35: Terus Melangkah
Lagu: Falling Apart oleh Skylar Grey
Ree
Lembah Penyihir Putih
Suara gemericik air mengalun dengan halus di sebuah goa yang lapang. Ternyata di bawah gedung balai kota, terdapat sebuah terowongan gelap tepat di bawah sebuah gunung tinggi. Terowongan itu berujung pada goa besar dengan sebuah kolam bersinar. Cahaya yang muncul dari kolam berasal dari ratusan burung-burung kecil yang mengeluarkan cahaya setiap kali mereka mengepakkan sayap.
"Wahh!" seru Ree kecil, "Indah sekali!"
Ree diharuskan untuk berdiri di dalam kolam. Karena tubuhnya yang kecil, hanya leher dan kepalanya yang terlihat dari permukaan. Tentu saja, pada awalnya Ree sulit untuk diatur. Gadis ini menyemburkan banyak pertanyaan dan tidak bisa diam, sama seperti anak-anak kecil lain pada umumnya. Bukannya hal ini membuat para kru Penyihir Putih jengkel, justru mereka memasang wajah sedih. Karena mereka menyadari apa yang Kairav sadari pula.
Begitu berbedanya Ree yang dulu dan Ree yang sekarang.
Mercurio sempat bermain kejar-kejaran dengan Ree yang tentu saja mengundang tawa Ree. Tidak satupun dari para kru Penyihir Putih, begitu juga Kairav, menyangka akan mendengar suara tawa Ree yang cemerlang. Keriangannya begitu menular, mengisi satu goa, dan membuat semua orang tersenyum. Bahkan, Anielle ikut tersenyum di balik topengnya.
Selain Mercurio, Kinara dan Dale juga ikut bermain dengan Ree. Mereka mengepang rambut Ree ke belakang dengan bunga-bunga yang mereka temui di dalam goa. Dale sudah berkali-kali mengusap kepala Ree karena gemass sebelum akhirnya Ree bersedia menapakkan kaki ke kolam yang dingin.
Atas instruksi Penyihir Putih, Ree dan Kairav akan berdiri saling berhadapan di tengah kolam.
"Kai," panggil Kinara, "Kau yakin?"
Tidak perlu berpikir, Kairav langsung mengangguk mantap.
"Tapi menautkan jiwa kalian berarti..." suara Kinara melantur menjadi pelan, keraguan menyusup dalam nadanya.
"Berarti jiwaku akan menjadi miliknya," jawab Kairav mantap. "Semua lukanya akan menjadi lukaku. Begitu juga sebaliknya."
"Namun bila dia tidak menerimamu sebagai jangkar jiwanya," lanjut Kinara, "Kai, jiwamu akan hilang begitu saja bersama jiwanya." Hal ini adalah kemungkinan terburuk yang telah disebut oleh Penyihir Putih.
Kinara masih memiliki keraguan. Namun ketika Kairav menoleh menghadapnya mata ke mata, tekad yang terpancar dari mata Kairav berhasil menghapuskan semua keraguan Kinara. Ia kini mengerti, mengapa Kairav setuju melakukan hal ini.
Dale menepuk pundak Kinara dengan lembut meski matanya tertuju pada Kairav penuh pengertian. "Jemput dia," katanya pada Kairav. "Dan kita akan membantumu membuat Ree seperti dirinya yang dulu lagi." Mata Dale melirik Ree kecil yang sibuk bermain cipratan air.
"Hei," seru Ree, "Memangnya Ree yang kalian kenal berbeda jauh dari aku?"
Sebelum ada yang dapat menjawab Ree, Penyihir Putih mengambil satu langkah ke depan. Kedua tangannya ia tengadahkan. "Siap?" tanyanya pada Kairav dan Ree. Namun tanpa menunggu jawaban keduanya, Penyihir Putih sudah melantunkan mantra dari mulutnya. Kedua tangannya bersinar, begitu juga matanya.
Begitu Anielle melafalkan mantra dari mulutnya, air kolam mulai beriak. Awalnya hanya gelombang kecil yang muncul dari tengah, menyebar ke pinggir kolam. Semakin lama gelombang itu semakin banyak dan semakin kuat.
Kemudian tujuh riak air muncul, melayang di udara, mengelilingi Ree dan Kairav yang berdiri saling berhadapan di tengah. Burung-burung di goa mulai mengelilingi ketujuh riak air itu, memberikan cahaya mereka pada air sehingga terlihat seperti tujuh kristal.
Semakin Anielle merapalkan mantranya, semakin bersinar tujuh kristal itu.
Ree sempat membuka mulutnya, terkesima dengan pemandangan di sekelilingnya.
Lalu satu per satu, tujuh kristal itu mulai memasuki tubuh Ree dengan tajam dan tiba-tiba. Satu memasuki lengan Ree, membuat gadis itu meringis kesakitan. Belum sempat ia menyadari apa yang terjadi, kristal lain memasuki tangan lainnya. Kemudian kristal-kristal lain memasuki pundaknya, dadanya, dahinya, perutnya, hingga tidak ada kristal yang tersisa di kolam itu.
Rasa sakit yang menusuk hingga ke tulang menjalari seluruh tubuh Ree. Rasanya seperti dibakar hidup-hidup, begitu panas dan perih. Mata Ree sudah berair ketika ia menutupnya.
Namun sedetik setelah ia menutup matanya, semua rasa sakit itu hilang. Begitu ia membuka matanya, ia sudah tidak berada di kolam yang sama. Ia justru duduk di sebuah meja makan panjang yang familiar.
Ree mengangkat wajahnya untuk melihat sekelilingnya. Rasa familiar menyerbu dirinya ketika ia melihat sosok-sosok yang ia kenal. Seketika, ia kembali ke rumahnya yang dulu, Istana Judistia, tepatnya di ruangan perjamuan. Ia melihat kedua orang tuanya sedang bersenda gurau di ujung meja, kemudian ia melihat adik perempuannya dan beberapa bangsawan yang telah mereka undang untuk merayakan ulang tahun Ree.
Sedetik kemudian, belum sempat ia berkedip, ia melihat kepala orang terjatuh ke mangkuk sup merah di hadapannya. Lalu hal berikutnya yang ia lihat adalah darah, darah, dan darah. Telinganya menangkap suara angin terbelah dari segala arah, derap langkah kaki yang terdengar semakin berat dan banyak, serta teriakan parau dari penjuru ruangan.
Hal berikutnya yang Ree lihat adalah ketika sebuah pedang besar menghujam tubuh ibunya dari belakang ketika mereka sedang berlari. Dengan perih hati, Ree harus meninggalkan ibunya dan menarik adiknya ke arah hutan.
Ree berkedip dan dirinya sudah berpindah ke bawah pohon oak tua. Di hadapannya, sebuah pedang telah menghunus tubuh adiknya dengan kejam. Satu kakinya tercelup pada kolam yang mengelilingi pohon itu, dan entah kenapa prajurit yang membunuh adiknya tidak dapat melihat dirinya.
Begitu prajurit itu pergi, Ree berkedip berkali-kali. Ia menyatukan kepingan-kepingan ingatannya. Tangisannya tumpah ketika adiknya tidak mau terbangun. Rasa perih itu menyusupi tubuhnya, begitu dalam, membakar, tetapi tidak dapat dilokalisasi.
Rasanya ia hanya dapat menangis dan melipat diri di lantai hutan selama berhari-hari. Ia tidak merasa lapar atau haus. Hanya lelah.
Hingga akhirnya sebuah suara membangunkannya. "Ree," panggil suara itu, "Ayo bangun. Kita harus terus melangkah."
Ree menggelengkan kepalanya, tangisannya menderu kembali. "Aku takut," isaknya, "Aku takut..." Matanya menangkap pemilik suara. Entah bagaimana, Ree langsung tahu suara itu adalah milik Kairav, seorang yang dapat ia percayai.
Pria itu menjulurkan tangannya pada Ree. Tatapannya lurus dan jujur. "Aku tahu," katanya, "Tapi kau harus terus berjalan. Ada aku di sini yang menemanimu. Ayo, kita bangun dan terus melangkah."
Entah mengapa, Ree menerima juluran tangan Kairav. Masih dengan isakannya, ia mengikuti Kairav untuk terus melangkah.
Namun begitu ia berkedip, hal berikutnya yang ia lihat adalah bayangannya di cermin yang sudah remaja, bukan lagi anak kecil. Dirinya sudah bukan lagi berada di hutan, tetapi berada di sebuah rumah sederhana milik kru Prajurit Bayangan.
Seketika hatinya merasa lebih ringan. Ia telah mendapatkan keluarga baru, dan senyumannya sudah kembali.
Sayangnya, rasa itu tidak bertahan lama. Begitu ia mengedip kembali, dirinya berpindah ke sebuah mansion yang gelap. Ia baru saja meminjam kekuatan dari Naga Hitam dan membunuh setiap jiwa yang telah menghancurkan kehidupannya kembali.
Namun ia telat.
Meski amarahnya membeludak, meski kesedihannya bertumpah ruah, meski kebenciannya berkali-kali lipat... ia telat menyelamatkan keluarga keduanya.
Di bawah rembulan yang sempurna pada malam yang tenang, ia mengeluarkan sebuah teriakan yang perih. Dadanya begitu sakit ketika ia harus menguburkan orang-orang yang berarti baginya.
Ketika ia menguburkan Xi, sempat terlintas pikiran untuk mengubur dirinya pula hidup-hidup. Untuk apa lagi ia lanjut melangkah, bukan?
Lagi-lagi suara Kai muncul. "Ree, kau harus terus melangkah." Pria itu berdiri tepat di belakang Ree yang sedang mengamati kuburan Xi. Tumpukan tanah di samping kuburan itu masih menggunung, dan tubuh Xi masih terlihat. Tangan Ree sudah berdarah hebat, tetapi ia tidak merasakan sakit sedikitpun.
"Untuk apa?" teriaknya balik tanpa membalikkan badan. "Untuk apa terus melangkah?"
"Ree, Xi tidak akan mau melihatmu mengubur dirimu sendiri," kata Kai, "Ayo terus berjalan. Kau tidak sendiri–"
"Tapi aku sendiri!" suaranya semakin keras. "Dunia selalu saja merenggut orang-orang di sekitarku. Aku yang terkutuk. Aku yang menyebabkan mereka semua mati. Aku yang tidak pantas hidup!"
"Tidak Ree," suara Kairav sedikit bergetar, "Tidak. Kau pantas hidup. Dan bukan hanya sekadar hidup, tetapi kau pantas menikmati hidup."
"Kalau begitu kenapa hidupku penuh kesengsaraan? Kenapa aku?" isaknya, "Kenapa selalu aku? Aku tidak ingin terus melangkah, terus betambah usia dan dewasa bila begini caranya. Aku ingin kembali ke masa kecilku yang bahagia. Kembalikan hidupku!"
Untuk sesaat Kairav hanya terdiam, dan Ree pikir Kairav pun tidak dapat menjawab pertanyaan batinnya. Ree mengambil satu langkah, hendak loncat ke dalam kuburan Xi dan menyudahi saja langkahnya di sini. Ia lelah. Kenapa tidak ia tidur saja selamanya?
"Ree," suara Kairav menghentikan langkah Ree di udara. "Aku tahu bertambah dewasa itu menyakitkan. Dan hidupmu penuh kepahitan. Aku mengerti bila kau ingin berhenti."
"Tapi Ree," lanjut Kairav, "Hidupmu belum hilang. Masih banyak yang bisa kau lakukan. Kau masih bisa membalaskan ketidakadilan yang menimpa keluargamu seperti kau membalaskan ketidakadilan yang menimpa kru Prajurit Bayangan di Turnamen Mentari. Kau masih bisa membenarkan yang salah, hancurkan sistem feudal kontrak ini. Kau masih bisa menyatakan kebenaranmu ke seluruh dunia, atau bahkan merenggut hak milikmu berdasarkan darah yang mengalir di tubuhmu."
"Kita tidak bisa memilih bagaimana kita dilahirkan, dan banyak kejadian terjadi di luar dugaan kita. Namun bukan berarti hidup kita dapat dikendalikan begitu saja. Ree, ayo terus melangkah dan kita renggut hidupmu dari dewi palsu yang sok bermain dalang. Ayo kita buktikan pada dewi palsu itu bahwa kau bukanlah seorang pion yang dapat ia mainkan begitu saja."
Suara Kairav menggebu-gebu. "Ree, kau dipinjamkan kekuatan dari Dewi Kara. Memang tujuannya agar ia dapat menggunakanmu untuk mengembalikan wujud aslinya di dunia. Namun tidakkah kau lihat? Ini adalah kesempatanmu juga untuk membunuhnya."
Ree mengedipkan matanya. Ia pikir Kairav hanya akan berkata-kata kosong seperti Ree tidak boleh menyerah untuk hidup atau bahkan berusaha membuat Ree merasa bersalah seolah-olah Ree tidak mensyukuri kehidupannya. Kata-kata seperti 'Lebih banyak orang yang menderita darimu.' Karena hal-hal itu selalu dilakukan oleh semua orang yang Ree temui. Oleh karena itu Ree belajar untuk menutup dirinya, tidak menceritakan hidupnya pada siapapun.
Ia benci kata-kata itu. Bukannya membantunya, kata-kata itu justru membuatnya semakin menyalahkan dirinya. Semakin membenci dirinya sendiri.
Sebaliknya, Kairav justru berusaha mengarahkan amarah dan kesedihan Ree, kemudian memberikan alasan konkret agar Ree terus melangkah. Ree mendapati dirinya memutar tubuhnya untuk melihat Kairav.
"Apa yang kau alami tidaklah adil, Ree," kata Kairav.
Itu benar. Akhirnya ada orang lain yang memvalidasi perasaannya.
"Tidak seharusnya seorang terus kehilangan sepertimu. Dan kau sudah sangat kuat menghadapinya."
Itu... benar. Untuk pertama kalinya, Ree mengakui... dirinya sudah sangat tabah.
"Jadi jangan pupus sekarang. Karena dia yang menjerumuskanmu seperti ini belum mendapatkan pelajaran. Jangan menyerah sekarang sebelum kau dapat memutarbalikkan dunia dan membuat semua orang sadar. Kau memiliki suara dan kekuatan, Ree. Bila kau berhenti melangkah sekarang... gadis berikutnya yang ditumbalkan dunia mungkin saja tidak memiliki kesempatan yang kau punya."
Kairav lanjut berkata, "Kau masih bisa membakar dunia ini bila kau mau. Jerumuskan satu dunia ini pada kegelapan bila kau berkehendak seperti itu."
Ree berkedip. Karena ia mendapati dirinya menyetujui perkataan Kairav. Lebih baik dirinya memegang amarah dan memiliki tujuan daripada menyerah dan membenarkan perkataan mereka yang terus berusaha menjatuhkannya. Bahwa ia hanyalah seorang pion.
Bahwa ia hanyalah seorang gadis kecil yang hanya dapat menangis sendirian.
"Tunjukkan pada dunia bahwa kau bukanlah sembarang orang. Kau adalah Adishree Janya. Putri Pertama yang telah diramalkan, dipergunakan sebagai pion, dan sekarang akan mewarnai seluruh dunia dengan kekuatanmu," suara Kairav berubah menjadi lembut. "Bila kau lelah berjalan, aku akan menggendongmu. Bila kau lelah bersuara, aku akan menjadi suaramu. Baik kau melangkah dalam terang ataupun gelap, aku akan bersamamu hingga duniamu penuh warna kembali."
Kai menjulurkan tangannya pada Ree dengan senyuman lembut di wajahnya. "Jadi ayo," ajaknya, "Kita melangkah lagi. Kali ini jangan lepaskan peganganmu."
Ree menunduk melihat telapak tangan Kairav. Teringat di benaknya bahwa memang dirinyalah yang melepas pegangan pertama kali. Karena terbiasa membangun tembok terhadap orang lain, ia tidak percaya diri untuk terus menggenggam tangan Kairav. Tangan pria itu begitu hangat dan nyaman sementara Ree takut ia hanya akan membawa malapetaka pada Kairav.
"Tch. Kau pikir aku selemah apa?" tanya Kairav seakan ia membaca pikiran Ree. Sebuah senyuman tipis jenaka menghias wajahnya. "Aku adalah manusia abadi dan seorang Basma, bocah. Tidak ada malapetaka yang dapat menenggelamkanku. Jadi sekarang biarkan aku membantumu seperti kau telah membantuku melalui kesedihanku terhadap istriku."
Suara Kairav sangatlah lembut, membuat Ree ingin terhanyut pada alunan nada baritonnya. Akhirnya, pelan tapi pasti, ia menerima juluran tangan Kairav. Matanya menatap Kairav lurus. Begitu Kairav memantapkan pegangan tangan mereka, Ree merasakan seperti ada ledakan di dalam dadanya. Terdapat rasa sesak dan tertekan, tetapi juga rasa penuh dan nyaman.
Sebelum ia dapat mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya, Kairav sudah menarik Ree untuk kembali melangkah. Ree mengikuti meski masih ada keraguan dalam dirinya.
Kali ini mereka berada di Turnamen Mentari. Tidak seperti sebelumnya di mana Ree merasakan kembali semua pengalaman, kini mereka berdua hanyalah sebagai pengamat ketika Andreas meninggal di tangan Ree.
Tanpa sengaja, Ree mengencangkan pegangannya pada Kairav, dan pria itu seakan memberikan keteguhan pada dirinya, entah bagaimana caranya. Yang pasti, Ree tahu ia tidak sendirian.
Ree berkedip setelah melihat sebuah sulur bercahaya melilit kedua tangan mereka yang bertaut. Sinar itu semakin lama semakin terang, membuat Ree tidak mampu membuka matanya.
Begitu akhirnya sinar meredup, Ree membuka matanya perlahan.
Ia telah kembali di kolam di goa. Berdiri di hadapannya adalah Kairav yang terengah-engah. Dari pantulan di mata Kairav, Ree dapat melihat bahwa dirinya sudah kembali ke wujudnya semula.
Ia tahu ada orang lain di goa itu. Namun ia tidak peduli. Pandangannya hanya tertuju pada Kairav dan sulur bercahaya yang masih melilit kedua tangan mereka. Sulur itu bermuara pada dada masing-masing, sebelum akhirnya hilang begitu saja.
"Kau..." Ree kehilangan kata-kata begitu ia sadar apa yang Kairav telah lakukan untuk mengembalikan dirinya ke wujud semula. Dan begitu ia ingat kata-kata Kairav tadi, ia semakin tidak memiliki kata-kata. Rasa tertusuk yang dasyat muncul di dadanya. Perih.
Ia tidak dapat menahan satu air matanya terjatuh ke pipi. Hidungnya terasa tersumbat dan matanya terasa sangat panas.
"Jangan berbicara terlebih dahulu," kata Kairav. Pria itu melangkah mendekati Ree. "Kau butuh istirahat."
Pria itu dengan mudah mengangkat tubuh Ree yang ternyata minim pakaian, karena tubuhnya sudah membesar kembali, lebih besar dari pakaian di tubuhnya. Kairav menggendong Ree ke tepi kolam, di mana Kinara sudah menyiapkan sebuah handuk untuk mereka berdua. Setelah membalutkan handuk pada tubuh Ree, Kairav langsung membawa Ree keluar dari goa menggunakan magis airnya.
Pria itu tidak memedulikan Penyihir Putih dan anggota kru lainnya yang terlihat khawatir. Pusat pikirannya hanyalah Ree. Ia meninggalkan mereka di goa begitu saja tanpa kata-kata dan dengan membawa Ree di tangannya.
Dengan magis airnya, mereka dapat dengan cepat kembali ke apartemen Kairav tanpa banyak orang melihat. Mereka hanya melihat percikan air yang besar membelah kota dengan begitu cepatnya. Pun karena hari sudah subuh, tidak ada orang yang berkeliaran di kota. Kalaupun ada yang melihat, mereka akan menganggap percikan air itu adalah mimpi.
Sesampainya di kamar, Kairav mengeringkan tubuh Ree dan memakaikan pakaian yang hangat di tubuhnya. Kemudian ia mengeringkan dirinya sendiri lalu menggendong Ree kembali ke tempat tidur. Ia membaringkan Ree begitu lembut dan memastikan tubuh gadis itu terselimuti dengan sempurna.
Mereka terbaring saling berhadapan untuk beberapa saat. Keduanya telah kehilangan kata-kata, meski tatapan mereka menyatakan ribuan hal dalam waktu yang sama.
"Kai," panggil Ree lembut setelah beberapa lama. Langit di luar jendela mereka berwarna ungu dengan sedikit semiran oranye.
"Hmm."
"Aku lelah." Suara Ree serak, tenggelam oleh tangisan yang membendungi tenggorokkannya. "Aku lelah hidup. Lelah untuk–" Tangisannya pun akhirnya pecah. Pundaknya berguncang ringan saat Kairav menariknya dalam pelukan.
Ree menyembunyikan wajah terisaknya pada dada Kairav. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk menghentikan tangisan. Namun hal itu tidak berguna.
Pria abadi ini mengusap lembut kepala Ree, mengeratkan pelukan mereka, dan membagi kehangatan tubuhnya.
"Aku tahu," bisiknya. "Tapi aku ingin kau tahu, kau adalah orang terkuat yang aku temui. Fakta bahwa kau masih di sini, setelah semua yang harus kau lalui... Aku tidak pernah menemui orang yang lebih luar biasa darimu. Dan aku..."
Suara Kairav pun ikut pecah. Air matanya keluar, mengalir di pipinya, tanpa diketahui Ree. "Dan aku sangat berterimakasih karena kau sudah berjuang, karena kau masih berjuang hingga saat ini. Aku bersyukur telah menemuimu. Aku janji akan merawatmu, akan menjadi tumpuanmu, menjadi kaki dan suaramu bila kau lelah, dan akan melindungimu."
Ree hanya dapat menangis mendengar kata-kata manis dari Kairav. Sudah terlalu lama ia berusaha kuat sendiri. Sudah terlalu lama punggungnya menahan beban dunia dalam kesendirian.
Kini ada orang yang menawarkan punggungnya sebagai tumpuan Ree dengan lapang dada. Kini ada orang yang berjanji akan melindungi Ree.
"Aku berjanji akan membuatmu tersenyum dan tertawa seperti dulu lagi," lanjut Kairav. "Aku rasa aku hidup tiga ratus tahun untuk ini, untuk dirimu."
"Kau... tidak menyesal?" isak Ree. Pundaknya masih terguncang, meski tidak sehebat sebelumnya. "Aku tidak ingin kau mengasihaniku."
"Ini bukan rasa iba, Ree," katanya lembut.
"Lalu apa?"
Kairav meletakkan satu tangan Ree pada dadanya, membiarkan gadis itu merasakan debaran jantungnya yang tenang dan kuat, seperti deburan ombak di laut bebas. Satu kata terlintas di benak Ree, dan ia tahu kata itu adalah kiriman Kairav melalui tautan jiwa yang sekarang mereka miliki.
Bukan. Bukan kata yang Kairav kirimkan.
Kairav mengirimkan sebuah badai penuh api yang tidak membakar, ia mengirimkan jutaan bintang di langit malam, ia memberikan semilir angin yang sejuk, dan ia membagikan sebuah kehangatan yang merasuk hingga tulang, membuat diri Ree tenang dan... merasa seperti di rumah.
Sebuah perasaan yang telah hilang dari Ree semenjak keluarganya dibunuh.
Dan Ree tahu hanya ada satu kata yang menggambarkan semua hal yang Kairav kirimkan.
Ree berhenti menangis. Ia merapatkan dirinya pada tubuh Kairav yang hangat. Matanya yang lelah menangis menjadi sangat berat. Dengan belaian lembut Kairav di kepalanya, ia pun tidak dapat menahan rasa kantuk.
Malam itu, ia tertidur pulas untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. Begitu juga Kairav.
Keduanya memimpikan satu kata itu.
–Bersambung–
Haloo akhirnya dapat bertemu dengan kalian lagi.
Hayoo.. apa satu kata yang dipikirkan Ree dan Kairav?
Jangan pikir yang macam-macam di chapter ini ya... jangan merusak momen yang sudah author bangun.
Kami mengawasi lho!!
Salam,
Para bayangan di bawah selimutmu.
Author's note:
Kalo teman kalian lelah hidup atau merasa sedih, jangan meng-invalidasi perasaan mereka dengan kata2 "masih banyak yang lebih menderita daripadamu," "kamu kurang bersyukur sih," "dosa tahu mikir kaya gitu." Kata-kata ini sama sekali tidak membantu mereka.
Berempatilah pada mereka dengan memvalidasi perasaan mereka. Apapun yang kita rasa, hal itu adalah valid. Kita boleh saja membenarkan mereka bila mereka salah, memberi nasihat, tetapi mereka tetap sah-sah saja merasa sedih, kecewa, atau marah. Mengerti sudut pandang mereka, dan jangan memaksakan pandangan kita terhadap masalah mereka. Karena yang menjalani hidup adalah mereka, bukan kita. Mereka lah yang membuat keputusan hidup mereka, bukan kita.
Hal-hal yang bisa kita katakan, "Tidak apa-apa. Luapkan saja semuanya." "Sini curhat sama aku." "Aku mengerti rasanya." Tunjukkan kalau kamu akan ada di sisi mereka, jangan sudutkan mereka.
Lagian, kita semua akan ada waktunya di atas dan di bawah. Perlakukan orang lain yang sedang di bawah sebagaimana kita ingin orang lain berlaku pada kita ketika kita berada di bawah.
More kindness, less judging.
Have a great day yaa! Terus melangkah.
BTW, ada quotes yang kalian suka ga di chapter ini? Boleh share2 kesukaan kalian dong hehe siapa tahu sama dengan kesukaanku <33
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top