43: Korban Ketiga
Lagu: Lovers Death oleh Ursine Vulpine
Ree
Lembah Penyihir Putih
Tidak pernah dalam seumur hidupnya, Ree mengira akan berada di situasi ini, akan berada di tengah dua pria saling menatap begitu intensnya. Yang satu adalah seorang legenda yang pernah menjadi Dewa di kontinen ini meski sudah dilupakan dari ingatan banyak orang, menatap dengan penuh kejenakaan. Sementara yang lain adalah seorang manusia abadi yang sudah hidup tiga ratusan tahun lamanya, menatap dengan penuh kejengkelan.
Ree bahkan sempat berpikir Kai sedang menatap Wiseman seakan memikirkan berbagai cara untuk membunuh Wiseman. Namun ia menghilangkan pemikiran itu. Karena Ree tidak habis pikir mengapa Kai ingin membunuh Wiseman.
Gadis itu tidak tahu bahwa iri hati seringkali menjadi alasan pembunuhan.
"Jelaskan padaku lagi mengapa kau membawa pria lain ke kediamanku?" tanya Kai dengan kedua tangan dilipat di dada. Mukanya terlihat begitu masam dan tatapannya menggelap. Ree dapat merasakan suhu di sekitarnya menjadi lebih dingin.
"Um... karena... Uh...," Ree menghela napas, "Bila kau tidak suka, aku dapat menyerap Wiseman dan membiarkannya menyatu pada magis di tubuhku.
"Apa?" seru Kai tiba-tiba, membuat Ree terkejut. "Kau akan membiarkan pria tua ini memasukimu?"
Ree berkedip, bingung dengan reaksi Kai yang begitu heboh. Sementara Wiseman terkikik geli.
"Kau pun juga termasuk tua dibandingkan Ratu kita ini, Kai," kata Wiseman dengan nada yang jelas sekali sedang memprovokasi Kai.
"Tidak, tidak, Ree," Kai menolak ide Ree begitu keras. "Biarkan dia tetap diluar. Tapi tidakkah dia punya tempat tinggal lain? Bagaimana dengan kediaman Anielle?"
"Malam-malam seperti ini?" suara Wiseman meninggi. "Ini sudah hampir tengah mal–"
Suara Wiseman terpotong ketika ia melihat sosok bayangan di sudut kamar. Bayangan itu bergerak, kemudian bertambah besar dan pada akhirnya memunculkan seorang perempuan berambut pirang dan bermata merah delima.
Andromeda.
Andromeda tidak sendirian, di sampingnya, bayangan juga memunculkan sosok perempuan lain dengan rambut berwarna putih dan topeng di wajah. Perempuan kedua ini memiliki tongkat kayu untuk membantunya berjalan.
Penyihir Putih. Anielle.
Ree bisa saja salah, tetapi ia melihat Anielle langsung melirik Wiseman. Keduanya saling menatap begitu... intens. Ree tidak begitu dapat menjelaskan bagaimana tatapan yang dilontarkan kedua orang itu, rasanya seperti ada percikan listrik di antara mereka. Apakah itu karena ada dendam pribadi yang telah terkubur lama... ataukah karena sesuatu hal lain?
"Waktu yang tepat!" Kai berseru, kedua tangannya ia arahkan pada Andromeda dan Penyihir Putih.
"Anielle." Ree bersumpah mendengar suara Wiseman seakan tercekik ketika ia menyebut nama Penyihir Putih. Mungkin perasaannya saja, tetapi getaran-getaran magis di ujung jemarinya memberitahu Ree bahwa Wiseman tidaklah baik-baik saja. Seluruh magis dalam tubuh Ree seakan bergejolak karena apapun itu yang sedang dialami Wiseman.
"Wiseman," sapa Anielle dengan nada netral. Kemudian Penyihir Putih membersihkan tenggorokkannya. "Terima kasih telah membantu Ree mendapatkan magisnya kembali."
"Oh," nada Wiseman terdengar sedikit kecewa ketika Anielle justru menanyakan soal Ree, "Aku tidak melakukan apapun. Gadismu ini meninjuku begitu keras dan mengambil kembali magisnya sendiri."
Andromeda menaikkan alisnya, menatap Ree dengan apresiasi terlukis di wajah. "Mengesankan."
Setelah itu semua orang jatuh dalam keheningan. Sunyi senyap mengisi satu ruangan, rasanya sesak dan canggung, membuat semua orang di kediaman Kai menjadi canggung.
HIngga akhirnya Kai memutus kesunyian yang tegang itu dengan sebuah tawaran, "Um... kopi? Teh? Air? Atau... kalian butuh yang lebih kuat?"
"Yang lebih kuat," kata Anielle dan Wiseman secara bersamaan. Di saat yang sama Andromeda juga bertanya, "Kau punya arak?"
Ree memutar kepalanya ke arah Kai. Tanpa suara, Ree seakan bertanya pada Kai dengan tatapannya, 'Bermain rumah-rumahan dengan dua mantan Dewa dan Permaisuri kontinen lain yang sudah terkurung di kontinen ini 500 tahun lamanya?' Satu alisnya terangkat.
Manusia abadi ini membalas tatapan Ree, 'Dan seorang Putri Pertama sekaligus Prajurit Bayangan. Jangan lupakan aku sebagai Sang Pahlawan pula.' Ia sempat tersenyum kecil pada Ree sebelum berjalan ke arah sebuah lemari guna mengeluarkan sebuah botol keramik. Kemudian dengan magis airnya, Kai mengantarkan lima gelas kecil ke masing-masing pengunjung kediamannya. Terakhir, ia menuangkan cairan keras itu pada tiap gelas.
Ketika Kai menuangkan cairan yang sama ke gelas Ree, pria itu sengaja menuangkan lebih sedikit dari yang lain, tidak lebih dari seperempat gelas. Ree memutar bola matanya saat itu juga tetapi memilih untuk diam.
"Es?" tanya Kai kembali kepada para pengunjungnya.
Semua kian mengangguk. Maka Kai dengan begitu cepat membuat es dari molekul-molekul air di udara kemudian memasukkan dua es besar di setiap gelas.
"Nah," kata Kai sembari menunjuk pada sofa di kamarnya. "Silahkan duduk dan mari kita dengarkan alasan dari kunjungan yang istimewa ini?"
Wiseman menegak minumannya dalam satu tegak. Kemudian dia meraih botol arak dan menuangkan lebih banyak cairan pada gelasnya. Andromeda melakukan hal yang sama. Hanya Anielle yang tetap diam bergeming.
Saat itu Ree hendak menyesap minumannya. Namun ia berhenti ketika Anielle bergerak untuk membuka topengnya. Seakan terhipnotis, semua orang pun berhenti untuk melihat wujud wajah Anielle. Di ingatan Ree, Anielle adalah sosok yang cantik jelita, cocok dengan titelnya sebagai Dewi Cinta. Sudah menjadi pertanyaan lama bagi Ree mengapa Anielle memutuskan untuk selalu memakai topengnya.
Awalnya, Ree sempat berpikir itu karena ia tidak mau orang-orang tahu bahwa ia adalah Anielle. Namun setelah mengetahui keberadaannya sebagai Dewi Cinta telah dihapuskan dari benak semua orang... Ree masih tidak mengerti mengapa Anielle tetap memutuskan untuk menutupi wajahnya.
Hingga Ree akhirnya melihat sosok di balik topeng itu.
Begitu terkejutnya Ree hingga jemarinya menjadi lemas. Ia menjatuhkan gelas berisi minumannya. Bila saja Kai tidak dengan cekatan menangkap gelas itu dengan magis airnya, sudah pasti gelas itu akan pecah di lantai. Andromeda dan Wiseman pun tertegun melihat wajah di balik topeng itu.
Namun Anielle, meski menyadari keterkejutan yang lain, dengan santai menyesap arak di gelasnya. Ia tidak buru-buru. Dan begitu gelasnya sudah kosong, ia berjalan ke arah Wiseman untuk mengambil botol arak dari pegangan Wiseman. Kemudian Anielle menuangkan arak pada gelasnya hingga penuh. Lalu meneguknya dalam satu tegukan.
Barulah Ree berkedip.
"Anielle," Wiseman memanggil nama Penyihir Putih seakan tanpa sadar. Suaranya kecil, hanya berupa bisikan. Namun tangannya terangkat seakan ingin menyentuh wajah Anielle. "Wajahmu..."
Anielle tidak mundur dari uluran tangan Wiseman. Ia juga tidak berusaha menutupi wajahnya dengan rambut atau menunduk dari tatapan semua orang.
Wajah Anielle... tidak lagi jelita.
Bahkan jauh dari itu.
Wajahnya hancur.
Seakan ada yang telah menguliti wajahnya, memelintir kulitnya, kemudian memasangkannya kembali. Kedua matanya bahkan sudah tidak sejajar, hidungnya memiliki bengkokan, dan bibirnya tidak simetris. Kini Ree tahu mengapa rambut Anielle menjadi putih meski di ingatannya rambut Dewi itu seharusnya berwarna merah muda.
Anielle seakan telah menua. Namun lebih dari itu, wajah Anielle telah dihancurkan.
Kendati demikian Anielle memberikan sebuah senyuman kecil pada Ree. Meski bibirnya yang tidak simetris membuatnya terlihat seperti sedang meringis pula. "Kara mengambil wajahku di saat yang sama ia berusaha menarik kembali magis Naga Emas yang ia berikan padaku. Aku berhasil kabur sebelum ia mengambil semua magis yang kumiliki. Namun... wajahku... sayangnya tidak tertolong dan keberadaanku juga dihapuskan dari benak semua orang."
Dewi Cinta itu kembali menuangkan arak pada gelasnya. Kali ini hanya setengah gelas kemudian ia menegak arak itu kembali. Ia mendesah pada udara setelah selesai meneguk, kemudian mengelap dagu dan lehernya yang tertumpah arak karena bibirnya yang sudah tidak simetris.
Ree tidak habis pikir... bagaimana rasanya pernah disandang sebagai Dewi Cinta yang cantik jelita dan kini menjadi Penyihir Putih yang tidak diingat orang dengan tampang buruk rupa.
Ree sadar saat itu juga bahwa... bagaimanapun, semua orang yang berkumpul di kamar Kai hari itu adalah semua yang telah kehilangan segalanya.
Meski Wiseman dan Anielle adalah dalang dari permainan takdir ini, meski mereka adalah sumber dari semua penderitaan Ree, Andromeda, dan bahkan Kai... Ree kini lebih mengerti mengapa mereka begitu putus asa untuk memenangkan permainan.
Orang yang sudah tidak memiliki apapun, tidak akan takut untuk kehilangan apapun.
Dehaman Ree memutus keheningan kedua di ruangan itu. Semua memutus pandangan mereka dari wajah Anielle dan menatap Ree.
"Aku masih punya beberapa pertanyaan," kata Ree. Ia dapat melihat Anielle merilekskan pundaknya ketika Ree mengalihkan pembicaraan. "Pertama, apa Jagrav memiliki hubungan dengan permainan ini?"
Suasanya ruangan menjadi mencekam. Bahkan para bayangan di bawah pun menggeliat tidak nyaman, meski mereka tetap saja menghampiri bayangan Ree, seakan memberi semangat untuknya.
"Jagrav adalah pion pilihan Kara," jawab Anielle, "Pion yang ia pilih untuk memenangkan permainan kami. Kara awalnya berpikir bila Jagrav dapat meng-klaim korban kontrak lebih dulu darimu, maka Jagrav dapat menggeser posisimu sebagai bidak utama di pertaruhan kami."
"Tapi kau mengucapkan kontrak itu terlebih dahulu untukku," kata Ree dengan ketus, "kemudian kau memberitahukan Kara bahwa aku–lah gadis di pertaruhan kalian."
Keheningan memanjang setelah Ree mengatakan kalimat itu. Nada Ree meninggi di akhir dan ia terlihat sedikit mengejar napas meski Ree tidak menyadarinya. Matanya membara, penuh dengan perasaan yang membeludak di dalam. Dan semua orang dapat merasakan api kasat mata dari Ree.
Anielle akhirnya mengangguk, menanggapi kalimat Ree. Karena itulah kebenarannya.
Hari di mana satu keluarga Ree terbunuh langkah pertama dari permainan di antara tiga dewa di kontinen ini. Dan pemenang dari langkah itu adalah Anielle; ia berhasil menetapkan Ree sebagai satu-satunya penerima kontrak dengan Kara dan bukannya Jagrav.
"Tidak bisakah Kara menolak perjanjian kontrak denganku malam itu?" tanya Ree, lalu ia meneguk air ludahnya dengan kasar, "Tidak bisakah Jagrav... membuat pengorbanan yang sama untuk mendapatkan kontrak dengan Kara?"
Kali ini Anielle yang meneguk ludah dengan kasar. "Meski magis diberikan oleh para dewa dan dewi, sistem itu harus melalui alam. Dan alam lah yang menentukan berat pengorbanan serta besar magis yang setimpal. Oleh karena itu kau tidak pernah mendengar ada dewa atau dewi yang menolak kontrak, bukan?"
"Dan untuk pertanyaan kedua... mereka... telah mencoba." Suasana di ruangan menegang, menggelap meski lampu ruangan–yang terbuat dari magis air Kairav yang membentuk bola-bola air bersinar–masih menyala. "Dan kini memang Jagrav sudah memiliki kontrak dengan Kara. Namun... magisnya tidak sekuat dirimu, Ree."
"Alam sudah menentukan dirimu sebagai pion utama di permainan takdir ini–"
Ree mendecakkan lidahnya secara kesal. Ditatapnya Anielle dengan bara api yang masih menyala dalam dirinya. Kalimat Anielle telah menyulut badai amarahnya.
"Tidak usah menabur gula pada kebenaran, Anielle," kata Ree, "Jagrav tidak bisa mendapatkan kekuatan Kara sebesar diriku karena nyawa yang ia korbankan tidaklah 'semahal' nyawa yang kau pakai untukku. Nyawa yang Jagrav gunakan bukanlah keluarga Janya, keluarga royal yang masing-masing juga adalah kontraktor ternama."
Lagi-lagi keheningan memenuhi ruangan itu, merayap dan membuat semua orang terhanyut pada ketegangan yang ada.
Karena kalimat Ree adalah kebenaran.
Akhirnya Anielle mengangguk, tetapi ia kehabisan kata-kata setelah itu. Seakan tatapan Ree telah menusuknya terlalu dalam dan kini ia mengalihkan pandangan ke arah lantai. Atau mungkin rasa malu kini telah menggerogotinya, membuatnya ingin tenggelam saja terkubur dalam tanah yang dalam.
Memang, Ree tahu bahwa Anielle dan Wiseman tidak punya pilihan lain untuk memainkan permainan takdir ini untuk menyelamatkan satu kontinen. Memang, Ree tahu bahwa perlu pengorbanan yang besar untuk meraup kekuatan magis yang sama besarnya.
Memang, Ree tahu.
Namun Ree tetap berhak untuk marah, bukan? Ia tetap berhak untuk kecewa dan mengeluh, bukan?
Ree bungkam seribu bahasa, meski tatapannya membawa seribu badai api.
"Kau benar," kata Anielle, "Oleh karena itu Jagrav menggunakan sebuah ritual terlarang untuk mengamplifikasi kekuatan para korbannya. Namun ritual itu justru mengambil esensi hidup Jagrav dan melemahkan tubuhnya. Kini tidak mungkin baginya untuk mendapatkan kontrak ketiga dan memanggil wujud asli Kara tanpa membunuh dirinya sendiri."
Mungkin karena ritual itu Rangga memberontak dan memandang sebelah mata semua kontraktor yang menggunakan nyawa sebagai bayaran, pikir Ree. Entah kenapa pikirannya langsung bergerak ke pangeran itu.
Apa yang sedang ia lakukan sekarang? Pikirannya seperti tidak bisa berhenti. Apa Rangga dan kru nya baik-baik saja?
"Tapi jangan lengah," kata Wiseman tiba-tiba, "Jagrav dan Kara telah merencanakan sesuatu. Aku dapat merasakannya. Ketika aku masih terjebak di koloseum, aku mendengar beberapa rumor, terutama dari kru Pandawa."
Anielle mengangguk kembali meski tatapannya masih ke lantai. Ia masih tidak berani memandang lurus Ree. "Itu benar. Mata-mataku di Judistia juga telah menyatakan sesuatu yang aneh. Jagrav telah membangun pabrik rahasia yang membuat sebuah kalung magis yang biasa digunakan untuk tahanan. Entah untuk apa, karena setelah menyelidiki semua penjara di Judistia, mata-mataku tidak melihat kalung magis itu digunakan."
Ree hanya terdiam. Ia pun tidak memiliki jawaban untuk hal itu. Namun menjawab teka-teki Jagrav berada di urutan terakhir dari hal yang harus ia pedulikan.
Lagipula, kini kegunaan hidupnya hanyalah satu.
Takdirnya dari dulu hanyalah satu.
"Jadi, kapan kita akan membicarakan siapa yang akan menjadi korban ketiga?" tanya Ree tanpa sungkan. Suaranya jernih dan seakan memotong ketegangan dengan pisau yang nan tajam. Pertanyaannya juga membuat semua yang berada di ruangan mendongak menatap Ree.
Andromeda bersiul sementara para bayangan di bawah kaki Ree menari.
Kuatkan hatimu, Nak, kata mereka. Ree dapat mendengar mereka samar, tidak sejelas dulu. Namun rasa familier menyelimuti tubuhnya. Betapa ia merindukan memiliki bayangan berada di sisinya. Ia sadar bahwa masa-masa tersulitnya dapat ia lewati karena ia tidak pernah sendirian.
Para bayangan menemaninya dengan sarkasme dan humor gelap mereka.
Kini para bayangan masih menemaninya, seakan mereka tidak pernah berpisah.
"Korban ketiga dibutuhkan agar aku dapat menjadi Basma dan memanggil wujud asli Kara untuk kalian bunuh, bukan?" lanjut Ree, matanya mengelap dalam temaram cahaya kamar, "Seluruh keluarga Janya adalah korban pertama. Seorang pemagis murni adalah korban kedua. Tentunya korban ketiga haruslah seseorang dengan 'nilai' yang lebih dari kedua korban pertama. Berarti hanya satu jawabannya."
Semua orang terdiam. Bukan karena mereka tidak tahu jawabannya, tetapi justru karena mereka tahu.
"Seorang dewa," kata Ree. Suaranya tidak keras, tetapi di antara ketegangan malam itu, suaranya dapat terdengar bergema.
Karena semua orang yang berkumpul di ruangan itu... semuanya telah mendapat julukan 'Dewa.'
Wiseman dan Anielle adalah mantan dewa dan dewi. Andromeda dianggap sebagai Dewi di kontinennya sendiri dan merupakan Naga Hitam di kontinen ini. Sementara Kai... ia dijuluki sebagai 'Dewa' oleh para rakyat karena heroismenya ratusan tahun yang lalu.
Ree melangkah di depan Kai, tubuhnya yang lebih kecil mengambil posisi seakan melindungi Manusia Abadi di belakangnya.
"Kairav Yuvan bukanlah pilihan," katanya tegas. Bukan permintaan ataupun permohonan. Namun sebuah pernyataan.
Matanya membara dengan intensitas tinggi.
***
Kairav sedikit tersentak di belakang Ree. Di kepala Manusia Abadi itu, terus bergema perkataan Ree, 'Kairav Yuvan bukanlah pilihan.' Sebuah perasaan bermekar di dalam diri Kairav, memenuhinya dengan kehangatan yang manis, seperti meneguk teh hangat di tepi sungai. Tetapi kemudian perasaan itu dengan cepat diguyur dengan arus kesedihan yang mendalam. Hatinya seakan terkoyak perlahan, setiap koyakan membawa rasa ngilu yang dalam dan tidak dapat ia lokalisasi.
Karena siapapun korban ketiganya, kematian Ree sudah pasti.
Kairav memperhatikan punggung Ree yang terlihat begitu kecil dibanding tubuhnya. Pundak Ree begitu tegak meski sudah memikul begitu banyak beban. Tangan Kai sedikit terekstensi untuk meraih pundak Ree, berharap ia dapat mengambil beberapa beban itu, tetapi ia kemudian mengepalkan tangannya dan menjatuhkan kembali lengannya. Ia tidak akan bisa mengambil beban Ree semudah mengambil barang.
Bodoh, pikirnya pada dirinya sendiri.
Begitu Ree memanggil wujud asli Kara, mereka harus membunuhnya untuk membunuh Kara.
"Aku harus pulang ke kontinenku untuk memanggil bala bantuan, bukan?" Andromeda mengangkat kedua tangannya di udara, "Jadi tentunya bukan aku. Bila perlu, aku dapat meninggalkan bayangan pada Ree sembari aku membawa bala bantuan." Dengan begitu santai Andromeda mengatakan itu semua.
Kai sempat melihat para bayangan menjalar di lantai dan menyambut bayangan Ree. Mereka memang memiliki hubungan yang tidak biasa.
Ree mengangguk pada Andromeda. Kemudian pandangannya beralih pada Anielle dan Wiseman.
"Aku kan hanya dapat berada dengan magis Ree," kata Wiseman, "Jadi aku tidak bisa dibunuh, apalagi dikorbankan." Wajah Wiseman sedikit memelas, seakan pria itu merasa bersalah dirinya tidak bisa dikorbankan.
Kini pandangan satu ruangan tertuju pada Anielle.
Siapapun korban ketiganya, kematian Ree sudah pasti.
Kematian Ree sudah pasti.
Anielle telah membuka mulut untuk berkata sesuatu, tetapi Kairav dengan suara lantang sudah berkata terlebih dahulu, "Aku bersedia menjadi korban ketiga."
Ia tidak dapat melihat Ree ketika gadis itu berputar dan menatapnya dengan wajah penuh kebingungan dan kecemasan. Pandangan Kai terus tertuju pada tiga 'Dewa' lain di kamarnya. Kemudian ia berkata kepada Anielle, "Karena inilah kau membawaku ke sini, bukan? Kau bilang aku akan menemukan apa yang kucari di Turnamen Mentari."
Kali ini ia akhirnya menangkap tatapan Ree. Sebuah senyuman kecil terpajang di wajahnya. "Aku telah menemukannya."
"Dan aku tidak mau kehilangannya lagi."
Ketika Ree masih berkedip tidak percaya, Kai berkata lagi, "Aku siap melakukannya ketika Ree siap."
Satu bulir air mata mengalir begitu saja di pipi Ree, membuat satu ruangan kecuali Kai tercengang.
–bersambung–
Kuatkan hatimu
Seseorang akan berpisah
Tidak ada yang aman
Selama bayangan terus ada
😈 😈 😈 😈 😈
Tapi bukankah itu serunya cerita ini?
Ribuan kemungkinan dan tanpa pilihan yang benar
Salam,
Para bayangan yang telah benar-benar kembali.
Penulis:
Jadi... bayangan udah kembali, tapi aku seminggu atau bahkan 2 minggu ke depan ga akan bisa update lagi karena sibuk kerja klinik...
Umm mau minta jangan dirajam aja sih hehe 🙏🏻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top