6 ~ Hear Your Voice

Suara ketukan pintu yang lumayan keras sontak saja membangunkan Alma yang ketiduran, dengan musik masih setia menggema. Seseorang yang tampaknya tidak sabar di luar sana membuat Alma bergegas turun dari kasur dan berlari sampai ke pintu.

“Ya ampun, kamu masih pakai baju seragam? Belum ganti dari tadi siang?” Sejurus pertanyaan langsung melayang, tatkala seorang gadis dewasa—berkisar usia dua puluh tiga—memperhatikan Alma, yang baru saja membuka pintunya.

Pun, Alma yang masih dalam kondisi linglung—akibat nyawa belum kumpul hanya mampu mengucek-ngucek mata. Menggaruk tengkuknya, lalu menguap lebar. Untung saja ia masih sadar untuk menutup mulutnya dengan satu punggung tangan.

Astaghfirullah, kamu nggak salat Ashar dan hampir ketinggalan salat Magrib juga?”

“Maaf, Kak.”

“Kebiasaan,” omelnya dengan nada ketus. “Ya udah, sekarang cuci muka, mandi, terus salat Magrib dan jangan lupa ganti salat Ashar.”

“Iya.”

Sempat mau beranjak, gadis bernama Ayana itu lantas berbalik lagi. “Ah, iya. Setelah itu langsung turun. Kita makan malam. Ayah pulang cepat hari ini.”

“Hm.”

Setelah Ayana turun turun ke bawah, Alma segera menutup pintu dan pergi ke kamar mandi. Ia merasa sangat berdosa hari ini karena mengabaikan kewajibannya.

Sementara di area dapur dan meja makan, mama dan kakaknya tampak sedang sibuk menyajikan masakan—yang baru saja selesai—ke meja makan, di mana Aaray—adik laki-lakinya sudah menunggu dengan tidak sabar, sambil memukul-mukul sendok pada piring yang masih kosong. Sedangkan papa mereka masih asik dengan ponselnya dengan televisi yang setia menyala. Kala itu, Alma baru turun dengan perhatian yang tertuju pada layar handphone.

“Ayah sama anak, sama aja. Handphone mulu yang diurusin,” sindir sang Ibu bernama Desi itu.

Laki-laki paruh baya tersebut segera menoleh dan meletakkan ponselnya di atas meja. Alma pun melakukan hal yang sama, memasukkan benda pipih itu ke dalam saku baju tidur yang dikenakan.

“Kerjaan, Ma. Nggak bisa ditunda,” jawabnya beralasan, lalu berjalan menuju meja makan. “Kalau putri Mama yang satu itu, lain hal.” Lanjutnya yang terlihat ingin menggoda.

Alma yang dimaksud, cuma diam saja lantas mengambil posisi duduk tepat di samping Aaray.

“Kak Alma pasti udah punya pacar,” celetuk anak laki-laki berusia sepuluh tahun itu yang sontak saja mendapat pukulan kecil di kepalanya dan pelototan tajam. “Tuh, kan. Dia pasti malu.”

“Apaan, sih? Mau Kakak nggak kasih uang jajan?” ancam Alma.

“Yah, jangan, Kak,” rengeknya lalu cemberut. Meskipun uang jajan yang ia dapat dari Alma, hanya berupa imbalan setelah membelikannya pulsa—walaupun harus dibujuk susah payah. Tetap saja, Aaray butuh uang jajan tambahan.

“Makanya, diem.”

“Udah, ah. Berantem mulu,” sahut Desi melerai. Namun, Ayana malah memprovokasi.

“Eh, tapi bener lho, Bu. Jangan-jangan Alma emang udah punya pacar.”

“Ih, Kakak. Jangan mulai, deh.”

Akan tetapi, Ayana tidak memedulikan peringatan Alma. “Tau nggak, Ma. Tadi pas Ana mau berangkat kerja, di gang depan sana Ana ketemu anak cowok, nanyain Alma.”

“Hah?” Alma langsung tersentak. Jangan-jangan Galan?

“Pasti itu pacarnya, Ma.”

Alma buru-buru menyanggah, “Emang kalau baru nanyain udah pasti pacar?”

“Dia itu bawa motor, nungguin kamu, mau ngajak bareng ke sekolah. Apa coba kalau bukan pacar?”

Ish, Galan,” gerutunya dengan nada pelan.

“Ya udah, biarin aja kalau adik kamu itu udah punya pacar. Syukur-syukur jadi penyemangat belajar, tapi kalau sampai bikin konsentrasi di kelas dan nilai anjlok, mending nggak usah.”

“Ih, Mama. Pilih kasih. Dulu sama Ana nggak gitu!” Ayana menjadi kesal.

“Ya, karena kamu nggak usah dikasi penyemangat juga udah semangat duluan. Beda sama Alma.”

“Udah-udah, berdebat terus kapan makannya?” sela Septian. “Papa udah laper, nih.”

“Sama, Aaray juga. Lihat perut Aaray kempes banget gara-gara capek abis main setengah harian di lapangan.”

“Kamu main bola?” tanya papanya penasaran.

“Enggak,” jawabnya menggeleng dan dengan wajah polos kembali berkata, “Kata kakak-kakak temen, Aaray jadi hakim garis aja, diem di pinggir lapangan. Katanya Aaray jago kalau ngasih semangat.”

Ayana lantas terbahak. “Itu, sih, bukan hakim garis, tapi suporter.” Membuat orang tua mereka ikut tertawa, begitupun Alma yang suasana hatinya sempat kacau barusan.

***

Setelah selesai makan dan membantu mencuci piring, Alma segera bergegas ke kamarnya lagi dengan alasan akan mengerjakan tugas. Padahal jauh dari keinginan itu, ia sudah tidak sabar untuk mengecek ponselnya. Memastikan jika Asta sudah membalas pesannya.

Ketika telah duduk tenang di kursi meja belajar, Alma melihat ada satu balasan dan langsung membacanya.

AstaSevan
*aktif satu jam yang lalu.

Jangan gitu.
Semua wanita cantik dengan auranya masing-masing.
Bukan nggak ada yang suka, tapi belum aja.
Atau lo sendiri yang nggak nyadar.
18:30

Em, lo lagi sibuk ya?
19:45

Gue boleh minta no wa lo nggak?
21:30

“Ya ampun, dia minta nomor whatsapp aku?” Alma sampai menganga tidak percaya. Hingga tidak menunggu lama lagi, ia segera membalas pesan Asta dan menuliskan nomornya.

Tidak sampai satu menit, datang sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal. Alma sempat ragu, takut jika itu bukan Asta. Namun, karena teleponnya terus berdering, akhirnya dengan keberanian dan rasa degdegan tingkat tinggi, Alma segera menjawab sambungan telepon via whatsapp tersebut.

“Ha-halo?” jawabnya agak tergagap. Keringat dingin langsung membasahi telapak tangannya.

“Oh, hai. Kenapa lama banget angkat teleponnya?” Mendengar suara laki-laki di seberang sana, kembali membuat jantung Alma berdegup sangat cepat. “Jangan takut, ini gue Asta.”

“Asta, ini beneran kamu?”

“Iya, lah. Siapa lagi. Suara lo lembut banget, ya. Tapi, kecil, jadi nggak terlalu kedengeran. Bisa digedein volumenya?”

Sumpah, Alma bingung harus menanggapi. Pertama suaranya memang sekecil itu, kadang orang harus berulang kali bertanya untuk memastikan. Kedua, ia juga takut—cemas jika orang rumah mendengarnya sedang teleponan. Jujur saja, ia tidak pernah berbicara lewat sambungan telepon dengan orang lain. Kalau mama, papa, dan kakaknya menelepon pun, tidak jarang Alma sengaja mengabaikan.

“Em, iya,” jawabnya masih terkesan malu-malu. Sehingga membuat Asta tertawa, dan suara tawanya itu sukses membuat Alma tersenyum. Hatinya serasa senang dan melayang-layang.

“Btw, gue nganggu lo nggak?”

“Oh, nggak, kok.” Padahal, ada tugas Biologi yang belum ia kerjakan, dan besok ada ulangan Matematika. Alma belum membaca ulang, sedangkan ia suka belajar kebut semalam. Namun, kesempatan ini tidak mungkin ia sia-siakan.

“Serius, nih?”

“I-iya.”

“Haha, lucu banget, sih, lo. Kedengeran gugup gitu, kenapa?”

“O-oh, enggak, kok. Aku biasa aja.”

“Kalau lo harus belajar nggak apa-apa, kok. Kita bisa lanjut besok atau lanjut chat-an aja.”

“Eh, jangan!” refleks Alma menyela dengan nada agak tinggi, membuat Asta tertawa lagi.

“Kenapa, lo masih pengen denger suara gue?” Kedua pipi Alma langsung merona seketika. “Ya udah, oke. Teleponnya nggak usah dimatiin, tapi kalau lo mau ngerjain pr atau belajar silakan. Gue juga mau tiduran sambil dengerin musik. Kebetulan besok gue bebas pr dan ulangan.”

“Em, gitu, ya.”

Sebenarnya Alma juga berat meninggalkan kewajiban sekolahnya itu, tapi ia juga tidak mau memutus sambungan teleponnya dengan Asta.

“Iya.” Kemudian Alma mendengar suara musik di seberang telepon sana. Lagu Tak Lagi Sama dari Noah. Alma pikir selera musik mereka sama. Bukannya mulai membuka buku dan mengerjakan tugasnya, Alma malah terlena. Menutup kedua matanya dan mulai mendengarkan musik bersama dengan Asta.

Malam ini indah.
Kalau boleh, aku tidak ingin semuanya cepat berlalu.

nuraiqlla
6 Juli 2021
9:14

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top