Pertempuran di Jembatan Silmarilon (2)

Lagu: Joke's On You oleh Charlotte Lawrence (Birds of Prey Album)

Sedetik kemudian, hanya keheningan yang dapat mereka dengar. 

"Mereka berhenti?" tanya Lex. Tekanan yang sebelumnya ia rasakan pada dinding tanahnya sudah menghilang begitu saja. 

Semua orang di dalam naungan atap tanah milik Lex saling bersitatap dengan bingung. 

Akhirnya Rangga memberi anggukan pada Lex. Atas sinyal itu, Lex menurunkan dinding tanah miliknya kembali menyatu pada danau di bawah. 

Cahaya matahari yang terik kian menerpa pandangan mereka masing-masing. Danum mengubah matanya sekilas untuk menghalau sinar matahari itu. Sementara yang lain perlu menutup mata mereka dengan satu lengan. 

Begitu pandangannya sudah terbiasa, Rangga melihat Ultar meletakkan sebuah pisau pada leher perempuan berlistrik itu. Perempuan itu didekap Ultar, bilah pisau menggores kulit sawo matangnya. 

"Jangan macam-macam," ancam Ultar. Perkataannya ditujukan pada pemagis air di belakang kru yang ternyata adalah seorang pria. Tudung jubahnya terlepas, menunjukkan seorang pria yang berusia tengah baya. 

Begitu Ultar mengancamnya, dinding air yang sebelumnya pemagis itu bentuk perlahan menurun, kembali menyatu dengan danau. 

Wajah pria itu terlihat kesusahan ketika berkata, "Tolong, biarkan aku menyelamatkan anakku."

Rangga melihat ke bawah. Benar saja, satu sosok berjubah hitam terlihat mengambang di atas air danau. Namun semakin banyak air mulai menurun, mengisi danau itu kembali. Tak lama tubuh itu akan tenggelam. 

Percikan listrik terdengar kembali dari langit. Si perempuan masih memanggil magisnya dan hendak menerjang Ultar dengan listrik. Namun Ultar semakin menekan bilah pisau pada leher perempuan itu. 

"Alia," panggil pemagis air di belakang mereka, "Hentikan."

"Raja terjatuh, Ayah," seru Alia dengan panik, "Biarkan aku memanggang pria tengik ini dan menyelamatkan–"

Belum sempat Alia dapat menyelesaikan perkataannya, Danum sudah bergerak cepat. Ia memutari pria pemagis air yang Alia sebut Ayah. Kemudian memukul belakang lututnya hingga pria itu berlutut kesakitan di jembatan. Terakhir, Danum menarik leher sang Ayah menggunakan staf kayunya, sedikit menghalangi jalur pernapasan sang Ayah.

Alia mendecakkan lidahnya kesal melihat Ayah dan kakaknya dalam kesusahan. Jembatan kayu tempat mereka berpijak kembali berayun tetapi tidak sedasyat sebelumnya.

"Tolong anakmu dengan magismu," kata Danum, "tapi begitu kau mencoba hal yang macam-macam, Ultar akan membunuh anakmu."

"Dan bila kau mencoba hal-hal aneh, Nona," kata Ultar mengikuti permainan Danum, "Danum akan mencekik Ayahmu."

Rangga kembali tersenyum. Tatapan matanya terarah pada Ultar. Ia tak percaya Ultar ternyata betul-betul menyelamatkan mereka. 

"Apakah dua minggu berjalan bersama kita," kata Rangga jenaka, "sudah membuatmu terikat, Ul?"

Ultar mendecih, meski tersenyum di satu sisi. "Jangan menganggungkan diri kalian terlalu tinggi."

"Bisa saja dia berusaha membuat kita mempercayainya sekarang untuk nantinya mengkhianati kita," kata Lex dengan santai.

"Bisa jadi," kata Bima. Matanya memincing pada Ultar.

"Hei!" seru Ultar, "Tidak bisakah kalian mengkreditasi kebesaran hatiku untuk menolong kalian?"

"Dengan sejarahmu?" tanya Danum dengan nada jenaka pula, "Ini belum waktunya."

Sementara mereka saling balas membalas, pemagis air itu sudah mengangkat anaknya yang bernama Raja dengan molekul air dan meletakkan tubuhnya di atas jembatan. Benar saja, pemagis yang hampir tenggelam itu adalah seorang pemuda dan mirip sekali dengan pria yang memiliki magis air. 

Danum mengencangkan pegangan stafnya seakan berkata, 'Sekarang jangan gunakan magismu untuk apapun.' Pria itu langsung mengerti dan menurunkan tangannya. Molekul-molekul air pun ikut menurun.

Rangga langsung memeriksa pemuda bernama Raja itu. 

"Jangan sentuh dia–" 

Lagi-lagi perkataan Alia terhentikan karena sentakan dari Ultar. Lex yang mengikuti gerakan Rangga untuk memeriksa Raja melihat Alia lurus di mata. "Kita bukanlah kalian, yang tiba-tiba muncul untuk membunuh orang."

Alia mendecakkan lidahnya kembali. 

"Kami bukanlah kontraktor semacam itu!" serunya, "Yang membunuh manusia demi magis yang lebih besar."

"Aku tidak berkata kalian seperti itu," kata Lex.

"Tapi tatapanmu sudah menghakimi kami terlebih dahulu!"

Lex mendecih namun juga tersenyum dalam kebingungan. "Kau tahu, asumsi bahwa orang lain akan langsung berprasangka buruk terhadapmu hanya menunjukkan betapa tidak percaya dirimu."

Alia ikut mendecih dengan seringai mengejek. Kilatan matanya penuh dengan kegeraman. "Dan salah siapa bila banyak dari kami seperti itu? Ketika orang-orang seperti kalian seenak jidat menghakimi mereka yang tidak punya pilihan untuk menggunakan nyawa manusia demi magis. Untuk bertahan hidup di dunia yang tidak memedulikan kita, salahkah bila kita ingin meraih kekuatan lebih untuk kehidupan lebih baik?"

Lex ikut tertegun. Kini ia benar-benar melihat Ree dalam sosok gadis itu. 

Rangga selesai memeriksa nadi Raja. Pemuda itu masih hidup dan bernapas. Pangeran Judistia melihat kerudung yang digunakan Alia untuk menutupi rambutnya, mata hitam dan besarnya. 

"Kau adalah penduduk Silmarilon asli, bukan?" tanya Rangga. 

Alia tidak menjawab.

Namun Rangga kembali melihat percikan-percikan listrik di jemari perempuan itu. Ia menelengkan kepalanya, berpikir. Sama seperti Lex, Rangga melihat Ree dalam diri Alia.

"Lepaskan dia, Ultar."

"Haa?" Ultar terkejut dengan perintah dari Rangga. 

"Lepaskan," kata Rangga ulang, "Tidak seharusnya kau menyentuh kulit perempuan Silmarilon sebelum ia menikah."

"Apa hubungannya–"

"Lepaskan, Ultar." Tatapan Rangga pada Ultar menjadi dingin seketika. Ultar mendecih tidak suka namun ujungnya, ia melakukan perintah Rangga. 

Alia langsung mendorong tubuh Ultar guna lepas dari pria itu. Jemari sang perempuan langsung menuju lehernya yang memiliki goresan luka. Matanya kemudian menangkap tatapan sang Ayah.

Kemudian Alia menahan tatapan Rangga. "Bagaimana kau tahu tradisi kami? Kebanyakan perempuan Silmarilon sudah meninggalkan tradisi itu."

"Kau memercikkan listrik tiap kali jemari Ultar menyentuh kulit wajahmu," kata Rangga, "Aku hanya menebak sebenarnya. Kau sepertinya tidak suka disentuh. Kemudian aku teringat bahwa beberapa perempuan Silmarilon tidak memperbolehkan lawan jenis menyentuhnya, apalagi ketika belum menikah."

"Sama sekali?" tanya Lex tidak percaya.

"Tapi Vira, anak buah Vadnya tidak apa-apa disentuh lawan jenis meski belum menikah," kata Bima. 

Rangga mengangguk. "Tradisi itu sudah lumayan lama."

Kemudian bocah itu bertanya, "Apakah kerudungnya itu yang membuatku tidak bisa membaca pikiranmu?" 

"Kerudung mereka dibuat dari material khusus. Terdapat tradisi pembuatannya yang aku tidak begitu fasih," kata Rangga.

"Tapi aku juga tidak bisa membaca pikiran dua orang lainnya pula...," Bima masih berpikir keras.

Perempuan itu sempat tertegun dengan pengetahuan Rangga. Kemudian ia mengembuskan napas berat. "Lepaskan Ayah dan kita akan pergi dari sini," katanya.

"Tidak secepat itu," kata Lex, "Apa yang membuat kalian ingin membunuh kami?"

Mata Alia terarah pada Lex dengan nyalang. "Karena kalian adalah musuh dari Putri Pertama," kata Alia, "Putri Judistia sebenarnya yang harus menanggung beban ramalan. Dia memberi harapan bagi kami, yang tidak punya pilihan untuk menggunakan nyawa manusia."

"Kau tahu, bagaimana rasanya terbebani dengan nyawa manusia? Dan ketika seluruh dunia memakimu padahal mereka yang mendorongmu melakukan hal yang kau kira tidak pernah akan kau lakukan?" lanjutnya, "Putri Pertama akan menghapuskan sistem kontrak ini. Itulah yang kita inginkan! Kita sudah muak dengan sistem ini."

Rangga tertegun. Begitu juga yang lainnya. 

'Benar-benar seperti Ree,' kata Lex.

'Tidak juga,' kata Bima, 'Perempuan ini punya api untuk mengubah dunia. Ree sedang berlari dari api itu.'

"Kami?" tanya Rangga, "Seberapa banyak komplotanmu?"

Begitu Rangga menanyakan hal itu, derapan kaki kuda terdengar dari arah ujung jembatan. Seorang pria berbalut baju zirah lengkap memimpin pasukan kuda itu. Rambut dan jenggotnya berwarna putih, tetapi tubuhnya masih terlihat seperti seorang pendekar. 

"Pangeran Judistia!" seru Jenderal Vadnya dari ujung jembatan, "Dasar berengsek! Kubilang jangan ke Turnamen Mentari dan kau masih ke sana!"

Rangga sedikit tersentak mendengar kutukan dari Jenderal Vadnya. Namun ia memaksa wajahnya tersenyum, "Jenderal! Lama tak jumpa!"

Jenderal Vadnya tidak menggubris sapaan hangat Rangga. "Tangkap ketiga kontraktor kotor itu!" perintah sang jenderal pada anak buahnya. "Bawa mereka ke markas."

"Sudah lama kita ingin menangkap pemimpin kelompok perusuh yang menjengkelkan ini," kata Jenderal Vadnya dengan senyum yang dapat membuat orang merinding, "Halo Alia."

Rangga sempat melihat Alia menggertakkan giginya dengan keras. Percikan listrik mulai muncul lagi dari jemarinya. Namun ketika perempuan itu melihat sang Ayah yang masih ditahan Danum, ia menarik kembali listriknya. Para kesatria bawahan Vadnya menarik lengan Alia dengan kasar. Begitu juga mengambil Raja yang masih pingsan dan sang Ayah dari Danum. 

Rangga dan teman-temannya turut melewati jembatan bertemu dengan Jenderal Vadnya.

Satu hal muncul dalam pikiran mereka.

'Jembatan ini kokoh juga ya...'

ɪɴɪ ᴀʟɪᴀ ʏᴀ.

ᴡᴀᴋᴛᴜ ᴀᴜᴛʜᴏʀ ᴍᴀɪɴ ʙᴏᴏᴋꜱᴛᴀɢʀᴀᴍ ᴀᴅᴀ ᴛᴇᴍᴀɴ ʏᴀɴɢ ᴘᴇʀɴᴀʜ ʙɪʟᴀɴɢ ᴅɪᴀ ʙᴇʀʜᴀʀᴀᴘ ᴀᴅᴀ ᴛᴏᴋᴏʜ ʙᴇʀʜɪᴊᴀʙ ʏᴀɴɢ ᴘᴜɴʏᴀ ᴋᴇᴋᴜᴀᴛᴀɴ ꜱɪʜɪʀ.

ᴋᴀʟᴀᴜ ᴅɪᴘɪᴋɪʀ-ᴘɪᴋɪʀ, ɪʏᴀ ᴊᴜɢᴀ ʏᴀ, ᴋᴏᴋ ʜᴀᴍᴘɪʀ ɢᴀ ᴀᴅᴀ ᴋᴀʀᴀᴋᴛᴇʀ ʏᴀɴɢ ʙᴇʀʜɪᴊᴀʙ ᴅᴇɴɢᴀn ꜱɪʜɪʀ? ᴋᴀʟᴀᴜ ᴋᴀʟɪᴀɴ ᴛᴀʜᴜ, ᴄᴏʙᴀ ꜱᴇʙᴜᴛᴋᴀɴ -->

ᴛᴀᴘɪ ᴀᴜᴛʜᴏʀ ᴍᴀᴜ ᴍᴇɴɢɪɴɢᴀᴛᴋᴀɴ ʙᴀʜᴡᴀ ɪɴɪ ᴄᴜᴍᴀ ᴛᴇʀɪɴꜱᴘɪʀᴀꜱɪ ᴅᴀɴ ʙᴜᴋᴀɴ ʙᴇʀᴀʀᴛɪ ᴍᴇᴍᴀꜱᴜᴋɪɴ ꜱᴀᴛᴜ ᴀɢᴀᴍᴀ ᴅɪ ᴄᴇʀɪᴛᴀ ɪɴɪ, ᴍᴀᴋᴀɴʏᴀ ᴅɪꜱᴇʙᴜᴛʟᴀʜ "ʙᴇʀᴋᴇʀᴜᴅᴜɴɢ". ᴄᴇʀɪᴛᴀ ɪɴɪ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴍᴇɴɢᴀᴍʙɪʟ ᴀɢᴀᴍᴀ ᴀᴘᴀᴘᴜɴ. ᴛᴏʜ ᴅɪ ᴅᴜɴɪᴀ ɪɴɪ ʏᴀɴɢ ᴅɪꜱᴇᴍʙᴀʜ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ᴅᴇᴡᴀ ᴅᴀɴ ᴅᴇᴡɪ... ʏᴀɴɢ ᴛɪᴅᴀᴋ ʙᴇɢɪᴛᴜ ᴘᴇᴅᴜʟɪ...



ꜱᴀʟᴀᴍ,

ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ᴅɪ ᴀʀᴀʜ ᴛɪᴍᴜʀ.

Gambar dari artbreeder.com buatan sendiri

Terinspirasi dari teman hahah

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top