36: Dua Gadis, Dua Kerangkeng (2)

Lagu: Tak ada lagu.

Alia

Benteng Diam, Silmarilon


Menyibakkan rambut basahnya ke belakang, Alia menarik napas dalam kemudian menantang tatapan matanya sendiri menggunakan cermin. Mata coklat-kehitamannya memancarkan kesenduan. Sangat kontras dengan lantunan musik dan suara kerumunan di kota. Ketika barisan demi barisan nada ceria dimainkan oleh kombinasi terompet, biola, dan drum, Alia justru mencengkeram kedua sisi baskom berisi air di hadapannya. Begitu kerasnya sehingga jemarinya menjadi putih.

Satu Benteng Diam sedang merayakan kemenangan mereka terhadap dua makhluk agrotis. Bangkai kedua monster itu masih terpajang di tengah-tengah kota, di antara puing-puing bangunan dan gundukan tanah serta batu sebagai bukti kehancuran yang terjadi. Sebelum merencanakan renovasi kota, Jenderaal Vadnya justru memerintahkan agar satu kota membuat perayaan meriah. Padahal, sebelum agrotis menyerang, mereka sudah menjalankan festival yang cukup lama dan melelahkan.

Alia pikir Jenderal Vadnya hanya ingin memiliki alasan apapun untuk berpesta.

Gadis berkulit coklat manis itu mencelupkan kedua tangannya pada air dan melemparkan air yang sejuk pada kulitnya kembali. Cipratan air memuat sebuah luka di pinggir mata dan bibirnya terasa perih, tetapi ia menyambut rasa sakit itu.

Apapun lebih baik daripada rasa yang menggerogoti dadanya sekarang ini.

Ia menatap kembali pantulan dirinya. Hembusan napas panjangnya menciptakan embun di kaca. 'Kau seharusnya merasa senang, Alia,' pikirnya pada dirinya sendiri. Seharusnya ia merasa lega karena ayah dan kakaknya sudah diantarkan ke tempat yang selamat. Lex menyempatkan diri untuk memberitahu Alia bahwa kedua pria itu diteleportasi oleh Ultar ke Jembatan Silmarilon. Karena semua fokus warga Silmarilon berada pada agrotis, Raja dan ayahnya dapat menyelinap keluar dari Silmarilon dengan mudah.

Namun beban berat di pundaknya tidak kunjung hilang.

Ia seharusnya ikut berpesta dengan warga Silmarilon. Dirinya kini telah diakui sebagai pahlawan karena telah menyelamatkan Hinai, putri tiri Jenderal Vadnya. Dirinya tidak dianggap lagi sebagai penjahat.

Bila tidak senang, seharusnya ia marah, bukan? Kebenciannya terhadap Vadnya seharusnya tidak luntur begitu saja. Atas ketidakadilan yang sudah lama ia alami karena dirinya adalah kontraktor yang menggunakan nyawa.

Namun ketika ia mengingat bagaimana Vadnya melihatnya setelah ia menyelamatkan Hinai... Alia mendecih lemah. Bagaimana mungkin ia melupakan bagaimana tatapan Vadnya berubah? Dan ketika Vadnya bahkan sampai bersujud untuk mencium kakinya, sebuah adat warga Silmarilon untuk menunjukkan betapa menyesalnya seseorang, Alia hanya dapat mematung di tempat.

Bila bukan karena Lex yang menyentuh bahunya, Alia pasti akan membiarkan Vadnya berlutut seharian karena ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Dirinya benar-benar tidak menyangka perubahan sikap dari jenderal tua itu.

Tak hanya itu, kata-kata maaf keluar dari mulut Vadnya.

Alia kembali hanya mematung. Ia tidak menerima ataupun menolak permintaan maaf Vadnya di depan satu Benteng Diam. Sudah lama ia memegang amarahnya hingga ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan bila hal berubah di luar dugaannya.

Undangan untuk menjadi bagian dari perayaan pun, Lex dan Rangga harus menjawab untuknya. Kemudian Lex menggiringnya ke kamar tamu milik Danum. Pria itu langsung mencomot pakaian milik Danum dan meletakkan setelan pakaian itu di tangan Alia beserta sebuah handuk bersih. Lex kemudian menyuruh Alia untuk membersihkan diri dan beristirahat.

Awalnya Alia hanya mematung, hanya melihat perilaku pria bermagis tanah ini tanpa merespon. Kedua mata mereka bertemu. Dan entah apa yang memicunya, Lex merentangkan tangannya perlahan ke arahnya. Alia hanya dapat berkedip ketika merasakan sentuhan hangat di atas kepalanya.

Jemari Lex menyentuh rambut Alia.

Lex kemudian mematung begitu saja. Pria itu seakan sedang berhalusinasi, tidak sadarkan diri ketika tangannya bergerak. Begitu Lex berkedip, matanya kemudian membelalak setelah menyadari apa yang ia lakukan. Ia langsung menarik tangannya dan bergumam, "Maaf," sembari melihat lantai.

Kemudian ia membersihkan tenggorokkan. "Pergunakanlah kamar mandi Danum. Dia sudah setuju," katanya, "Aku akan mencari uh... kain kerudung yang bersih."

Alia tetap mematung. Sebuah rasa menusuk yang hangat bermekaran jauh di lubuk hatinya. Namun karena panik, ia cepat-cepat berusaha menutup apapun itu yang baru saja mulai mekar dengan kegelapan. Bila perasaan itu adalah sebuah benda, ia sudah meletakkannya pada sebuah kotak dan melemparkannya jauh ke dalam sanubarinya, berharap rasa itu akan hilang.

Dari semua hal yang bergejolak di dalam dirinya, ia hanya dapat berkedip sebagai responnya terhadap Lex.

"Apa warna kesukaanmu?" tanya pria itu. Lex sempat melirik Alia malu-malu. Kedua tangannya ia lingkarkan ke belakang untuk menyembunyikan kegugupannya.

"Hitam seperti hatiku," cetus Alia dengan lancar.

Lex menatap Alia dengan kedua mata membelalak. "Uh...," pria itu tergagap, "Baiklah..."

Sebuah senyuman kecil akhirnya muncul di wajah gadis ini. Ia berpikir Lex ini lucu. Bukan lucu yang membuat dirinya tertawa, tetapi lucu yang membuatnya gemas. "Aku bercanda," kata Alia dengan senyuman yang melebar. Ia terbatuk kecil untuk menghentikan dirinya dari tertawa.

"Oh," Lex ikut tertawa ringan melihat ekspresi Alia. Tawa keduanya membuat suasana menjadi tidak lagi tegang dan tidak nyaman.

"Indigo," jawab Alia. "Ah, tapi apapun kain bersih yang bisa kau dapatkan, aku tidak apa-apa dengan itu."

Lex mengangkat satu jari telunjuknya. "Aku akan kembali lagi dengan kain itu." Ia kemudian menelengkan kepalanya ke arah kamar mandi, memberi tahu Alia dengan gestur untuk lanjut membersihkan diri. Kemudian ia keluar dari ruangan setelah menahan tatapan Alia sekali lagi.

Dan kini Alia berada di depan kaca di kamar mandi. Tubuh dan rambutnya sudah dibasuh, ia sudah memakai pakaian Danum, sebuah tunik abu-abu sederhana dengan celana hitam. Bajunya sedikit kebesaran sehingga Alia mengikat ujung tunik.

Begitu memorinya dengan Lex telah selesai bermain di benaknya, begitu perasaan yang ia kira sudah ia tutup memaksa untuk muncul kembali, ia tak kuasa menahan amarahnya. Tangannya melayang begitu saja ke arah tembok di samping kaca.

Rasanya sakit.

Ia memang bukanlah seorang petarung fisik, sehingga tinjunya tidak membuat kerusakan berarti pada tembok. Namun ia butuh rasa sakit itu untuk membungkam rasa di dadanya. Mendengus kesal, ia menarik buku-buku jemarinya yang kini lecet dan berdarah.

Kemudian ia meregangkan lehernya ke atas. Jemarinya menyentuh sebuah garis merah muda pudar di bagian bawah lehernya, yang sebelumnya tertutup dengan kerah baju. Menghela napas panjang, jemarinya memunculkan sepercik aliran listrik.

Aliran listrik itu menjalar mengelilingi leher Alia, kemudian memunculkan sebuah kalung besi dengan ukiran-ukiran simbol yang asing. Alia sendiri tidak mengetahui simbol-simbol apa itu. Begitu kalung besi itu muncul, tiba-tiba kalung itu mencengkeram leher Alia begitu kuatnya hingga ia kesulitan napas.

Kedua tangannya berusaha mengais kalung itu. Alia yang tahu bahwa tidak ada yang dapat ia lakukan untuk melepaskan kalung itu, hanya dapat menunggu hingga sang pemilik kalung puas menghukumnya.

Wajahnya memerah, dadanya pun menjadi sesak. Matanya berkedip ketika melihat embun di kaca menebal. Embun-embun itu kemudian membuat kaca berputar, seakan kaca itu adalah air dan seseorang telah mengaduknya. Gelombang-gelombang air bermunculan. Tak lama, sebuah sosok muncul di tengah-tengah kaca.

Seorang pria tengah baya, berambut hitam, bermata biru sangar, dan dengan sebuah bekas luka yang membentang dari rahang hingga lehernya, menatap Alia dengan senyuman sinis. Begitu mata mereka bertemu, kalung besi itu kendur dan Alia menghirup napas cepat untuk mengisi paru-parunya. Karena terlalu cepat, ia pun terbatuk-batuk. Ia harus berpegangan pada kedua sisi baskom untuk tetap berdiri.

"Alia," suara pria di kaca sangatlah berat, sangatlah gelap, dan penuh ancaman. Suara yang selalu membuat bulu kuduk Alia berdiri.

Kedua mata mereka berserobok. Pria di depannya ini mirip sekali dengan Pangeran Pemberontak. Nada warna biru matanya pun sama. Namun tatapan dan aura mereka jauh berbeda. Oh, keduanya memancarkan amarah. Ketika Rangga memiliki amarah yang murni, pria di depannya ini memiliki amarah yang dengki dan kotor. Ketika Rangga menatap semua orang di mata dengan wibawa, pria ini menatap semua orang selain dirinya seakan semua orang lebih rendah daripadanya.

Alia selaku jijik melihat tatapan pria ini. Pria ini adalah alasan Alia langsung membenci Rangga pada pertemuan pertama.

Pria di depannya adalah Jagrav. Raja Judistia yang sedang berkuasa.

Namun karena kalung besi di lehernya, Alia hanya dapat menunduk dan membisikkan salam. "Salam, Yang Mulia."

"Kakak dan ayahmu berada di luar jangkauan," katanya, "Apa kalian berencana untuk mengkhianatiku?" Alia tahu pertanyaan itu terbalutkan ancaman. Karena dengan kalung besi di leher dirinya, kakaknya, dan ayahnya, Jagrav bisa dengan mudah membunuh mereka semua.

"Yang Mulia, biarkan mereka pergi–" Kalung besi di leher Alia kembali mempersempit tenggorokkannya. Namun tidak seketat sebelumnya sehingga Alia masih dapat berbicara. "Uh... Saya bisa... melakukan... misi ini... sendiri..."

"Yang Mulia... saya bisa..."

Dengan satu jentikan jari, kalung besi itu kembali kendur, membuat Alia akhirnya dapat bernapas kembali. Ia terbatuk-batuk. Jemarinya ia katupkan keras. Bila saja ia dapat menggunakan kekuatannya untuk melepaskan kalung besi ini. Namun apapun magis yang ia gunakan terhadap kalung ini tidak mempan. Apalagi, setiap kali Jagrav tahu Alia berusaha melepaskan kalung itu, ia akan menghukum ayah dan kakaknya.

Begitu Alia sudah menstabilkan kembali napasnya. Ia memaksa lidahnya berbicara meski semua kata terasa pahit untuknya, "Lex... tangan kanan putramu... menaruh perhatian padaku."

Alia dapat menangkap satu sudut bibir Jagrav terangkat.

"Saya bisa memanipulasinya," Alia kembali memaksa kata-kata pahit itu keluar, "untuk memenuhi rencana Anda."

"Yang saya pinta hanyalah untuk Anda melepaskan keluarga saya," kata Alia, "Bila tidak..."

Kini senyuman Jagrav mengembang. Ia selalu menganggap Alia menarik karena perempuan ini sangatlah tegar.

"Bila tidak," sambung Jagrav, "apa yang akan kau lakukan?"

Alia menelan ludahnya kasar. "Saya akan membunuh diri saya," katanya mantap, "Raja dan Ayah tidak akan dapat memenuhi misimu seperti aku. Vadnya sekarang berutang padaku karena aku menyelamatkan putri tirinya. Dan Lex..." Namun suaranya pun melemah ketika ia harus menggunakan Lex untuk keselamatannya.

Kedua bola mata gelap Alia menatap manik biru Jagrav tanpa takut. "Saya bisa dengan mudah mencari tahu rencana para pemberontak. Kemudian... bila kau berkehendak, saya dapat membunuh mereka semua."

Alia menahan dirinya untuk menahan tatapan Jagrav. Menahan gejolak rasa bersalah, amarah, dan rasa jijik pada dirinya sendiri. Ia harus terlihat tegar, terlihat tanpa celah di hadapan monster berwujud pria ini.

Jagrav tertawa keras, menertawakan penawaran Alia. Untuk sejenak, Alia merasa Jagrav tidak akan menerima tawarannya. Namun sedetik kemudian, Jagrav mengayunkan tangannya, menunjukkan pemandangan di hutan di mana kakak dan ayahnya berada. Alia mendengar suara jentikan jari. Di saat yang sama, ia melihat kalung besi di Raja dan ayahnya terlepas dan terjatuh ke lantai hutan.

Kakak dan ayahnya terkejut bukan main. Kepala mereka melayang ke segala arah, berusaha mencari tahu siapa yang melepaskan kalung mereka. Tak lama, mereka berpelukan dengan senyuman lebar, bahagia karena mereka sudah terbebas. Lalu mereka sepakat untuk langsung berlari, menjauh dari kalung besi terkutuk itu.

Mereka berlari ke dalam hutan. Tak sekalipun mereka berhenti untuk mempertanyakan, bagaimana dengan Alia.

Gadis itu meyakinkan diri bahwa ia harus merasa lega, merasa senang karena keluarganya telah bebas. Namun ia justru merasakan jutaan pedang menghujam hatinya.

Pemandangan di kaca berubah kembali menampakkan Jagrav yang mendecakkan lidah. "Gadis bodoh," kata Jagrav, "Kau tahu bahwa mereka tidak akan kembali untukmu, bukan?"

Ya, Alia tahu akan itu.

"Kau tahu bahwa mereka tidak akan berusaha menyelamatkanmu sekalipun dirimu yang meminta agar mereka dibebaskan, bukan?" Suara tawa Jagrav mengisi satu ruangan kamar mandi. Setiap kata Jagrav adalah tambahan pedang yang mengoyak hatinya.

"Kurasa kau merasa sebegitu bersalahnya telah melibatkan keluargamu ketika hanya dirimulah yang menggunakan nyawa sebagai bayaran magis," kata Jagrav, "Hingga kau sebodoh ini."

Alia menahan dirinya dari berkedip. Karena ia tahu, bila kelopak matanya menutup, air mata yang sudah membendung akan jatuh. Dan ia tidak akan pernah memperlihatkan tangisannya pada pria bajingan ini.

"Baiklah," kata Jagrav, "Mereka akan bebas. Namun kau." Pria itu menunjuk pada Alia dengan tatapan yang tajam.

"Kau harus mencari tahu rencana mereka dan keberadaan Putri Pertama," perintahnya, "Oh, dan bunuh mereka semua setelah kau mendapatkan info itu."

Mengepalkan kedua tangannya dengan keras, Alia menunduk lemah dan berkata, "Baik, Yang Mulia."

Sedetik kemudian, kaca itu kembali memantulkan bayangannya. Matanya merah, wajahnya lesu, dan sorot matanya seperti sudah terpatahkan. Ia akhirnya berkedip, menjatuhkan setitik air mata yang tak lagi dapat ia tahan.

Kemudian ia menarik napas dalam, mengusap air matanya, dan setelah kalung besi itu kembali menjadi garis merah mudah pudar di lehernya, ia melangkah keluar dari kamar mandi.

Langkahnya terhenti ketika melihat sebuah kain berwarna indigo terlipat rapi di atas tempat tidur. Alia mengelus kain itu. Rasanya begitu lembut. Bahan kain itu pun juga bukanlah sembarang bahan. Kelembutan dan keelastisan kain ini hanyalah dapat diperoleh menggunakan benang magis yang disebut Hurudang. Dan pastinya harga kain ini mahal sekali.

Mata Alia kembali memanas tetapi ia sudah janji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menangis kembali.

Jadi dengan rasa sesak yang perih, ia memaksa diri memakai kerudung kain itu, memodelkan kain itu di kepalanya dengan elok. Ia ingat pelajaran ibunya dulu untuk membentuk sebuah bunga di satu sisi kain hanya menggunakan pin. Oh, beragam pin dan peniti telah disiapkan oleh Lex pula.

Setelah selesai menutup rambut dan garis merah muda pudar di lehernya itu dengan sempurna, ia melampirkan sisa kain ke satu sisi pundaknya. Menatap dirinya kembali di kaca di kamar utama, ia sadar betapa cantiknya kain itu pada dirinya. Tanpa sadar, ia menekan jarum pin begitu kuat hingga jemarinya berdarah.

Masih menatap pantulan dirinya dari cermin, ia bergumam dengan hati perih, "Maafkan aku Lex."

Menggigit bibirnya untuk menahan tangisan, ia kembali bergumam, "Maafkan aku ibu."



–Bersambung–

(senyum lebar nan jahat)

Kau kira Alia adalah sosok yang murni?

Kalung besi Alia adalah sebuah kerangkeng.


Salam,

Para bayangan yang menertawaimu.



Author: 

Hai guys, kira-kira kalo aku ngadain giveaway, buku apa sih yang kalian lagi pingin banget? Aku ada rencana mau ngadain giveaway gitu karena TM udah 500k pembaca dan NM udah 100k pembaca. BTW, makasih banyak yaaaaaa sudah mau baca, sudah mengikuti sampai sekarang. Maaaaf kalo kadang aku nakal dan up nya ga teratur.


Jadwal update NM bulan april: Setiap Jumat dan Sabtu yaa... jamnya umm... suka-suka HAAHA

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top