Masih Berlari
Lagu: Many Are The Stars I See, But In My Eye No Star Like Thee
Ree selesai menceritakan masa lalunya dengan wajah termenung. Ia duduk di sebuah batu besar di lantai hutan. Sedangkan Kairav berdiri bersandar di batang pohon oak yang gagah. Kedua tangan Kairav terlipat. Pria abadi itu menatap lantai hutan dengan lekat. Kakinya memainkan rumput liat yang tumbuh dari tanah.
Sementara Ree hanya memandang bulatan kedua di bagian dalam tangannya.
"Dan sekarang kekuatan bayanganmu sudah hilang," kata Kairav pelan, "Tapi magis dari koloseum tidak bisa kau panggil?"
Ree mengangguk. "Aku rasa magisku benar-benar hilang." Gadis itu terkekeh pahit. "Semua nyawa itu... dan sekarang aku tidak bisa menggunakan magis apapun."
"Bayaran pertamamu yang kau bilang dialihkan dari Jagrav kepadamu... kau yakin itu adalah keluargamu sendiri?" tanya Kairav.
Ree akhirnya menatap Kairav. Mata hitamnya menyiratkan kelelahan. "Siapa lagi? 'Satu sedarah, semua magis dapat kau ambil'. Bukankah sedarah berarti keluargaku? Dan di hari aku mendapatkan bulatan pertama adalah hari yang sama aku kehilangan mereka semua."
"Dan bayaran keduamu adalah Pemagis Murni," lanjut Kairav.
"'Satu murni, semua magis dapat kau bentuk'," Ree mengulangi kata ramalan. Ia merentangkan kedua tangannya di udara. "Omong kosong. Tidak ada magis apapun yang dapat kubentuk."
Lalu Ree tertawa. "Seharusnya aku senang, bukan? Karena ramalan itu salah. Magis keduaku adalah..." Gadis itu membuka telapak tangannya ke udara. "...Kekosongan."
"Rasanya aneh bila magis keduamu justru membuatmu tidak bisa menggunakan magis sekalipun sementara magis pertamamu sangat kuat."
Ree mendelikkan bahunya. "Tch. Kapan kita dapat menebak apa yang dipikirkan para dewa dan dewi? Kita hanyalah bidak permainan di lahan catur untuk kesenangan mereka."
"Kenapa tidak bertanya pada Penyihir Putih- Anielle, maksudku?" tanya Kairav, "Omong-omong, kau yakin Anielle adalah seorang dewi? Mengapa aku tidak pernah mendengar namanya sebelumnya?"
Sorot mata Ree akhirnya menjadi tajam, melihat pada Kairav. Kedua alisnya bertaut, meminta penjelasan pada Kairav.
"Aku hidup ratusan tahun dan tidak pernah sekalipun aku mendengar keberadaan Dewi Cinta," kata Kairav.
Tidak mungkin, pikir Ree.
"Aku bersumpah, Ree," lanjut Kairav. Pria itu berjalan ke arahnya, "Aku pernah mengelilingi kontinen ini dan satu pun tidak pernah kutemukan kuil persembahan untuk dewi bernama Anielle."
Ree berkedip.
"Huh? Tapi aku..." Ree kesusahan untuk merespon, "Aku tidak bercanda, Kai. Anielle benar-benar ada."
"Aku tidak berpikir kau bercanda. Tapi antara Anielle tidak memberitahukan identitas aslinya padamu atau... suatu hal lain terjadi."
Ree ikut berdiri. Matanya masih menatap lekat pria abadi itu, memastikan pria itu serius dengan perkataannya.
Dari semua pengalaman hidupnya, Ree tidak akan terkejut bila teman lamanya itu ternyata menyembunyikan identitas lain. Bahkan rencana awalnya saja, Ree tidak ketahui.
Namun... apa hubungannya dengan Ree sekarang? Seharusnya Anielle tahu kalau sekarang Ree sudah tidak bisa memanggil magis apapun.
"Yah," Ree berkata dengan mendelikkan bahunya, "Mungkin."
"Mungkin dia tahu alasan kenapa kau tidak bisa menggunakan magis koloseum."
"Atau magis apapun," kata Ree.
"Kau mau mencoba?" tanya Kai.
"Huh?"
"Coba ambil magisku dan gunakan sekarang juga," usul Kai, "Kita tidak akan pernah benar-benar tahu sampai kita mencobanya."
Untuk sesaat Ree hanya menatap pria itu lurus di mata. "Kau yakin?"
"Kenapa tidak?"
"Hanya saja... kebanyakan orang tidak suka... um... bila magisnya diambil."
"Kau kan hanya meminjam sebentar," kata Kairav, "Aku tidak melihat ada yang salah dengan itu." Pria itu langsung merentangkan satu tangannya ke arah Ree. Telapak tangannya terbuka. Seketika Ree teringat ketika Xandor merentangkan tangannya kepada Ree di tepi jalanan Andalas bertahun-tahun yang lalu.
Ree menelan ludahnya. Ia tak kuasa merasa bila ia menerima uluran tangan itu... ia hanya akan membawa kutukana bagi Kai.
"Uh... bukan begitu caranya," kata Ree. Ia menghiraukan uluran tangan Kai, menolak menyentuhnya. Lalu menyentuh dahi Kai dengan jemarinya. Matanya menatap Kai kembali.
"Kau yakin?" tanyanya.
"Tidak sakit, bukan?"
"Harusnya tidak," kata Ree. Lalu Ree menarik napas dalam sementara jemarinya bersinar di dahi Kai.
"Ahh!" teriak Kai tiba-tiba.
Dengan panik, Ree langsung menarik jemarinya tetapi Kai justru menahan jemari Ree di dahinya. Mata Ree membelalak kaget ketika Kai tiba-tiba tertawa kecil. "Aku bercanda, Ree."
Butuh dua detik hingga Ree akhinya menyadari perkataan Kai. Degup jantungnya masih berdetak kencang. Namun ketika ia ingin menarik jemarinya kembali, Kai masih menahannya.
"Sialan, buyut," kutuk Ree.
Kai tertawa lepas. "Ekspresimu ketika panik sangat lucu, bocah," balas Kai. "Lanjutkan. Rasanya tidak sakit kok."
Ree melanjutkan menarik magis Kai. Jemarinya bersinar kembali tetapi ia mulai penasaran. "Apa yang kau rasakan sebenarnya?"
"Umm... hanya sedikit dingin saja," kata Kai jujur, "Bagaimana denganmu?"
Itu adalah pertama kalinya seorang lain menanyakan apa yang Ree rasakan ketika mengambil magis orang lain. Biasanya orang hanya akan memandangnya jijik karena mengambil sesuatu yang tak ia empunya.
"Rasanya beda-beda berdasarkan tipe magis yang kuambil," cerita Ree, "Meski aku baru pernah mengambil empat kali. Pertama kali, secara tak sengaja aku mengambil magis Xi-"
Ree terdiam sejenak. Ia butuh waktu untuk menelan ludah kasar yang menggumpal di tenggorrokkannya. Untungnya, Kai tidak memaksanya untuk bercerita.
"Seorang dari Pasukan Bayangan," jelas Ree akhirnya.
"Aku ingat, Ree," kata Kai, "Kau menceritakan tentang pria itu di Turnamen Mentari. Terdengar seperti pria yang menakjubkan."
"Memang," kata Ree cepat untuk mengganti topik, "Kedua kali ketika aku mengambil magis Naga Hitam untuk mendapatkan magis bayangan. Lalu magis Tia untuk mendapatkan magis penyembuh. Dan terakhir magis koloseum."
"Ini berarti magismu masih ada," kata Kai, "Hanya saja magis dari kontrak keduamu saja yang belum bisa kau gunakan."
Ree mengangguk. "Kau adalah pemagis air pertama untukku," kata Ree.
"Dan bagaimana rasanya diriku?" tanya Kairav dengan senyuman jenaka.
Ree memutar bola matanya. "Tidakkah kau terlalu tua untuk menggoda seorang gadis, buyut?" lanjutnya, "Magismu mirip seperti magis penyembuh. Rasanya ringan dan sejuk."
Cahaya biru yang menyinari jemari Ree mulai menjalar mengitari lengannya kemudian memasuki kulit Ree, menyatu dengan pembuluh darahnya.
"Tapi arus magismu kuat sekali. Jauh lebih kuat daripada magis Tia." Ree menarik jemarinya dari dahi Kairav. Setelah menarik napas dalam dan mengembuskannya, ia membayangkan rasa yang baru saja ia sebutkan tadi kemudian memfokuskan rasa itu pada jemarinya.
Dalam sedetik, sebuah bola air tiba-tiba muncul dari jemari Ree dengan suara plop yang ringan. Bola air itu melayang bebas di udara di antara Ree dan Kairav.
Ree memutar jemarinya dan bola air itu pun berubah bentuk menjadi sebuah bunga mawar yang terbuat dari air.
Kai tersenyum lebar melihat bunga itu, teringat pada bunga yang ia bentuk untuk Ree di Turnamen Mentari. "Tidakkah kau terlalu muda untuk menggoda seorang kakek tua, bocah?"
Ree mendelikkan bahunya. Tanpa sadar, ia turut tersenyum. "Bagiku yang terpenting adalah tampang yang rupawan."
Untuk sesaat, Kai tertegun melihat senyuman Ree. Rasanya sudah lama sekali ia tidak melihat gadis itu tertawa. Begitu terkesimanya dia, hingga Kai tidak sadar jemarinya bergerak sebelum ia dapat berpikir. Jemari itu membelai pipi Ree dengan lembut.
Ree yang terkejut langsung menarik wajahnya di luar jangkauan jemari Kai. Fokusnya pada molekul air hancur dan bunga mawar itu pun pecah menjadi bulir-bulir air yang terserap lantai hutan. Mata keduanya membelalak terhadap satu sama lain.
"Maaf...," kata Kai. Namun Kai tidak mengerti mengapa Ree bertingkah seperti sentuhannya adalah hal yang tabu, maka ia bertanya, "Tapi apa aku berbuat salah?"
Mata Ree kembali menajam. Senyumannya sirna. "Sebaiknya kita menjaga jarak," kata gadis itu dingin, "Bagaimanapun kau ratusan tahun lebih tua."
"Lalu?" tanya Kai, "Kau sendiri sudah dewasa, bukan?"
"Tapi aku tidak butuh ini, Kai!" serunya tiba-tiba. "Aku tidak butuh..." Ree menggigit bibir bawahnya keras.
Entah apapun yang Ree tidak bisa katakan, Kairav tidak ingin memaksa. Ia melihat sorot mata gadis itu penuh dengan konflik. Berbagai ombak berkecamuk di balik matanya. Dada Kai serasa tertusuk. Pria itu membayangkan menampar wajahnya sendiri karena telah membuat Ree bereaksi seperti itu.
"Baiklah," Kai mengalah, mengangkat kedua tangannya di udara, "Aku... mengerti. Meski aku masih akan berada di sisimu, Ree. Dan berhentilah menggigit bibirmu."
Ketika Ree tidak kunjung pula berhenti menggigit bibir bawahnya, Kairav memutar jemarinya. Molekul-molekul air dari lantai tanah tiba-tiba bermunculan begitu saja dari bawah dan melayang di udara. Di malam yang gelap, bola-bola air yang Kairav munculkan seakan bersinar, seperti gelembung-gelembung udara.
Hal itu berhasil membuat Ree berhenti menyakiti bibirnya dan fokus melihat pemandangan di sekitarnya. Seperti sihir pula, kunang-kunang mulai mendatangi tempat mereka, mengitari gelembung-gelembung air milik Kairav. Ditambah dengan taburan bintang di langit, rasanya seperti Ree sedang bermimpi.
"Wow..."
Tak hanya kunang-kunang, tetapi berbagai hewan pun mulai mendatangi tempat mereka, seakan ikut ingin melihat pemandangan menakjubkan yang dibentuk Kairav.
Ree tersenyum kecil kembali. "Kau memang tahu caranya menarik perhatian tak hanya manusia tapi juga bintang, hm?"
"Kurasa bukan aku yang menarik mereka," kata Kai, "tapi dirimu."
Di antara binatang yang muncul, seekor rusa yang gagah dengan tanduk yang megah berjalan mendekati Ree dari samping. Mata Ree membulat ketika melihat berbagai batu bersinar di dahi rusa itu. Mata gelap rusa itu menatap Ree, seakan berkata, 'Senang berjumpa denganmu kembali, Tuan Putri.'
Ree terkesiap ketika mengenali rusa itu. Itu adalah rusa yang ia temukan ketika ia ikut misi Pasukan Bayangan untuk pertama kali.
"Sudah pasti ini perbuatanmu yang menarik para binatang ini," kata Kai.
Rusa itu tiba-tiba menekuk satu kaki dan menunduk pada Ree. Binatang-binatang yang berkumpul pun mengikuti.
Ree tercengang melihat hal itu. "Oh wow...," giliran Kairav yang terkesima. "Kau memang sesuatu ya? Para binatang bahkan mengakuimu sebagai Putri Pertama."
Jantung Ree justru berdegup tak karuan. Sebelum para binatang itu dapat berbuat apapun lagi, Ree langsung menarik lengan Kairav dan menariknya untuk berlari menjauh dari para binatang itu. Pikirannya bergumul seperti benang kusut.
"Hei, Ree!" panggil Kairav.
Ree terus berlari. Pegangannya pada Kairav semakin mengencang. Dan pria itu akhirnya hanya dapat mengikuti pelarian Ree. Meski ketika Kairav menoleh ke belakang, para binatang itu menatap kepergian mereka dengan tatapan kehilangan. Rasanya seperti Ree baru saja menolak mereka, meski Kairav tidak begitu mengerti mengapa.
Pria abadi itu dapat merasakan kadar adrenalin Ree sangat tinggi berdasarkan sentuhan kulit mereka.
Mereka baru berhenti setelah dapat melihat perkemahan Penyihir Putih kembali. Setelah beberapa menit mengambil napas, Ree berjalan memasuki perkemahan itu dan langsung mengambil posisi untuk tidur. Kairav mengikuti dalam diam. Dadanya merasa tidak enak.
Sampai kapan gadis ini akan terus berlari?, pikirnya.
Namun kemudian dia berpikir, Apa hakku untuk mempertanyakan hal itu padanya? Bila aku dirinya... aku akan berlari pula.
ꜱᴜᴀʀᴀ ᴀᴘᴀ ᴛᴜʜ?
ꜱᴇᴘᴇʀᴛɪɴʏᴀ ᴀᴅᴀ ᴋᴀᴘᴀʟ ʏᴀɴɢ ᴛᴇɴɢɢᴇʟᴀᴍ
(ꜱᴇɴʏᴜᴍ ʟᴇʙᴀʀ)
ᴍɪɴɢɢᴜ ᴅᴇᴘᴀɴ ʀᴀɴɢɢᴀ ᴍᴜɴᴄᴜʟ ᴋᴏᴋ
ꜱᴀʟᴀᴍ,
ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ᴅɪ ʙᴀᴡᴀʜ ɢᴇʟᴀꜱ ᴀɪʀ ᴘᴜᴛɪʜᴍᴜ.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top