Langkah Pertama

Lagu: World Gone Wild

-Rangga-

Lokasi: Benteng Diam, Silmarilon (Markas Pemberontakan)

Seorang kesatria langsung mengusungkan pedang ke leher si pemagis air. Ayah dari Alia itu sempat memanggil kekuatannya ketika Vadnya menyatakan perintah. Karena bilah pedang di leher, pria itu berhenti bergerak.

Kesatria lain mengusung pedang pada Raja, membuat pemuda itu tidak bisa bertindak pula.

Tak lama ketiga orang itu digiring paksa ke arah pasar kota di mana sebuah panggung berdiri. Sebuah alat besar dengan bilah besi yang tajam untuk memotong kepala, berdiri di atas panggung itu. Salah satu alasan lain mengapa Bentang Diam lumayan tertib adalah karena pemberian hukuman mati, khususnya bagi kriminal yang berat, dilakukan secara publik. Selain mendapat kecaman publik, kematian mereka pun dipenuhi dengan olokan. 

Dua orang kesatria setengah mengangkat Alia dan memaksa gadis itu bertekuk lutut. Ketika gadis itu berusaha melawan, seorang kesatria menendang belakang lututnya hingga Alia terjatuh dengan suara keras. Para kesatria kemudian mendorong tubuh Alia hingga dagunya menyentuh balok kayu di depan. Seorang kesatria lain menurunkan balok kayu di atas kepala Alia untuk memerangkap kepalanya. 

Para rakyat mulai berkumpul di sekitar panggung untuk melihat. Mereka semua tertegun. 

Rangga melihat Lex melihat lurus ke mata hitam Alia. Perempuan yang semenit yaang lalu berdiri dengan begitu gagah dan berani, berdiri tanpa takut menyuarakan suaranya, kini tidak bisa melakukan apa-apa. Matanya berlinang karena ketidakberdayaannya. 

Temannya itu pasti merasa sangat bersalah. Apalagi karena Alia mengingatkan mereka akan Ree. Bagaimana rasanya melihat perempuan yang membuka pandanganmu akan terbunuh? 

Vadnya naik ke atas podium dengan senyuman kemenangan. Jenderal itu mengangkat satu tangan untuk menarik perhatian semua rakyat ke arahnya. 

"Semuanya, lihatlah orang pendosa yang telah menggunakan nyawa manusia ini," katanya dengan suara lantang, "Biar kita beri contoh apa yang Silmarilon akan lakukan pada pemagis yang memakan nyawa sesamanya. Biar kita beri pesan pada Putri Pertama itu bahwa ia hanyalah pendosa besar dan bukanlah penyelamat!"

Beberapa rakyat mulai bersorak sementara kebanyakan masih terpaku dalam kebingungan. Apalagi ketika Rangga berlari ke arah podium. Tanpa mengangkat tangannya, Rangga sudah dapat memanggil perhatian semua rakyat ke arahnya. Dengan tatapannya yang tajam, ia menahan perhatian semua yang melihat. Bahkan Jenderal Vadnya juga melihat Rangga.

"Jenderal," kata Rangga, "Kau salah soal Adishree."

"Siapa?" Jenderal Vadnya bertanya mencemooh, "Ah, Putri Pertama?"

"Adishree tidak membunuh keluarganya sendiri untuk magis," kata Rangga meninggikan suaranya, "Ayahku yang membunuh mereka."

Rangga menatap lekat para rakyat Judistia di antara para rakyat Silmarilon. "Dan di mata Ree, rakyatnya sendiri mengkhianatinya."

Pangeran Judistia membiarkan kalimat itu merasuk dalam setiap orang. Untuk apa ia berusaha memperjuangkan kemerdekaan Rakyat dari Ayahnya sendiri bila ia tidak mau mengakui kesalahan di masa lampaunya? Apa gunanya menggiring perubahan di masyarakat bila rakyatnya sendiri tidak menyadari kesalahan mereka?

Ia tidak ingin perkataan Alia pada diri mereka semua menjadi nyata. Bahwa pada dasarnya mereka hanyalah makhluk munafik yang tidak mau belajar dari kesalahan di masa lalu.

Ia, sebagai manusia, penuh kesalahan. Acap kali, Rangga membuat keputusan yang salah, ia akui itu. Dan selama bertahun-tahun, matanya terkelabui oleh prasangka.

Namun, bila kau tersandung, bukan berarti kau terjebak di jurang kegelapan, bukan? Kau masih bisa berdiri, mengobati luka, dan belajar untuk tidak tersandung akan hal yang sama.

Tidak ada perubahan tanpa mengakui kesalahan dan memperbaiki yang membuat luka. Perubahan yang berarti menjadi pembelajaran untuk semua, bukan menutupi yang luka dengan kain kasat mata dan menganggap seolah luka itu tak pernah ada.

Jenderal Vadnya mendecih. Namun Rangga berkata kembali, "Dan dia hanya delapan tahun saat itu, Vadnya. Aku pun hampir seumuran dengannya. Apa yang kau harapkan dari seorang gadis yang tumbuh mengetahui seluruh keluarganya dibantai?"

Untuk pertama kalinya Jenderal Vadnya terdiam. Posisi mereka sudah berubah. Kini Rangga yang menceramahi Vadnya. 

"Di Turnamen Mentari, Adishree jugalah yang menyelamatkan semua penonton dan peserta turnamen, bahkan menyelamatkan satu Andalas. Dan kau tahu apa yang harus ia lakukan untuk mencapai magis sebesar itu?"

Ia memastikan para rakyat, baik Judistia Maupin Silmarilon, tetap memperhatikannya. Tanpa perlu api yang menyala, jiwanya terpancarkan melalui perkataannya, mengingatkan semua orang bahwa ia adalah seorang Pangeran.

"Ia harus menerima kematian seorang yang ia anggap adik untuk menyelamatkan orang banyak."

Jenderal Vadnya menaikkan alisnya, "Apa maksudmu? Bukankah Putri Pertama itu yang membunuh semua korbannya?"

Rangga tersenyum sinis. Terdapat aura yang begitu mencekam keluar dari tubuhnya, membuat semua orang tidak bisa melepaskan pandangan dari Pangeran Judistia itu. Karismanya begitu kental hingga tidak ada satupun yang mau ketinggalan satu kata pun darinya. 

"Benar kata gadis ini, Vadnya," kata Rangga, "Mudah sekali bagi kita menghakimi tanpa memberikan mereka kesempatan. Mudah sekali bagi kita untuk menjatuhkan penghakiman tanpa mengetahui cerita lengkap mereka."

Raut wajah Vadnya mulai menggelap. Garis bibirnya yang tadinya terangkat kini menurun, hidungnya pun membesar, dan alisnya mengerut. Pipinya mulai bersemu merah dan kepalan tangannya mengeras. 

"Apa kau mengatakan aku menghakimi tanpa bukti?" tanya Vadnya. "Kita sudah menerima banyak korban karena keserahakan mereka!" Vadnya menunjuk Alia. 

"Istriku juga menjadi korban untuk mereka!" teriaknya parau. 

Rangga menahan tatapan Vadnya. Jadi itulah alasan utama kebencian Vadnya. Dan memang, ketika melihat rakyat-rakyat yang berkumpul, Rangga sendiri tahu beberapa sudah merasakan sendiri menjadi keluarga dari korban pembantaian dari orang-orang yang serakah.

"Setiap orang berbeda, Vadnya," kata Rangga tenang, "Kau tidak bisa menghakimi semua kontraktor yang terpaksa menggunakan nyawa sama dengan mereka yang membunuh untuk keserakahan."

Vadnya meraih kerah Rangga. Menarik pria itu dekat ke arah mukanya agar Rangga betul-betul dapat melihat kemurkaan Vadnya saat itu juga. Beberapa kesatria juga sudah bersiap mengeluarkan pedang mereka dari sabuk, siap bila Rangga bertindak gegabah kepada jenderal mereka.

Suasana menjadi tegang hanya dalam hitungan detik. Para rakyat mulai melihat satu sama lain. Rakyat Judistia, terutama, merasa tersudutkan.

Bila Rangga bertindak gegabah, maka aliansi dapat saja putus. Lebih parah, perang antar negeri bisa saja terjadi. Oh, lebih parah lagi, rakyat Judistia di Benteng Diam hanyalah sekian persen dari rakyat Silmarilon.

Intinya, meski di Benteng Diam itu, hanya kru Rangga yang memiliki kekuatan magis... secara jumlah mereka kalah besar.

Bila perang terjadi, mereka akan kalah... bahkan akan menemukan ajal mereka.

Seluruh rakyat Judistia, baik para kesatria atau warga biasa, seakan menahan napas mereka, menunggu keputusan Rangga.

Tepat saat itu juga, sebuah suara memecahkan keheningan yang mencekam itu.

"Bagaimana bila kita bertaruh di Festival Kulruk, Jenderal?" tanya Lex tiba-tiba. Pria itu melangkah maju dan berdiri tepat di depan panggung. Matanya menangkap tatapan Alia yang masih terpasung dengan bilah tajam mengancam untuk memutuskan kepala gadis itu.

"Aku akan melawan pria terbaikmu tanpa magis," kata Lex kembali, "Bila aku menang, aku ingin gadis ini. Kami dapat menggunakan magisnya."

Keheningan menyebar begitu cepat. Semuanya terkejut dengan perkataan Lex.

Hingga Rangga mendecih pada Lex meski senyuman mengembang di wajahnya.

Lex pun mengangkat satu sudut bibirnya, menunjukkan senyuman jenaka. Ia memutar tubuhnya menghadap para rakyat. "Ayolahh!! Masa kita bertengkar sesaat ketika kami baru saja kembali? Apakah persahabatan kita sedangkal itu?"

Ia kemudian menghadap Jenderal Vadnya dan Rangga kembali.

"Kita selesaikan masalah tidak dengan mulut, tuan-tuan," kata Lex masih dengan senyuman tersungging, "tapi dengan perbuatan."

Setelah ketegangan yang cukup kentara, Vadnya akhirnya tertawa kecil kepada Rangga dan Lex. Ia mendorong Rangga kecil dan mengayunkan jemarinya. "Ahhh jadi tujuan kalian ingin bertaruh, eh? Kenapa tidak bilang dari tadi?"

Festival Kulruk adalah festival tahunan di mana dua pihak dapat bertarung tanpa magis untuk sebuah taruhan. Hasil dari pertarungan itu bersifat sakral dan adil bagi rakyat Silmarilon.

Festival ini bisa dibilang sebagai olahraga kesukaan para rakyat Silmarilon.

Karena para pertaruh dapat meminta apapun. Dan bila menang, hasilnya akan sah.

"Baiklah," kata Jenderal Vadnya akhirnya, "Festival Kulruk minggu depan akan menjadi ajang pertaruhan antara Judistia dan Benteng Diam."

Senyumannya masih mekar tetapi tatapannya menusuk ke arah Rangga.

"Lex akan melawan prajurit pilihanku," lanjut Vadnya, "Bila Lex menang, Judistia dapat melakukan pada gadis ini beserta kelompoknya sesuai yang mereka mau."

"Tapi bila prajuritku menang, Judistia harus tunduk pada Silmarilon ketika Jagrav jatuh dan kau, Pangeran, duduk di takhta." Vadnya merentangkan tangan di depan Rangga.

Rangga dan Lex saling bersitatap. Keduanya membeku di tempat. Itu adalah taruhan yang tidak adil. Membuat Judistia tunduk pada Silmarilon berarti akan mengangkat Silmarilon menjadi kerajaan terbesar di kontinen ini. Rangga hanya akan menjadi simbolism saja sementara Silmarilon yang berkuasa.

Singkatnya, pertaruhan mereka adalah nyawa tiga orang untuk kemerdekaan Judistia.

Rangga mendapati dirinya menelan ludah kasar. Ia menatap sahabatnya, Lex. Dan ketika Lex mengangguk mantap, Rangga mempercayainya.

Ia akan selalu mempercayai sahabat-sahabatnya.

Maka Rangga menyambut tangan Vadnya kemudian memaksakan sebuah tawa. Sang Jenderal pun tertawa meski Rangga dapat melihat kedutan kesal di sudut-sudut wajahnya.

Vadnya merapatkan genggamannya hingga Rangga harus menahan diri agar tidak meringis. Pangeran itu justru menaikkan suhu temperatur agar Vadnya kepanasan tetapi Sang Jenderal menahan diri dari menarik tangannya pula. Vadnya bahkan menepuk pundak Rangga dengan keras seakan ia merangkul Rangga di depan rakyat.

"Festival Kulruk tahun ini akan menjadi yang terbesar sepanjang sejarah!"

Rakyat pun mulai tertawa dan bertepuk tangan, mengira Jenderal dan Pangeran di depan mereka hanyalah melakukan pertaruhan yang bersahabat. Baru nanti ketika mereka pulang, mereka memikirkan betapa besarnya pertaruhan kali ini. Namun mengingat Rangga dan Vadnya saling tertawa seakan mereka hanyalah bersenda gurau, rakyat pun tidak memikirkan arti pertaruhan itu lebih dalam.

"Bawa tiga orang ini ke sel bawah tanah hingga Festival Kulruk datang!" perintah Vadnya pada kesatrianya kembali.

"Lalu mari kita rayakan kedatangan Pangeran Judistia! Benteng Diam sudah menyiapkan perjamuan untuk kalian!" seru Vadnya seolah pertaruhan mereka tidak pernah terjadi.

Rakyat pun mengikuti Vadnya untuk bersorak dan bertepuk ria kembali.

Mungkin mereka masih belum dapat mengubah pandangan Vadnya. Namun mereka setidaknya telah menyelamatkan satu nyawa. 

Mungkin perubahan yang mereka bawa belum berarti besar, belum memenuhi ekspektasi orang seperti Alia. Atau bahkan belum dapat menebus kesalahan pada Ree. 

Namun ini adalah langkah pertama. Dan langkah pertama itu selalu yang tersulit. 

Rangga hanya berharap ia tidak baru saja mempertaruhkan nyawa sahabatnya.



Pelik ya...

Ketika semua orang sudah terlanjur berprasangka

Susah sekali membuka pikiran

Dan lagipula, apa jaminan tidak akan dikecewakan oleh pihak yang sama?

Pelik...

Si Author lagi meratapi nasib karena merancang plot sepelik ini...

Salam,

Para bayangan yang menghantui Author

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top