47: Malam Terkelam


'Yang fana adalah waktu. Kita abadi:

memungut detik demi detik,

merangkainya seperti bunga

sampai pada suatu hari

kita lupa untuk apa.

"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu.

Kita abadi.'

–Sapardi Djoko Damono–

Sebulan telah berlalu.

Belum ada kabar dari Tuan, kata para bayangan. Bila Ree tidak mengenal para bayangan lama, ia tidak akan menyadari sedikit nada sendu yang tersamarkan di perkataan mereka.

"Sekalipun ia ingkar janji, kalian dapat langsung saja pergi menyusulnya. Tidak perlu menemaniku sampai akhir," kata Ree dengan datar.

Ia pasti kembali, kata para bayangan. Ia sudah berjanji.

"Janji dapat diingkarkan."

Kami percaya.

Ree tertawa mencemooh mendengar itu. "Baru kali ini aku mendengar para bayangan memercayai sesuatu."

Gadis itu selesai membuat simpul pada sepatunya. Ia berdiri tegak menatap bulan yang bulat sempurna dari jendela besar di kamar. Sudah sebulan ini Ree lebih memilih untuk tinggal bersama Kinara. Selain karena mereka sama-sama perempuan sehingga Ree dapat meminjam pakaiannya, ia kini punya alasan untuk membatasi pertemuannya dengan Kairav. Semenjak malam itu, Kai selalu menemukannya setiap hari kemudian membawanya ke tempat-tempat yang indah dan tak terduga. Seringkali mereka lupa waktu ketika berdua saja. Di sinilah Kinara, sebagai teman sekamar yang baik, akan selalu mencari mereka dan mengingatkan mereka untuk juga mengikuti acara-acara rakyat dan membaur dengan yang lain.

Malam ini akan menjadi malam terakhir Ree melihat bulan purnama, langit malam, dan para bintang yang bertabur.

Tuan percaya padamu, kata para bayangan, percaya bahwa kau bisa.

"Bisa apa?" tanya Ree.

Suara ketukan pintu mengambil kesempatan para bayangan untuk menjawab. "Ree?" Nada Kinara naik di akhir, setengah ragu dan setengah sedih dari balik pintu. Singkatnya, ia ingin memastikan Ree baik-baik saja. Atau memastikan Ree belum kabur.

"Ya," jawab Ree, "Sebentar. Hanya ingin mengucapkan selamat tinggal pada kamar ini."

Dengan kalimat itu, sudah pasti Kinara akan mundur. Kalimat itu aada benarnya; Ree sedang mengucapkan selamat tinggal. Malam ini akan menjadi malam terakhir ia melihat kediaman Kinara.

Ree mengambil jubahnya dan bergerak menuju pintu. Kemudian ia mengangguk pada Kinara dengan tenang.

"Aku siap," kata Ree, "Ayo."

Ketika Ree hendak melangkah, Kinara menggenggam tangannya. "Aku tidak," Kinara mengaku. Pandangannya mengarah ke lantai, menghindari tatapan Ree. Kedua tangannya gemetar. "Tidak adakah jalan lain?"

Ree memastikan tidak ada orang lain di depan jalanan. Lalu ia berbisik. "Kalau saja Andromeda kembali, semuanya bisa berbeda."

"Tapi dia tidak kembali," bisik Kinara.

"Tidak."

Ada alasan lain mengapa sebulan ini ia memilih tinggal bersama Kinara.

"Apa kau ingat rencana kita, Kinara?" bisik Ree, "Untuk menyelamatkan Kai?"

Genggaman Kinara pada lengan Ree mengencang. "Aku memutar rencana itu berulang-ulang di kepalaku. Mercurio akan membantuku. Tapi ... tapi ...."

"Kalau kau mau mundur, mundurlah sekarang," kata Ree dengan lirih. Nadanya mulus dan tajam. "Tapi aku tetap akan melakukannya."

Akhirnya Kinara menghela napas panjang. Kemudian menatap mata kelam Ree. "Aku akan melakukannya. Untukmu. Kai akan membenciku setelah ini. Sial, Dale akan membunuhku habis ini."

"Setidaknya Kairav akan hidup," balas Ree, "dan perang ini akan mendistraksinya hingga ... waktu menyembuhkan lukanya kembali. Selama apapun itu."

Kinara menelan ludahnya kasar. "Kau siap melakukannya?" tanyanya lagi pada Ree.

Malam ini adalah malam terakhir Ree akan berbohong. Pada orang lain dan pada dirinya sendiri.

"Ya."

Keduanya mengangguk dan mulai berjalan dalam selubung kegelapan malam menuju titik pertemuan di luar gerbang Lembah Penyihir Putih. Para pemimpin Aliansi sepakat untuk melakukan ritual ini di luar kota, jauh dari para rakyat yang rentan. Para pemimpin siap dengan kesatria pilihan, dengan senjata kesayangan, dan dengan magis yang mereka miliki. Mereka sepakat untuk meminimalisir partisipan ritual; sehingga bila situasi tidak berjalan sesuai rencana, mereka telah meminimalisir korban. Serta akan masih ada kesatria yang dapat mengamankan kota.

Kau tidak pernah siap untuk takdir ini, kata para bayangan yang lebih mengenalnya. Kau selalu takut. Tapi kau harus menghadapinya pula.

'Bila demikian, 'siap' hanyalah sebuah impian karena tidak akan ada yang benar-benar siap melakukan sesuatu,' kata Ree pada para bayangan.

Itulah yang membedakan para pemberani dari para pengecut.

Untuksesaat, hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Hingga Ree dan Kinara bertemudengan Mercurio di gerbang kota. Mereka semua mengangguk padanya, setuju akanrencananya. Kemudian bersama, mereka melanjutkan berjalan ke titik pertemuan. MeskiRee berjalan dengan langkah yang lebih lambat sehingga cukup tertinggal dibelakang. Selain dari mereka bertiga, tidak ada yang tahumengenai rencana ini. Bahkan tidak Kai yang berbagi tautan jiwa dengan Reekarena Ree dengan tekun menjaga rahasia ini setiap kali di sekitar Kai.

Ree tahu ia sudah telat. Namun ia tidak mau berlari atau menggunakan kekuatan bayangannya. Ia ingin merasakan untuk terakhir kali; tiupan angin, suara jangkrik yang berlomba satu sama lain, dan sentuhan dedaunan pada kulitnya.

Tuan percaya kau bisa, kata para bayangan.

"Lagi-lagi kalimat itu," kata Ree, "Apa maksud Tuanmu itu?"

Kau bisa, Ree, kata mereka tanpa benar-benar menjawab Ree, Kau bisa.

"Ya, aku bisa menyelamatkan dunia," katanya pada langit malam. Ia membentangkan kedua tangan ketika berkata, "Ya, aku bisa menyelamatkan Kai." Sejujurnya ia tidak begitu tahu mengapa para bayangan terus berkata satu hal yang sama, tetapi ia memilih untuk mendoakan kalimat itu ada benarnya.

Kau bisa, Ree, kata para bayangan, Kau adalah dalang dari takdirmu sendiri.

Titik pertemuan itu agak jauh dari Lembah Penyihir Putih, lebih jauh dari tempat Ree melihat naga putih, tetapi tidak sejauh tempat-tempat yang Kai tunjukkan padanya. Ketika ia sampai di sebuah dataran luas di tengah hutan, Ree melihat bahwa semua orang telah berkumpul. Semua orang menunggunya.

Sebuah lingkaran dengan siluet bintang dan berbagai simbol lain di sekelilingnya terbuat dari garam di tanah. Lingkaran itu besar. Dan ketika Penyihir Putih menyentuhkan ujung kepala tongkatnya pada tanah, lingkaran itu menyala dalam kegelapan. Sebuah garis-garis abstrak berwarna emas muncul dari semua sudut lingkaran dan menyatu di udara membentuk suatu kubah besar.

"Kerangkeng," kata Penyihir Putih ketika menangkap tatapan Ree. Dari ukuran lingkaran dan kubah emas, Ree menyadari bahwa kerangkeng itu ditujukan untuk memerangkap seekor naga besar.

Di tengah lingkaran, Kai duduk bersila. Ia memakai kemeja putih yang longgar dan celana hitam. Rambut merahnya seperti baru saja keramas karena Ree masih dapat melihat bulir-bulir air. Ketika mata mereka bertemu, banyak sekali kata-kata yang mendesak ingin keluar tetapi Ree tahu bila ia mengeluarkan satu kata saja maka kakinya akan bergoyang dan ia akan mencoba berlari dari takdir ini lagi. Apalagi ketika Kai tersenyum lembut padanya seolah mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

Ia ... tidak boleh lagi berlari.

Ia harus menghadapinya.

Kau bisa, Ree, kata para bayangan, kami percaya padamu. Suara mereka terdengar begitu jauh seakan mereka sedang tenggelam.

Menghembuskan napas panjang, Ree berusaha menenangkan getiran pahit hatinya. Ia harus melalui malam terkelam ini; malam terakhirnya.

"Kau siap, Tuan Putri?" tanya Adipati Galih di samping kanan Ree. "Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu sebelum ...." 

Pria itu tidak pernah bisa menyelesaikan kalimatnya. Namun kedua tangannya terangkat dan meletakkan sebuah mahkota emas yang sederhana tetapi cantik. Sebuah kristal berwarna putih tersemat di tengah. Begitu mahkota itu menyentuh kulit Ree, kristal bercahaya begitu terang. Sama seperti tatkala Ree menenangkan rusa bermahkota berlian di malam ia menjadi Prajurit Bayangan.

"Memang tidak salah," kata Adipati, "Kau lah Janya yang selalu ditunggu." Pria itu bertekuk satu lutut di hadapan Ree, diikuti oleh para kesatria Judistia yang ia bawa.

Ree tahu Sang Adipati tidak perlu melakukan ini. Namun karena ini adalah malam terakhirnya, Ree akan menerima mahkota ini dengan dagu terangkat. Ia akan menerima jabatannya yang telah direnggut paksa darinya. Ia akan mengenakan beban itu sebagai dekorasi meriah di pundaknya.

Bila ia harus mati hari ini, ia akan menantang maut dengan mahkota di kepala dan pundak yang tegar.

Para pemimpin Aliansi lain hanya termenung di tempat mereka masing-masing di luar lingkaran. Kecuali Mei Li yang menatap lurus pada Ree di balik tubuh suaminya.

Ia teringat akan anaknya, kata para bayangan.

'Sudah selayaknya,' balas Ree dalam hati, 'Anaknya luar biasa.'

Kemudian Ree memasuki lingkaran itu. Ia mengangguk pelan kepada para pemimpin Aliansi lain. Lalu menahan tatapan Anielle. Di balik topeng putihnya, Ree tidak tahu apa ekspresi Anielle.

Apakah teman lamanya akan sedih ketika Ree pergi?

Apakah dia akan senang ketika memenangkan permainan pada akhirnya?

"Hei," sapa Kai, masih dalam keadaan bersimpuh di atas rumput.

Ree berhenti hanya dua langkah di depan Kai. Sekuat tenaga ia menahan getaran di tenggorokkannya. "Hei," balasnya.

"Kau membawa pisau itu," kata Kai. Matanya melirik pisau yang tersematkan pada sabuk Ree. Tentu saja pisau itu akan mencolok. Itu adalah pisau legendaris yang Ree menangkan di Turnamen Mentari. Pisau yang membuat Ree dan Kai sparring bersama pertama kali.

Ree mengangkat pisau itu, menyentuh bilah gadingnya yang begitu tajam dan kokoh. Warna gading bersinar di bawah temaram rembulan. Para bayangan seakan berseru girang ketika Ree memegang pisau penuh magis ini.

"Kau siap?" tanya Kai.

Ree melihat semua orang sudah bersiap di luar lingkaran. Mereka siap untuk membunuh Dewi Kara begitu Ree berubah menjadi wujud dewi itu. Atau setidaknya mereka siap untuk mengurung apapun yang muncul nantinya dalam kerangkeng milik Penyihir Putih. Meski mereka semua tahu bahwa bila Dewi Kara sekuat yang mereka kira, akan sangat sulit untuk mengalahkannya.

Kau bisa, Ree, para bayangan masih terus berkata. Bisikan mereka begitu tipis dan redup.

"Begitu kau selesai membacakan rapalan, tusuk korbanmu dan biarkan kami mengurus sisanya," kata Adipati Galih.

Kata 'korbanmu' membuat Ree meringis. Ia menghela napas. Kemudian menatap Kai lekat-lekat. "Kau yakin?"

Kai mengangguk. "Tusuk keras di jantungku. Begitu dalam sehingga aku tidak sempat tersedak dan merasakan sakit. Dengan begitu kau tidak perlu melihatku begitu sengsara."

"Kalau kau ingin berhenti sekarang, aku akan berhenti," kata Ree. Meski suaranya terdengar lebih seperti pintaan.

Pria abadi itu menggeleng. "Lakukan," katanya, "Kita hadapi bersama."

Kau bisa, Ree.

"Bi–bisakah..." Ree butuh sesaat untuk membersihkan tenggorokkannya dari tangisan yang menggumpal perih, "BIsakah kau yang merapalkan kalimat itu, Anielle? Tolong."

Anielle mengangguk.

Kau bisa, Ree. Kau bisa.

'Bisa apa?'

Begitu Anielle memulai kalimat yang begitu Ree benci, Kai menutup matanya. Untuk pria yang akan dibunuh, ia terlihat sangat tenang. Melihatnya demikian menusuk hati Ree.

Gadis itu melangkah mendekati Kai. Kemudian memosisikan bilah gadingnya pada dada Kai. Ia hanya perlu menekannya sedikit saja dan ia akan sudah menembus kulit. Sedikit saja.

"...kami persembahkan padamu..." begitu kalimat itu terucap, rasa terbakar muncul di bagian dalam pergelangan tangan Ree. Pisau magis itu ikut bersinar karena merasakan magis yang begitu kuat. Begitu juga lingkaran besar yang terbuat dari garam bersinar hingga terlihat terbuat dari berlian.

Tangan Kai tiba-tiba menangkup tangan Ree yang menggenggam pisau. Rasanya begitu hangat dan ... nyaman. "Jangan takut, Ree," kata Kai, "Jangan merasa bersalah juga."

Kalimatnya hanya membuat tangan Ree lebih gemetar.

Kau bisa. Kau bisa. Kau bisa.

'Bisa apa? Jawab aku!'

Seluruh tubuh Kai bersinar tanda alam sudah menandainya sebagai korban kontrak. Meski demikian, pria itu ... pria abadi yang berengsek ini ... masih berani-beraninya mencoba menenangkan Ree dengan berkata, "Tidak apa-apa, Ree."

"Bodoh," kata Ree lirih.

***

Kairav tersenyum. Di tengah-tengah kepahitan situasi mereka, ia masih dapat tersenyum. Namun ketika ia membuka matanya ... bukanlah sepasang mata gelap kelam yang memandangnya.

Ketika Anielle menyebutkan, "Dewi Kara," kata terakhir dari rapalan dan awal dari pengorbanan, Kai mendengar suara tusukan. Begitu renyah dan dalam. Seakan Ree menggunakan seluruh kekuatannya untuk menembus daging dan tulang, untuk menciptakan kematian yang instan.

Kai berkedip. Kemudian melirik ke bawah.

Tidak ada darah. Tidak ada pisau. Tidak ada Ree. Bayangan di bawahnya terlihat lebih gelap dari biasanya.

Pria itu mengangkat kepala. Matanya membelalak, begitu juga mata semua pemimpin Aliansi yang hadir.

Di tengah lingkaran yang bersinar, bukanlah Ree dengan Kai sebagai korban yang terlihat. Namun Ree dan Anielle.

Ree telah menusuk dada Anielle hingga pangkal pisau tidak terlihat.

Kendati demikian Anielle tidak terlihat terkejut. Anielle melepas topengnya dan wajahnya seakan sudah kembali sempurna. Kulitnya mulus, matanya besar, rambut putihnya kembali menjadi merah muda, garis hidung dan bibirnya manis. Ia kembali cantik. Dan untuk sesaat, hanya sepersekian detik, Kai melihat Anielle tersenyum tulus dalam balutan sinar yang hangat. Seakan Anielle tahu Ree sudah merencanakan ini. 

Begitu Kairav sadar bahwa Ree telah menggunakan bayangan untuk menukar posisi Anielle dan Kai, semuanya sudah terlambat.

Sebuah ledakan angin membentang luas dan begitu dasyat dari pisau yang digenggam Ree. Kemudian tubuh Anielle pecah menjadi kepingan emas berdebu dan merasuki kulit Ree.

Berikutnya, neraka menghampiri malam itu ditemani suara teriakan Ree yang parau.

Tubuh Kairav bergerak sendirinya, seperti insting. Ia harus menyelamatkan tautan jiwanya. Namun baru saja ia menapak satu langkah, tubuhnya dijegal oleh Kinara. Ia melawan berat tubuh pejuang wanita itu. Bagaimanapun ia harus menyelamatkan Ree; menyelamatkan gadis yang sudah terlalu sering terluka dan kini sedang terluka lagi.

"Ree!" panggilnya. "Jangan lakukan ini! Kumohon! Jangan!"

Lagi-lagi tubuhnya dijegal oleh orang lain ketika ia baru saja menghempaskan tubuh Kinara begitu keras dan hendak berjalan. Mercurio menabraknya dengan kecepatan tinggi, membuatnya tersungkur keras di tanah. Tetap saja, ia berusaha bangkit.

"Ree! Ree!"

Di samping Kai, Dale meneriakkan nama Anielle dan berusaha memasuki lingkaran pula. Namun Kinara dengan cepat memukul belakang leher Dale begitu keras sehingga pria itu tersungkur ke tanah. 

Hanya teriakan nyaring yang terdengar dari dalam lingkaran. Tubuh Ree telah tertekuk dua dengan sudut yang aneh sementara tubuh Anielle sudah tiada. Tiga sinar muncul dari pergelangan tangan Ree, Dan ketika gadis itu membuka mata, cahaya dan kegelapan meledak di saat yang sama.

Bila bukan karena kerangkeng kasat mata yang telah dibuat Penyihir Putih, ledakan itu tentu saja sudah akan membumihanguskan semua yang hidup. Namun karena magis pertahanan itu, mereka hanya merasakan angin yang begitu kencang hingga memekakkan telinga. Semua orang di sekitar lingkaran terjatuh, kehilangan keseimbangan.

Setelah cahaya dan kegelapan, muncullah asap dan kabut ditemani halilintar. Debu-debu emas menghiasi abu-abu yang kelam.

Dari kabut, muncullah raungan yang begitu keras. 

Suaranya terdengar begitu ... marah, begitu primitif, dan begitu sengsara. Suaranya menusuk hingga ke tulang.

Suara itu bukan lagi teriakan seorang gadis, melainkan raungan seekor naga yang sudah menyimpan kemarahan abadi.

***

Kau bisa, Ree. Kau bisa.

Suara mereka masih terlalu jauh. Hanya bisikan. Hanya berupa bayangan.

"Apa?" tanya Ree pada kegelapan, "Di mana kalian?"

Ree tidak dapat merasakan para bayangan di bawah kakinya. Ah, benar juga. Ia baru ingat bahwa ia mengirim mereka untuk menukar posisi Anielle dan Kai. 

Kau bisa, Ree.

Apakah mungkin mereka telah kembali ke dalam lingkaran? Ah, untuk apa Ree mengharapkan kehadiran mereka?

Ree sudah terbiasa sendiri. Menderita sendiri tanpa ada yang tahu. Ia terbiasa ditemani kegelapan yang dingin.

Apakah rencana mereka sudah berhasil?

Ah, untuk apa ia memusingkan kelanjutan rencana atau keselamatan dunia? Bagiannya sudah ia jalankan. Takdirnya sudah ia penuhi. Dan ia sudah berhasil menyelamatkan Kai.

Jadi apa yang tersisa kini untuk Ree?

Kegelapan. Kesendirian.

Sudah biasa.

Tidak masalah.

Kau bisa Ree.

"Bayangan?" ia tidak dapat menahan rasa penasaran karena terus saja mendengar bisikan itu.

Kau adalah dalang di balik takdirmu sendiri.

"Di mana kalian?"

Hanya kegelapan yang tanpa ujung yang membalasnya. 



–Bersambung–

Mati

atau tidak mati.

Apa bedanya?


Salam,

para bayangan yang masih jauh.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top