Kenangan 1: Pembohong
Lagu: Memories flood my eyes and leave as tears oleh Peter Gundry
Ree waktu itu berumur delapan tahun. Seperti biasa, Lady Fritz membantunya melepaskan pakaiannya setiap malam. Lady Fritz adalah seorang Viscountess. Memang sudah kebiasaan untuk setiap keluarga royal memiliki pelayan dari kasta bangsawan. Meski... pengangkatan Lady Fritz sebagai dayang personal Ree sempat menjadi kontroversi di kalangan pejabatnya.
Pasalnya, tidak ada yang mengetahui bahwa Putra Mahkota Kerajaan Judistia sebenarnya adalah perempuan. Dan seorang lelaki seharusnya memiliki pelayan personal berupa lelaki pula. Kendati demikian, orang tua Ree bersikeras untuk memercayakan Ree pada Lady Fritz.
Ree melihat bayangannya di cermin. Ia masih bocah memang. Namun dari awal, ia sudah mengetahui bahwa gender perempuannya adalah hal yang tidak boleh ia sebut-sebut di publik.
Ia memperhatikan perawakan kanak-kanaknya. Ia tidak terlihat jauh berbeda dari anak-anak perempuan lain. Rambutnya pun juga masih panjang. Hitam legam dan mencapai punggung. Hanya saja, ketika anak-anak perempuan lain dapat melerai rambut mereka dan memakai pita atau bunga, Ree hanya boleh mengikat rambutnya.
Pakaiannya pun harus selalu berupa jas dan celana serta boots.
"Lady Fritz," panggil Ree. "Itu... Apakah..." Ree menunduk ke lantai, menyatukan kedua jemarinya karena malu.
"Ah, maksudmu ini?" Lady Fritz membuka sebuah kotak kayu yang sebelumnya disembunyikan di bawah kasur. Kemudian mengambil benda di dalamnya lalu menunjukkannya pada Ree. Sebuah gaun kecil berwarna krem dengan bordiran bunga lavender terlihat.
Mata Ree langsung membulat dan berbinar. "Itu gaun yang kumau!"
Lady Fritz tersenyum lebar. "Iya, hamba tahu," katanya, "Ayo cepat. Kau hanya punya lima belas menit untuk mencoba gaun ini lalu tidur, oke?"
Ree mengangguk mantap.
Dengan bantuan Lady Fritz, Ree melepas pakaian lelakinya kemudian memakai gaun krem itu. Ia melepas ikatan rambutnya, membiarkan rambut ikalnya mengembang. Kemudian ia memetik bunga dari vas di kusen jendelanya dan memakaikannya di belakang telinga.
"Cantik sekali, Tuan Putri," puji Lady Fritz.
Ree memutar dirinya di depan cermin dengan senyuman. Namun kemudian ia berhenti. Senyumannya pun mengendur.
"Lady Fritz," panggilnya dengan lebih lemah, "Kenapa Ayah dan Ibu menyuruhku menyembunyikan identitasku sebenarnya? Kenapa aku tidak dapat menjadi perempuan seperti anak-anak bangsawan lain?"
Dayangnya itu mulai salah tingkah. Selalu begitu setiap kali Ree menanyakan alasan gendernya disembunyikan. Pada awalnya, seperti anak-anak lainnya, ia tidak mengerti apa itu gender. Namun semakin lama, ia sadar bahwa ada perbedaan besar antara perempuan dan laki-laki di lingkungan sosial.
"Bukannya aku tidak suka berkendara atau belajar berpedang," kata Ree, "Aku sangat suka. Tapi mengapa aku tidak bisa melakukannya sebagai perempuan?"
"Uhh... itu..." Lady Fritz memijat-mijat jemarinya. Perempuan berusia tengah baya itu bahkan tidak bisa menatap Ree tepat di mata. Akhirnya, Lady Fritz berkata, "Begini Tuan Putri, ada beberapa hal yang... um... intinya dirimu akan lebih aman bila orang-orang mengetahui dirimu sebagai lelaki."
Lady Fritz berlutut di depan Ree, memegang kedua pundaknya. "Ada beberapa hal di dunia ini yang membuat menjadi perempuan lebih berbahaya. Dan kau pasti sadar bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa didapatkan perempuan di lingkungan sosial kita bukan?"
Ree memutar otaknya. "Kebanyakan perempuan seumuranku hanya diajari seni dan etika..."
"Nah, begitu, Tuan Putri. Suka atau tidak, ada beberapa hal yang perempuan tidak dapatkan. Jadi tidak ada salahnya menjadi lelaki, bukan? Tuan Putri dapat belajar banyak hal sebagai Putra Mahkota. Saya yakin Tuan Putri akan tumbuh menjadi pribadi yang mampu memimpin rakyat."
"Tapi tidak seharusnya begitu, bukan?" Ree menatap lurus Lady Fritz. "Hanya karena seseorang memakai gaun bukan berarti mereka tidak bisa berkendara kuda. Hanya karena seseorang berperawakan lebih lembut bukan berarti mereka tidak bisa memimpin."
Lady Fritz membuka mulutnya tetapi Ree berkata terlebih dahulu, "Lihat saja Ibu. Dia mampu memimpin para pejabat berdiskusi mengenai saluran air yang bermasalah."
"Ya...," Lady Fritz berkata, "Tapi ibumu hanyalah satu dari sekian banyak perempuan di negeri ini. Apakah Anda melihat sosok pemimpin perempuan lain?"
Ree menelengkan kepalanya. "Marquis dari Gerrun adalah perempuan. Dan Lissandra! Pemimpin kru Terrrault di Turnamen Mentari!"
Ketika Lady Fritz hanya menatap Ree dengan serius, Ree bergumam, "Hanya tiga... Tapi kuyakin ada banyak."
"Bagaimanapun, Tuan Putri, percayalah, Anda akan lebih aman sebagai Putra Mahkota daripada Putri Pertama," katanya.
Lady Fritz kemudian membantu Ree melepaskan gaun krem itu kembali. Ia juga membantu Ree memakai gaun tidur dan menyelimutkan Ree di atas kasur.
"Tapi Lady Fritz," panggil Ree kembali, "Kenapa kita tidak mengubah hal itu?"
Ree lanjut bertanya, "Bila sesuatu tidak adil, kenapa kita tidak membenarkan hal itu? Daripada aku harus menyembunyikan genderku untuk mendapat perlakuan setara lelaki, kenapa tidak dunia yang berubah?"
Lady Fritz berkedip sekali. Dayang itu selalu terkesima dengan kemampuan Ree untuk berpikir lebih dalam. Ia tersenyum lembut.
"Saya yakin bila orang itu Anda, dunia pasti bertekuk lutut padamu." Lady Fritz membelai rambut Ree perlahan. "Selamat malam, Tuan Putri."
Ree menarik selimut menutupi dagunya. Matanya menutup tanda ia akan tidur. Lady Fritz-pun meniup lilin di samping tempat tidur. Seketika ruangan menjadi gelap dan Lady Fritz keluar dari ruangan.
Ree sebenarnya selalu menunggu-nunggu waktu tidur malam. Dirinya tidak pernah ribut ketika diharuskan tidur seperti anak-anak bangsawan lain. Hal itu karena Ree dapat bertemu dengan Anielle.
Begitu juga malam itu. Ketika kesadarannya terlelap, tubuh Ree serasa melayang di antara awan-awan hitam. Ia terduduk di atas sebuah awan yang empuk. Dan ketika matanya membuka kembali, begitu pula senyumannya. "Anielle!"
"Halo, Tuan Putri," sapa Anielle. Dewi Cinta dan Asmara yang dipuja oleh satu rakyat Judistia karena kecantikannya. Dan Ree memang harus akui, perempuan di depannya sangatlah jelita. Dengan rambut merah muda dan iris mata biru terang. Kulitnya putih mulus dan bibirnya selalu berwarna merah.
Ree berdiri dan melakukan curtsy sebagai bentuk hormat. "Apa yang akan kita pelajari hari ini?" tanya Ree bersemangat.
Anielle tertawa kecil. "Kau memang sangat suka belajar ya."
"Hah? Tidak. Aku tidak suka belajar. Aku suka pengetahuan," kata Ree, "Aku suka merasa lebih tahu dari yang lain."
Anielle tertawa mendengar respon Ree yang tidak lazim.
"Kau tahu, Anielle," kata Ree, "karena cerita-ceritamu, semua orang selalu berkata aku memiliki pikiran yang kritis dan luas."
"Baiklah," kata Anielle, "Apa yang ingin kau ketahui sekarang?"
"Anielle, apa kau tahu kenapa aku harus menyembunyikan identitasku sebagai Putri Pertama?"
Anielle tiba-tiba membelalak mendengar pertanyaan Ree. "Dari mana kau dengar julukan itu?"
"Huh? Putri Pertama?" tanya Ree bingung, "Lady Fritz tadi berkata padaku bahwa lebih baik menjadi Putra Mahkota daripada Putri Pertama."
"Oh...," Anielle menggaruk lehernya. "Dia ada benarnya."
"Tapi kenapa?" tanya Ree, "Kenapa menjadi pria lebih baik dari perempuan?"
Anielle berlagak salah tingkah untuk sesaat, seperti tidak nyaman. Namun mendengar pertanyaan Ree, Anielle pun mengikuti arah pembicaraan Ree. "Sebenarnya menjadi pria sama saja dengan perempuan. Sama seperti dirimu dan diriku berbeda, setiap orang berbeda. Dan salah satu perbedaan berupa gender. Itu saja."
"Gender tidak menentukan apa yang kau bisa dan tidak bisa lakukan," lanjut Anielle, "Yang menentukan itu adalah pilihanmu."
"Pilihanku?" tanya Ree. "Lalu kenapa aku tidak boleh memilih menjadi perempuan saja?"
"Lebih aman untukmu dianggap sebagai lelaki, Ree," kata Anielle. Matanya tiba-tiba menjadi sayu.
Ree pun bingung. Kenapa Lady Fritz dan bahkan Anielle, seorang Dewi, berkata dirinya akan lebih aman dengan menyembunyikan identitas sebenarnya? Apa yang salah dengan dirinya menjadi perempuan?
"Tidak ada yang salah, Ree," kata Anielle tiba-tiba.
Untuk sesaat, Ree lupa bahwa di dunia mimpi itu, Anielle terkadang dapat membaca pemikiran Ree.
"Tapi percayalah pada kami," kata Anielle dengan nada pahit, "Semua ini harus terjadi. Semua ini... untuk kepentingan bersama. Orang tuamu tahu hal itu. Mereka mempercayaiku. Kau mempercayaiku juga bukan?"
Ree bisa saja salah, tetapi ia melihat Anielle meneguk ludah dengan kasar. Sang Dewi menggigit bibir bawahnya dengan raut seperti kesusahan. Hal itu membuat Ree menjadi khawatir.
"Jangan khawatir, Ree," Anielle tiba-tiba berkata dengan senyuman, "Semuanya akan berjalan untuk yang terbaik. Aku akan pastikan hal itu."
Ree mempercayai hal itu.
Ia mempercayai Anielle.
Namun dua bulan setelah percakapan itu, satu keluarganya dibantai.
Dua bulan setelah malam itu, ia mendapati satu bulatan hitam di bagian dalam lengannya. Tanda ia mendapatkan kontrak magis dengan bayaran nyawa keluarganya.
Bagaimana ia tahu pasti kontrak magis pertamanya berbayarkan nyawa keluarganya?
Karena di malam Jagrav menghunuskan pedang pada orang tua Ree, tepat di depan matanya, Jagrav berkata, "Wahai, kami hambamu yang setia memanggilmu. Terimalah ini menjadi bayaran kami. Berikanlah pada kami yang telah kau janjikan pada kami. Dengarkanlah kami–"
Tepat sebelum Jagrav dapat menyebutkan nama dewa yang akan menautkan kontrak magis dengannya, seseorang berbisik di dekat telinga Ree, "Dewi Kara, ɒƚiʞ ᴎɒɒʜuɿɒƚɿɘq ib ꙅibɒǫ ʜɒ|iᴎi."
Ree sendiri tidak dapat menangkap apa kalimat lengkapnya. Ia baru menyadari suara bisikan itu nyata ketika melihat bulatan hitam terlihat di lengannya. Dan ia tidak akan pernah melupakan suara itu.
Suara yang membuat Dewi Kara pada akhirnya menautkan kontrak magis pada Ree dan bukan pada Jagrav. Baru ketika Ree mendengar mengenai ramalan, ia menyadari mengapa dirinya memiliki bulatan hitam itu.
Suara itu...
Ree tidak akan pernah melupakannya.
Ia tahu suara itu adalah milik Anielle.
"Semua ini harus terjadi. Semua ini... untuk kepentingan bersama. Orang tuamu tahu hal itu. Mereka mempercayaiku. Kau mempercayaiku juga bukan?"
Masa Sekarang
Mengingat hal itu, Ree ingin sekali mendecakkan lidahnya kesal. Tidak ada yang bisa kupercayai, pikirnya. Dan mereka yang kupercayai selalu meninggalkan dunia ini.
Jadi ketika Kai menangkup wajahnya dan menatapnya lurus. Bisakah Ree mempercayai Kai?
Ree menelan ludahnya.
Ia sadar, ia ingin mempercayai Kai. Dan hal itu menakutkan baginya.
Kendati demikian, ia tidak bisa menahan mulutnya untuk bercerita pada pria yang menawarkan untuk mendengarkan.
ᴊᴀɴɢᴀɴ ᴘᴀɴɪᴋ ʙɪʟᴀ ᴛɪᴅᴀᴋ ʙɪꜱᴀ ᴍᴇᴍʙᴀᴄᴀ ᴋᴀʟɪᴍᴀᴛ ɪᴛᴜ ᴘᴜʟᴀ. ᴋᴀʀᴇɴᴀ ᴍᴇᴍᴀɴɢ ʙᴇʟᴜᴍ ꜱᴀᴀᴛɴʏᴀ ᴋᴀᴍɪ ᴍᴇɴɢᴜɴɢᴋᴀᴘᴋᴀɴ ᴋᴇʙᴇɴᴀʀᴀɴ. ɴᴀᴍᴜɴ ʙɪʟᴀ ᴋᴀʟɪᴀɴ ᴅᴀᴘᴀᴛ ᴍᴇᴍʙᴀᴄᴀɴʏᴀ, ʜᴇʏ, ᴋᴀʟɪᴀɴ ꜱᴘᴇꜱɪᴀʟ. ᴛᴀᴘɪ ᴋᴀᴍɪ ʜᴀʀᴀᴘ ᴀɴᴅᴀ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴍᴇɴʏᴇʙᴀʀᴋᴀɴ ᴀʀᴛɪ ᴋᴀʟɪᴍᴀᴛ ɪᴛᴜ ᴘᴀᴅᴀ ʏᴀɴɢ ʟᴀɪɴ.
ꜱᴇʟᴀᴍᴀᴛ ʙᴜᴋᴀ ᴘᴜᴀꜱᴀ.
ꜱᴀʟᴀᴍ,
ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ᴅɪ ʙᴀᴡᴀʜ ᴇꜱ ʙᴜᴀʜ.
Bila tidak dapat melihat kata-kata bayangan -->
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top