38. Negative obsession
"Sensei kau terlihat seperti seorang suami yang sedang berusaha membujuk istrinya yang lagi marah," komen Yuta dengan wajah polos begitu berpapasan dengan gurunya yang sedang mengantar satu set Sushi Premium ke depan pintu kamar Megumi.
"Bukan sepertinya lagi. Aku memang seorang suami yang sedang berusaha meminta maaf pada istrinya," sahut Satoru agak malu-malu sambil tersenyum canggung. "Lalu Kau sendiri?" tanyanya balik lalu menjatuhkan pandangannya pada buku di tangan Yuta.
Yuta mengerti betapa posesif gurunya itu terhadap adik kelasnya. Niatnya yang ingin sekalian berkunjung setelah mengembalikan buku pinjaman, pada akhirnya harus diurungkannya. Dia tak mau terlibat dalam masalah dua sejoli itu. Yuta pun merasa kalau lebih baik dia menitipkan buku tersebut.
"Buku ini punya Megumi-kun," jawab Yuta lalu menyodorkan bukunya. "Aku cuma datang untuk mengembalikannya. Tapi karena sepertinya sensei punya urusan yang lebih penting. Aku titip kembalikan buku ini padanya," ujarnya dengan jujur.
"Hmm...." Satoru mengangguk seraya menerima buku tersebut.
Yuta pun memperhatikan wajah murung pria jangkung itu untuk beberapa detik sebelum menyampaikan, "Semoga beruntung!" sambil melambaikan tangannya dan pergi.
Mungkin karena mendengar suara Yuta. Tak lama kemudian pintu di depannya terbuka. Menampilkan Megumi yang sudah mengenakan pakaian kasualnya.
Menemukan siapa rupanya yang di tengah malam berdiri di depan pintu kamarnya. Wajah acuh tak acuhnya bergerak sedikit diikuti bibir cemberut dan tatapan yang judes. ".....kukira kau pergi mengantarkan wanita itu." Megumi kemudian kembali masuk ke kamar tetapi membiarkan pintu tetap terbuka.
"Itu yang kau katakan pada suamimu yang demi kamu terburu-buru pulang dari perjalanan bisnisnya dan hampir saja dipecat oleh atasannya?" sahut Satoru seraya meletakan semua barang bawaannya ke atas meja.
Kemarahan Megumi menghilang untuk sesaat berkat omong kosong tersebut. Pemuda itu berbalik seraya menaikan satu alisnya dengan wajah terheran. "Siapa yang berani memecatmu?" tanyanya sampai-sampai tangannya berhenti menggeledah isi kantong plastik yang berisikan makanan kesukaannya.
"...apalagi memangnya ada orang yang bisa menggantikan peranmu?" imbuhnya setelah menyadari betapa bodoh pertanyaannya sendiri. Megumi lalu melanjutkan kembali membuka wadah mewah Sushi kesukaannya.
"Hahaha...." Satoru tertawa ringan lalu mengambil kursi di dekat Megumi. "Mungkin cuma kau saja saat ini yang masih berpikir begitu," ujarnya sambil tersenyum puas melihat suasana hati Megumi yang sudah membaik.
Satu paket premium Sushi seharga ratusan ribu Yen sangatlah murah baginya. Bahkan dengan kekayaannya dia bisa membawa Megumi ke penginapan-penginapan dengan restoran Jepang yang enak. Walau dianya sendiri tak menyadarinya. Kalau dia akan melakukan apapun untuk memenangkan kembali hati pasangan hidupnya.
"...sepertinya kau sudah memilih pewarismu bahkan sebelum anakmu lahir?" Megumi memang sudah sering mendengarkan Satoru yang berkata bahwa suatu saat nanti murid-muridnya akan melampuinya. Okkotsu Yuta dan ratu kutukan yang senantiasa menemaninya adalah yang paling mendekati angan-angannya tersebut.
"jadi? Itukah mengapa kau memanggil Okkotsu senpai kembali ke Jepang?" tanyanya serius. Cukup serius sampai rela menunda untuk menyumpit Sushi di depannya.
Satoru terlihat menyembunyikan keraguannya untuk menjawab. Dia berusaha tetap tenang dan tersenyum seperti yang telah biasa dilakukannya. Tetapi semua gelagatnya tersebut terpampang jelas di mata Megumi.
"Aku tak akan memaksamu menjawab," ujarnya lalu lebih memilih menikmati makan malamnya.
Satoru mengosok lehernya. Sedari tadi dia tidak melepas penutup matanya. Entah apa yang sedang dia perhatikan di saat ia termenung sesaat.
"...... karna sepertinya kau sangat membenci jabang bayi dan wanita yang akan melahirkannya tersebut. Kurasa kau juga tak akan menyalahkan ku kalau kubilang keberadaan bayi itu tidak berguna?" katanya kemudian.
"Begitu lahir bayi itu milik klan Gojo. Kita berdua tidak perlu peduli bagaimana kehidupannya setelah terlahir nanti. Dia cuma bayi yang memiliki DNA ku tapi belum tentu memiliki bakat yang serupa dengan pemilik DNA nya."
"Niatku. Aku cuma menuruti kemauan mereka agar mereka tak lagi menggangu kita. Makanya kupikir kau tidak perlu tahu eksistensi anak yang pada akhirnya cuma akan dijadikan sebuah pion dan boneka oleh mereka. Lagipula setelah lewat beberapa saat kemudian, kemungkinan besar aku bakal melupakan eksistensi bayi yang katanya adalah anak kandungku itu."
"Dan setelah mereka menyadari kalau anak itu tidak berguna untuk mengancamku. Besar kemungkinan anak itu akan berahir di panti asuhan apabila dia terlahir tanpa energi kutukan."
Sedari tadi Megumi mendengarkan penjelasannya seraya menjejali mulutnya dengan Sushi, dengan tenang duduk dan menghabiskan makanan tersebut satu persatu. Begitu dia tak lagi mendengar suara Satoru. Sehabis menelan habis makanan di dalam mulutnya, dengan nada datar ia berkomentar, "Bajingan."
Bakatnya untuk memilih kosa kata yang tepat untuk mendeskripsikan keburukan Satoru memang tak pernah pudar. Hanya karna satu kata darinya saja bisa langsung menohok hati nurani pria tersebut.
"Orang sepertimu bisa-bisanya menjadi guru. Entah apa jadinya masa depan negri ini?" imbuhnya seraya dengan santai menyeruput teh gandum seperti orang-orang tua kolot yang mencibir kelakuan anak-anak muda jaman sekarang.
"Megumii~~" rengek Satoru yang memelas dan memohon agar istrinya tidak terlalu menuding keputusan kejamnya.
Mau bagaimana lagi? Megumi selalu lemah terhadap rengekannya. Lagipula kehidupan mereka tak bisa disamakan dengan kehidupan normal para penduduk sipil. Anggap saja bayi tersebut kena sial dari kehidupan sebelumnya karena harus terlahir di keluarga yang busuk. Korban dari kegoisan orang tua selalu bermunculan dari genereasi ke generasi. Megumi dan Fushiguro Toji juga termasuk korban dalam lingkaran kesialan tersebut.
"Baiklah. Aku tak akan menyentuh apapun yang berkaitan dengan masalah ini," jawab Megumi. "Bagiku selama Itadori aman berarti perjanjian kita masih berlangsung."
Sepertinya sudah lama ia tak mendengar nama itu keluar dari mulut Megumi. Begitu nama Yuuji diungkit wajah Satoru menggelap. Tetapi setelah beberapa saat menjalani hubungan kontrak ini. Dia tidak lagi terbawa emosi negatif yang membuatnya ingin membunuh Yuuji pada detik tepat ia mendengar Megumi mengungkitnya.
"....dibandingkan dengannya. Aku tidak ada apa-apanya huh," keluh Satoru seraya menghela nafas. "Kau menyelamatkan ku pun pasti juga karena demi kepentingan Yuuji kan?" Kemudian pria itu bersedekap dada sambil memajukan bibirnya seperti anak kecil yang sedang protes.
Kelakuannya tak pernah berubah. Dulu waktu ketika Megumi dan Tsumiki kecil pun. Pria dewasa itu selalu mengomel dan protes akan segala sesuatu dengan tingkah yang lebih kekanakan ketimbang dua saudara itu. Tetapi tahun demi tahun yang mereka lewati bersama membuat Megumi lebih memahaminya.
Megumi lantas tersenyum. Dulu ia akan mulai was-was saat Satoru menunjukan ketidakpuasaannya terhadap kepeduliannya pada Yuuji. Namun sekarang dia senang dan juga mulai merasakan kepuasan tersediri saat dia melihat bagaimana Satoru menutupi kekesalannya dengan topeng kekanakan tersebut.
"Apa aku terlihat seperti seseorang yang tidak tahu balas budi?" tanyanya. "Setelah kau menyelamatkan ku dan Tsumiki. Apa kau pikir aku tidak akan menyelamatkan mu?"
Satoru pun tertegun. Karena dia memang tak pernah berpikir akan mendapatkan balas budi dari perbuatannya di masa lalu. Alasannya mendatangi rumah pria pertama yang hampir membunuhnya tak lain cuma karena rasa penasaran
Pada saat itu dia bahkan gagal memahami perbuatannya sendiri. Mengapa dia termakan pesan terakhir pria brengsek yang mengaku telah menjual anak kandungnya sendiri. Menjadikan anaknya sebagai murid pertamanya setelah mengetahui bakat terpendam yang dimiliki anak tersebut.
Semua yang dilakukannya untuk Megumi, bukanlah apa-apa baginya. Dengan kekuatan uang, status, dan koneksinya semuanya menjadi begitu sepele. Lagipula pada akhirnya dia menyimpan niat kotor terhadap anak tersebut. Akan lebih wajar apabila berakhir Megumi membencinya.
Hutang budi adalah kebalikan dari segala sesuatu yang dibayangkan Satoru dari hubungan mereka.
".....mungkin kau sudah lupa. Kalau ini sebenarnya adalah perjanjian kedua yang kita buat," ujar Megumi. "Awalnya demi kebahagiaan Tsumiki. Aku bersedia berlatih menjadi penyihir Jujutsu."
"Semenjak hari itu. Kau menepati janji dengan menyediakan apapun kebutuhan kami sehari-hari. Berkatmu Tsumiki tidak perlu menahan lapar ataupun diam-diam menangis ketakutan karena teriakan para penagih hutang. Kita berdua bisa menggunakan air dan listrik tanpa perlu khawatir."
"Lagipula menjadi penyihir Jujutsu juga bukan pekerjaan yang buruk. Lihat saja Nanami-san yang akhirnya lebih memilih menjalankan misi membasmi kutukan ketimbang harus menjalani sisa hidupnya sebagai pekerja kantoran," terang Megumi.
Satoru jadi canggung sendiri. Dengan wajah tersipu dia mengosok belakang lehernya. "Cuma kau saja yang membandingkan resiko pekerjaan sipil dengan pekerjaan penyihir Jujutsu," ujarnya.
"....bagiku. Tsumiki dan Itadori sama berharganya bagiku," ungkap Megumi dengan wajah serius. "Tetapi kau berbeda dari siapapun. Jadi jangan samakan dirimu dengan mereka."
Sejujurnya Satoru sulit menerimanya. Apanya yang berbeda dengan orang lain? Dengan kedua tangannya mengepal erat. Satoru pun bertanya, "Kau selalu hidup demi orang lain. Tetapi kau tidak pernah hidup demi diriku?"
Tanpa ragu Megumi pun mengangguk pelan. "Aku akan menyesal seumur hidup apabila aku gagal melindunginya. Tetapi setelah aku sadar bahwa dia sudah tidak ada lagi di dunia ini maka aku akan berduka sebentar lalu kembali melanjutkan keseharian ku."
"Tetapi denganmu. Aku bersedia mengikutimu kemana pun....bahkan sampai ke neraka sekalipun. Tanpamu aku akan binggung bagaimana menjalani keseharian ku."
*BRAK!!
Bola mata Satoru melebar sempurna. Meski masih ditaburi rasa kebingungan dan kesenangan. Namun reflek pertama yang dilakukan pria tersebut adalah berdiri sambil memukul meja dengan keras. Wajahnya merah padam diikuti kemurkaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ini pertama kalinya Satoru mengalami badai emosi yang mencabik-cabik akal sehatnya. Dia sempat tak bisa berkata-kata, hanya menggerakan bibirnya dengan lemah.
Baru setelah dirinya merasa lebih tenang. Satoru menarik kerah baju Megumi dan menatap matanya dalam-dalam. "Itu yang dikatakan seseorang yang mati-matian menolak lamaranku?" geramnya. "Aku mengejarmu. Tetapi kau lebih memilih mendatangi Yuuji. Kalau dia bukan sanderaku. Aku yakin....kau pasti lebih memilih kabur dan mati bersamanya.."
"Aku akan lebih percaya kalau kau bilang kau setengah mati membenciku. Bilang kalau selama ini kau hanya mengikuti semua kemauan ku karena kau masih membutuhkan ku..."
Cengraman Satoru semakin kencang. Sedangkan tangannya yang satunya mulai merangkul pinggang Megumi dengan erat, merabanya dengan gegabah, memastikan keberadaan orang di hadapannya.
"Sensei....jangan lupa. Kau juga sedang memanfaatkan ku," balas Megumi seraya menahan cengkraman tangan Satoru. Dengan berani pemuda itu mendekatkan wajahnya, membalasnya dengan tatapan menantang. "Kau terlalu terobesesi padaku. Kalau kau tidak terobsesi padaku kau tidak akan pernah menerima tawaran ku!"
"Ya memang benar!" seru Satoru lalu mencengram dagu Megumi dengan sangat kasar. "Sudah lama aku terobsesi padamu. Aku sudah berniat mengotorimu semenjak kau masih bocah ingusan!"
Megumi yang kaget langsung terdiam dengan wajah tercengang. Melihatnya yang begitu terkejut lantas menarik senyum sadis pada wajah tampan Satoru. "Kau boleh mencintai siapapun. Kau boleh membenciku sebanyak yang kau mau. Tetapi aku mengutukmu untuk tidak pernah meninggalkan sisiku. Mau di kehidupan ini ataupun di kehidupan lainnya," ujarnya mencamkan.
Namun reaksi Megumi berbeda dari bayangannya. Megumi tidak menangis, juga tidak terlihat marah ataupun kecewa. Sebaliknya pemuda itu tersenyum. "Seharusnya kau bilang sejak awal. Kau baru saja mengabulkan keinginanku," katanya. "Aku memang menyukai Itadori. Aku sangat menyukainya sampai saat ini pun aku masih menyukainya," gumamnya seraya melucuti pakaiannya sendiri.
"Segala akan kulakukan untuknya. Bahkan apabila aku harus menjual jiwa dan ragaku. Lautan air dan api akan kuterjang demi dirinya atau bahkan apabila aku harus menentang rencana Tuhan."
"Sekarang dia adalah alasanku untuk bertahan hidup. Dia adalah api yang menyalakan semangat hidupku. Dia adalah bentuk pecitraan dari kebaikan dan kehangatan mutlak yang selalu kudambakan.
"Tapi kau.....kau selalu berada di luar jangkauanku. Karena mu aku membenci dunia yang berusaha merebut perhatianmu. Entah apakah Itadori yang kusayangi, murid- muridmu yang lain, anakmu yang belum lahir, atau bahkan wanita yang sedang mengandungnya...."
"Setiap hari aku merasa kesal karena lagi-lagi aku tak bisa menggapai mu...aku sama sekali tidak pernah menyangka kalau kau ternyata juga menginginkanku"
Masih mendengar ocehannya. Nafas Satoru tertahan oleh mata tajam Megumi yang menatapnya lebih agresif dari biasanya. Pemuda itu melihatnya seperti seekor mangsa. Inilah pertama kalinya dia dibuat merinding. Dadanya berdebar kencang penuh antisipasi akan kuatnya emosi negatif yang dipendam Megumi selama ini.
Lokasi dan atmosfer diantara mereka terasa Dejavu. Dengan Megumi yang menelanjangi dirinya sambil memasang pose yang membuat siapapun haus akan tubuh mulus pemuda langsing tersebut.
"Kau benar sensei. Perasaan seperti cinta atau suka tidaklah berarti untuk kita berdua. Obsesi dan keserakahan ku membuatku ingin melenyapkan orang-orang yang menarik perhatian mu. Karena kau perasaan negatif ini tidak lagi terbendung...." ujar Megumi seraya mencengram ujung pakaian Satoru.
Sebagai gurunya. Satoru lah orang pertama yang memuji kestabilan emosi Megumi. Dibandingkan anak-anak pada umumnya, Megumi adalah anak yang tidak mudah dipengaruhi oleh sekitarnya. Berkat kepintaran dan tingkat pemahamannya yang berkembang jauh lebih cepat. Di usianya yang masih sangat muda dia dapat mengendalikan energi kutukannya bahkan memakainya dalam pertempuran.
Pantas banyak orang menginginkan anak jenius dengan kutukan legendaris sepertinya. Bahkan waktu itu Satoru harus rela bersaing dengan beberapa orang sebelum berhasil menjadi wali Megumi.
Kontrolnya terhadap emosi negatifnya memang hebat. Namun sepertinya bakat tersebut malah menjadi pembatas yang membuat susah berkembang. Padahal ayahnya terlihat sangat gila dan agresif waktu bertarung. Dalam waktu yang lama Satoru dibuat bingung bagaimana caranya ia menarik potensi anak tersebut.
Tetapi siapa sangka buah memang tak jatuh jauh dari pohonnya. Megumi tidak sepolos yang dibayangkannya selama ini. Dia dipenuhi emosi negatif yang kotor dan menjijikan. Emosi yang mendalam dan pekat. Objek posesinya akan tenggelam dalam kubang hitam yang tak memiliki dasar.
Satoru tersipu senang. Seolah telah mendapatkan ijin dari yang Maha kuasa. Satoru dengan senang hati bersedia menerima segala emosi negatif yang dimiliki Megumi. Spontan ia meraup bibir mungilnya, meraba setiap lekuk tubuhnya. Memberikan segala kenikmatan yang dibutuhkannya sebagai balasan dari perasaannya.
To be Continue
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top