4 ~ Ongoing Game
Sekarang Alma lebih-lebih tidak bisa tenang setiap akan datang ke sekolah. Setelah Sili dan Mili melabraknya kemarin, Alma jadi waspada dan sangat cemas. Mereka benar-benar mengerikan, Alma tidak sanggup menghadapinya sendirian. Juga tentang ancaman mereka, Alma belum bisa mencari cara yang tepat.
Menjauhi Galan bukanlah cara yang mudah, apalagi mereka selalu bertemu dan sebangku. Menyuruh pemuda itu untuk menarik ucapannya juga rasanya tidak mungkin. Tahu sendiri bagaimana dia memohon-mohon agar Alma mau membantu.
Sebenarnya Alma bisa saja mengabaikan ancaman Sili dan Mili, tapi nyawanya jadi taruhan. Mereka pasti akan terus meneror dan menjadikannya bulan-bulanan. Jalan satu-satunya agar ia bisa selamat, ya, meminta perlindungan Galan. Namun, untuk saat ini Alma sendiri enggan bertemu dengan pemuda tersebut.
Malah Alma sengaja datang ke perpustakaan sebelum kelas dimulai, demi untuk menghindari Galan. Bahkan ia tidak memedulikan perintahnya tadi malam—untuk tetap menunggu di gang menuju rumahnya, dan pergi ke sekolah bersama. Sejak tadi pemuda itu terus menghubungi, dan tanpa ragu gadis tersebut langsung mematikan ponselnya.
Alma tahu, Galan pasti akan marah. Cuma biar saja, toh, dia juga suka seenaknya.
Setelah tiba di perpustakaan, Alma langsung memilih bangku yang ada di pojok dekat jendela. Selain tempatnya agak sepi, di sana juga lebih nyaman. Ia mengambil satu novel dan hendak membacanya.
Sebenarnya hampir semua novel yang ada di perpustakaan itu sudah pernah Alma baca. Bagaimana tidak, hampir dua tahun bersekolah di SMA Bima Sakti, Alma tidak pernah ke manapun selain menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan. Sudah seperti makanan wajib.
Ketika sedang ingin fokus, tiba-tiba datang sebuah notifikasi. Kedua matanya langsung membeliak dan mulutnya terbuka saat melihat nama Asta terpampang di sana. Buru-buru Alma membuka dan membacanya.
AstaSevan
Hay, hari ini cerah, ya.
Gimana di sana?
Refleks Alma menoleh ke luar jendela, dan melihat matahari tengah menampakkan sinarnya. Awan tipis-tipis pun menjadi hiasan yang indah.
Iya, sama.
Kemudian, Asta mengetik lagi.
Walaupun gue suka hujan,
tapi kali ini akan berubah.
Kenapa?
Karena hujan cuma ngingetin
gue sama dia.
Dia?
Kening Alma mengernyit.
Iya, dia.
Orang yang pernah spesial di hati gue. Tapi sekarang....
Mendadak Alma bingung untuk menanggapi. Dari ketikannya sejak kemarin, ia perhatikan jika Asta sepertinya sedang galau.
Eh, sori-sori.
Lo pasti terganggu, ya?
Eh, nggak, kok.
Hm, bilang aja, ya, kalau
lo ngerasa terganggu sama chat gue.
Santai aja, Asta.
Duh, lo baik banget.
Thanks.
Btw, lo lagi di sekolah, kan, sekarang?
Tepatnya di perpus.
Wah, anak perpus, nih.
Alma tersenyum simpul.
Aku suka perpustakaan
karena tempatnya damai.
Aku nggak suka keramaian.
Eh, kebalikannya gue, dong.
:)
Buku apa yang sering lo baca?
Novel.
Apa pun genrenya, asal seru
pasti aku baca.
Kutu buku, ya, kamu.
Em, begitulah.
Suka romance juga, dong
berarti?
Alma refleks mengangguk.
Iya, suka juga.
Kalau gitu lo harus baca Beutiful Love.
Itu ceritanya bagus banget.
Eh, kebetulan aku juga
lagi cari buku itu.
Kamu suka cerita romance juga?
Gue cuma terkontaminasi.
Haha.
Tapi, novel itu emang rocemended banget.
Bikin penasaran aja.
“Woy!”
Sontak saja Alma menjengit. Kaget sekali sampai jantungnya serasa mau copot. Sementara yang melakukan keisengan itu kepadanya hanya tertawa merasa lucu, ia baru berhenti saat penjaga perpustakaan menegurnya dengan suara berdeham keras.
“Lo, serius amat, sih?” katanya lagi dengan nada lebih pelan seraya mengambil posisi duduk di sebelah Alma. Tahu jika orang itu adalah Galan, cepat saja gadis tersebut membalikkan ponselnya dan menekan tombol off layar.
“Kamu ngapain, sih, ke sini?” tukasnya yang sungguh tidak suka, merasa tidak nyaman dan menjadi salah tingkah, sambil pura-pura fokus pada buku novelnya lagi.
“Lo sendiri ngapain?”
Satu sudut bibir Alma menukik naik. “Ya, baca.”
Tiba-tiba, Galan membalikkan buku di tangan Alma, sampai membuat gadis berambut sedikit di atas bahu itu terpaku sejenak.
“Lo bohong.” Alma langsung meringis, menunduk menahan malu. “Lo itu sengaja ngehindarin gue, kan?” Bungkam, gadis tersebut tidak bisa mengelak dan memberi alasan. “Gue nungguin lo lama banget, tapi ternyata lo udah ada di sini.”
“Ya, abisnya aku nggak mau.”
“Lo itu harus membiasakan diri, Al.”
“Itu namanya pemaksaan.”
“Lo takut, kan, sama Sili dan Mili?” tanya Galan yang belum ditanggapi oleh Alma. Gadis itu hanya meremas jemarinya merasa gugup dan cemas. “Gue udah peringatin mereka, mulai sekarang mereka nggak akan ganggu lo lagi.”
“Hm?” Wajahnya akhirnya terangkat, menatap lurus ke mata Galan. “Kamu tau?”
“Apa yang nggak gue tau? Mereka itu emang rese banget, perlu gue kasih pelajaran.”
“Jangan! Yang ada mereka makin benci sama aku.”
“Ngapain kamu peduliin? Dibenci sama mereka nggak ngerugiin.”
“Iya, buat kamu. Buat aku?”
“Duh, Al. Lo itu harus belajar jadi wanita yang tangguh. Jangan iya-iya aja kalau merasa diintimidasi.”
“Kalau dari awal aku udah jadi wanita tangguh, mungkin aku juga bisa nolak keinginan kamu,” tukasnya yang sontak membuat Galan untuk sejenak terdiam. Menyunggingkan senyum datar, seraya susah payah menelan salivanya sendiri. Mendadak muncul rasa tidak enak hati.
Namun, Galan kembali beralasan, “Gue lakuin ini juga demi kebaikan lo. Udah, sekarang ikut gue.”
“Nggak mau.”
“Sebentar lagi bel masuk, Alma. Lo mau tetep di sini?” tutur Galan agak kesal, lalu berdiri dan mengulurkan tangannya untuk digenggam pada Alma. “Ayok!”
“Apaan?” Alma sedikit mengerti, tapi ia pura-pura tidak tahu.
“Pegang tangan gue.”
“Harus, apa?” Tidak bisa dibohongi, jika raut wajah Alma berubah sangat cemas. Orang-orang pasti akan mulai memperhatikannya lagi.
Namun, tanpa menunggu persetujuan dan tanpa ragu Galan menarik sendiri jemari kanan Alma dalam genggamannya. Sontak saja saat itu juga jantung Alma berdegup sangat cepat. Wajahnya memanas, dan napasnya terasa sesak. Keringat sudah membasahi telapak tangannya, yang Alma yakin Galan pun bisa merasakan. Alma berusaha melepaskan, tetapi Galan semakin menguatkan genggamannya. Alma tidak mengerti kenapa Galan harus berlaku sejauh itu.
“Lo harus perlihatkan wajah bahagia lo, Al. Ayok senyum,” titah cowok itu lagi, setengah berbisik, saat mereka berjalan di koridor, dan tidak sedikit yang tengah mengalihkan perhatiannya pada mereka.
Alma benar-benar tegang dan tertekan. Bagaiman bisa ia memperlihatkan senyumnya walau hanya sebaris saja. Berat sekali. Di pikirannya saat ini hanya ketakutan dan kecemasan.
Sampai di tangga menuju lantai dua, mereka tanpa sengaja berpapasan dengan Kaila. Alma sontak ingin menarik jemarinya, tapi Galan sungguh-sungguh tidak memberinya ruang. Ia malah sengaja, seperti memanas-manasi.
“Oh, hi!” sapa Galan, tersenyum sekilas dengan satu alis menukik naik.
Kaila tidak menjawab, atau mungkin tidak berselera sama sekali. Sehingga ia mencoba mencari ruang untuk bisa lewat. Namun, seperti dipermainkan, setiap Kaila akan mengambil jalur kiri, Galan pun melakukan hal yang sama sampai tiga kali.
“Eits, stop!” geram Kaila. “Gue mau lewat, oke? Bisa kasih jalan sebentar?”
“Oh, iya-iya. Boleh-boleh.” Lantas Galan dan Alma langsung melipir ke sebelah kiri.
Namun, sebelum Kaila benar-benar berjalan melewati mereka, ia sempat berkata, “Selamat, ya.”
nuraiqlla
4 Juli 2021
08:59
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top