45: Bayaran Untuk Hidup
Alia
Benteng Silmarilon
"Tanpa perlu berbasa-basi," kata Sultan Teamura, Penguasa Silmarilon. Beliau sudah datang di pagi-pagi buta dini hari di Benteng Diam. Menurutnya mengadakan pertemuan ini di Benteng Diam labih aman daripada mengadakannya di ibukota Silmarilon. Terlalu banyak mata-mata mengintai ibukota tetapi hampir tidak ada yang berani memasuki Benteng Diam mengetahui kru Pangeran Pemberontak bernaung di tempat ini. Para mata-mata manusia takut dengan para kontraktor.
Dia tidak memperhitungkan mata-mata yang juga kontraktor, pikir Alia.
"Mata-mata kita menemukan pergerakan di Judistia setelah sekian lama," lanjut pria berusia setengah baya dalam balutan sutra hitam. "Kita telah mengetahui bahwa Jagrav telah memproduksi banyak kalung besi. Baru kemarin ada mata-mata kami yang mendapatkan informasi penting setelah mencegat pesan seorang kesatria. Kalung besi itu akan digunakan Jagrav untuk membangun pasukannya. Informasi ini diperkuat dengan beberapa mata-mata lain mengatakan Jagrav telah memanggil para jenderalnya untuk mendiskusikan strategi perang."
Mata cokelat gelapnya begitu menusuk, alisnya tebal dan hidungnya mancung secara cantik. Ia terlihat begitu menawan di takhtanya.
"Pada surat yang sama, tertulis Jagrav akan menyerang Silmarilon sebagai target pertama. Lalu Lixi, Anatol, dan Andalas."
Semua orang di ruangan berseru. Ketakutan, kecemasan, keterkejutan. Bercampur menjadi satu paduan suara yang menggetarkan ruangan.
"Ya," suara Sang Sultan bergema di atas para paduan suara itu, "Jagrav berencana menaklukkan kontinen ini dalam satu kekuasaannya."
"Yang Mulia," panggil seorang perempuan buta yang tua. Ia mengenakan jubah kusut dan rambutnya seperti tidak pernah disisir. Sekilas, orang akan melihatnya sebagai gelandangan. Namun ketika melihat gelang emas di tangannya, mereka akan tahu bahwa ia adalah Putri Almahera, dan kakak tertua dari Sultan yang menguasai bagian timur Silmarilon. Dirinya disebut Yang Paling Bijak karena kata-katanya seringkali selalu bijak dan benar. Ia pun terkenal sangat dicintai oleh rakyatnya karena selalu mementingkaan kesejahteraan rakyat di atas dirinya sendiri. Mungkin penampilannya yang seperti gelandangan adalah bukti dari dedikasinya.
Sultan mengangguk kepada Putri Almahera untuk melanjutkan.
"Apakah tidak seharusnya kita menghubungi Putri Pertama? Ia bersama dengan Penyihir Putih. Mata-mataku pernah menemukan informasi bahwa Penyihir Putih telah membangun sebuah permukiman di sebuah lembah. Dan bahwa mereka juga membangun pasukan."
"Kita dapat bekerja sama, Yang Mulia," lanjut Putri Almahera, "Terutama, kita akan membutuhkan magis besar milik Putri Pertama dan para kontraktor yang bersekutu dengan Penyihir Putih. Kita tahu Jagrav telah bermain dengan kegelapan–"
"Itu adalah rumor, kakak," Sultan memotong Sang Putri, "Kita tidak pernah menemukan bukti bahwa Jagrav mengadakan perjanjian dengan iblis."
Seketika ruangan menjadi diam. Putri Almahera berdiri, punggungnya tegak. Meski wajahnya tidak sepenuhnya mengarah pada Sultan karena buta, Sang Sultan memandangnya hormat. Bukti bahwa kata-kata Sang Putri memang memiliki kekuatan di satu Silmarilon.
"Mungkin iblis itu menyamar menjadi entitas lain selama ini," katanya, suaranya mencekam. "Kita mengenal iblis sebagai sang penggoda, yang menarik manusia ke dalam pusaran kegelapan. Ia menjanjikan hadiah sebagai ganti bagian jiwa dari manusia."
"Tidakkah itu terdengar mirip dengan sesuatu?"
Hanya orang bodoh yang tidak akan menangkap bahwa Putri Almahera sedang membicarakan para dewa dan dewi yang memberikan kontrak pada manusia. Menurutnya, para dewa dan dewi itu, khususnya Kara, adalah iblis yang menyamar.
"Mungkin itulah kenapa, kami, rakyat Silmarilon, tidak pernah nyaman dengan adanya kontraktor di negara kami sendiri." Saat itu juga matanya yang menutup mengarah tepat pada Alia. Di atas tempat duduknya, Alia berkeringat dingin, berusaha mengingatkan dirinya sendiri bahwa Putri Almahera hanya mengetahui mengenai dirinya yang merupakan kontraktor.
Ia tidak mungkin tahu mengenai kalung besi di leherku, kan?
"Mungkin jauh di dalam diri kita, kita dapat mengenali iblis yang menyamar itu dan sudah menolak mereka."
Dengan nada lelah Sang Sultan berkata, "Lantas kenapa kau menyarankan kami bekerja sama dengan Putri Pertama? Bukankah dia sama-sama seorang kontraktor? Seorang yang kau bilang sebenarnya telah bekerja sama dengan iblis? Apakah menurutmu Pangeran Pemberontak dan para kru-nya juga telah bersepakat dengan para iblis?"
"Pangeran Pemberontak dan kru miliknya adalah mereka yang telah merasakan sentuhan iblis dan membangkang. Saya menghormati mereka dan kita memang memerlukan keahlian mereka. Namun Putri Pertama tidak bermain dengan iblis itu, Yang Mulia. Ia memiliki kekuatan magis alami."
"Di dalam dirinya telah mengalir magis kuno yang telah dikumpulkan di koloseum selama setengah milenia yang kita tahu ia serap sendiri ketika Turnamen Mentari. Itulah kenapa kita membutuhkannya. Hanya dia yang dapat menjatuhkan iblis itu sendiri."
Satu ruangan menjadi terdiam, merenungkan kata-kata dari Yang Paling Bijak.
Sultan mengarahkan pandangan kepada Rangga. Tanpa perlu kata-kata, Rangga sudah mengetahui pertanyaan Sang Sultan padanya.
"Kami tidak tahu ke mana Ree pergi bersama Sang Penyihir Putih," jawab Rangga, "Dan kami tidak tahu bagaimana cara untuk menghubunginya."
Sang Sultan kemudian mengarahkan pandangan kembali kepada Yang Paling Bijak. Meski tidak dapat melihat, Putri Almahera sudah berkata terlebih dahulu, "Mata-mataku itu hanya tahu tempat Penyihir Putih berada di antara lembah di perbatasan Andalas. Ketika ia mencoba mencari tempat itu secara pasti, ia tidak dapat menemukannya. Kemungkinan Penyihir Putih menyihir tempat itu agar tidak mudah ditemukan."
"Jadi?" Tatapan Sang Sultan menusuk. Gurat bibirnya mengarah ke bawah. Ia paling benci ketika seseorang memberikan solusi yang tidak dapat dilakukan.
Yang Paling Bijak pun akhirnya tunduk. Namun sesaat kemudian ia berkata, "Cobalah meraih Putri Pertama. Kalau kau, ia pasti mendengarkan." Kalimat itu ditujukan pada Rangga.
"Ultar bisa mencoba mencari markas mereka dengan magisnya," kata Rangga, "membawa pesanku untuk Ree."
Giliran Vadnya yang mendecih. Dipandangnya Rangga seperti seorang bocah yang masih ingusan. "Kau percaya pada mantan Pandawa itu?" tanyanya pada Rangga. Sorot mata Vadnya mengarah pada Ultar yang berdiri di belakang Danum, Bima, dan Lex. Ultar berdiri di samping Alia.
Tatapan Vadnya begitu pedas dan menghakimi. Banyak pejabat Silmarilon juga menatap Ultar dengan pandangan yang sama.
Tanpa satupun dari mereka ketahui, Alia menelan ludahnya kasar. Ia merasa tidak nyaman melihat semua tatapan itu meski tidak diarahkan padanya.
Karena sejujurnya ia lah yang layak dipandang seperti itu.
Ia adalah pengkhianat yang sebenarnya.
"Seseorang yang berkhianat begitu gampangnya pasti akan berkhianat kembali." Vadnya meludah dekat kaki Ultar. Dengan tenang, pria di samping Alia ini menahan tatapan Vadnya.
Namun Rangga lah yang mencuri perhatian satu ruangan detik berikutnya. Bahunya tegak, dan ia tidak menunduk. Suaranya pun mantap berkumandang. "Aku percaya padanya dan Ultar sudah membuktikan pada kalian berkali-kali bahwa ia layak dipercaya."
Alia sempat melihat mata Ultar membelalak sedikit mendengar ucapan Rangga.
"Ia akan membawa Putri Pertama bertemu dengan kita," janji Rangga.
"Dan bagaimana kau akan membuat Putri Pertama untuk ikut berperang bersama kita?" tanya Sang Sultan.
"Serahkan itu padaku," kata Rangga mantap. Alia sempat bingung dari mana keyakinan ini muncul karena beberapa detik sebelumnya Rangga terlihat ragu dapat mencapai Putri Pertama. Namun melihat Ultar menatap Rangga dengan mantap, Alia sadar bahwa Ultar akan melakukan apapun untuk membuktikan bahwa kepercayaan Rangga padanya bukanlah omong kosong belaka.
"Bagaimana dengan Lixi, Anatol, dan Andalas?" tanya Rangga. Ia sedikit meremas tangannya dengan cemas. "Apakah mereka akan berjalan bersama kita menuju Judistia?"
Vadnya menggelengkan kepala. "Mereka tidak bersedia."
Suara riuh kembali melanda ruangan itu. Beberapa orang memukul meja dan menggelengkan kepala tidak percaya.
"Tidakkah mereka tahu bahwa Jagrav juga menargetkan kerajaan mereka?" tanya Rangga.
"Mereka tahu," kata Sang Sultan, "tetapi mereka takut. Ketakutan itu seperti kebusukan pada sebuah buah yang ranum. Meski hanya setitik kecil, biasanya orang akan menghindari buah itu karena takut. Begitu ketakutan sudah mengakar, akan susah untuk mencabutnya secara sempurna."
"Jadi mereka hendak diam saja menunggu ajal?" tanya Vadnya.
Sang Sultan menatap ke lantai untuk pertama kalinya. Raut wajahnya begitu lesu. "Lixi bahkan berbicara soal bernegosiasi dengan Judistia. Mereka berpikir lebih baik bergabung dengan Judistia daripada kita. Sementara Anatol dan Andalas tetap diam."
Keheningan mengisi satu ruangan. Ini jelaslah berita yang sangat buruk. Mereka tidak punya pasukan lain selain Silmarilon dan Pangeran Pemberontak.
Mereka sendiri...
"Kita tidak punya pilihan lain untuk memanfaatkan taktik gerilya," kata Vadnya, "Kita memasuki Judistia sebagai pedagang, karavan sirkus, daan pengelana, hingga kita mengepung ibukota Judistia. Kita juga punya Maserati, sebuah mesin penembak yang belum pernah dilihat oleh dunia ini."
"Namun bagaimana kita akan menembus dinding pertahanan magis Ibukota Judistia?" tanya Putri Almahera. "Tidakkah sebaiknya kita menunggu kabar dari Putri Pertama? Hanya dia yang dapat membuka dinding pertahanan itu."
"Kita juga tidak dapat menunggu!" seru Vadnya, "Semakin lama kita membiarkan Judistia mengumpulkan pasukan, semakin jauh kita dari kemenangan dan kebebasan negeri kita. Kita harus menyergap Judistia ketika Jagrav tidak menduga."
"Betul. Kalian semua betul." Sang Sultan mengetuk jemarinya pada takhta besi. Suaranya dapat bergema mengisi satu ruangan karena semua orang menjadi hening. Kemudian ia akhirnya melirik Rangga, sebuah tatapan yang seakan bertanya; Bagaimana menurutmu?
Selayaknya seorang pangeran, Rangga berkata, "Beri Ultar tiga hari untuk membawa Putri Pertama kemari. Bila dalam tiga hari Putri Pertama belum datang pula, kita berangkat berbaris menuju Judistia. Perjalanan ke Judistia akan memakan waktu sekurang-kurangnya dua minggu. Aku yakin dalam waktu demikian Ultar dan Ree dapat menyusul kita."
Alia melihat Ultar menelan ludahnya kasar. Sementara telapak tangan Alia menjadi basah dengan keringat.
"Dan bila Ultar justru mengkhianati kita?" tanya Vadnya dengan sinis.
"Kau bisa potong lidahku yang telah mengatakan omong kosong karena mempercayai orang yang salah," Rangga berkata dengan menatap Ultar begitu lurus.
Bibir Vadnya mengulas senyuman tipis. "Aku akan menerima itu." Kemudian ia melihat ke arah Sang Sultan, yang juga mengangguk setuju.
Mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa mereka telah bersikap skeptis pada orang yang salah. Jauh dari yang mereka ketahui, Alia mengepalkan tinjunya begitu kuat. Ia pun menggigit bibir bawahnya hingga berdarah. Ia menggigit bibir berusaha menahan diri dari berteriak bahwa ia adalah pengkhianat yang sebenaarnya.
Ia adalah mata-mata Jagrav yang sebenarnya.
Terutama ketika Lex memutar kepalanya untuk menatap Alia. Tatapan Lex seakan menanyakan: apa kau baik-baik saja?
Saat itulah Alia merasakan keinginan yang begitu kuat untuk mengguncang jubah Lex, membuat pria itu berhenti menatapnya dengan begitu lembut... karena... karena ia tidak pantas menerimanya.
Alia ingin sekali meneriakkan kebenaran saat itu juga. Ingin sekali mengakhiri mimpi buruk yang tak kunjung usai ini.
Namun...
...benar kata Sultan. Ketakutan itu seperti kebusukan pada buah yang ranum. Begitu ketakutan sudah mengakar, tidak akan bisa dibersihkan dengan sempurna.
Alia sudah begitu busuk dengan ketakutan.
Ia tidak kuasa membalas senyuman Lex, dan ia tahu itu akan membuat Lex khawatir. Jadi sebelum pertahanannya goyah, begitu pertemuan hari itu dinyatakan selesai, Alia hampir berlari keluar dari ruangan dan menuju kamarnya.
Di hadapan cermin yang retak, ia memunculkan kalung besi di lehernya dan juga Raja Judistia dalam pantulan cermin. Ia ceritakan semua yang ia dengar dari pertemuan dan itu membawa senyuman terhibur pada wajah Jagrav.
"Begitu rupanya," kata Jagrav, "Kalau begitu aku akan mencegat semua pedagang, karavan sirkus, dan pengelana yang memiliki fitur Silmarilon sedikit pun."
"Kerja bagus," puji Jagrav padanya sebelum menghilang dari pantulan cermin.
Raja itu tidak pernah memujinya. Hanya pernah menyiksanya.
Begitu ia kembali sendiri dan kalung besi itu menghilang, ia menjatuhkan diri di lantai kamar mandi dan mengeluarkan air mata yang sedari tadi ia tahan.
Ia sangat busuk. Sangat kejam.
Tapi apakah salah bila ia masih ingin hidup?
Haruskah aku menyerah saja dan membunuh diriku?
Aku ingin... hidup...
Wajah Lex yang tersenyum muncul di benaknya. Namun tak lama, senyuman itu pudar. Tubuh Lex menjadi semakin pucat, deru napasnya menjadi semakin sulit. Hingga akhirnya Lex berhenti bernapas dan bergerak; menjadi mayat hidup di benak Alia.
Aku ingin hidup.
Tapi kenapa begitu menyakitkan bayaran yang harus kubayar?
–Bersambung–
Coba kau jawab pertanyaan itu
Apakah salah ingin tetap hidup...
meski bayarannya besar?
Lalu jawab ini lagi:
Apakah ada batasan di mana kita dapat berkata "Hey, aku tidak layak hidup."?
Jadi, teman-temanku yang sudah menunggu update lama,
Kasihanilah Alia.
Ia hanya ingin hidup, meski ia tahu bahwa bila ia melakukan hal yang "benar" dan kemungkinan besar terbunuh, dunia akan selamat.
Sementara Ree dulu ingin mati saja, tetapi terus dipaksa takdir untuk menyelamatkan dunia dengan terus hidup.
Mana penyiksaan yang lebih berat?
(senyum jahat)
Coba pikirkan.
Salam,
Para bayangan yang akan menyuruh Author update lagi minggu ini.
Author:
Guys guys... maaaf aku ternyata belum bisa double update weekend kemarin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top