30: Sup Merah

Lagu: Silence Looks Good On You oleh Rachel Taylor

-Ree-

Lembah Penyihir Putih


Ree berlari dari ruangan pertemuan aliansi karena merasa sesak. Pikirnya, di ruangan yang terbuka, dirinya akan dapat bernapas lebih lega. Namun hal itu tak terjadi.

Bising pasar kota di lembah itu menyeruak ke telinga Ree. Suara orang saling tawar-menawar, suara derap langkah kaki yang bergema, suara kayu bertemu tanah, suara kuda mengikik dan keledai meringik, serta suara anak-anak yang bermain menyerbu diri Ree. Kebisingan itu melanda pemikirannya tak karuan.

Matanya menjadi tak fokus meski sudah berkali-kali dikejapkan. Kemudian semua kebisingan itu berubah menjadi suara dengungan yang monoton. Suara itu memekkakan telinga, membuat Ree menutup kedua telinganya dan mengerang.

"Ree," panggil Kairav. Pria itu merentangkan tangan untuk menggapai Ree. Namun begitu jemarinya menyentuh kulit Ree, gadis itu menghindar. Diri Ree dilanda terlalu banyak sensasi yang membuatnya sesak. Ia butuh ketenangan, butuh kediaman... Ia butuh udara...

Tanpa ia sadari, napasnya mulai menderu, menjadi cepat dan singkat. Ia hiperventilasi.

"Ree..." Kairav mencoba lagi. Kali ini Ree tidak menolak sentuhan Kairav. Namun ketika matanya kembali fokus, ia sadar bahwa kebisingan pasar sudah mereda. Karena semua orang kini menatapnya terang-terangan. Semuanya berhenti beraktivitas untuk menatap Ree.

"Kemari." Kairav menarik lengan Ree dengan pelan, menggiringnya menjauh dari kerumunan pasar dan memasuki sebuah bangunan ssederhana dekat toko roti. Pandangan semua orang masih terarah pada Ree yang ternyata memasuki sebuah kedai makanan sederhana. Bahkan, sedikit orang yang berada di dalam kedai itu juga ikut memandang Ree. Setidaknya, jumlah pasang mata yang melototi Ree lebih sedikit di dalam kedai dari di luar.

"Kenapa mereka memandangiku?" bisik Ree dengan lirih.

Kairav menggiring Ree untuk duduk di salah satu kursi tinggi di depan meja setengah lingkaran yang membatasi dapur. Tidak ada orang lain yang duduk di deretan kursi itu.

"Karena..." Belum sempat Kairav selesai berkata, seorang nenek tua menghamnpiri mereka dari balik meja dengan senyuman manis. Gigi depannya sudah ompong dan wajahnya penuh keriput usia. Namun matanya berbinar terang ketika melihat Ree.

"Tuan Puteri," sapanya pada Ree dengan ramah. Meski tubuhnya sudah rapuh, ia masih berusaha melakukan curtsy untuk menyapa Ree dengan hormat. Ree tertegun melihat nenek tua itu.

Kairav mendelikkan bahunya ke arah si nenek. "Karena kau adalah Putri Pertama," jelasnya, "Dan karena nasib satu kontinen ada di tanganmu."

"Kau dengar apa yang Anielle katakan, bukan?" tanya Ree, suaranya semakin lama semakin meninggi. "Kau dengar apa yang Andromeda katakan? Mereka lah yang bersalah jadi kenapa aku yang ditumbalka–"

"Shhhh." Kairav menutup mulut Ree dengan ibu jarinya. Matanya menatap Reel lurus, seakan berkata, 'Jangan lanjutkan kata-katamu.'

Namun tindakan itu justru membuat Ree menjadi kesal. "Sekarang kau akan membungkamku?"

Mata Kai membelalak. "Bukan itu maksudku," katanya, "Hanya saja ini bukan waktu yang tepat. Kau harus membiarkan Penyihir Putih menjelaskan ceritanya kepada semua orang secara langsung."

Ree berkedip sekali. Ia sekarang mengerti mengapa Kairav menghentikan perkataannya. Orang-orang di Lembah Penyihir Putih tidak memandang Ree dengan tatapan yang jinak. Mereka juga tidak akan memercayai Ree begitu saja. Kairav benar, hanya Penyihir Puutih yang bisa membuka mata mereka, hanya Penyihir Putih yang dapat menguak dosanya pada dunia.

Namun tetap saja Ree kesal. Sehingga ia menggigit ibu jari Kairav tanpa ampun.

"Ah!" Kairav mengaduh sembari menarik jemarinya. Matanya menatap Ree tidak percaya. "Hei wanita, kau ini buas juga ya."

Rahang Ree mengeras. Ia kembali melihat sang nenek yang masih mempertahankan posisi curtsy. Kaki nenek itu sudah bergemetar dan Ree melihat bahwa orang-orang mulai mendecakkan lidahnya karena dirinya membiarkan seorang nenek tua menahan posisi begitu lama.

"Kau tidak perlu membungkuk padaku, Nek," kata Ree.

"Oh, tentu aku perlu. Aku adalah warga Judistia yang setia pada Janya. Dan kau adalah pewaris tunggal Kerajaan Judistia," nenek itu mengangkat wajahnya penuh harap pada Ree, "Semoga akan ada waktunya kau mendapatkan yang seharusnya milikmu, Tuan Puteri."

Ree mengepalkan tangannya. Ia lebih terbiasa dengan tatapan mengolok yang diberikan banyak orang daripada tumpuan harapan si nenek ini. Di satu sisi, ia jengkel karena nenek ini seenak jidatnya memproyeksikan ekspektasinya pada Ree. Ingin rasanya ia berteriak bahwa dirinya tidak perlu melakukan semua itu, dirinya tidak perlu peduli pada semua itu. Dirinya hanya ingin bebas dari takdir yang mengurung dan mencekiknya.

Namun Ree menelan amarahnya dan menghembuskan napas. "Bangunlah, Nek."

Nenek itu akhirnya berhenti curtsy, Ia tersenyum manis pada Kairav dan Ree. "Apa kalian sudah makan?"

"Belum, Nek," jawab Kairav.

"Oh!" seru nenek itu dengan girang. "Kebetulan sekali aku memiliki makanan kesukaanmu. Biar kuambilkan."

"Makanan kesukaan?" Ree menelengkan kepalanya, berpikir apakah ia pernah bertemu nenek ini sebelumnya. Bagaimana nenek ini dapat mengetahui makanan kesukaannya?

Nenek itu langsung berjalan melewati pintu dapur. Suara gemuruh terdengar dari balik pintu kayu itu. "Sepertinya nenek menyukaimu," kata Kairav dengan alis terangkat.

Ree juga berpikir seperti itu. Namun tidak mungkin nenek ini menyukai Ree tanpa alasan, bukan? Nenek ini adalah satu-satunya orang di Lembah Penyihir Putih yang tidak memberikan tatapan sinis pada Ree.

Beberapa detik kemudian, nenek itu keluar dari pintu membawa sebuah nampan dengan dua mangkuk besar dengan asap yang mengepul. Bau kaldu ayam bercampur tomat merasuki indera penghidu Ree. Ketika Kairav tesenyum lebar mencium bau sedap itu, Ree justru membeku di tempat. Matanya membelalak melihat nenek itu dengan senyuman lebar meletakkan nampan di atas meja kemudian dengan hati-hati meletakkan mangkuk di depan Kairav dan Ree.

Nenek itu menceritakan sesuatu dengan girang. Matanya berbinar ceria menatap Ree.

Namun Ree tidak dapat mendengar satu kata pun yang keluar dari mulut si nenek. Matanya terpaku pada mangkuk di hadapannya yang berisi...

Darah.

Ree berkedip dan dirinya kembali ke sebelas tahun yang lalu ketika pembantaian itu terjadi. Ia duduk di meja panjang kerajaan yang memiliki taplak putih nan halus. Di hadapannya, sebuah mangkuk berisi sup merah, sup kesukaan Ree berada.

Kemudian sup itu mendidih, mengeluarkan buih-buih air yang meletup. Cairan merah mulai meluap dari mangkuk dan melebar seperti magma di atas meja. Ree yang panik langsung mengangkat wajahnya untuk melihat keluarganya yang lain... dan dirinya melihat kedua orang tua Ree duduk di hadapannya dengan leher yang tertekuk secara janggal. Sebuah irisan merah terlihat di kedua leher mereka. Mangkuk sup di hadapan mereka juga meluapkan cairan merah kental. Ree melihat ke kanan dan kiri... semua orang memiliki irisan merah yang sama di leher mereka dan sup mereka meruak keluar.

Dengan panik, Ree berusaha berdiri dari meja itu. Secara tak sadar, tangannya menjatuhkan mangkuk di hadapannya, membuang semua cairan merah ke lantai.

Ia akhirnya berkedip kembali. Dan dirinya kembali ke kedai yang Kairav tuntun.

Matanya langsung melihat nenek yang sama. Kini nenek itu menatap Ree dengan sedih, meratapi sup merah buatannya yang telah dijatuhkan Ree.

Ree berkedip untuk ketiga kalinya. Ia menoleh ke arah kairav yang tertegun.

Kemudian ia melihat semua orang di kedai sudah berdiri. Mereka semua menatap Ree dengan tatapan tidak suka. "Nenek Risma sudah membuatkan sup merah itu untuk dirimu, Tuan Puteri," cibir seorang pria berjenggot merah.

"Apa kau merasa terlalu tinggi untuk memakan sup merah Nenek Risma hanya karena kau Tuan Puteri? Sup buatan Nenek Risma setara dengan masakan istana!" kata pria lain dengan tunik berwarna hijau.

Tatapan marah mereka terlalu banyak untuk Ree. Ia melirik Kairav, kemudian nenek itu yang bernama Risma.

Ah, sekarang Ree ingat. Risma adalah nama salah satu dayang ibunya. Salah satu dayang yang ibu Ree suruh lari ketika pembantaian itu terjadi.

Deru napas Ree menjadi lebih cepat ketika orang-orang di kedai mulai mengambil langkah ke arahnya.

"Ree–"

Ree menghentikan pekataan Kaairav dengan mengangkat satu tangan. Setelah menelan ludah kasar, ia memutuskan untuk keluar dari kedai dan berlari kembali. Kini ia menembus ramainya pasar tanpa ampun. Kakinya membawanya ke arah benteng lembah. Untung saja pintu benteng sedang dibuka karena adanya pendatang baru.

Tanpa memedulikan para kesatria yang berjaga, Ree berlari keluar gerbang dan menuju hutan yang lebat. Ia hanya butuh udara segar, jauh dari semua mata yang menghakiminya. Jauh dari semua hal yang mengingatkannya akan masa lalunya.

Bila saja ia memutuskan untuk tinggal, ia akan mengetahui bahwa Nenek Risma justru memarahi para pria yang menyeletuk pada Ree. Kata Nenek Risma pada mereka, "Ini salahku."

"Bagaimana mungkin ini salah Nenek?" tanya pria berjanggut merah. Ia terlihat sangat tidak menyukai sikap Ree sebelumnya.

"Karena aku terlalu senang bertemu dengannya, aku ingin menyuguhkan makanan kesukaannya," kata Nenek Risma, "tapi aku lupa bahwa sup yang sama disuguhkan di hari ia kehilangan segalanya. Sup merahku pasti mengingatkannya akan hari itu."

Semua orang di kedai langsung tertegun. Tatapan marah mereka mereda.

"Kasihan sekali gadis itu," gumam Nenek Risma sembari berjongkok untuk membersihkan sup di lantai. "Sampai sekarang ia masih terluka dan kalian semua justru menghakiminya. Aku tidak menyalahkannya untuk ingin berlari terus."

"Nek," tawar Kairav, "Biarkan aku saja." Pria itu membantu Nenek Risma berdiri, kemudian menggunakan magis airnya, mengangkat molekul-molekul air di sup dan menguapkannya di udara hingga tak berbekas. Lantai kayu sudah bersih sempurna dalam sekejap.

Namun Nenek Risma belum selesai memarahi pelanggan di kedainya. Ia mengambil sapu dari pojok kedai dan memukul kaki kedua pria yang memarahi Ree. "Ehh?? Kenapa kita yang dipukul?"

"Karena kalian tidak punya empati sama sekali pada Tuan Puteri kita," Nenek Risma berseru, "Kurangi penghakiman kalian dan lihatlah luka yang ia bawa sampai sekarang." Mata nenek itu berlinang. "Ia dulu adalah anak yang sangat bersemangat dan riang. Sekarang ia... ia... seakan sudah pecah."

Nenek itu memukul kedua pria itu lagi. "Awas bila kalian melukai perasaan Tuan Puteri lagi."

Di lain sisi, Kairav tersenyum kecil melihat Nenek Risma. Ia pikir sayang juga Ree berlari terlalu cepat dan tidak melihat ini dengan mata kepalanya sendiri. "Nek, aku akan mengejar Ree," pamit Kairav.

Nenek Risma mengangguk. "Tolong sampaikan maafku padanya. Aku tidak berpikir ketika memberikan sup merah padanya."

Kairav balas mengangguk sebelum berlari mengejar Ree. Ia tidak begitu tahu ke mana gadis itu berlari, tetapi seperti ada tautan kasat mata yang menghubungkan dirinya dengan Ree, kakinya membawanya ke arah hutan di luar Lembah Penyihir Putih. Dirinya seakan tersihir untuk selalu menyusul Ree.

Sayangnya, Ree yang berlari sebelum mendengar permintaan maaf Nenek Risma, berpikir bahwa seluruh dunia seakan menentangnya. Bahwa tidak ada yang dapat mengerti dirinya dan tidak mau mengerti. Mereka hanya menghakimi karena itu lebih mudah bagi mereka.

Di tengah-tengah pelariannya, setelah melewati banyak semak dan ranting-ranting pohon, isakan Ree pecah di tenggorokkannya. Matanya sudah menjadi buram karena air dan dirinya kehabisan napas setelah berlari dengan kecepataan tinggi. Iaa berhenti di sebuah bukaan di hutan. Dengan lutut tertekuk, ia mengeluarkan semua isakan yang dari tadi ia tahan.

Beberapa bulir mata jatuh ke rumput di bawah.

Namun dunia masih saja menentangnya. Mereka tidak mau memberikan Ree waktu sebentar saja untuk bernapas lega, untuk menangisi dirinya.

Karena ketika Ree mengangkat wajahnya, di balik semak yang lebat di hadapannya, seekor naga putih menggeram marah padanya. Itu adalah naga putih yang ia lihat sebelum ia memasuki Lembah Penyihir Putih.

Naga itu membuka mulutnya lebar, menunjukkan rongga mulut yang besar dan gelap. Kemudian sebuah cahaya muncul dari pangkal tenggorokannya.

Namun bukannya api yang keluar dari rongga mulut sang naga, justru Ree merasa seakan dirinya diserap memasuki naga itu. Dunia seakan melayang, tubuhnya menjadi sangat ringan, dan ia tidak bisa melepas pandangannya dari rongga mulut sang naga.

"Ree!!" Kairav berseru dari belakang Ree dengan panik.

'Matilah aku,' pikir Ree. 'Setidaknya mati karena diserap naga putih terdengar keren.'



–Bersambung–

Lama tak berjumpa kawan-kawan

Ayo rajam authornya lagi!

Bercanda... author nitip pesan nih, kalau melihat Turnamen Mentari atau Negeri Mentari di website lain selain Wattpad, jangan dukung website itu. Lagian kan ini cerita gratis, tapi kalau di copy di mirror web atau kalau di plagiat, author jadi malas... jujur aja... 

Jadwal di November: update setiap Jumat atau Sabtu :)

Terima kasih untuk yang masih membaca, untuk yang masih menunggui. 

Selamat berlibur sambil memikirkan apa yang naga itu lakukan pada Ree 

(senyum jahat)



Salam,

Para bayangan yang tidak pernah meninggalkanmu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top