Epilog
Sesuatu yang dilakukan hari ini, tidak mungkin tidak ada sebabnya dikemudian hari. Alma masih ingat betul saat pertama kali bertemu dengan Galan. Awalnya Alma berpikir jika pertemuan mereka hanya sebuah kebetulan, mana ia tahu jika semua itu akan berkelanjutan.
Hari itu, hari kedua MPLS dan MOPD dilaksanakan. Setelah hari pertama hanya dihabiskan dengan perkenalan anggota OSIS, guru dan staf, serta visi dan misi sekolah. Di hari berikutnya, para kakak senior yang bertanggung jawab mulai membagi kelas—sementara—untuk para siswa-siswi baru. Dari ruang satu sampai lima. Kebetulan, Alma masuk ke ruang tiga.
Di kelas itu, Alma benar-benar tidak mengenal siapa pun. Tidak ada murid yang pernah satu SMP dengannya, yang masuk ke sekolah tersebut. Kalaupun ada, Alma pasti tahu karena peraturan peserta MPLS, calon murid baru harus mengenakan seragam SMP-nya masing-masing. Terlebih lagi, ia bukan tipe anak yang pandai berbaur dan langsung beradaptasi dengan lingkungan sekitar, apalagi dengan orang yang baru dilihatnya. Sehingga saat kakak pembina OSIS meminta mereka untuk mencari pasangan, Alma hanya diam saja. Tidak berani untuk melakukan apa pun.
“Lho, kamu mana pasangannya? Kok, masih sendiri?” tanya salah satu kakak cewek, saat menyadari jika Alma hanya duduk di pojokan saja, sementara yang lain sudah sibuk dengan pasangan masing-masing. “Saya, kan, sudah suruh kamu cari pasangan. Kenapa masih diem aja?”
Sedangkan Alma tidak bisa menjawab apa pun. Bibirnya seakan terkunci dan menjadi kaku. Karena tidak ada respons sama sekali darinya, kakak senior itu pun menyisir pandangannya ke semua murid yang ada di dalam sana. Namun, sepertinya sama, ia tidak menemukan satu murid pun yang belum memiliki pasangan.
“Lho, emang yang ada di ruang tiga jumlah muridnya ada berapa, sih?” tanyanya pada temannya yang satu cowok dan dua cewek.
Langsung saja yang diberi pertanyaan memeriksa daftar presensi yang ada di buku, yang memang sedang dipegangnya. “Tiga puluh dua orang, Lin.”
“Kalau begitu harusnya pas, dong? Kenapa ada satu yang nggak kebagian pasangan?”
Belum sempat temannya itu menjawab, seorang pemuda berseragam batik dengan celana biru baru saja datang dan berdiri di ambang pintu. “Permisi, Kak. Maaf, saya terlambat.”
Langsung gadis yang menanyai Alma tadi, berjalan menghampiri anak tersebut. “Siapa nama kamu?”
“Risky Galan Prananda, Kak.” Tanpa di minta lagi, cewek yang memegang buku presensi tadi langsung mencari nama yang baru saja disebutkan.
“Ada, Lin.”
Gadis yang dipanggil Lin itu lantas memusatkan tatapannya lagi. “Kamu kenapa bisa terlambat?”
“Jalanan macet, Kak.”
“Tau jalanan macet, harusnya bisa berangkat dari rumah lebih awal, kan?”
“Iya, Kak. Maaf.”
“Kalau kamu mau masuk, kamu harus jalanin hukuman dulu.”
“Ya-yah, Kak. Tadi saya baru aja dihukum lari keliling lapangan sama kakak-kakak yang ada di luar, masa sekarang harus ngelakuin hukuman lagi?”
“Kok, kamu jadi ngebantah?”
“Bukan ngebantah, Kak. Saya cuma ngasih tau.”
“Pokoknya nggak ada tapi-tapian. Kalau kamu mau diterima di ruang tiga, kamu harus mau ngejalanin hukuman, kalau nggak mau ya udah cari ruangan lain. Belum tentu juga mereka mau nerima kamu.”
Merasa dalam keadaan terdesak, akhirnya anak muda itu tidak punya pilihan lain dan bersedia untuk menerima hukuman. “Ya udah, Kak. Apa hukumannya?”
“Kamu pungutin sampah yang ada di sekolah ini, dari ujung sampai ujung. Pokoknya nggak boleh ada yang tertinggal sedikit pun.”
“Hah?” Ia jelas terkejut mendengarnya.
“Tenang aja, kamu nggak sendiri.” Cewek itu lantas menoleh lagi ke belakang, menatap lurus pada Alma dan melambaikan tangan agar gadis tersebut segera menghampiri.
“Sa-saya, Kak?” tanya Alma dengan wajah panik. Seluruh tubuhnya sudah gemetaran sekarang.
“Iya, kamu. Siapa lagi? Ayok, sini!” Mau tidak mau, Alma pun mengikuti perintah kakak senior tersebut. “Karena kamu nggak langsung ngejalanin tugas yang saya berikan, maka kamu pun harus menerima hukuman. Hukumannya sama kayak cowok ini.”
Alma langsung lemas mendengar pernyataan tersebut. “Kerjakan sekarang, biar nggak lebih lama lagi kalian ninggalin ruangan.”
“Ba-baik, Kak,” jawab Alma begitu lemah. Sementara pemuda itu langsung pergi saja mengikuti kakak pembina yang lain—yang bertugas untuk mengarahkan.
***
Belum juga setengahnya menghabiskan seluruh pekarangan sekolah yang terdapat sampah, pinggang Galan rasanya sudah mau patah. Orang bertubuh tinggi sepertinya agak serba salah. Memungutnya dengan berjongkok, pegal kaki. Sementara jika membungkuk, punggung dan pinggangnya yang sakit.
Lantas untuk sebentar saja Galan ingin mengistirahatkan badan. Duduk selonjoran di tanah dengan punggung bersandar pada batang pohon. Rasanya sangat nyaman, seperti beban di pundak lepas seketika. Belum lagi angin yang berembus sepoi-sepoi, memanjakan mata. Membuatnya ingin terlelap begitu saja.
Namun, di sisi lain seorang gadis masih dengan patuh menjalankan hukuman, tanpa mengeluh sedikit saja. Galan perhatikan, cewek itu sama sekali tidak banyak bicara—bahkan hampir tidak mengeluarkan suara. Apa dia bisu? pikirnya dalam hati.
“Hei! Istirahat dulu kalau capek!” pekiknya. Gadis itu menoleh, tapi diam saja seperti orang linglung. “Iya, elo! Muka lo udah merah gitu, lagian panas banget. Udah istirahat aja. Duduk-duduk dulu!”
Alma tidak menanggapi. Ia tidak biasa melanggar aturan dan bertindak sesuka hati, sehingga Alma jelas tidak memedulikan perkataan Galan. “Ya udah, kalau pingsan jangan ngerepotin gue, ya!”
Mendengar itu Alma menampik dalam hati. Seumur-umur, ia belum pernah merasakan pingsan. Termasuk di upacara bendera sekalipun. Dari luar Alma boleh terlihat lemah, tapi sebenarnya fisiknya sangat kuat.
Sementara satu jam hampir berlalu. Akhirnya Alma dan Galan selesai juga menjalankan hukuman. Untuk menarik napas barang sebentar, Alma pun memilih duduk di salah satu kursi beton di taman tersebut. Panas terik membuatnya amat kegerahan, sampai tangannya harus mengipas-ngipasi berharap angin yang keluar cukup untuk mengurangi keringat yang mulai bercucuran.
“Nih, minum dulu.” Tiba-tiba cowok itu datang dan langsung menyodorkan sebotol air mineral dingin kepadanya.
Alma hanya mampu melongo, tanpa berniat untuk mengambilnya.
“Ini ambil! Sengaja gue beli dua,” pungkasnya lagi karena Alma masih diam saja. Karena geregetan, Galan pun mengambil tindakan. Menarik tangan gadis itu dan menggenggamkan botol tersebut di tangannya. Alma tentu tersentak dengan tingkahnya. “Nggak usah malu, dan nggak perlu takut. Gue nggak gigit.”
Mendengar itu, Alma langsung menunduk lagi merasa tidak enak hati dan malu. Padahal maksudnya bukan itu, tapi ekspresi wajahnya pasti sangat kentara.
Lantas Galan meneguk habis minumannya, dan dengan cepat ia membaringkan tubuhnya di kursi beton yang panjang itu, lalu tertidur. Alma sampai tidak habis pikir. Namun, ia pun tidak berani membangunkan ketika salah satu senior datang menghampiri mereka.
Kedua tangannya langsung ditaruh di atas pinggang. Memerhatikan keduanya seraya geleng-geleng kepala. Semenjak hari itu, Alma selalu terbawa masalah. Setiap kali Galan mendapat hukuman, maka itu pasti saling berkaitan dengan Alma.
Gadis itu sampai berharap tidak bertemu lagi dengan Galan, karena pemuda tersebut seperti membawa sial. Malangnya, mereka justru ditempatkan di kelas yang sama hingga sekarang duduk di kelas tiga.
Satu tahun sudah berlalu, Alma tidak percaya kali ini Galan akan berdiri menatapnya penuh arti. Di tengah orang-orang yang sedang menonton pertunjukan sulap, ia menyatakan perasaannya. Gemuruh kebisingan yang tercipta di sana, mendadak jadi sunyi ditelinga Alma. Yang terngiang-ngiang di benaknya saat ini hanya apa yang dikatakan Galan.
“Gue suka sama lo, dari dulu.” Karena belum ada respons apa pun dari Alma, Galan kembali melanjutkan, “Gue perlu waktu tiga tahun buat kenal lo, dua tahun untuk memendam perasaan sama lo, dan satu tahun menahan diri ngungkapin cinta ini ke elo.”
Mendadak jantung Alma bergemuruh cepat. Wajahnya memanas. Ia tidak bisa lagi menahan bulir-bulir air mata yang kini menggenang di pelupuk matanya. Hal yang paling Alma sesalkan, Galan menunggu lama untuk ini dan ia tidak pernah paham perasaannya.
“Gal—”
“Kalau masih ada sakit hati, atau trauma di hati lo,” potong Galan, seakan melarang Alma untuk bicara, “gue bersedia menyembuhkannya. Boleh, kan?”
Tanpa bisa bicara lagi, karena Alma sungguh tidak sanggup. Gadis itu pun segera menghambur ke pelukan Galan. Ia menangis di sana sampai sesenggukan, yang membuat Galan jadi panik.
“Hey, Al—” Galan ingin melepaskan pelukan Alma, tapi gadis itu bersikap seakan melarang.
“Biar seperti ini Gal. Sebentar aja,” lirihnya disela tangisan yang perlahan mulai lebih tenang.
“Tapi gue perlu jawaban, Al. Gue udah lama nunggu, masa harus nunggu lagi. Nggak mau gue.”
Dan Galan tetaplah orang yang sama. Reflek saja Alma melepaskan pelukannya dan mencubit perut pemuda itu, yang malah membuat Galan tertawa geli. Alma sendiri jadi merasa malu, dan malah mengalihkan pandangan lantas menunduk.
Pemuda itu sontak mengembuskan napas panjang. Ia sepertinya harus memberi sikap yang lebih romantis lagi agar hati Alma langsung meleleh. Namun, baru saja Galan mengucapkan satu kata memanggil nama Alma, gadis tersebut langsung berucap, “Iya, aku mau. Aku mau jadi pacar kamu.”
“Heh? Serius?!” pekik Galan yang sudah tidak tahu malu lagi. Jadilah Alma memukulnya untuk menjaga sikap dan mencoba lebih tenang. “I love you,” bisiknya kemudian tepat di telinga Alma, membuat gadis itu tersipu malu.
Alma sekarang mengerti kenapa ada pelangi setelah hujan. Dicintai dan mencintai bukan sekedar kebutuhan yang dilandaskan dasar keinginan semata. Semua butuh proses. Tiga tahun bukanlah waktu sebentar untuk mengerti dan memahami, jika Risky Galan Prananda adalah orang yang lebih berarti di hati Alma Daisy Septiannanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top