Bayaran
Lagu: Black Sea oleh Natasha Blume
–Ree–
Sangat gampang bagi Ree untuk menemukan rumah Lord Baysil di Anatol. Secara umum, pemukiman di dekat Pelabuhan Ferride itu lumayan kecil. Di antara pemukiman itu, hanya ada beberapa rumah yang memiliki dua lantai atau lebih. Dan rumah termegah di kota pelabuhan tentu saja adalah milik Lord Baysil.
Berdiri dengan lima lantai dan memiliki pilar-pilar yang kokoh. Teralis dan kusen jendelanya saja terbuat dari emas. Dan di bagian atas atap, terdapat sebuah patung putri duyung, lambang Ferride sebagai kota pelabuhan di Anatol.
Bajingan, geram Ree, mereka membangun kemewahan di atas tangisan anak-anak.
Tiga kesatria berpatroli setiap jamnya. Ree sudah memperhatikan jadwal pergantian mereka selama satu jam dari sebuah kafe malam di hadapan rumah Lord Baysil.
"Apa rencanamu?" tanya Kai.
Ree menelengkan kepalanya sembari melihat rumah di hadapannya. Ia jadi teringat dengan malam-malam di mana dirinya dan Pasukan Bayangan sering mengintai sebuah tempat sebelum misi mereka. Biasanya mereka akan mempelajari tempat misi mereka selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Mengumpulkan map dan informasi sekitar terlebih dahulu, sebelum bertindak.
Namun ada kalanya, mereka melakukan impromptu, rencana dadakan. Karena ada kalanya, sesuatu harus diubah saat itu juga.
"Masuk dari pintu selayaknya orang normal," kata Ree sembari meneguk sedikit tuak yang ia pesan.
Kai menyambar gelas berisi tuaknya dan mengerutkan alisnya pada Ree. "Jangan terlalu banyak," katanya, "Lagipula kau masih sembilan belas tahun, bukan? Sudah minum seperti ini? Tch... Apa orang tua–"
Kai berhenti berkata, menyadari kesalahannya ketika tatapan Ree menajam.
"Ya, orang tuaku tidak pernah mengajariku," kata Ree. Ia menyambar gelasnya kembali, hendak meminum, tetapi Kai menggunakan magisnya untuk memindahkan isi tuak di gelas Ree kee dalam gelasnya.
"Hei–"
"Kau sudah cukup minum, bocah," kata Kai. "Apa kau minum seperti ini ketika di turnamen?"
"Itu bukan urusanmu."
"Rangga tidak menghentikanmu?"
"Untuk apa dia menghentikanku?" tanya Ree, "Dia bukan ayahku."
"Seharusnya dia menghentikanmu bila dia benar-benar peduli padamu," kata Kai.
Ree mendengkus. Ia menatap Kai tidak percaya. "Dengar, buyut. Aku bahkan pernah minum bersama dalam satu ruangan dengan mereka semua. Bukan berarti kita kecanduan. Kita hanya... hanya..."
"Hanya apa?"
"Hanya... butuh suatu untuk membuat rileks, terkadang. Apalagi karena kita semua hidup di tekanan yang luar biasa, bukan? Apa salahnya menikmati hidup sesekali?"
Kedua alis Kai bertaut, menunjukkan wajah seakan dirinya tersakiti. Dia? Kenapa dia terlihat seperti itu?
Kai mengembuskan napas. Kemudian dalam sekali gerakan, ia menghabiskan semua tuak di dalam gelasnya ke lantai. Ree menatap Kai dengan kaget.
"Menikmati hidup itu bersama teman, Ree. Bukan sendiri bersama alkohol," katanya, "Kau lihat orang-orang di kafe ini?" Jemari Kai mengelilingi seluruh kafe di mana kelompok demi kelompok orang berkumpul. Mereka tertawa dan bersulang dengan bir atau tuak masing-masing sembari bersenda gurau.
"Alkohol bisa menjadi alasan untuk berkumpul. Karena itulah artinya menikmati hidup. Kau menghabiskannya dengan orang lain. Hal yang membuatmu rileks adalah perasaan kau ditemani orang lain, bahwa kau tidak sendiri," lanjut Kai, "bukan karena alkoholnya memberikan efek tertentu pada tubuhmu."
"Camkan ini, Ree," kata Kai dengan serius, "Kesendirian bisa menjadi pemicu untuk candu. Karena kau mulai berpikir tanpa minum, kau merasa sepi."
"Kau salah," kata Ree di sela-sela giginya, "Aku minum untuk menjadi kebas."
Kai menyentil dahi Ree tiba-tiba, membuat perempuan itu mengaduh. "Nah! Itu adalah alasan yang salah untuk meminum."
"Semua orang menggunakan alasan itu–"
"Tidak, Ree," kata Kai, "Bila ada waktu kau ingin merasa kebas atau kau merasa sendiri, datanglah padaku."
Ree berkedip mendengar itu.
"Datanglah padaku," kata Kai kembali, "Atau Kinara, Dale, Mercurio. Datanglah pada orang asing dan keluarkan isi hatimu. Jangan kau pendam dan lupakan. Karena beban itu tidak akan hilang kecuali kau berdamai dengan dirimu sendiri."
"Dan ini?" Kai menggoyangkan gelas di tangannya, "Ini hanya pelarian sementara. Yang kau butuhkan adalah seorang yang mau mendengarkan. Seorang yang bisa meminjamkan pundaknya padamu."
Tahu apa, Kairav? pikir Ree. Semua orang yang dapat membuatku nyaman... aku hanya membawa kutukan bagi mereka...
karena aku membawa beban ramalan...
Ramalah sialan! Aku tidak pernah memilih menjadi Putri Pertama!
Matanya menatap Kairav lurus. Jutaan emosi bergejolak di dalam dirinya. Aneh sekali. Selama dua minggu setelah Turnamen Mentari, ia hampir tidak merasakan apa-apa. Baru ketika melihat Pelabuhan Ferride dan teringat pada anak-anak yang diperjualbelikan Po, Ree merasakan sesuatu. Sebuah dorongan untuk membantu mereka.
Sekarang, duduk di hadapan Kairav yang baru saja menceramahinya, ia merasakan berbagai badai emosi. Dan ia pun bingung bagaimana caranya untuk memadamkan badai-badai itu.
Kai bilang Ree harus mengeluarkannya. Ree tertawa pahit dalam hati. Bila Ree mengeluarkan seluruh perasaannya, akan seperti kotak pandora hitam. Memangnya Kai mau menerima semua keluh kesah Ree?
Seakan mendengar pertanyaan batinnya, Kai berkata, "Aku bersedia menjadi sosok teman, kakak, atau..." Kai membersihkan tenggorokkannya, "...ayah, paman... kakek..."
Suara Kai yang terdengar enggan dengan kalimat terakhir membuat Ree tiba-tiba melupakan luapan emosinya dan hanya ingin tertawa. Satu sudut bibirnya terangkat sedikit sekali.
"Buyut?" tanya Ree, mengejek Kai.
"Ya... bila kau benar-benar melihatku seperti sosok... buyut... yang bijaksana dan–"
Tiba-tiba Ree berdiri, membuat Kai terdiam. Ree sudah memutuskan bahwa ia tidak mau melanjutkan percakapan itu kembali. Dirinya menatap Kai dingin. "Ayo masuk," katanya, "sebelum tengah malam, Lord Baysil harus membayar."
Tanpa menunggu Kai, Ree mulai berjalan menuju kediaman Lord Baysil. Kai cepat-cepat membayar minuman mereka dan mengikuti Ree.
Mereka berjalan mendekati ketiga kesatria penjaga kediaman. Dengan satu tatapan dari Ree, Kai langsung menjentikkan jemari dan membuat para kesatria itu tersedak dengan air. Sebelum ada orang lain yang melihat, Ree memukul tengkuk mereka keras hingga mereka pingsan kemudian meletakkan mereka di balik semak-semak. Tanpa membuang waktu, mereka pun mengambil kunci dari saku salah seorang kesatria dan membuka pintu gerbang. Tidak ada yang menyadari perbuatan mereka karena semuanya terjadi tidak sampai semenit.
Kai dan Ree berjalan santai ke arah pintu. Terdapat beberapa penjaga lagi tetapi Ree dengan cekatan dapat menjatuhkan mereka tanpa sekalipun menggunakan pisaunya. Ia juga membuat pingsan beberapa pelayan yang melewati mereka. Tak lama, selusin orang sudah terkapar di halaman depan kediaman.
Semuanya terjadi tanpa suara yang berarti. Meski tanpa bayangannya, Ree sudah seperti pembunuh bayangan saat itu juga.
Kai hanya bersiul di belakang Ree, kagum dengan kemampuan perempuan itu.
"Apa bila tadi kau meminum, kau akan lebih berbahaya?" tanyanya, "atau bahkan kau akan lebih ceroboh?"
Ree tidak menjawab Kai.
Begitu mereka memasuki kediaman, mereka menanjak tangga hingga lantai kedua. Karena suara Lord Baysil yang keras, Ree langsung tahu kamarnya adalah ketiga di kanan. Kai menahan Ree di depan pintu, memberinya sinyal bahwa Kai ingin menjadi orang yang mendobrak pintu itu.
Ree mengangguk.
Kai hanya perlu menendang sekali dan pintu kamar pun terjatuh telak. Suara teriakan parau dan melengking terdengar dari dalam kamar. Karena cahaya lampu masih menyala, Ree dapat melihat Lord Baysil dengan wajah terkejut di atas tempat tidur. Dan di kedua sisinya adalah dua pelacur yang masih tampak belia. Para perempuan berwajah pucat ketika melihat Ree.
"Aku tidak punya masalah dengan kalian," kata Ree pada kedua pelacur. Ia menunjuk arah pintu dengan kepalanya, mengusir mereka. Karena takut, mereka pun berlari keluar sembari membawa pakaian mereka yang sebelumnya di lantai.
Lord Baysil adalah pria tua yang botak dan tubuh kelebihan berat badan. Umurnya bisa diperkirakan lebih dari empat puluh tahun. Keringat dingin mulai menghiasi wajahnya. Melihat itu, Ree tersenyum sinis.
"Si–siapa kalian?" tanya Lord Baysil dengan panik. "Kesatria! Kesatria–"
Kai mengendalikan air dari sebuah vase bunga dan mengarahkan molekul-molekul air itu untuk membungkam mulut Lord Baysil. "Tidak ada yang bisa membantumu, Lord Baysil," kata Kai.
Mata Lord Baysil menatap mereka dengan horor. Ia terjatuh dari tempat tidurnya dan hendak berlari ke kamar mandinya. Namun Ree bergerak lebih cepat, ia meninju pria tua itu tepat di batang hidungnya.
Lord Baysil jatuh pantat terlebih dahulu ke lantai keramiknya yang mewah. Darah menetes dari hidungnya yang sudah Ree patahkan. Seluruh tubuhnya bergemetar.
Ketika Kai membuka mulutnya kembali, Lord Baysil berkata, "Ap–Apa yang kalian mau?" tanya bangsawan itu, "Uang? Kekuasaan?"
Ketika tatapan Ree dan Kai masih netral, Lord Baysil berseru, "Ah! Kau ingin koleksi anak-anak istimewa, bukan–"
Belum sempat ia selesai bertanya, Ree sudah meninjunya kembali hingga dirinya terkapar di tanah. Kepalanya membentur lantai keramik dengan sangat keras sementara darah dari hidung dan kini mulutnya kembali mengalir.
Ree menduduki dadanya, menahan pria yang sebenarnya lebih besar darinya itu terbaring di lantai. "Kau ingat semua anak yang telah kau perjualbelikan dengan Po?" tanya Ree.
Mata Lord Baysil membelalak kaget meski tubuhnya bergeming karena ketakutan luar biasa. Bukan karena Ree telah dua kali menonjokknya. Bukan. Ia justru takut karena melihat tatapan mata Ree.
Begitu pekat dan penuh amarah.
Lord Baysil selalu mengira dirinya memiliki harta dan wewenang besar untuk selamat dari apapun. Yang terpenting baginya adalah aliran emas yang terus mengalir di bawah namanya. Itu dan kekuasaan politik yang membuatnya dapat berlagak seperti raja... seperti dewa. Dirinya tak tersentuh selama bertahun-tahun.
Namun malam itu, untuk pertama kalinya, ia bertemu dengan sang karma.
"Beritahu semua nama anak yang telah kau culik dan untuk apa," kata Ree, "Beritahu pula semua yang terlibat dalam lingkaran usaha ini."
"Semua. Tanpa. Terkecuali."
Ree mengambil pisau dari lengannya dan mengarahkannya pada pipi gembul Lord Baysil. "Semua, Lord," katanya lagi dengan nada rendah, "Dan mungkin aku kan pertimbangkan untuk tidak membunuhmu."
ʙɪʟᴀ ᴋᴀʟɪᴀɴ ᴍᴇɴɢɪᴋᴜᴛɪ ᴘᴇʀᴊᴀʟᴀɴᴀɴ ʀᴇᴇ ᴅᴀʀɪ ᴛᴜʀɴᴀᴍᴇɴ ᴍᴇɴᴛᴀʀɪ, ᴋᴀʟɪᴀɴ ᴛᴀʜᴜ ʙᴀʜᴡᴀ ᴀᴅᴀ ʙᴇʙᴇʀᴀᴘᴀ ᴀᴅᴇɢᴀɴ ʀᴇᴇ ᴍᴇᴍɪɴᴜᴍ ᴛᴜᴀᴋ ᴀᴛᴀᴜ ᴀɴɢɢᴜʀ, ʙᴜᴋᴀɴ?
ᴀᴅᴀ ꜱᴇᴅɪᴋɪᴛ ᴄᴇʀɪᴛᴀ ᴅɪ ʙᴀʟɪᴋ ɪᴛᴜ ᴅᴀɴ ᴀᴜᴛʜᴏʀ ɪɴɢɪɴ ᴍᴇɴɢᴜᴘᴀꜱ ꜱᴇɢɪ ɪᴛᴜ ʟᴇʙɪʜ ᴅᴀʟᴀᴍ ᴅɪ ꜱᴇʀɪ ɪɴɪ.
ʟᴀʟᴜ, ᴀᴜᴛʜᴏʀ ᴊᴜɢᴀ ᴛɪᴛɪᴘ ᴘᴇꜱᴀɴ ʙᴀɢɪ ꜱɪᴀᴘᴀᴘᴜɴ ʏᴀɴɢ ʙᴇʀᴋᴇᴘᴇɴᴛɪɴɢᴀɴ, ᴘᴇʀʜᴀᴛɪᴋᴀɴ ᴜᴍᴜʀ ᴅᴀɴ ᴋᴏɴᴅɪꜱɪ ᴋᴇᴛɪᴋᴀ ᴍᴇʟᴀᴋᴜᴋᴀɴ ᴀᴘᴀᴘᴜɴ. ᴀᴘᴀᴋᴀʜ ᴘᴀɴᴛᴀꜱ ᴋᴀʟɪᴀɴ ʟᴀᴋᴜᴋᴀɴ ᴅɪ ᴜᴍᴜʀ ᴋᴀʟɪᴀɴ? ᴀᴘᴀ ᴋᴏɴꜱᴇᴋᴜᴇɴꜱɪ ᴅᴀʀɪ ᴍᴇʟᴀᴋᴜᴋᴀɴɴʏᴀ?
ᴊᴜɢᴀ,
ᴋᴇɴᴀᴘᴀ ᴋᴀʟɪᴀɴ ᴛᴇʀᴅᴏʀᴏɴɢ ᴍᴇʟᴀᴋᴜᴋᴀɴɴʏᴀ?
ʜɪᴅᴜᴘ ᴍᴇᴍᴀɴɢ ʙᴜᴋᴀɴʟᴀʜ ʜɪᴛᴀᴍ ᴘᴜᴛɪʜ. ᴛᴇʀᴋᴀᴅᴀɴɢ ᴀʙᴜ-ᴀʙᴜ.
ᴅᴀɴ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴀᴅᴀ ꜱᴀʟᴀʜɴʏᴀ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇᴍɪɴᴛᴀ ᴘᴇʀᴛᴏʟᴏɴɢᴀɴ ꜱᴇʙᴇʟᴜᴍ ᴛᴇʀʟᴀᴍʙᴀᴛ. ᴀᴛᴀᴜ ꜱᴇᴋᴀᴅᴀʀ ᴛᴇᴍᴀɴ ᴜɴᴛᴜᴋ ʙᴇʀꜱᴀɴᴅᴀʀ.
ᴋᴀᴍɪ ᴘᴜɴ ᴛᴇʀʙᴜᴋᴀ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴅɪꜱᴋᴜꜱɪ. ᴛᴜᴊᴜᴀɴ ᴄᴇʀɪᴛᴀ ɪɴɪ ᴀᴅᴀ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇᴍɪᴄᴜ ᴅɪꜱᴋᴜꜱɪ.
ꜱᴀʟᴀᴍ,
ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ʏᴀɴɢ ᴘᴇᴅᴜʟɪ ᴘᴀᴅᴀᴍᴜ (ᴜɴᴛᴜᴋ ʜᴀʀɪ ɪɴɪ).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top