PROLOG
Seperti anak ayam yang kelaparan, beberapa murid seolah tidak sabar untuk secepatnya menghirup udara kebebasan. Hampir satu bulan penuh berkutat dengan buku, ujian, dan praktikum—hingga isi di kepala terasa ngebul—akhirnya hari ini mereka bisa lepas dari belenggu yang mematikan. Kendatipun hasil masih dijadikan beban, akan tetapi bisa menjalani semua ritual menuju kelulusan sekolah dengan aman, lancar, dan sehat sejahtera, adalah hal yang perlu dirayakan.
Tidak sedikit dari seratus lebih murid kelas dua belas yang mengikuti ujian nasional, berencana untuk merayakan hari terakhir masa ujian dilaksanakan. Berkumpul-kumpul, masak-masak, sampai pawai keliling balai kota. Sebenarnya opsi terakhir agak riskan, mengingat kota Bogor sering mengadakan razia. Nanti bukannya bersenang-senang, mereka malah masuk kantor polisi untuk diintrogasi. Walaupun sebagian ada yang menganggap semua itu merupakan tantangan—kejadian yang harus diabadikan.
Alma sendiri, si gadis penyuka warna kuning itu enggan melakukan apa pun hari ini. Sudah cukup energinya terkuras habis—sampai insomnia, mendadak punya riwayat darah rendah, dan kekurangan berat badan. Mau hujan badai, petir menggelegar, sampai banjir bandang, tidak ada yang bisa mengganggu gugat keputusannya untuk tidur sepuasnya di kamar. Sungguh cita-cita yang Alma idamkan akhir-akhir ini.
“Eit, Cute Yellow Girl!” sapa seorang laki-laki sambil menarik tali tas punggung Alma, sampai tubuh gadis tersebut tertarik ke belakang. “Mau ke mana, sih, Neng? Buru-buru amat.”
Sontak Alma berdecak sebal, dan seakan tahu apa yang diinginkan oleh laki-laki bertubuh tinggi—untuk ukuran rata-rata orang Indonesia itu, ia buru-buru berucap, “Aku nggak mau.”
“Eh, dengerin dulu baru jawab,” protesnya seraya menyeka cepat wajah Alma, “belum juga gue ngomong.”
Cewek yang masih setia mengenakan sweater berwarna kuning sebagai hadiah sweet seventeen dari keluarganya itu, kembali berdalih, “Nggak perlu dijelasin juga aku udah ngerti, kok.”
“Dih.” Senyum merasa konyolnya terukir. Seraya menyiku lengan Alma, ia mulai menggoda, “Yakin nggak mau ikut? Padahal pasti seru, loh.”
Alma malah mengunci bibirnya, enggan menanggapi. Bersikap tak acuh, padahal dalam hati penasaran juga dengan maksud cowok itu. Walau bagaimanapun dia selalu memiliki ide atau sesuatu yang tidak pernah Alma pikirkan.
Namun, gadis tersebut kembali memikirkan kegiatan yang sudah ia rencanakan sebelumnya. “Aku, tuh, lagi pengen istirahat. Tempat ramai dan dikelilingi banyak orang cuma buat capek.”
“Hah ....” Dia sampai geleng-geleng kepala. Mengembuskan napas panjang, seakan lelah menjelaskan. “Makanya dengerin dulu, telaah yang benar, baru berkomentar. Gimana rakyat bisa terorganisir dengan baik, kalau orang kaya lo masih menguasai dunia.” Kening Alma sampai mengernyit karena merasa pembahasannya terlalu melebihkan.
“Jangan nolak, nanti lo nyesel,” lanjutnya lebih memprovokasi. “Tinggal bilang, ‘Iya gue mau’. Apa susahnya, Alma ...?”
Alma seolah habis alasan, lalu dengan ketus bertanya, “Ke mana, sih?”
Senyum lebarnya langsung tergambar jelas. Merasa peluang untuk berhasil membujuk Alma semakin terbuka lebar. “Lo bakal tau, ayok!” Tanpa tanggung, dia segera menggenggam tangan Alma dan meminta gadis tersebut untuk mengikutinya.
“Eh, ke mana dulu? Kamu kepedean banget aku bakal setuju?”
Lagi, cowok itu harus mengulur sedikit waktu demi meladeni sikap Alma yang selalu penuh tanya, koreksi, dan interogasi. “Ya, terus?”
“Nggak, lha!” sewotnya seraya menyentak tangan pemuda tersebut.
“Haduh, capek gue capek,” gerutunya yang seakan sudah hilang kesabaran. “Lo itu emang nggak pernah ngerti keinginan gue.” Kemudian berbalik badan dan melenggang pergi meninggalkan Alma, yang masih terpaku, dengan tampang kesal.
“Ih. Kok, baper, sih?” Orang itu mulai tak acuh. Sementara Alma jadi tidak enak hati. Jengkel juga. Kecewa apalagi. Bisa-bisanya dia selalu mengacaukan ideologinya, dan lagi-lagi harus mengalah. “Ya udah, oke! Aku ikut!”
***
Disinilah Alma sekarang, di dalam kereta—di perjalanan pulang dari stasiun Jakarta. Langit di luar sangat indah. Cerah dengan warna jingga. Bintang yang menjadi pusat tata surya itu sebentar lagi akan kembali ke peraduan. Pertanda malam akan segera datang.
Siang tadi, Alma begitu berat hati ketika teman sebangkunya itu hendak mengajaknya jalan-jalan ke luar kota Bogor. Hampir tidak pernah, jika tidak dengan keluarga. Apalagi seorang pria, berduaan saja, seperti sedang berpacaran. Namun, pemuda bernama lengkap Risky Galan Prananda itu membuat setengah hari tadi sangat menyenangkan. Dia tahu bagaimana membuatnya senang.
Gedung tinggi dan besar, yang di dalamnya dilengkapi wahana permainan yang beragam. Mulai dari wahana edukatif, wahana menantang, hingga show spektakuler. Akan tetapi, wahana-wahana itu tidak lebih menantang, tidak lebih mendebarkan dari apa yang sudah Galan sampaikan.
Pemuda itu, yang saat ini tengah duduk di sampingnya. Tertidur pulas dengan kedua tangan dilipat di depan dada, tampak begitu tenang. Seulas senyuman lalu hadir di bibir tipis berwarna alami tersebut, ketika ia bisa dengan bebas memandangi wajah Galan.
Mendadak, ingatan itu terekam lagi—begitu jelas—dalam benaknya. Tepat ketika pesulap sedang memamerkan kepiawaiannya, bertepatan saat itu juga Galan menyebut namanya.
“Alma.”
Merasa dipanggil, gadis itu lantas menoleh sekilas dengan tidak fokus, sebab yang sedang berdiri di atas panggung sungguh memukai penglihatannya.
“Al.” Sekarang, Galan memegang jemari Alma, seakan memperingati agar ia tidak mengabaikannya.
“Iya, Gal, ada apa?” Merasa diganggu, nada bicara Alma agak terkesan kesal. “Mau ke toilet? Ya udah, sana.”
“Bukan.” Galan membalas tidak kalah ketus.
“Ya, terus?” Kedua alis Alma hampir bertaut. Menatap lurus ke mata Galan, seolah menuntut penjelasan.
Lantas pemuda berlesung pipi dengan eye smile yang manis itu mengembuskan napas berat. Menutup mata sekejap, kemudian memantapkan diri. “Gue suka sama lo, dari dulu.”
nuraiqlla
1 Juli 2021
00:05
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top