38: Akhirnya Berhenti Berlari
Lagu: Anchor oleh Skillet
Ree
Lembah Penyihir Putih
Ternyata agak susah bagi Ree untuk kabur dari pengawasan Kairav. Pria itu seolah telah menjadi dayang Ree saja; selalu mengantarkan makanan, memastikan Ree hangat, dan menemani Ree seharian bahkan jika Ree memutuskan untuk tetap tiduran di kamar saja. Memang, rasanya tubuh Ree berat sekali untuk beranjak dari kasur. Jadi Ree tidak memaksa diri untuk menghadap dunia hari ini.
Awalnya Ree berpikir bila ia meneruskan untuk tertidur saja di kamar, Kai akan merasa bosan kemudian meninggalkan Ree untuk melakukan hal lain. Nah, saat itu lah, Ree akan berusaha kabur untuk menemui Wiseman. Namun nyatanya Si Buyut tidak beranjak sedikit pun.
Ree melirik jendela di kamar. Matahari masih saja terik dan suara-suara pasar lembah jalanan di bawah gedung Kairav tak kunjung menyepi pula. Namun dari guratan-guratan oranye dan ungu tipis yang mulai bermunculan di antara awan, Ree yakin sebentar lagi akan menuju jam empat. Apalagi Ree daritadi mendengarkan bunyi lonceng jam di pasar yang berbunyi setiap jamnya.
"Tidakkah kau punya pekerjaan, Buyut?" tanya Ree yang sudah mulai gerah diawasi oleh Kairav tanpa henti. Ia butuh lima menit saja Kairav mengalihkan perhatiannya agar Ree dapat menyelinap keluar. Namun karena Si Buyut ini adalah pemagis air, ia dengan mudahnya mengatur molekul air di dalam tubuhnya agar tidak perlu kencing hampir seharian.
Jorok, bukan? Itu yang Ree keluhkan pada Si Buyut, tetapi Kai hanya terkekeh geli. Sebenarnya Ree sedikit tersinggung mengetahui Kai memperhatikannya terus karena buyut itu tahu masa lalu Ree yang pernah menyakiti dirinya sendiri. Apalagi sekarang Kai sudah melihat sendiri semua luka-luka di hidup Ree.
Ah, dasar buyut, pikir Ree, Untuk apa pula aku menyakiti diri sekarang bila ujungnya aku ditakdirkan mati pula?
Di saat yang sama, Kairav tersedak ketika sedang membaca buku di sofa di samping tempat tidur. Ree yang berbaring memunggungi Kairav membeku, memastikan diri bahwa Ree tidak mengatakan kalimat terakhir dengan keras. Ah, Ree yakin ia hanya mengatakan kalimat itu di benaknya saja. Paling Si Buyut memang sudah tua saja dan tersedak karena otot tenggorokkan yang melemah.
Kairav tersedak untuk kedua kalinya, kemudian berusaha menyamarkan dengan batuk. Ree pun akhirnya memutar badannya untuk melihat Kairav, memastikan Si Buyut baik-baik saja.
Buyut ini tidak sedang sekarat kan?
Tak disangka, begitu mata mereka bertemu, Kai tersedak untuk ketiga kalinya.
Ree mengerutkan keningnya bingung ketika Kairav mengangkat satu jari ke udara, seakan berkata pada Ree untuk menunggunya sementara Kai beranjak ke kamar mandi. Di kamar mandi itu, terdengar suara aliran air dan suara Kai membersihkan tenggorokkannya.
Meski sedikit khawatir, Ree dengan cekatan menggunakan kesempatan ini untuk turun dari ranjang, memakai boots-nya tanpa suara, mengambil jubah Kai dari lemari, membuka jendela, kemudian menuruni gedung tempat tinggal Kai dengan keahlian yang hanya dapat diperoleh setelah bertahun-tahun berlatih menjadi Prajurit Bayangan. Ree tidak ada waktu untuk menutup jendela itu karena suara langkah kaki Kai sudah terdengar memasuki kamar kembali. Jadi Ree akhirnya meloncat turun ke atap sebuah stal, kemudian segera meloncat untuk bergantung pada sebuah tiang kayu, lalu meloncat lagi hingga kakinya menapak di tanah.
Ree mendarat di gang sempit di antara bangunan tempat tinggal Kai dengan toko sebelah, tepat di belakang stal tempatnya meloncat tadi. Bangunan stal itu menutupi Ree dari terlihat oleh kerumunan pembeli. Meski seorang bocah lelaki melihat pendaratan Ree dengan mata membelalak.
Setelah memakai jubah berwarna abu gelap di tubuhnya, Ree meletakkan satu jari di depan mulutnya seakan berkata pada bocah itu untuk tidak mengatakan apa-apa. Lalu secepat cahaya, Ree berlari menuju belakang gang dan menghilang begitu saja dari penglihatan si bocah lelaki. Namun sedetik kemudian, bocah itu mendengar suara gubrakan ketika seorang pria mendarat sempurna persis di tempat Ree mendarat sebelumnya. Mata Kai menangkap tatapan si bocah. Dan tanpa perlu Kai bertanya, bocah lelaki itu sudah menunjuk ke arah belakang gang, membocori kepada Kai ke mana Ree pergi. Kai pun tersenyum, berterima kasih pada bocah itu, sebelum akhirnya ia bergegas menyusul Ree.
...
Sudah lama Ree tidak berlari sekencang ini, menyelinap di antara bayangan, dan sendiri.
Sendiri.
Kaki Ree berhenti di sebuah lapang luas beberapa mil setelah Ree menyelinap keluar dari gerbang Lembah Penyihir Putih. Ia berhenti karena satu kata itu; sendiri.
Ree akhirnya sadar bahwa ternyata sudah cukup lama ia merasa tidak sendiri. Sebelum Turnamen Mentari, hanya kesendirian yang ia rasakan setiap detiknya, meski ia memiliki Andreas. Namun setelaah Turnamen Mentari, hampir tidak ada momen ia sendiri. Bila bukan karena kru Pangeran Pemberontak, Kai selalu memastikan dirinya tidak pernah sendirian.
Jadi sekarang ketika Ree merasa sendiri untuk pertama kalinya setelah sekian lama... Ree merasa aneh. Seakan dirinya hampir melupakan rasanya sendiri itu.
Melihat ke belakang, Ree melihat gerbang Lembah Penyihir Putih sudah terlihat begitu kecil. Ternyata ia sudah berlari lumayan jauh, dan baru sekarang ia merasakan betisnya berteriak kelelahan. Di seberang lapangan luas itu adalah barisan pohon yang membatasi hutan. Hutan yang sama Ree melihat Naga Putih. Memincingkan mata di antara barisan pohon itu, Ree berusaha melihat apakah Naga Putih sedang memperhatikannya, tetapi Ree tidak dapat melihat apa-apa.
Menghela napas, Ree mengambil pena bertinta dari kantung di jubah yang ia pakai kemudian menggambar lambang antimagis di bagian dalam tangannya, tepat di atas dua simbol kontrak yang Ree miliki. Begitu Ree selesai melengkapi goresan terakhir di lambang antimagis itu, udara seakan meledak di sekitarnya. Gelombang udara terus membesar hingga menggoyangkan barisan pohon di kejauhan. Burung-burung pun keluar dari kanopi pohon dan terbang menjauh di atas langit.
Ketika Ree menurunkan kepalanya kembali, seorang pria tua berambut putih dengan balutan tuksedo abu-abu sudah menyeringai lebar di depannya.
Wiseman.
"Kau akhirnya datang," kata pria itu.
Ree menoleh ke kanan, di mana matahari masih berada di atas langit meski bukan berada tepat di atas kepala.
"Kupikir aku tidak telat."
"Kupikir kau tidak akan datang sama sekali," kata Wiseman. Seringainya meredup. Wajahnya mengerut dengan penuh konflik. "Apalagi setelah kau mengetahui apa yang sebenarnya terjadi."
Ree menghela napas.
Ya... setelah semua yang ia ketahui, Ree tahu ia seharusnya membenci para dewa dan dewi segenap hatinya. Mereka menggunakan garis hidup Ree sebagai tumbal dan pion di permainan mereka tanpa peduli terhadap Ree atau orang-orang di dalam hidup Ree. Bagaimanapun, Ree tidak akan dapat menang dari takdir karena takdirnya tidak pernah ada. Semuanya adalah permainan para dewa dan dewi.
Namun...
"Aku masih memiliki pertanyaaan," kata Ree lirih, "Dan... sesuatu terjadi dan aku ingin..."
Wiseman menangkap tatapan Ree dengan penuh pengertian. "Aku mengerti."
"Ree," lanjut Wiseman, "Aku ingin kau tahu bahwa kami tidak akan memilihmu bila kami tidak yakin kau dapat menghadapinya."
Tapi Ree tidak dapat menghadapinya... Dan untuk apa Ree terus berusaha berjalan untuk permainan para dewa dan dewi ini? Semua kata-kata Ree terjebak dalam tenggorokkannya sendiri.
"Kami tidak akan memilihmu bila kami tidak yakin kaulah yang akan berdiri pada akhirnya sebagai pemenang."
Ree mendecakkan lidah. "Aku pemenangnya? Atau kau dan Anielle yang menjadi pemenang?"
Wiseman terdiam untuk beberapa saat. "Kami sudah kalah dari awal, Ree, dan kami sudah membayar akibat perbuatan kami. Dunia pun menjadi imbasnya," kata Wiseman lemah, "Hanya kau satu-satunya yang dapat membenarkan dunia pada tempatnya. Tapi kau butuh kekuatanmu untuk kembali agar dapat memanggil Kara. Dan Anielle akhirnya akan dapat membunuh Kara kemudian duni–"
"Ya, ya, ya," Ree memutar matanya begitu keras. Tak bisakah mereka memikirkan pula artinya semua ini bagi Ree?
"Dunia akan terselamatkan. Semua umat manusia terselamatkan. Dan aku tetap akan mati, sebagai tumbal agar kalian dapat membunuh Kara," kata Ree ketus. "Berhentilah berkata-kata palsu dan katakan saja apa adanya, Wiseman."
Tatapan mata Ree tajam, tertuju pada dewa yang sudah dicopot jabatannya oleh Kara ini, seorang dewa yang terjatuh, tetapi juga seorang 'dewa' yang berusaha mengembalikan dunia seperti seharusnya. Seorang dewa yang telah berdosa dan sedang berusaha menghapuskan dosanya dengan cara menumbalkan Ree.
Tch. Bajingan. Dasar telur busuk.
Ree menghujat dewa di depannya ini di kepalanya dengan begitu banyak bahasa kasar. Tatapannya hanya semakin tajam. Rahangnya mengeras dan tangannya terkepalkan.
"Ayo kita luruskan satu hal," kata Ree dengan nada rendah, "Pemenang dari permainan ini hanyalah antara kau dan Anielle atau Kara. Jadi, tidak perlu kau mempermanis kata-katamu dan memanipulasiku bahwa aku akan menjadi 'pemenang,' atau semacam 'pahlawan,' dengan kematianku. Oke?"
"Aku tidak akan berlari lagi dari takdirku ini," kata Ree, suaranya terdengar lebih tegar dari yang ia kira.
Baguslah, pikir Ree. Tidak perlu lagi bagi Wiseman untuk melihat titik lemahnya.
"Aku akan menghadapinya," lanjut Ree, "Dan bila memang aku hanya dapat hidup sampai aku dibunuh, aku akan memanfaatkan waktu sisaku sebaik mungkin."
"Aku akan menghadapi takdirku karena aku sadar tidak ada gunanya aku terus berlari. Takdir akan mengejarku bagaimanapun. Jadi aku bisa menghadapinya langsung atau membengkokkan takdir sebisanya."
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ree merasakan dirinya penuh kekuatan. Bukan karena magis mengalir di dalam pembuluh darahnya, atau karena dia memiliki magis yang sangat kuat. Namun ia merasa kuat karena di saat ini, dia akhirnya mengambil satu langkah untuk membentuk takdirnya sendiri. Memang kenyataan pahit bahwa ia bukanlah dalang takdirnya, karena dalang itu ternyata adalah Wiseman dan Anielle. Tetapi saat ini, dan pada kesempatan-kesempatan lainnya, meski kecil, meski tidak sebesar atau sepenuh yang Ree harapkan, masih ada momen-momen di mana Ree dapat memilih.
Saat ini, Ree memilih untuk mendapatkan kembali magisnya.
Mulai saat ini, Ree akan memilih untuk menjalani kehidupan yang terbaik sebelum maut menjemputnya.
Mulai sekarang, ia akan memilih untuk menghadapi takdirnya dan berhenti berlari... karena ia ingin memperbaiki dunia untuk seorang pria abadi yang telah membantunya agar terus melangkah.
Untuk seorang buyut yang ia temui di waktu dan tempat yang salah tetapi tanpa dirinya Ree sadar ia akan sudah hancur berkeping-keping.
Untuk jangkarnya di dunia ini.
...
Melihat api di balik mata Ree, Wiseman tersenyum kecil. Sudah lama ia menanti Ree untuk kembali memiliki api ini, untuk kembali membara. Wiseman membutuhkan sisi Ree yang seperti ini bila ia ingin memastikan Kara tidak akan menang kembali di permainan terakhir ini.
"Kau sekarang sudah memilki alasan untuk berjuang," kata Wiseman, "Pegang teguh alasan ini sampai akhir, Ree. Jangan lepaskan hingga akhir."
Ree masih menatap Wiseman dengan nanar. Wiseman tahu bahwa Ree mengira Wiseman dan Anielle hanya memilih Ree sebagai tumbal. Namun yang tidak diketahui Ree adalah, mereka sebenarnya memilih Ree karena dari jutaan kemungkinan ada, Ree memiliki satu-satunya kesempatan untuk mengubah permainan.
"Ayo kita mulai latihan magis murni," kata Wiseman setelah menepuk tangannya sekali dengan senyuman tipis yang menyiratkan kebanggaan.
Kini Wiseman benar-benar yakin.
Sebuah pion akan menjadi pemain dan akhirnya akan memenangkan permainan.
–Bersambung–
Bertaruhlah wahai pembaca...
Siapakah pemenang di akhir cerita ini?
Kara?
Wiseman dan Anielle?
Atau Ree?
Siapa tahu saja penulis akan mempertimbangkan hasil voting
[senyum lebar] Tapi jangan berharap saja...
Salam,
Para bayangan yang makan popcorn melihat permainan ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top