berputar kemudian menenggelamkan kaki gadis itu. Di saat yang sama, pasir-pasir membentuk sulur, seakan memberi bentuk pada alur angin, dan mengumpul pada jemari Alia.
Mata gadis itu membelalak ketika mengetahui apa yang Lex ingin lakukan. Gadis itu dalam kepanikan memanggil lebih banyak percikan listrik. Namun pasir-pasir Lex bergerak lebih cepat daripada kecepatan cahaya. Mereka langsung menyelimuti semua jemari Alia seperti sarung tangan, meredupkan percikan-percikan listrik di jemari itu. Tak hanya itu, Lex juga membuat tanah di bawah pasir melengkapi sarung tangan itu.
Ketika semua jemari Alia sudah tertutup, petir-petir yang bergemuruh di atas awan mereda. Hanya menyisakan geraman Alia yang dapat Lex dengar. Mata gadis itu menatap Lex dengan nyalang.
Lex merasa bersalah. Rasanya jutaan jarum mengoyakkan hatinya. Pelan-pelan, menusuk ke raga terdalam. Kedua alisnya berkerut menahan tatapan Alia.
Kau pikir merasa tidak berdaya hanya dapat dirasakan oleh para korban. Namun di saat itu, Lex adalah seorang pelaku, dan tetap saja ia merasa tak berdaya.
Tak kuasa ia melawan Vadnya.
Tak kuasa ia membawa perubahan.
Saat-saat diam Lex dipakai oleh Alia sebagai celah. Gadis itu mengayunkan jemarinya yang sudah terbalutkan tanah yang keras dan meninju Lex di rahang diiringi sebuah teriakan parau. Wajah Lex terlempar di udara dan tubuhnya terhuyung ke belakang.
Ia sebenarnya tahu Alia akan meninjunya. Ia membiarkannya.
Karena bayaran atas perbuatan yang akan ia lakukan tidaklah murah. Ia harap tinju satu ini dapat meringankan bayaran itu, membuat impas keadaan mereka.
Ketika Alia mengayunkan kembali kedua lengannya, Lex akhirnya menangkap pergelangan tangan gadis itu dan dengan mudah memelintirnya ke belakang. Tubuh Alia memang sudah lemah akibat berhari-hari di penjara bawah tanah. Gadis itu menggeram dengan sangar, masih berusaha melepaskan dirinya.
Lex menendang kaki gadis itu, membuat Alia tersungkur ke atas pasir dan dirinya ikut menimpa tubuh si gadis di atas pasir. Seruan dan tepuk tangan Vadnya mengundang semua penonton ikut berseru.
Alia tentu saja tidak menyerah begitu saja. "Bajingan!" seru Alia sambil berusaha melepaskan diri dari perangkap tubuh Lex. "Pengecut! Lawan magis dengan magis! Ini curang namanya–"
Perkataan gadis itu terhenti tatkala Lex membisikkan sesuatu di telinganya. "Percayalah padaku."
Tubuh Alia membeku. Ia tidak lagi berusaha melawan. Namun matanya masih tajam. Di sudut matanya, Alia melihat sosok ayah dan kakaknya di podium, tepat di samping Vadnya yang berseru seperti orang gila.
"Percayalah padaku," bisik Lex lagi. Suaranya mengandung keputusasaan. "Tolonglah."
Bisakah petir mempercayai pasir dan tanah untuk tidak mengubur percikannya? Bisakah ia mempercayai Lex?
–Bersambung–
ᴛᴀʜᴜ ᴋᴏᴋ, ᴍᴀʟᴀᴍ ʙᴀɴɢᴇᴛ ᴜᴘᴅᴀᴛᴇɴʏᴀ ʜᴀʜᴀʜᴀ
ᴛᴀᴘɪ ᴋᴀɴ ᴍᴇᴍᴀɴɢ ʙᴀʀᴜ ᴋᴇᴛɪᴋᴀ ᴍᴀʟᴀᴍ ʜᴀʀɪ, ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ꜱᴇᴍᴀᴋɪɴ ᴘᴇᴋᴀᴛ.
ꜱᴇʟᴀᴍᴀᴛ ᴍᴇᴍʙᴀᴄᴀ.
ꜱᴀʟᴀᴍ,
ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ʏᴀɴɢ ᴀᴋᴀɴ ᴍᴇɴᴇᴍᴀɴɪᴍᴜ ᴛɪᴅᴜʀ.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top