9 ~ Just a Friend

Malam itu di rumahnya, Galan merasa tidak enak hati pada Alma. Iya lantas mencoba menelepon gadis itu. Satu kali mencoba, ia gagal. Alma seolah sengaja tidak menerima teleponnya. Namun, Galan tidak menyerah dan kembali mencobanya. Beberapa kali setelah berusaha, akhirnya Alma mau mau menerima panggilan darinya.

“Kenapa, sih, Al. Susah banget dihubungin?” Galan langsung nyerocos dan merasa kesal. Sementara di seberang sambungan telepon sana, Alma masih diam. “Gue itu mau minta maaf soal kejadian tadi di sekolah. Gue ngaku salah, sori. Asal lo tau, sih. Gue ngelakuin semua itu juga demi kebaikan lo.”

Kamu bukan orang tua aku, jadi nggak perlu repot-repot ngelakuin itu.” Jawaban Alma langsung mencelus masuk ke hatinya. Lebih-lebih Alma semakin menekankan kata-katanya. “Kita cuma temen sebangku.”

“Setega itu lo ngomong gitu ke gue, Al. Padahal gue anggep lo lebih dari teman sebangku, lho, selama ini.”

Pun, Alma terpaku. Ia sendiri menjadi merasa tidak enak mengatakan hal demikian. Menyandarkan punggungnya dengan lemah ke sandaran kursi meja belajar. Akan tetapi, jika diingat-ingat kelakuan Galan selalu sukses membuatnya naik darah. Jujur saja, Alma tidak suka.

“Oke, kalau lo nggak merasa nyaman selama ini. Mulai sekarang gue nggak akan ganggu dan maksa lo lagi. Selamat malam,” tukasnya bernada tegas, lalu mematikan sambungan telepon sebelum Alma membalas ucapannya. Walaupun Galan yakin, gadis itu tidak akan menanggapi perasaannya dengan serius.

Pemuda itu merasa jengkel sendiri. Entah kenapa dia harus terbawa perasaan seperti itu hanya karena ucapan Alma.

Sedangkan Alma bingung, harus merasa bersalah atau senang setelah mendengar pernyataan Galan barusan.

***

Apa benar, 
Lebih baik sendiri, tapi tenang.
Daripada punya teman, tapi tidak sepemikiran.

Baru berselang satu menit Alma memposting kata-kata tersebut dalam feed instagram-nya, dan username bernama AstaSevan itu sudah mengomentari postingannya.

Lagi punya masalah sama temen, ya?

Merasa tidak enak hati membalasnya di kolom komentar, Alma lantas meluncur ke pesan pribadi dan mengetikkan jawabannya di sana.

Dulu, aku pengen banget ngerasain punya temen.

Seru kali, ya, bisa senang-senang bareng, curhat, dan main bareng.

Tapi setelah aku pikir-pikir, punya temen 
itu cuma bikin repot.

Enggak, Al.
Lo salah. 

Mungkin lo cuma belum nemuin teman yang tepat aja.


Alma kemudian mengetikkan balasan lagi, sambil pikirannya melayang membayangkan sosok Galan. 

Dia emang baik.
Dengan berbesar hati mau menerima aku sebagai temennya.
Tapi, kadang sesuatu yang dia lakukan selalu membuatku kesal.

Lo pernah denger pepatah, jika sering bertengkar maka pertemnaan akan semakin dekat.
Gue, sih, ngerasa gitu sama temen-temsn gue.

Asalkan, setiap ada masalah langsung bicarakan. Musyawarah baik-baik, gue yakin kok kalau semuanya itu cuma kesalahpahaman.

Gitu, ya?

Alma mulai berpikir ulang. Memang jika diresapi, sikapnya pada Galan itu terlalu berlebihan. Apalagi pemuda tersebut tadi mengatakan jika Alma bukan hanya sekedar teman sebangku. Galan juga tidak pernah canggung menunjukkan perhatiannya. Mungkin memang ia saja yang belum bisa membuka diri sepenuhnya. Heran saja, kenapa hatinya begitu sempit sampai berpikir yang jelek-jelek terus terhadap orang lain.

Lucu, ya.
Gue bisa nasehatin orang lain, tapi buat gue terapin ke diri sendiri aja sulit.

Ada masalah juga, kah?


Kayaknya, sih, lebih ke masalah hati.

Sebenarnya Alma agak ragu untuk bertanya atau melanjutkan pembahasan mereka, tapi jauh di lubuk hati, ia juga ingin tahu.

Why?

Merasa pembahasannya akan menjurus ke yang lebih serius, Alma lantas beranjak dari kursi dan berjalan menuju kasur. Duduk di sana—mengambil posisi yang paling nyaman dengan bersandar pada kepala ranjang. Melipat kedua kaki, seperti bersila dan menaruh bantal di atasnya. Gadis itu seolah siap untuk menanggapi cerita Asta. Seperti dirinya, Alma berharap Asta juga mau terbuka.

Entahlah.
Padahal udah hampir satu bulan berlalu, tapi rasanya hati gue masih belum mau terima.

Hm?

Satu bulan lalu, gue baru aja putus dari cewek yang pernah gue anggap sebagai pelabuhan terakhir.

Memang, agak dini. 
Tapi perasaan kayak gitu baru gue rasain saat sama dia.

Terhenyak hati Alma membaca balasan dari Asta. Kejujurannya itu justru membuatnya merasa tidak nyaman. Ia sampai harus menarik dan mengeluarkan napasnya dengan agak susah payah.

Terus, kenapa kalian bisa putus?

Lagi, Alma mencurahkan seluruh keberanian untuk mengetahui kehidupan percintaan Asta lebih dalam, walaupun imbasnya akan menyakitkan.

Karena salah paham.
Hal itulah yang bikin gue nyesel sampe sekarang.

Kemudian Alma memenup-nepuk dadanya, seraya tetap mengetikkan balasan.

Apa kamu nggak coba buat memperbaikinya?


Terlambat.
Dia udah punya pengganti gue sekarang.

Lagipula, dia pasti udah benci banget sama gue dan nggak akan pernah mau balikan sama gue lagi.

Terus gimana?

Nggak gimana-gimana. Haha
Gue akan coba buat move on, walaupun agak sulit sepertinya.
Haha.

Haha.

Alma seakan ikut tertawa merasa konyol, padahal dalam hatinya menggerutu. Menyesal, kenapa harus mengetahui semua itu. Lucu memang, kenapa juga Alma harus merasakan perasaan suka di hati, pada kedua mata yang bahkan belum pernah ia lihat sama sekali.

Ya Tuhan …, apa-apa ini? batinnya kesal sendiri.

Kemudian Asta kembali membalas pesannnya.

Tapi, jujur.
Semenjak gue chat-an sama lo, perasaan hampa itu sedikit berkurang.

Gue nyaman, chat-an sama cewek yang bahkan belum pernah gue lihat.

Sontak saja Alma terpaku. Membeliakkan mata dengan mulut sedikit terbuka. Ada sepercik kebahagiaan dalam hatinya. Ia tentu tidak salah membaca, kan?

Kamu, nggak salah?


Ya enggak.

Kedua sudut bibirnya langsung menukik naik. Debaran dijantungnya yang tadi berdenyut agak sakit, kini membaik. Bisa-bisanya Alma terbawa perasaan semudah itu.

Oh, iya. Bukannya kita janji bakal video call-an, ya?

Hah?

Kegugupan lantas menjalar di sekujur tubuhnya. Lebih lagi ketika panggilan video langsung muncul di layar datarnya.

”Astaga, ini serius?”

Alma sampai loncat turun dari kasur. Jalan bolak-balik dengan perasaan gusar. Jantungnya semakin tidak terkontol. Panas dan dingin mulai menyerang, bahkan tangannya mulai berkeringat, sementara Asta terus saja berusaha melakukan panggilan.

“Gimana, dong?” Wajahnya sudah tegang, ia benar-benar panik. Sempat ingin menekan ikon berwarna hijau itu, tapi untungnya panggilannya sudah berakhir.

Lalu muncul notifikasi dari Asta.

Kenapa nggak diangkat? Lo sibuk?

Enggak, sih. Tapi agak mendadak aja.

Haha, sori-sori.
Tapi lo nggak perlu malu.
Tampil seadanya aja.

Apa?
Nggaklah, mana bisa gitu.

Santai aja, sih, sama gue. Kita, kan, temen.

Refleks Alma tersenyum lucu sambil menggelengkan kepala. ”Alma, bisa-bisanya kamu ini.” Hingga tanpa ragu menepuk keningnya sendiri. “Cuma temen, Al. Temen.

nuraiqlla
9 Juli 2021
14:17 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top