8 ~ No Galan. Like Asta
Suara bel seperti yang sering terdengar di stasiun kereta api berbunyi. Pertanda jika seseorang yang ada di belakang mikrofon tersebut akan memberikan pengumuman—yang terdengar di seluruh penjuru sekolah.
Perhatian untuk semua murid SMA Bima Sakti, yang mendaftarkan diri di Lomba Pekan Raya Seni antar Sekolah, untuk berkumpul di aula. Sekali lagi, perhatian untuk semua murid SMA Bima Sakti yang mendaftarkan diri di Lomba Pekan Raya Seni antar Sekolah, untuk berkumpul di aula.
Sebab siang ini juga akan langsung diberikan pengarahan oleh para panitia LPRS. Dimohon, kehadirannya. Terima kasih.
Selang beberapa detik, bel istirahat pun berbunyi. Murid yang tadi pagi sudah mencatatkan namanya di peserta lomba segera bergegas memenuhi panggilan barusan. Begitupun Galan, yang sudah mantap dengan keputusannya.
“Ayo, Al!” ajaknya tiba-tiba menarik tangan Alma. Gadis itu yang tidak tahu menahu maksud Galan jelas saja memberikan ekspresi heran. “Kita ke aula.”
“Buat apa? Aku, kan, nggak ikut lomba,” kelaknya seraya menarik tangannya dari pegangan Galan.
“Lo ikut, udah gue daftarin.”
“Apa?” refleks Alma merespons dengan nada agak memekik. “Kamu?”
“Iya, lomba musikalisasi puisi.”
“Kamu, kok, lancang banget!” sentaknya yang jelas saja marah. Bisa-bisanya, lagi-lagi, Galan menyeret namanya tanpa izin.
“Udahlah, Al. Nggak ada waktu untuk berdebat, nanti kita bisa telat terus kebagian kursi paling belakang.” Galan tanpa ragu terus menarik-narik tangan Alma.
“Nggak, aku nggak mau. Apaan, sih?” Namun, Alma terus mempertahankan diri dengan sekuat tenaga.
“Duh, Al. Jangan keras kepala.”
“Enggak!”
Akan tetapi, tenaga Galan lebih besar dan akhirnya tubuh Alma dengan susah payah bisa ditariknya sampai ke aula. Alma sampai merasakan sakit di pergelangan tangannya karena genggaman Galan yang cukup kuat. Saat itu juga, ia sungguh sangat marah pada pemuda tersebut.
Aula yang berukuran besar itu hampir penuh sesak diisi oleh sebagian murid SMA Bima Sakti. Mereka semua begitu antusias, sampai Galan dan Alma hampir saja tidak kebagian tempat duduk. Namun, untungnya masih ada dua bangku yang tersisa tepat di pojok barisan paling belakang. Dengan susah payah, Galan bisa membawa Alma dan duduk di sana.
Raut wajah Alma masih saja masam. Menunduk menahan amarah. Sedangkan Galan bersikap cukup tenang, ia sama sekali tidak mengerti keadaan Alma sekarang yang begitu tertekan. Di pikiran pemuda itu saat ini hanya ingin agar Alma bisa membuka diri pada sekitar. Belajar tampil di depan banyak orang. Galan tidak paham jika untuk tipe orang seperti Alma, perlu proses yang lama dan tidak bisa dipaksa.
“Selamat siang semuanya, maaf karena menganggu waktu istirahatnya sebentar,” kata seorang wanita—yang menjabat sebagai guru seni rupa—berdiri membuka acara di depan tribun. “Langsung saja, ya. Sebelumnya terima kasih untuk kalian yang mau ikut berpartisipasi. Di sini saya bertugas sebagai juri sekaligus ketua panitia seleksi. Jadi untuk lomba PRS nanti, akan ada seleksi terlebih dahulu yang akan diadakan di sekolah masing-masing. Dua orang terpilih nantinya akan masuk ke babak final dan dilombakan dengan perwakilan sekolah lainnya. Untuk seleksi, akan dimulai senin depan. Jadi kalian setidaknya punya waktu tiga hari untuk mempersiapkan diri. Ada yang mau ditanyakan?
“Bu!” sahut seorang murid laki-laki—segera, sambil mengangkat tangan kanannya.
“Iya, silakan.”
“Kira-kira yang lolos seleksi tahan pertama di masing-masing bidang lomba berapa, ya, Bu?”
“Untuk itu, kami akan memilih dua besar dari setiap bidang seni yang dilombakan. Mungkin akan ada satu cadangan, menjaga jika ada satu peserta yang berhalangan hadir.”
“Em, gitu. Terima kasih, Bu.”
Ibu Agnes lantas mengangguk. “Ada lagi?”
Sementara sedang dilakukan tanya jawab seputar lomba, jantung Alma tidak mau lebih pelan berdetak. Gemetaran seluruh badan, sampai telapak tangannya mulai berkeringat. Ruangan yang luas itu menjadi begitu sesak. Ia benar-benar takut dan belum apa-apa sudah mengalami demam panggung yang hebat.
Nggak, aku nggak bisa. Batinnya terus saja bergejolak. Sadar betul jika dirinya saat ini berada di tempat dan keadaan yang salah. Alma merasa, ia tidak seharusnya melakukan hal tersebut.
“Aku nggak bisa,” ucapnya dengan nada agak pelan, seraya berdiri dan hendak pergi.
Galan yang akan dilewatinya itu jelas saja langsung menahan langkahnya dan bertanya, “Loh, Al. Mau ke mana?”
“Aku nggak bisa, Gal.” Lagi Alma mengatakan hal yang sama. “Aku mau pergi, jadi tolong jangan paksa aku.”
Gadis itu sampai memelas. Melihatnya dalam kondisi memprihatikan seperti itu membuat Galan tidak tega juga. Akhirnya ia hanya memperhatikan dalam diam dan membiarkan Alma pergi. Sedangkan setelah teman sebangkunya itu berlalu, tanpa disadari Kaila datang menghampiri san tidak canggung sedikit pun langsung duduk di sebelah Galan—kursi yang awalnya ditempati Alma.
Galan agak tertegun untuk sejenak, sampai Kaila mulai bersuara, “Lo ikut LPRS juga?”
Tanpa acuh, Galan menjawab seadanya, “Hm.”
“Nyanyi, ya?” selidiknya lagi. Galan sampai melirik sekilas pada gadis itu. Tampaknya dia tidak lupa tentang hal yang selama ini ia suka.
“Begitulah.”
“Kalau gitu sama dong.”
Galan hanya mampu menyeringai seakan terpaksa. Entah keberuntungan atau justru kesialan ia harus berada dekat lagi dengan Kaila. Mereka mungkin akan sering bertemu di seleksi nanti.
Duh.
***
Alma terus berjalan menyusuri koridor seakan tidak mau berhenti. Dalam hatinya sekarang ia benar-benar menyimpan kemarahan untuk Galan. Cowok itu sungguh terlalu ikut campur urusannya, pikirnya. Padahal sejak awal pun Alma tidak pernah menganggap Galan teman dekat apalagi sahabat. Pemuda tersebut hanya ia anggap teman sebangku. Namun, sikap Galan yang sok kenal sok dekat, sering mengajaknya berbicara—padahal Alma juga tidak terlalu menanggapi, membuat orang lain berpikir mereka berteman. Galan pun sepertinya demikian.
Bukannya Alma tidak tahu diri atau tidak bisa berterima kasih. Memang, seharusnya ia bersyukur, cowok seperti Galan mau menganggapnya teman, tapi, teman macam apa yang suka maksa dan nggak pernah ngerti? gerutunya dalam hati.
Karena perasaannya sedang tidak baik, Alma memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Hanya tempat sunyi itu yang bisa membuat perasaan dan hatinya lebih tenang.
Namun, ternyata pepatah memang benar. Dibalik semua kesusahan selalu ada kemudahan. Sudah dibuat kesal oleh Galan, tiba-tiba Asta mengiriminya pesan. Satu kalimat yang sukses membuat senyumnya terukir sempurna.
AstaSevan
Hai, cewek cantik!
Alma rasa, Asta selalu bisa membuat perasaannya gembira. Entah merasa malu, salah tingkah, gugup, ataupun berbunga-bunga.
Kamu bilang aku cantik?
Padahal kamu aja belum lihat aku, kan?
Cantik itu bukan cuma dari wajah,
tapi dari hati.
nuraiqlla
8 Juli 2021
14:47 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top