46: Tenang Sebelum Badai

Lagu:

Ree

Lembah Penyihir Putih


Sudah seminggu semenjak malam Andromeda dan Anielle mengunjungi kediaman Kairav. Sudah tujuh malam semenjak Kairav ditetapkan sebagai korban ketiga. Pria bodoh itu tidak memedulikan air mata Ree, tidak pula menggubris pinta Ree agar menarik kembali kata-katanya.

"Anielle dibutuhkan untuk memimpin Aliansi melawan Jagrav begitu Kara telah terbunuh," jelas Kairav malam itu, "Jagrav masih memiliki pasukan besar dan pelindung ibukota yang transparan. Aliansi harus semakin bersatu untuk menuntaskan akar dari semua kejahatan. Kehilangan Anielle hanya akan mencerai berai sedikit kebaikan yang sudah kalian tunai di dunia."

Tch. Mengingatnya saja membuat darah Ree mendidih. Memangnya ia pikir Ree tidak berpikir sampai situ? Ree tahu apa artinya bila Anielle yang dikorbankan. Di kondisi sekarang dimana Adipati Galih membencinya sementara di sisi lain terdapat Rangga yang berusaha merevolusi Judistia, Ree sudah pasti tidak akan bisa mengisi kekosongan Penyihir Putih. Kenaikannya menjadi pemimpin hanya akan mengundang pertanyaan. Lagipula Ree tidak pernah ingin memimpin, meski seharusnya itu adalah hak kebangsawanannya.

Kau bahkan belum mencoba, kata para bayangan. Banyak orang merasakan kekuasaan dan tercandu dengannya.

Tepat seperti kata-katanya, Andromeda meninggalkan para bayangan untuk Ree sementara penguasa kontinen lain itu menggunakan magis teleportasi Anielle untuk pulang ke tanah asalnya dalam waktu singkat. Tentu kepergiannya membawa banyak sekali tanda tanya di meja Aliansi. Alhasil, Andromeda diberikan tenggat waktu sebulan untuk memberi kabar kepada Aliansi. Bila dalam waktu sebulan tiada kabar, Aliansi tidak punya pilihan selain menyatakan perang pada Judistia dengan prediksi kemenangan yang hampir nihil. Namun mereka sudah tidak dapat menunggu karena semakin hari pasukan Jagrav menjadi semakin kuat.

Meski sampai sekarang mereka masih belum mengetahui apa gunanya kalung besi yang Jagrav semakin giat produksi belakangan.

Satu bulan.

Itu jugalah tenggat waktu bagi Ree untuk menyatakan kesiapannya meminta kontrak ketiga dari Kara. Dewi sialan itu tidak akan bisa menolak karena hukum alam, apalagi dengan bayaran yang begitu istimewa. Ree akan dapat mengambil wujud asli Kara dan akhirnya Si Sialan itu akan mati. Sistem kontrak terhapuskan, waktu kembali berjalan, dan kontinen Pallaea diselamatkan.

Namun bagaimana mungkin Ree dapat siap?

Bahkan Adipati Galih yang membencinya hanya menatap Ree dalam diam ketika Anielle menyatakan rencana itu. Ree sendiri bergeming, mematung dengan bisu.

Semenjak itu, Ree selalu menghindari Kairav. Ia pun meminta untuk tinggal di kediaman Kinara. Meski pada akhirnya, setiap malam gadis itu akan menerjang hutan dan berusaha menenangkan diri dengan angin malam.

Keluarganya. Kru Bayangan. Andreas.

Kini Kairav?

Apa yang akan tersisa di dunia ini baginya bila ia harus mengorbankan semua? Beda cerita bila ia memang ingin mengorbankan semua orang demi kekuatan atau demi menjadi pahlawan, seperti Jagrav, atau Andreas. Namun tidak ada satu pun ambisi di darah dan tulang Ree. Tidak ada percikan di jiwanya.

Keinginannya dari dulu hanyalah satu; lepas dari takdir yang mencekiknya. Lalu ketika ia sadar hal itu tidak bisa terjadi, ia ingin membengkokkan takdir agar ia dapat hidup tenang.

Yah ... keinginan itu tidak akan terwujud pula.

Kakinya tersandung sebuah ranting karena tidak berhati-hati. Belum sempat tubuhnya jatuh ke lantai hutan, sebuah tangan menangkap tubuhnya. Ree langsung tahu siapa penangkapnya dan mendorong pria itu dengan segenap kekuatan. Begitu tangannya menyentuh kulit Kai, sebuah percikan berwarna biru menyala dan menjalar dari kulit Kai ke kulit Ree. Seakan magis Kai menyambut Ree dengan singkat.

"Sampai kapan kau akan bungkam kepadaku, Ree?" tanya Kai. Entah bagaimana, pria itu selalu saja dapat menemukan Ree. Tiada pelosok di Lembah Penyihir Putih di mana Ree dapat bersembunyi karena tautan di antara jiwa mereka akan selalu menemukan satu sama lain.

Ree tidak sudi menjawab pria abadi itu.

Suara Ree meninggi, "Sampai kau berhenti menjadi orang bodoh dan berhenti berusaha menjadi pahlawan–"

"Tidak pernah terpikir untukku menjadi pahlawan, kau tahu itu," perkataan Kai memotong Ree, "Tapi kini setidaknya aku tahu apa yang istriku dulu pikirkan."

Ree berkedip.

"Dulu, sepertimu berpikir aku bodoh, kupikir istriku bodoh karena mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan dunia," kata Kai pelan, "tapi kini aku mengerti bahwa dia lebih takut menghadapi dunia tanpa diriku. Seperti aku sekarang; takut dengan dunia tanpamu."

Ia jujur, kata bayangan.

Di waktu lain, mungkin pipi Ree akan bersemu merah dan menjadi salah tingkah. Atau mungkin dia akan menangis terharu.

Namun di saat ini, ia hanya merasa perih. Perih yang begitu dalam hingga ke tulangnya. Perih yang tidak bersumber. Perih yang akan selalu tinggal bersamanya.

"Kau mending mati bersamaku daripada aku mengorbankan Anielle kemudian dibunuh setelah menjelma menjadi Kara?" tanya Ree dengan suara bergetar.

Pria abadi ini berani-beraninya tersenyum manis di saat seperti ini. "Semacam," katanya.

Ree mendengkus lirih. "Itu sama sekali tidak romantis."

"Memang tidak," kata Kai, "Itu adalah tindakan pengecut. Tapi mau bagaimana lagi. Itulah dorongan hatiku yang terdalam."

Malam itu bulan purnama bersinar tanpa celah, menerangi dua insan. Seorang dikekang keabadian dan seorang dikekang takdir. Keduanya telah ditunggu oleh kematian.

Namun untuk malam ini, mereka hidup.

Pundak Ree terkulai lemah, mata Ree sudah tidak bisa lagi menumpahkan kesedihannya. Ia meraih tangan Kai dan menautkan jemari mereka bersama.

"Aku juga adalah pecundang," kata Ree dengan lirih, "Aku juga takut menghadapi dunia tanpa dirimu."

"Benarkah?" Kai mengangkat alisnya. "Bagaimana dengan Pangeran Pemberontak? Biasanya teman masa kecil memiliki tempat spesial di hati, bukan?"

Ah, tanda-tanda orang cemburu, para bayangan berkomentar.

"Apa kau cemburu di Turnamen Mentari?" tanya Ree.

"Ya."

Jawaban Kai membuat mata Ree membelalakkan mata. "Huh?"

"Kurasa aku sudah mencintaimu semenjak aku pertama kali melihatmu di arena Turnamen Mentari. Melihatmu bertarung sembari menolong orang lain," Kai mengaku, "Awalnya aku berusaha menolak tetapi tidak berhasil. Lalu aku berusaha menyimpannya karena berpikir tempat dan waktunya salah. Kini, aku rasa tidak pernah ada waktu dan tempat yang salah. Hanya ada apakah aku punya nyali untuk tetap mengejar perasaan itu atau tidak."

Hii... Kami tidak kuat dengan kemanisan ini. Kami akan pura-pura tuli.

"Ada keuntungan dari mengetahui tenggat waktu hidup kita, Tuan Putri," kata Kai. Ia membawa punggung tangan Ree mendekati bibirnya. "Kita bisa mencoba menjalaninya selama dunia mengizinkan kita. Kau mendiamkanku selama seminggu lamanya. Kini kita hanya punya tiga minggu sebelum ritual permintaan kontrak ketiga."

Mata hijau Kai menatap mata hitam Ree ketika ia mengecup tangan Ree. Hijau, seperti warna dedaunan di hutan. Hitam, seperti langit malam. Kedua mata mereka adalah sebuah lukisan momen yang hanya akan dimengerti oleh keduanya.

Deburan angin malam menjadi musik dan taburan bintang di langit menjadi saksi.

"Maukah kau mencoba berbahagia bersamaku hingga akhir waktu kita?" tanya Kai tulus.

"Bodoh," jawab Ree.

Kemudian gadis itu masuk ke dalam dekapan Kai. Percikan biru itu kembali muncul. Ree dapat merasakan seluruh magis yang Kai punya. Rasanya begitu menyegarkan dan sejuk.

Malam itu menjadi milik mereka berdua.

Hari-hari berikutnya, Kai menggiring Ree ke pelosok Lembah Penyihir Putih, bertemu dengan orang-orang baru, atau bahkan hanya berjalan santai di pasar kota. Kai juga merencanakan sebuah perkumpulan kecil dengan Kinara, Dale, dan Mercurio. Mereka minum di bar, menyanyi, dan menari bersama.

Awalnya Ree merasa canggung untuk membuka diri. Namun dengan dorongan Kai, juga karena waktu mereka akan habis pada akhirnya, kenapa tidak?

Putri Pertama untuk pertama kalinya menari dan bernyanyi, membaur dengan rakyat. Tidak hanya itu, kesempatan ini juga Ree gunakan untuk berbicara dengan para rakyat Judistia. Ree sebenarnya tidak tahu apa yang ia harapkan, tetapi ia hanya ingin mendengarkan dan didengarkan sehingga tatkala ia harus pergi, sedikit beban sudah terangkat dari pundaknya. Dari pembicaraan itu, ia jadi tahu bahwa Adipati Galih ternyata kehilangan anaknya demi membawa beberapa rakyatnya keluar dari cengkeraman Jagrav. Bahwa selama bertahun-tahun lamanya, Adipati Galih tidak pernah berhenti mengedepankan rakyatnya.

Pada suatu malam ketika Ree berkumpul bersama Kai dan yang lain di bar, ia menangkap pandangan Adipati Galih. Pria tengah baya itu membawa satu gelas bir dan satu gelas susu panas.

"Bicara denganku sebentar?" tanyanya.

Ree mengangkat alis. "Susu hangat? Kau serius?"

Adipati Galih mendelikkan bahunya. Kemudian mulai melangkah menuju kursi panjang di bawah pohon oak dekat pasar kota. Ree mengikuti.

Kepulan asap susu hangat di tangan Ree terlihat menggoda. Namun ia urungkan niat untuk meminum sampai Adipati Galih mengatakan keperluannya.

"Sudah lewat tiga minggu," katanya. Ia membicarakan tenggat waktu menerima kabar dari Andromeda. Juga tenggat waktu sampai dilaksanakannya rencana mereka. Mereka hanya punya waktu seminggu lagi.

"Aku tahu."

Untuk beberapa saat mereka berdua terdiam dalam kecanggungan. Sementara para bayangan membaca bayangan Adipati.

Penyesalan. Kesedihan. Kekaguman, kata mereka, Ia diam-diam kagum padamu, Tuan Putri.

"Aku minta maaf," kata Adipati akhirnya.

Ree berkedip sekali. Kemudian ia meneguk pelan susu hangatnya. Keheningan di antara mereka mengatakan lebih banyak dari yang mereka bisa.

"Aku juga," balas Ree.

"Belakangan aku berpikir ulang mengenai dirimu," Adipati Galih mengakui setelah menegak birnya, "Begitu juga semua orang di lembah ini. Mereka semua tahu pengorbanan yang akan kau dan pria abadi itu lakukan. Dan kami semua terkesima karena kau tidak berlari, kau memilih tinggal, bahkan menyempatkan diri untuk mengenal rakyat."

Ree berkata tajam tetapi lirih, "Aku bukan lagi gadis kecil yang hanya bisa menangis dan berlari."

Ia menangkap pandangan Adipati Galih yang dalam. Sebuah rautan bersalah muncul di keningnya. "Aku salah telah menyalahkanmu karena tidak pernah kembali ke Judistia. Kukira kau tidak pernah memikirkan rakyat. Namun, kau hanyalah anak kecil waktu itu."

Ree berkedip.

"Kau tahu, para rakyat mulai mendoakanmu belakangan. Mereka berdoa kau dapat selamat setelah kami membunuh Kara, lalu kau akan duduk di takhta yang seharusnya menjadi hak milikmu," kata Adipati Galih dengan senyuman pahit, "Kau telah menggiring opini rakyat ke arahmu."

"Aku tidak bermaksud–"

"Aku pun juga berpikir," Adipati Galih memotong Ree, "Bahwa kau berhak kembali sebagai pemimpin Judistia."

Kata-kata Adipati Galih membuat Ree membulatkan mata. Namun kemudian Ree menggelengkan kepalanya.

"Tidak, Adipati," kata Ree, "Mereka tidak butuh diriku yang sudah sebelas tahun berada di luar Judistia, tidak tahu dasar politik dan militer, serta memiliki kecenderungan pemikiran nihilistik."

Adipati Galih terkekeh mendengar itu. Begitu pula Ree. "Hei, setidaknya kau bisa bercanda sekarang," kata Adipati yang mengundang tawa kecil dari keduanya.

Ree melanjutkan dengan serius, "Mereka hanya butuh cerita. Mereka butuh legenda. Sebuah simbol yang dapat mempersatukan mereka. Tapi untuk pemimpin Judistia?"

Ree menangkap pandangan Adipati. "Judistia akan butuh pemimpin yang tahu seluk beluk terdalamnya. Tahu apa kesalahan regimen Janya dan siap memperbaikinya di regimen yang lebih baik. Seorang pemimpin yang telah berjasa, bahkan sampai kehilangan orang yang dicintainya demi menjaga rakyat."

Mata Adipati saat itu berbinar.

"Aku telah salah menilaimu, Putri," katanya tulus. "Simbol yang dipilih rakyat bukanlah sembarang orang. Kau memang pribadi yang luar biasa."

"Bila ada saatnya takdir berkata berbeda dan kau berubah pikiran," lanjut Adipati, "Aku akan dengan senang hati menjadi kekuatanmu di Judistia."

Ree tersenyum. "Takdirku sudah ditentukan. Seberapa kencang aku berlari, ia terus mengejarku. Hingga Si Bodoh membuatku menerima takdir itu sementara menikmati waktu yang ada."

"Itu bijak menurutku," kata Adipati.

Lalu Adipati mengangkat gelasnya dan menambahkan, "Kau memiliki senyuman ibumu."

Hal itu membuat Ree semakin tersenyum lebar. Sudah lama rasanya ia merasa begitu hangat dan tentram di dada. Ia tahu semuanya begitu bobrok dan kelam. Namun kini ia tidak sendiri. Jadi segalanya terasa lebih ringan.

Ia dapat bernapas lega. 

Ya, bernapaslah selega mungkin selama kau bisa.



–Bersambung–

Halo, maaf banget banget lagi lama banget updatenya

Sejujurnya aku writer's block dengan cerita ini. Plus sibuk dengan kuliah tapi juga merasa buntu karena sempat merasa cringe pas baca ulang bab-bab pertama Turnamen Mentari wkwk

Tapi habis ini bakal update tiap jumat yaa sampai ga bisa lagi :((

Terima kasih kepada yang masih mau membaca. Terima kasih yang masih mau mengikuti. 

Ceritanya harusnya dalam 15-an episode lagi selesai kalau aku ga belok HAHA

--------

Kami hanya bisa menangis di kegelapan

TT


Salam, para bayangan yang juga jenuh menunggu author.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top