39: Mencoba Hidup

Ree

Lembah Penyihir Putih

Ree menyesal telah memanggil Wiseman. Ia pikir ia akan dengan cepat dapat menggunakan magis murni, magis yang kata Wiseman bersal dari segala jenis kehidupan. Ree juga berpikir ia akan melakukan beberapa hal keren hari ini.

Ia salah.

Wiseman justru membuat Ree untuk duduk bersila di bawah sebuah pohon oak besar sambil menutup mata dan...

"Oohmmm..." suara Wiseman bergema di udara. Satu sudut mata Ree berkedut kesal mendengar suara Wiseman yang memanjang seakan tanpa henti. Ree mulai berpikir bahwa 'dewa' bajingan ini sengaja mempermainkan Ree dengan menyuruhnya untuk meditasi.

Okelah bila meditasi adalah bagian dari menguasai magis murni. Tapi apakah demikian? Karena Ree sudah berjam-jam hanya disuruh duduk untuk mengatakan, 'Ooohmmm...'

Om Am Om Am Om...

"Kosongkan pikiranmu," kata Wiseman di sela-sela meditasi, "Rasakan alam di sekitarmu. Dengarkan bisikan angin, buka pikiranmu, tarik napas dalam, hembuskan dan... rileks..."

"Ooommm..." Wiseman mulai mengulang suara yang sama. "Oohhmmm...."

Om siapa sih yang dipanggil?

"Oohmmm..."

Ree mengembuskan napas panjang. Mungkin ini terakhir kalinya kemudian Wiseman akan benar-benar mengajari bagaimana menggunakan sihir murni–

"Ohhmmm..."

Ree membuka satu matanya. Kakinya sudah keram karena berada di satu posisi yang sama terus menerus. Seluruh sel dalam tubuhnya sudah merasa bosan. Di sampingnya, Wiseman duduk bersila dengan wajah yang sangat 'rileks.' Pria itu menutup matanya seakan menikmati hal ini.

Bajingan. Dia memang mempermainkan Ree agar memanggilnya supaya dia dapat menikmati... alam?

Dilihat dari penampakannya sekarang, Wiseman terlihat lebih stabil. Tubuhnya solid dan penuh, tidak transparan dan tidak ada debu-debu emas yang mengelilinginya. Mungkin bila Ree yang memanggil Wiseman, penampakan Wiseman menjadi lebih–

"Tanpa dirimu yang memanggilku, aku harus menggunakan magisku sendiri untuk menampakkan diri di dunia ini," kata Wiseman seakan membaca pikiran Ree, "Magisku tersegel dengan koloseum dan kau kan sudah menyerap semua magis koloseum itu. Jadi aku hanya memiliki sedikit magis dan kemarin adalah satu-satunya kesempatan aku dapat menemuimu."

Ree mulai berpikir... jadi kalau aku tidak memanggil Wiseman hari ini, aku tidak akan pernah menemui Wiseman selamanya?

"Kalau kau tidak meminjamkanku magis yang sekarang menjadi milikmu, aku tidak akan punya cara lain untuk ke dunia ini," jawab Wiseman. Kali ini Ree yakin Wiseman memang membaca pikirannya.

Ree memutar kepalanya hendak protes karena pria tengah baya ini seenak jidat menelusup ke dalam pikiran Ree, tetapi kata-katanya membeku di lidah ketika ia menangkap tatapan Wiseman. Bahkan sebelum Ree dapat membentuk sebuah kesimpulan dari benang-benang logika di benaknya, Wiseman sudah berkata, "Benar, Ree."

Gadis itu berkedip. "Magis itu tidak pernah meninggalkan dirimu," kata Wiseman, "Kau hanya lupa bagaimana caranya untuk mengakses magis yang sudah kau punya itu."

Hilang sudah protes dari dalam diri Ree. Sebuah pertanyaan yang lebih mendesak justru muncul di benaknya. Namun dia tidak berani menyuarakannya.

Lagi-lagi, Wiseman membaca pikirannya dan sudah memberi jawaban terlebih dahulu. "Ya, Ree. Kau sendiri juga yang memisahkan semua magis itu dan membentuk Naga Putih."

Wiseman menutup matanya kembali dan memiringkan kepalanya ke samping. "Kalau manusia ada istilah... apa tuh? Dissociative Personality? Yang membentuk kepribadian multipel?"

Ree tidak menjawabnya meski cukup mengerti apa yang dimaksud Wiseman.

"Nah, untuk para pemagis, penyakitnya dapat berupa si pemagis memisahkan diri dari magis yang ia miliki. Biasanya karena merasa menyesal karena bayaran kontrak yang mereka lakukan, atau merasa beban dari magis yang mereka miliki sekarang terlalu berat. Atau banyak alasan lainnya."

"Jadi..." Lidah Ree masih terlalu kelu tetapi dia memaksakan pertanyaan ini keluar dari mulutnya, tidak mau didahului oleh Wiseman yang dapat membaca pikirannya. "Bagaimana caranya... memperbaiki diriku?"

Mata Wiseman membuka begitu cepat untuk menahan tatapan Ree. Ada guratan kasat mata yang selalu Ree benci di balik mata Wiseman. Jauh ia benci daripada tatapan penghakiman orang-orang. Namun entah kenapa, di saat ini, Ree tidak begitu membenci tatapan itu.

"Kau tidak perlu diperbaiki, Ree," kata Wiseman lembut. "Kau tidak rusak."

"Lalu?"

Wiseman hanya menatap Ree tanpa memberi jawaban. Curang, bukan? Ketika Wiseman dapat membaca pikiran Ree tanpa persetujuan Ree, Wiseman masih dapat menyembunyikan pikiranya sendiri. "Untuk mengetahui jawabannya," Wiseman kembali menatap ke kejauhan dan menyandarkan kepala ke batang pohon oak yang kokoh, "Pejamkan matamu, buka pikiranmu, tarik napas dalam-dalam dan hembuskan..."

"Hei!" seru Ree. Ia meloncat berdiri. "Jawab aku dulu. Apa yang salah denganku sehingga tidak dapat mengakses magis yang sudah kuserap?"

"Tenangkan dirimu, Ree," kata Wiseman dengan masih memejamkan mata. Pria itu menarik napas dalam dan mengembuskannya dengan tenang.

Melihat Wiseman yang seakan menolak untuk menjawab, Ree menjadi semakin kesal. Kedua tangannya sudah terkepal keras. Dia mengayunkan satu tangan ke atas udara, hendak memukul Wiseman di kepala. Oh, dia benar-benar ingin memukul pria tua ini. Rahangnya mengeras begitu ia menghentikan ayunannya di udara. Sementara Wiseman tersenyum samar karena tahu Ree tidak dapat melukainya meski Ree sangat kesal.

"Oohhhmmm..." Wiseman kembali bermeditasi. Memanggil om-om entah siapa. "Oohhmmm..."

Kalau sekali saja Ree mendengar Wiseman ber–om lagi, Ree akan–

"Oohhmmm..."

Akhirnya Ree menarik jas tuksedo Wiseman dan menggoyangkan pria tua itu begitu keras. Namun Wiseman tetap saja menutup mata, terlihat begitu tenang. Bahkan garis tipis bibirnya semakin mengembang.

Ree mendecakkan lidah, sadar bahwa Wiseman menganggap ini lucu. Pria tua ini suka sekali melemparkan teka-teki pada Ree dan ketika Ree tidak dapat menjawab, Wiseman menertawainya.

"Bajingan–" kutukan Ree terhentikan oleh sebuah seruan dari arah Lembah Penyihir Putih.

"Ree!"

Tanpa perlu menoleh, Ree sudah tahu siapa pemilik suara itu. Akhirnya Ree menghempaskan Wiseman ke arah batang pohon oak. Tubuh Wiseman langsung pecah menjadi debu-debu magis berwarna emas dalam seketika. Ketika Ree melihat bagian dalam tangannya, lambang antimagis di atas tanda kontraknya sudah pudar.

Ternyata antimagis ada durasinya. Meski sekarang Ree tahu bahwa ia memanggil Wiseman dengan magisnya sendiri, Ree masih tidak mengerti mengapa ia tidak bisa menggunakan sisa magis lain yang ia serap dari koloseum.

Wiseman berkata tidak ada yang salah dengan Ree. Tidak ada yang rusak.

Tentu saja bagi Wiseman tidak ada masalah. Toh dari awal, permainan mereka yang sudah merusak Ree, membuatnya sedemikian rupa.

Tapi tetap saja... Apa yang salah denganku? Ree tidak bisa menghilangkan pemikiran itu dari benaknya. Bahkan ketika Kairav sudah menyusulnya di bawah pohon oak, Ree menoleh kepada pria itu hendak bertanya apa yang salah darinya. Namun setelah melihat bahwa Kairav tidaklah sendiri, Ree mengurungkan niat untuk bertanya.

Di belakang Kairav, Kinara, Mercurio, dan Dale berjalan menyusul. Mereka semua terlihat khawatir. Ya... kecuali Mercurio. Pria dengan kemampuan berlari cepat itu justru menyeringai melihat Ree. "Jauh juga kau bersembunyi, Tuan Putri," kata Mercurio.

Kinara langsung menyenggol Mercurio di tulang rusuk, membuat Mercurio membungkuk kesakitan.

"Kami sudah mencarimu dari tadi," kata Kinara dengan nada cemas, "Mercurio tidak menemukanmu di seluruh Lembah Penyihir Putih. Dan pria abadi ini..." Kinara menunjuk pada Kairav. "Dia sudah menangis–"

"Hei!" seru Kairav, "Jangan mengada-ngada deh!"

Dale dan Mercurio pun terkikik geli. "Kai mah tidak pernah menangis. Tapi dia merajuk tanpa habis," kata Dale. Lalu Mercurio melanjutkan, "Dia juga terus mengeluh seperti ini, 'Apa yang telah kulakukan? Kenapa Ree meninggalkanku?'"

Mercurio bertingkah dramatis dengan meletakkan satu tangan di jidatnya, meniru seorang yang sedang kesusahan. "'Aku tidak bisa hidup tanpa jangkarku di dun–'" Kai meremas udara dengan tangannya. Seketika, Mercurio memegang lehernya karena kesusahan bernapas. Mata Mercurio memerah dan timbul suara tercekik dari tenggorokkannya. Wajahnya tak lama sudah merah seperti kepiting rebus.

"Cukup," kata Ree.

Hanya itu yang dibutuhkan bagi Kai untuk berhenti membanjiri jalan napas Mercurio dengan air. Mercurio pun terbatuk-batuk, kemudian langsung bersembunyi di balik Kinara.

Melihat itu, Ree tidak kuasa menahan untuk tersenyum tipis. Ia kira tidak ada yang melihat senyumannya itu, tetapi ternyata Si Buyut terpaku melihat senyumannya. Ree langsung berdeham dan menghilangkan senyumannya. "Kenapa kalian semua ke sini?"

Mereka berempat berkedip beberapa kali mendengar pertanyaan Ree. "Mencarimu!" seru mereka berempat berbarengan.

Belum sempat Ree bertanya mengapa mereka mencarinya, tiga orang di belakang Kai sudah menunjuk Kai dan berseru bersama, "Karena dia!"

Wajah Kai langsung bersemburat merah. Ia langsung berbalik badan dan mendecakkan lidah kesal. Ketika Kai mengangkat tangannya hendak membasahi paru-paru ketiga orang itu dengan air, tiga orang itu langsung berlari dan bersembunyi di balik tubuh Ree. Kai pun membalikkan badan, kembali menahan tatapan Ree yang sedikit bingung dengan tingkah para anggota kru Penyihir Putih ini.

Tanpa sadar, Ree kembali tersenyum tipis. Begitu ia melihat bayangannya yang tersenyum dari mata Kai yang justru tertegun melihat Ree, gadis itu kembali berdeham dan mengembalikan ekspresi datarnya.

Tiga orang di belakang Ree saling menatap satu sama lain dengan cengiran bahagia. Mereka sudah menduga bahwa Ree akan menjadi titik lemah Kairav. Dan sepertinya Kairav juga telah berhasil meruntuhkan dinding hati Ree yang beku.

"Uh...Anu... A­–ada uh..." Kai berkata dengan gagap, "Ada festival malam ini. Makanya jalanan terdengar ramai sekali seharian ini, bukan?"

Ketika Ree hanya berdiam diri menatap Kai, pria abadi itu menggaruk bagian belakang kepalanya. "A–ada festival sebagai perayaan terbentuknya Aliansi... da–dan acara itu akan meriah... jadi... jadi..."

"Jadi Kai ingin mengajakmu menikmati festival!" seru Mercurio sembari memutar bola mata, kesal karena pria abadi itu lama sekali hanya untuk mengajak seorang gadis jalan-jalan. Untuk kedua kalinya, Kinara menyikut tulang rusuk Mercurio, kemudian mengumpati bocah itu. Sementara Dale menutup mulut, berusaha menelan kembali tawa gelinya karena pertama kali melihat Kairav bertingkah seperti ini.

"Untuk... apa?" tanya Ree kembali. Kali ini Kairav hanya menggagu, tidak dapat menjawab.

Dale justru semakin tertawa mendengar pertanyaan Ree dan melihat ekspresi Kai. Kinara pun akhirnya mulai terkikik sambil memukul-mukul punggung Mercurio saking gelinya. Mercurio mengaduh terhadap setiap pukulan Kinara, tetapi juga ikut tertawa. Mereka bertiga menertawai Kairav yang salah tingkah dan Ree yang tidak menangkap kode seorang pria.

Tawa Dale pecah membahana. "Ah, kalian lucu sekali!" serunya. Dan sebelum Ree dapat bertanya kembali atau Kairav dapat protes, tiga orang itu sudah menarik Ree untuk memasuki Lembah Penyihir Putih kembali. Kairav mengikuti dari belakang setelah mengumpat pada dirinya sendiri.

"Sudahlah, ikut saja dengan kami," kata Kinara, "Kau akan menyukai festival ini."

Ree menahan dirinya dari ditarik, kemudian berkata dengan lirih, "Ta–tapi para rakyat kan tidak menyukaiku..."

Kinara kembali menarik Ree untuk terus melangkah. Perempuan ini ternyata cukup kuat, bahkan untuk standar Ree yang sebelumnya adalah Prajurit Bayangan. "Kami akan membuat mereka menyukaimu. Lihat saja!"

Ree berkedip mendengar pernyataan itu. Ia melihat ke samping kanan dan kiri. Dale dan Mercurio ikut tersenyum setengah jenaka dan setengah penuh semangat. Di belakangnya ada Kairav.

Ree terkepung. Ingatannya tertuju pada hari pertama ia menyusup ke Kru Pangeran Pemberontak. Hari itu, Ree dikelilingi dengan cara yang hampir sama. Bedanya, waktu itu Ree diinterogasi, sementara sekarang... Ree diantar kembali ke Lembah Penyihir Putih.

Memikirkan soal Kru Pangeran Pemberontak, Ree jadi penasaran bagaimana kabarnya mereka. Apakah mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik sistem kontrak magis? Apakah mereka masih akur bersama dan berusaha untuk menjatuhkan Jagrav?

Ah... ternyata ada setitik rasa rindu terhadap empat orang yang bersama Ree selama beberapa bulan itu. Ree berharap mereka akan terus hidup, bahkan ketika Ree sudah tiada, Ree berharap mereka dapat melanjutkan hidup dengan baik.

Pikirannya yang sempat terbawa kenangan membuat Ree tidak sadar bahwa mereka sudah memasuki Lembah Penyihir Putih kembali. Benar kata Kairav, sebuah festival sedang berlangsung di kota kecil yang tersembunyi ini. Jalanan dipadati oleh kerumunan pembeli yang meramaikan stal-stal penjualan. Di kedua sisi jalanan, terdapat hiasan berupa bendera berwarna-warni dan kristal-kristal bercahaya. Stal yang paling ramai adalah stal peramal dan stal penjualan alat-alat sihir.

Terdapat sebuah panggung buatan di ujung jalanan, tepat di depan gedung balai kota. Di panggung itu, beberapa orang bersandiwara diiringi lagu dari para musisi di samping panggung. Lebih banyak orang berkerumun di bawah panggung, mereka tertawa dan memperhatikan sandiwara di panggung dengan lekat.

Mereka pun berjalan menyusuri jalanan yang ramai itu. Karena kerumunan semakin padat, pegangan Kinara pada Ree pun lepas. Seorang pria terjatuh di samping Ree dan hampir menabrak Ree bila saja Kai tidak menghadang tubuh pria itu dengan tubuh besarnya sendiri. Pria itu meminta maaf pada Kai sementara Kai dengan cepat meraih tangan Ree, menautkan jemari mereka kokoh. Namun ketika pria itu melihat Ree, wajahnya menjadi tegang ketika mengucapkan maaf padaa Putri Pertama.

Ree yang dulu akan langsung membuang muka dan berusaha melupakan perlakuan berbeda ini. Tapi entah kenapa, mungkin karena kehangatan yang menjalar dari jemarinya, Ree menahan tatapan pria asing itu dan tersenyum samar sekali. Pria itu sedikit terkejut melihat Ree yang tidak lagi menanggapi dengan dingin.

Ketika Kairav dan Ree hendak lanjut melangkah, pria itu justru menghentikan mereka. Matanya berkelana sebentar sebelum akhirnya menatap Ree kembali. Kemudian pria itu menundukkan kepala hormat kepada Ree. "T–Tuan Putri..." jabatan Ree terasa asing di lidah Si Pria. "Sa–saya baru saja selesai memanggang roti. Orang-orang bilang roti saya adalah yang terenak. Bi–bila Anda ada waktu, sa–saya akan senang bila Anda mau mencoba..."

"Boleh," jawab Ree dengan spontan.

"Huh?" Bahkan pria itu terkejut. Mata besar hitamnya sudah pasti merupakan keturunan Judistia. "B–baiklah. Mari ikut dengan saya. Rotinya gratis untuk Anda."

Ree pikir, hari ini ia akan mencoba.

Mencoba untuk menikmati hidupnya tanpa peduli apa yang orang pikirkan terhadapnya. Mencoba untuk tidak peduli bila orang menatapnya dengan benci, penghakiman, atau penuh harapan, atau apapun. Mencoba untuk fokus pada pandangannya sendiri.

Selama dia ada waktu di dunia ini, ia ingin mencoba berhenti berlari dan benar-benar hidup. Ia melirik ke arah Kai yang sedari tadi tersenyum bangga terhadap Ree.

Meski hidupnya berdurasi, bukan berarti ia harus berhenti hidup sekarang, bukan?

Ree melihat jangkarnya di dunia ini. Dia menelengkan kepala, menandakan bagi Ree untuk lanjut berjalan ke stal itu. Untuk terus melangkah.

Pikirannya kemudian kembali pada empat sosok yang sudah menemaninya di Turnamen Mentari. Ree baru sadar sekarang bahwa mereka adalah empat jangkar lain di hidup Ree.

Kemudian Ree melihat orang-orang di festival mulai tersenyum padanya, mulai menerimanya begitu dia memutuskan untuk membuka diri. Mungkin Ree dapat membentuk jangkar-jangkar lainnya pula.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ree merasa tubuhnya ringan, seakan beban berat telah diangkat darinya.

Aku akan mencoba untuk hidup, Ree menarik napas dalam dan mengencangkan genggamannya pada tangan Kairav, di waktu yang singkat ini.

...

Tanpa Ree sadari, semenjak mereka memasuki Lembah Penyihir Putih kembali, bayangan Ree lebih dari satu, dan lebih gelap dari biasanya. Lebih kelam.

Para bayangan tahu Ree sudah tidak dapat mendengar mereka kembali, tetapi itu tidak menghentikan mereka dari mengikuti Ree dengan senyuman lebar, menunggu waktu yang tepat.

Kami sudah menunggu lama... kata para bayangan.

Kami rindu padanya.

"Fokuslah," kata Andromeda pada bayangan-bayangan miliknya.

Ah, kami terlalu bersemangat, Tuan.

Andromeda pun tersenyum lebar di balik sebuah stal di ujung jalan. Tubuhnya terbalut jubah ungu tua. Hanya bibirnya yang terulas gincu merah darah yang terlihat. Ia pun penasaran orang seperti apa yang dapat membuat bayangannya bertingkah seperti ini.





–Bersambung–

[tawa jahat]

Salam,

Para bayangan.

Dengerin lagu ini kalau udah selesai baca 2.3k kata di chapter ini :) dobel word count lho dari biasa.

Anyway, aku mau minta feedback, sebenernya kalian suka dengan bumbu antara Kai dan Ree atau tidak? Atau merasa kebanyakan? Jawab jujur saja untuk perkembangan Author 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top