28: Asal Mula (2)

 Lagu: In My Blood oleh Tommee Profitt ft. Fleurie

-Anielle-

1000 tahun yang lalu

Terdapat sebuah lorong rahasia yang menghubungkan Akademis dengan istana. Kami juga mengetahui lorong ini dari menguping pembicaraan para bangsawan. Lorong itu terletak di balik salah satu rak buku di perpustakaan Akademis. Di ujung lorong, tangga spiral yang berujung pada sebuah kamar tamu di istana berada.

Terdapat dua penjaga yang menjaga di depan tangga itu. Dengan magis Wiseman yang dapat menghidupkan wayangnya, ia membentuk topeng realistis untuk kami semua sehingga para penjaga mengira kami adalah anak-anak para bangsawan. Dengan mudah, kita melabui para penjaga dan meneruskan hingga kamar tamu tersebut.

"Kar, kau tahu letak cawan itu?" tanyaku.

Kara pun mengangguk.

Lagi-lagi menggunakan magis Wiseman, kami menyembunyikan identitas kami. Kali ini, kami berpenampilan seperti pelayan istana.

Kara menuntun kami ke sayap timur istana. Ketika ada penjaga yang menghentikan kami, dengan mudahnya kami berbohong bahwa Ratu atau Tuan Puteri meminta kami membersihkan sesuatu di sayap timur. Dan mereka memercayai kami.

Kami berjalan cepat karena magis Wiseman ada batas waktu. Begitu mencapai sayap timur, Kara menuntun kami menuruni tangga ke ruangan bawah tanah. Setelah melalui sebuah lorong yang gelap, akhirnya kami melihat sebuah pintu besar yang dijaga ketat. Lusinan kesatria berjaga di depan pintu itu.

Barro menggunakan magisnya untuk meniup mati semua lilin pencahayaan. Beberapa dari kesatria tersebut merupakan pemagis, dan Kara dengan cekatan mengambil magis mereka satu per satu. Gadis itu kemudian hanya memiliki beberapa menit untuk menjatuhkan para kesatria lain menggunakan magis yang baru saja ia ambil.

Aku mengambil sebongkah serbuk dari tas pinggangku dan meniupnya pada dua kesatria. Itu adalah bubuk magis yang dapat membuat seseorang tertidur. Hanya itu yang bisa kulakukan sebagai manusia yang tidak terlahir dengan magis untuk saat ini.

Dalam hitungan menit, semua penjaga terjatuh. Lalu akhirnya kami memasuki ruangan itu.

Cawan emas di Kerajaan Kertadaya terletak di ruangan harta karun nasional. Begitu kami memasuki ruangan tersebut, mulut kami semua seakan terjatuh. Ruangan itu begitu besar dan penuh dengan barang-barang yang bersinar. Terdapat beberapa tingkat lantai di ruangan itu yang melingkari sebuah bukaan yang lebar. Kira-kira terdapat lusinan lantai dan di atas bukaan adalah sebuah kubah yang terbuat dari kaca sehingga kami dapat melihat jutaan bintang di langit malam. Tak hanya itu, koin-koin emas serta permata berserakan di seluruh ruangan. Perhiasan-perhiasan mutiara, kain-kain sutera yang mahal dengan tenunan benang emas, semuanya terpajang begitu memesona.

Dan di tengah-tengah ruangan, sebuah podium kecil berdiri. Di atas podium itu, tepat di bawah bulan purnama di atas kubah, adalah sebuah cawan emas sebesar lengan orang manusia. Cawan itu dihiasi oleh batu rubi merah dan ukiran benalu. Warna emas pada cawan itu mengilat di bawah pencahayaan bulan. Di dalam cawan, terdapat sebuah cairan yang entah berasal dari mana.

"Itu dia," kata Kara.

Perempuan itu melangkah terlebih dahulu ke arah cawan. Tanpa ragu, ia mengambil cawan itu dari podium. Kami bertiga hanya dapat melongo, apalagi ketika Kara langsung meneguk cairan di dalam cawan itu.

Lalu kami menunggu.

Satu detik. Tidak ada apa-apa.

Dua detik. Juga tidak ada apa-apa.

Tiga detik.

Tiba-tiba semua harta karun di ruangan pecah menjadi debu-debu emas yang mengelilingi ruangan, menimbulkan pusaran angin yang dasyat. Debu-debu itu semakin lama bergerak semakin cepat. Kemudian menyatu membentuk seuatu bentuk yang begitu besar.

Kami melihat kedua sayap terbentuk, kemudian dua tanduk besar, lalu kepala, moncong, dan sisa badan yang lain. Tanpa terasa, seekor naga emas yang besar muncul begitu saja di depan kami.

Tidak sekalipun kami mengira akan dapat melihat seekor naga. Begitu takjubnya, sehingga kami lupa bahwa berada satu ruangan bersama seekor naga besar adalah bahaya.

Tidak satupun dari kami berkedip melihat nag aitu. Hingga sang naga berbicara, "Ada perlu apa kalian memanggilku?"

Kara menelan ludahnya. Ia memutuskan untuk bertanya secara langsung. "Kami ingin magis lebih."

Naga itu hanya menatap kami satu per satu sebelum akhirnya melekatkan pandangan pada Kara. "Untuk apa?"

"Untuk memenangkan kehidupan."

Aku pun kaget dengan jawaban Kara. Namun jawaban itu sangat benar. Kami, yang tidak punya uang atau kekuasaan, hanya dapat bergantung pada kemampuan untuk menang dalam hidup. Dan kemampuan kami adalah magis.

Naga itu tersenyum kecil mendengar jawaban Kara. "Kalian tidak seperti bangsawan yang biasanya mengunjungiku," katanya, "Tidak ada magis tanpa bayaran. Kalian setidaknya tahu itu bukan?"

"Apa bayarannya?" tanya Kara kembali.

"Tergantung seberapa besar magis yang kau minta."

Kami saling bersitatap.

Selama ini aku hanya pernah ingin menjadi Lulusan Terbaik. Tidak perlu magis yang besar, yang penting dapat membawaku jauh di turnamen nanti. Namun apa yang Kara katakan, 'memenangkan kehidupan,' bukankah akan begitu mudah bila kita dapat memiliki jaminan untuk masa depan kita? Tidak cukup untuk menjadi Lulusan Terbaik, bila kita dapat memiliki magis yang cukup untuk membawa kita hidup nyaman tanpa perlu mengangkat jari lagi... kenapa tidak bukan?

"Apa magis yang kau berikan permanen?" tanya Kara.

"Tentu," jawab sang naga, "Bayarannya pun permanen."

Naga itu mendengus udara beberapa kali. "Ahh... seorang elemental angin, seorang dalang wayang, seorang manusia..."

"Dan kau," Naga itu menunjuk pada Kara, "Kau memiliki magis yang begitu unik. Mengambil kekuatan pemagis lain. Sungguh magis yang mengerikan, tidakkah kau pikir begitu?"

"Kebanyakan orang datang kemari meminta magis untuk menjadi Lulusan Terbaik," lanjut naga itu, "Tapi kau datang meminta magis untuk... memenangkan kehidupan?"

Senyumannya merekah. Ia terlihat tertarik dengan perkataan Kara. "Apa kau sanggup membayarnya?"

Perasaan tidak enak melandaku. Apalagi melihat tatapan Kara menggelap. "Apa bayarannya?"

Naga itu tersenyum semakin lebar. "Nyawa."

Tidak ada yang berani bergerak saat itu juga. Aku ingat pikiranku langsung berteriak bahwa ini adalah kegilaan. Bahwa ini dapat dengan mudah menjerumuskan kita pada kegelapan. Tetapi instingku berkata ambisi kita lah yang akan menang.

Dan benar saja.

Setidaknya, ambisi satu orang sudah membuat keputusan itu untuk kita ketika tiba-tiba Kara menarik kekuatan Barro hingga habis. Lalu dengan pedang berlapis permata yang ia temukan di ruangan harta karun itu, Kara menusuk Barro tepat di jantung. Buih-buih darah keluar dari mulut Barro. Rasa dikhianati dan terkejut tersirat di tatapannya.

Aku masih ingat tatapan Barro hingga saat ini. Namun saat itu, aku terpaku beku di tempatku berdiri.

Wiseman satu-satunya orang yang mendorong Kara dan berusaha menyelamatkan Barro. "Apa kau gila?" teriak Wiseman.

Kara tidak peduli. Ia langsung meminta bayaran magis pada sang naga. Namun senyuman sang naga tiba-tiba menghilang, seakan ia tidak suka melihat perkembangan situasi.

"Ambisimu akan menjadi hambatanmu, nona muda," kata naga itu, "Keluar dari ruangan ini. Jangan kembali lagi."

Kami semua terkejut dengan perkataan sang naga. Terutama Kara. "Apa?" teriak Kara, sementara aku akhirnya berlari kea rah Barro, teringat baahwa aaku membawa daun elm yang dapat digunakan untuk mantra penyembuhan. Meski, tentu saja, aku telat. Barro tidak tertolong.

"Kau bilang bayarannya adalah nyawa!" seru Kara, "Ini kuberikan nyawa dan sekarang kau menolak memberiku magis?"

Naga itu menatap Kara dengan dingin. "Orang sepertimu tidak pantas mendapatkan magis lebih," kata naga itu, "Orang sepertimu tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang sudah kau miliki."

"Kau menipuku!! Aku tidak terima ini!"

"Kau menipu dirimu sendiri," suara sang naga memberat, menggema di seluruh ruangan, "Di dalam dirimu mengalir tiga jenis magis yang kau sudah ambil dari orang lain. Magis apa lagi yang kau mau? Kapankah cukup adalah cukup untukmu?"

Aku tidak pernah melihat Kara semarah ini. Amarahnya terselubungi dengan... keputusasaan. Apakah itu yang dinamakan ambisi?

Lalu Kara mengepalkan kedua tangannya, rahangnya mengeras, dan tatapan matanya... membuatku menggigil.

"Bila kau tidak mau memberikan magis padaku," kata Kara dengan nada rendah, "Aku akan mengambilnya darimu."

Di lain waktu, aku akan berpikir ini adalah kegilaan. Kara hanya dapat mengambil magis orang lain dalam hitungan menit. Lagipula, dia memiliki batas magis yang dapat ia serap. Dan sekarang ia ingin mengambil magis seekor naga emas yang selama ini telah memberikan magis pada para bangsawan?

Di lain waktu aku akan berpikir Kara sudah gila.

Namun, entah kenapa, aku justru kagum dengan tekad Kara.

Lima tahun di Akademis, aku selalu melihat Kara selalu mendorong dirinya untuk mendapatkan hasil terbaik yang ia bisa. Ia selalu berlatih lebih lama dan belajar lebih keras. Seakan menjadi yang terbaik di Akademis adalah masalah hidup dan mati untuknya. Aku bersimpati padanya karena kami sama-sama penerima beasiswa. Dan karena dirinya, aku juga semakin mendorong diriku meski aku tidak pernah dilahirkan dengan magis.

Hari itu, aku melihat bahwa bila seorang telah membulatkan pikirannya, ia dapat menentang hukum alam. Hari itu aku melihat bahwa sejujurnya tidak ada batasan sebagaimana seorang dapat mendorong dirinya sendiri.

Debu-debu magis di ruangan itu kembali muncul dan berputar mengelilingi kami dengan kecepatan besar. Awalnya aku berpikir itu adalah perbuatan sang naga. Namun dengan cepat aku sadar itu adalah perbuatan Kara.

Debu-debu magis itu kemudian memasuki tubuh Kara dengan kecepatan tinggi, menyatu dengan pembuluh darahnya hingga tubuh gadis itu bersinar terang.

Karena debu-debu magis yang membentuk angin topan di sekeliling kami, aku tidak begitu dapat melihat apa yang terjadi. Waktu berjalan begitu cepat dan begitu lambat di pusaran badai itu. Tak kusadari, aku berpegangan pada tubuh Barro yang mendingin.

"Kau pikir kau cukup kuat untuk mengambil seluruh magisku?" tanya sang naga sambil tersenyum sinis, "Aku adalah akumulasi serta representasi semua magis murni di kontinen ini. Aku dapat memberikan magis karena magis dalam diriku tiada batas. Tubuh manusiamu akan hancur lebur sebelum kau dapat menerima seperempat dari magisku."

Naga itu seperti membiarkan Kara mengambil magisnya. Ia percaya Kara tidak akan dapat melakukannya.

Tubuh Kara memang mulai hancur. Tulang-tulang jarinya bergeser terlebih dahulu, kemudian pundak dan kakinya mulai berputar ke sudut yang aneh, dan kulitnya pun seakan terbakar. Namun Kara tidak berhenti. Meski teriakannya sangat parau daan terdengar sangat menyakitkan.

Ia tetap mendorong dirinya. Memaksa tubuh dan jiwanya menentang hukum alam.

Aku selalu kagum dengan sifat Kara yang bila ia sudah menentukan tujuan akhirnya, apapun ia lakukan untuk mencapainya. Berkali-kali aku melihatnya mimisan dan terjatuh sakit, tetapi ia tidak pernah bolos kelas ataupun misi. Tapi sekarang?

Aku pikir terdapat sisi mengerikan dari mendorong diri tanpa batas.

Lalu aku melihat sang naga akhirnya berhenti tersenyum. Matanya membelalak melihat Kara yang tak kunjung berhenti pula. Ia pun mengaum marah pada Kara.

Ia berusaha menggigit Kara tetapi Kara dengan setengah magis yang telah ia ambil dari sang naga, serta magis Barro dan dua penjaga sebelumnya, dapat menahan tubuh sang naga di udara. Ia membentuk tembok transparan sementara dirinya tetap lanjut menyerap lebih banyak debu-debu magis ke dalam tubuhnya.

"Mustahil..." gumam naga itu untuk terakhir kalinya.

Sebuah ledakan cahaya muncul dari tubuh Kara. Ledaakan itu begitu dasyat hingga aku harus menutup mataku.

Hari itu aku juga melihat bahwa ambisi dan tekad kuat di tangan orang yang salah, adalah senjata yang begitu menghancurkan.

Aku mendengar suara tawa Kara bergema. "Sebuah era baru akan dimulai."



–Bersambung–

Ketika ambisi dan tekad dibawa terlalu jauh... mata tidak bisa lagi memandang garis akhir. Batasan pun menjadi buram. 

Tapi sejujurnya, kami lebih menyukai mereka yang penuh tekad daripada yang pasrah dengan takdir begitu saja...

Apa menurutmu yang Anielle lakukan berikutnya? apa hubungan ini dengan Turnamen Mentari 500 tahun kemudian? 

Bagaimana nasib Wiseman dan Anielle?

Ayo keluarkan teorimu. Kalau benar author up bab berikutnya :)) 

Author bilang akan pantau komentar di bab ini hihihi



Salam,

Para bayangan yang tahu di bab sebelumnya lupa memberi salam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top